16 : When Tomorrow Begin Without Me
Ketika kau memulai hari tanpa diriku, aku tidak ada di sana untuk menyaksikannya.
Jika matahari terbit dan mendapatkan matamu penuh air mata untukku
Aku sangat berharap kau tak akan menangis sepertiku
Memikirkan, menyesali banyak hal yang tidak pernah sempat kita ungkapkan.
~°~°~°~
Ini sudah tiga Minggu sejak kepergian Zhehan yang misterius. Kadang-kadang saat Simon pulang kerja, rasanya masih seperti dulu. Ketika memasuki apartemen mungilnya, dia masih berharap melihat Zhehan duduk di sofa atau meja makan.
Adakalanya ketika ia sadar bahwa ia tidak memikirkannya selama satu hari atau keliru mendengar suara tawa atau sentuhannya, itu membuat Simon takut.
Simon bersyukur ketika mengingat Zhehan. Bersyukur ketika ia bisa menangis karena itu berarti ia belum melupakannya. Simon bersyukur bahwa Zhehan pernah menjadi kekasihnya, dan ia akan selalu menyayanginya.
Meski tak pernah ada kata yang terucap, dan meski pada akhirnya genggaman tangan mereka terlepas.
Setidaknya, untuk satu hari.
Mereka pernah saling mencintai ...
~°~°~°~
Hari sudah sangat senja ketika Simon pulang kerja, tetapi senja itu sangat cerah. Menjelang akhir pekan, biasanya kondisi finansial Simon mulai megap-megap. Dia akan melakukan apapun untuk menekan pengeluaran, meski kala bersama Zhehan, dia selalu tidak bisa mengelak dari kebangkrutan.
Sore ini Simon tidak naik bis seperti rutinitas sehari-hari. Dia menumpang mobil Miles dan sialnya, ia diturunkan di tepi jalan karena kawannya harus mengubah tujuan gara-gara mendapat telepon bahwa ayahnya masuk rumah sakit.
Jadi, saat ini Simon berjalan tersaruk-saruk di bawah langit yang memerah, menyaksikan matahari mulai menyelinap ke balik gumpalan awan.
Sial! Sial! Miles, awas kau ya! Kalau nanti aku sudah kaya, aku tak akan memberikanmu tumpangan...
Sebenarnya apartemennya sudah bisa ditempuh dengan berjalan kaki lewat jalur yang berkelok-kelok. Dia mengambil jalan pintas itu, yang biasa dia lewati jika benar-benar sedang merasa miskin.
Kawasan itu disesaki flat flat sederhana, aneka kedai masakan yang menguarkan aroma sedap ke udara, dan ada beberapa warga bersepeda berlalulalang.
Simon berharap mendapatkan pengalaman yang baik-baik saja ketika melintasi daerah itu. Kekesalan pada Miles sudah cukup untuk menutup hari membosankan ini dengan mimpi buruk.
Lewat di depan kedai kopi yang ramai oleh beberapa pria setengah baya dan sebagian sudah cukup tua, Simon mengawasi dua orang pria yang duduk berhadapan menikmati secangkir kopi.
Mungkinkah dia dan Zhehan cukup beruntung untuk diberkati umur panjang? Menikmati masa tua bersama, bicara tentang apa saja di bawah langit senja yang indah.
Zhehan, di mana kau berada sekarang?
Pemuda itu merasakan sepasang matanya menghangat saat pertanyaan yang sama selalu berulang dan kembali berulang tanpa mendapat jawaban. Tanpa terelakkan, mengabur disaput air mata.
Tergesa-gesa, dia menggosok matanya. Berpura-pura kemasukan debu. Dia tidak pernah bersikap memalukan dan sok melankolis begini. Pemuda tampan dengan setelan bagus, menangis di tengah jalan, sungguh pemandangan yang tidak keren. Orang-orang akan menduga dirinya menangis akibat dilecehkan karena terlalu tampan.
Tetapi sesuatu yang hilang dari dalam hatinya tidak bisa diatasi dengan gerutuan dan kata-kata sembarangan yang selama ini selalu mampu membuat hidupnya tetap waras dan seimbang.
Lagi-lagi, air matanya nyaris bergulir.
Terus berjalan tanpa melihat ke depan, dia mengusap lagi matanya.
Sepeninggal Zhehan, wajah tampan yang ia banggakan kini tampak seperti matahari yang selalu terhalang gumpalan awan hitam.
Tiba-tiba bunyi rem mencicit keras membuyarkan lamunanannya. Sejenak Simon menghentikan langkah, tanpa bisa ditahan, tubuhnya limbung ke samping meski tidak sampai terjerembab ke selokan.
"Heh!! Kamu! Kalau jalan lihat-lihat ke depan!!"
Simon menggoyangkan kepala. Dia berusaha kembali berdiri tegak. Rupanya dia berjalan miring ke tengah dan nyaris diserempet sepeda tua.
Pengendara sepeda itu seorang pria yang sudah melewati usia setengah baya. Rambutnya kelabu dan bibirnya berkerut karena terus mengomel.
"Sudah bosan hidup ya?" pria itu melotot ke arah Simon yang berdiri bengong.
"Astaga! Kau lagi!"
Pria itu berusaha membetulkan posisi sepeda yang hampir mencium tanah. Pergerakannya cukup gesit tetapi ringisan demi ringisan di wajahnya menandakan pria itu seperti menderita sakit pinggang dan rematik akut.
Kali ini si pria tua menuntun sepedanya, tanpa mempedulikan beberapa pasang mata yang mengawasi karena tertarik dengan kegaduhan itu, si pria kembali melontarkan omelan pedas.
"Pemuda sembrono! Aku benar-benar ingin bermusuhan denganmu. Dulu kau menimpuk kepalaku dengan batu, dan sekarang..."
Dia berhenti, melirik garang sekali lagi, kemudian mengibaskan tangan.
"Ah! Sudahlah! Kalau memancing masalah lagi denganku, aku kutuk kau jadi pangeran kodok!"
Seperti seorang pahlawan yang memaafkan musuhnya, pria itu berjalan melenggang melewati Simon yang masih tertegun bingung.
Apa yang dikatakan pria itu? Menimpuk dengan batu?
Ingatannya yang kacau balau berjuang mengumpulkan fragmen peristiwa yang telah berlalu. Dia pernah bertemu pria pemarah ini, di awal awal perjumpaan dengan Zhehan.
Ada keributan apa?
Seorang warga kami menghilang?
Apakah ...
Kenapa baru terpikirkan sekarang?
Rasa takut akan kekecewaan sempat menghentikan dugaan Simon. Seperti seorang pengecut, dia hanya memperhatikan punggung pria itu yang menuju ke depan kedai kopi, memarkir sepedanya dan melangkah masuk.
Dia mungkin hanya seorang pria pemarah biasa. Jenis orang yang cermat dan teliti dalam menilai kesalahan orang lain, menyimpannya dalam hati, tetapi melupakan kecerobohan sendiri.
Tetapi omelannya yang keras seperti kaok burung gagak, bagaikan nada pembuka dari satu lagu sedih yang ingin ditepiskan Simon.
"Tunggu!"
Setengah berlari, Simon bergegas menghampiri pria itu, yang segera berhenti di ambang pintu kedai.
"Apa lagi?" pria itu mendesis jengkel.
"Aku pernah bertemu denganmu sebelumnya," ujar Simon terengah.
Pria itu memutar bola mata.
"Banyak orang yang sudah kutemui. Tidak ada yang unik bukan?"
"Tapi kau mengingatku."
"Tentu saja, sudah kubilang kau menimpuk kepalaku dengan batu. Apa kau mau ganti rugi atas kejadian itu?"
Si pria menyeringai licik.
"Ganti rugi??" Simon merasakan firasat buruk. Jangan-jangan pria pemarah ini sejenis pria miskin yang oportunis dan materialistis.
"Ha! Melihat tampangmu, harusnya kau seorang pegawai yang sejahtera," pria itu mencibir dengki.
"....???"
"Sampai kapan mau bengong? Kau sulit sekali bicara, mau dilanjutkan atau tidak?!"
"Ah ... begini ... " Simon tersentak dari keterpakuan.
"Aku ingin bertanya padamu tentang seseorang."
"Cepat katakan! Aku mau pesan kopi!"
Simon menggaruk-garuk tengkuknya.
"Apa kau kenal seorang pemuda bernama Zhehan?"
Ada desir aneh melintasi dadanya menyebut nama itu. Rasanya perih, bagaikan luka yang terinfeksi.
"Zhehan?" Pria itu mengerutkan kening.
"Ya. Zhang Zhehan."
Tiba-tiba emosi yang tergurat pada wajah pria itu sedikit terusik. Rona kesalnya agak memudar dan berubah menjadi suatu emosi yang lebih mendalam. Emosi yang tidak bisa dikenal atau dijelaskan.
Simon merasa sangat penasaran.
"Kau kenal dia?" pertanyaannya mendesak.
"Ya. Aku tahu pemuda itu. Memangnya kenapa?" ekspresi pria itu kembali ke semula saat menjawab pertanyaan Simon.
"Kau tahu di mana dia sekarang?"
Tanpa sadar Simon mencekal lengan pria itu.
"Aku tidak tahu."
"Bohong. Kau pasti tahu."
"Eh apa-apaan? Apa maumu?"
"Tolong jelaskan padaku apa yang kau ketahui tentang Zhehan, barangkali aku bisa mengetahui kemana dia pergi."
"Mau informasi dariku? Traktir aku secangkir kopi dan beberapa makanan kecil," pria itu menyeringai licik.
"Astaga ..." Simon mendesah frustasi. Dia belum menerima upah dan sedang sangat berhemat. Mentraktir pria tua galak sama sekali tidak ada dalam rencana anggarannya.
Tetapi, rasa ingin tahunya menang. Simon mengangguk dengan berat hati.
"Bagus. Ayo duduk di pojok sana. Itu tempat kesukaanku. Di sana lebih aman dan terisolasi, jadi aku tidak perlu melihat wajah-wajah tua suram berlalulalang di depan mata."
Pria itu bergegas menuju set meja kursi di pojokan. Simon mengikuti seraya geleng-geleng kepala. Di dunia ini rupanya ada yang lebih aneh dari dirinya. Pria itu bersikap seolah-olah dia belum tua.
Mereka duduk berhadapan menunggu kopi panas dan satu piring dimsum disajikan.
"Jadi, apa yang kau ketahui tentang Zhehan?" tanya Simon tidak sabar.
"Kopinya belum datang. Dimsumnya juga. Ngomong-ngomong, aku mau tambah pesanan roti lapis keju dan seporsi kentang goreng."
Pelipis Simon berkedut, di otaknya angka-angka beterbangan. Kemudian berputar seperti spiral, membentuk satu kata.
Bangkrut!
"Terserah," dia komat-kamit putus asa.
Sepuluh menit kemudian, pria itu menyesap kopinya dengan nikmat.
"Kakek, ayo ceritakan!" Simon mengetuk-ngetuk cangkir dengan gelisah.
"Apa katamu? Kakek?" pria itu menimpali dengan nada tinggi.
"Namaku Ye Baiyi. Panggil aku Paman Ye. Aku belum setua itu. Begini-begini juga, aku mantan idola kampus di zamanku."
Mendengar itu Simon nyaris tersedak menahan tawa. Untuk pertama kalinya sejak Zhehan pergi, dia merasa ingin tertawa. Tetapi dalam sekejap tawanya memudar. Entah kenapa, merasa senang dalam situasi seperti ini membuatnya merasa mengkhianati Zhehan.
"Pemuda bernama Zhang Zhehan itu, dia salah satu penghuni flat di daerah ini. Sebelah timur sana. Kebetulan aku ketua rukun warga. Dia tinggal berdua bersama ayahnya yang pemabuk berat."
Paman Ye bercerita sambil menguyah perlahan-lahan.
"Ahh pemuda yang malang. Kupikir dia baik-baik saja selama ini. Tak ada tetangga yang tahu bahwa ayahnya sering melakukan kekerasan pada putranya. Pemabuk gila! Kalau saja aku tahu, aku sudah melindasnya sampai mati," paman Ye mendesis jengkel.
"Melindas dia dengan truk?" sela Simon.
"Dengan sepedaku, tentunya."
Simon memijat pelipis, meniup uap kopi yang naik ke udara.
Mana bisa mati kalau dilindas sepeda
"Dua bulan lalu, Zhehan menghilang dari flatnya. Ayah sinting itu membuat keributan. Tapi tak ada yang tahu kemana pemuda itu pergi."
"Kau membantu dia untuk kabur bukan?" Simon menyela lagi perlahan.
Paman Ye melirik galak.
"Siapa bilang? Aku ketua yang baik. Jadi aku membantu menenangkan pemabuk gila itu, dan berusaha mencari keberadaan Zhehan."
"Aku tahu itu tidak benar. Kau tidak mencari Zhehan karena kau sengaja membiarkannya pergi."
Paman Ye menekuk wajah, ekspresinya sangat jelek. Dia mengambil satu potong dimsum lagi tanpa menawari Simon. Bertekad menghabiskannya seorang diri.
"Kenapa kau begitu bersikeras dengan sangkaanmu?" Paman Ye berkata sebal.
"Karena Zhang Zhehan memberitahuku bahwa ada seseorang membantunya untuk kabur. Selama ini ia sembunyi di apartemenku. Tetapi sekarang dia menghilang dan aku tidak tahu ke mana dia pergi, bagaimana keadaannya, apakah dia masih hidup atau tidak. Aku menghabiskan sebagian besar gajiku untuk biaya makan dia, setidaknya aku berhak tahu sesuatu."
"Cihhh! Benar-benar berlebihan," Paman Ye mencibir. "Masih muda dan tampan, tapi pelit sekali. Sebenarnya berniat menolong atau tidak?" dia menambahkan tanpa ampun.
"Aku sudah mentraktirmu!" sergah Simon.
"Aiishh, jadi bagaimana, kisah Zhehan selanjutnya mau dengar apa tidak?" Paman Ye berdecak kesal.
"Tentu saja!"
Paman Ye menghela nafas panjang, tatapannya masih galak tetapi masih berminat melanjutkan.
"Tiga minggu lalu, kami menerima laporan dari pihak rumah sakit bahwa salah satu warga kami tewas dalam peristiwa tabrak lari. Jadi aku datang membawa tubuh korban dan mengurus pemakamannya."
Hawa dingin merayapi kaki Simon, perlahan merambat ke atas, ke tiap centimeter tubuhnya. Dia takut telah tiba di bagian yang terburuk yang tak sanggup ia dengar.
Tanpa sadar wajahnya memucat.
"Siapa yang tertabrak?" dengan tangan masih gemetar, Simon meraih cangkir kopi, memejamkan mata dan menghirup aroma hangat untuk menyamankan perasaannya.
"Ayah Zhehan. Pemabuk gila itu," jawab paman Ye acuh tak acuh. Mulutnya tak berhenti menguyah.
Kelegaan membanjiri dada Simon. Dia menghembuskan nafas, setelah bersiap untuk terpukul.
"Syukurlah bukan Zhehan," ia mendesah, dia memang seseorang yang tidak terlalu berperikemanusiaan tapi tak pernah mensyukuri bencana yang menimpa orang lain. Untuk pertama kalinya, Simon melakukan ini tanpa rasa bersalah.
"Memang," Paman Ye lebih tidak merasa bersalah lagi.
"Aku tidak berharap pemabuk itu bertahan hidup setelah kejahatan menyiksa putranya selama bertahun-tahun."
"Tetapi bagaimana peristiwa tabrak lari itu bisa terjadi?"
"Menurut saksi mata, pemabuk itu tengah mengejar seseorang. Keduanya menyeberang jalan sembarangan, menyebabkan kekacauan. Lalu pemabuk itu dilindas sebuah mobil yang ngebut."
"Mungkinkah pemuda itu Zhehan?" Simon berbisik lemah.
"Aku juga mengira begitu. Ada yang melihatnya jatuh pingsan di tepi jalan. Selebihnya aku tidak terlalu jelas. Aku sudah melaporkan kasus orang hilang pada polisi karena saat aku kembali memeriksa lokasi kecelakaan, tak ada yang melihat kemana pemuda itu akhirnya pergi. Mungkin seseorang membawanya."
Emosi yang sebelumnya teredam dalam diri Simon kini menghangat kembali, muncul ke permukaan. Terbebani rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam. Dia menyalahkan diri sendiri bahwa seharusnya ia bisa lebih menjaga Zhehan dan menghindari pertemuan pemuda malang itu dengan ayahnya yang kejam.
"Zhehan tidak punya kerabat lagi. Aku juga khawatir padanya. Kita hanya bisa berdoa semoga dimana pun ia berada, Dewa akan selalu melindunginya."
Dengan susah payah, paman Ye yang terbiasa sinis dan galak berusaha mengucapkan kata penghiburan meski sama sekali tidak berguna.
Simon merasa sudut matanya basah, lidahnya begitu kelu sehingga kata-kata tertelan kembali, ia berjuang mengumpulkan sisa sisa kekuatan yang nyaris sirna.
Sebuah lubang di dadanya terasa perih, kosong, dan hampa. Rasanya tak pernah ia mengalami kesedihan sesakit ini, sepanjang hidupnya.
Bahkan tidak saat Zhou Ye meninggal.
Tetapi di satu sisi, kemurnian yang masih tersisa dalam dirinya, membisikkan sebait doa.
Zhehan, di satu sudut dunia ini, ada seseorang yang berdoa untuk kebahagiaanmu.
Seseorang itu adalah aku
Setiap kali aku berpikir tentang dirimu, kuharap kau juga akan merindukanku.
Dan setiap saat aku berdoa semoga suatu hari nanti, kita berjumpa lagi ....
***To be continued***
Junzhe Family, apakah doa Simon akan segera terkabul?☺
Please vote and comment ❤
It warms my heart
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro