Bagian 17
"Jam berapa tadi kau pulang?" Tanganku bersedekap. Aku duduk di ujung tempat tidur dan memperhatikannya sedang memilih pakaian yang akan dikenakannya ke kantor. Setengah enam pagi dia baru pulang. Dia mengira aku masih tidur padahal tidak. Aku hanya pura-pura tidur. Rasa kesal yang kurasa sudah di ubun-ubun. Tadi malam dia memang tidak berjanji untuk tidak pergi, tapi tak bisakah dia menemaniku saja.
Dia berlagak tidak bersalah setelah meninggalkanku tidur sendirian. Dia pulang hanya untuk pergi lagi, dan sekarangpun demikian. Pasokan kesabaranku kian menipis. Aku belu menemukan tempat untuk mengisinya.
Putra mengeluarkan kemeja navy dan celana bahan coklat gelap. Dia tidak mengenakan jas. Ia memakainya dengan santai. "Kau masih tidur waktu aku pulang."
Itu bukan jawaban. "Bukan itu pertanyaanku, Putra!" Aku ingin tahu apakah dia akan berbohong padaku. Jawabannya kali ini sungguh berarti bagiku.
"Jam lima lewat."
Putra tidak sepenuhnya berbohong. Jam enam kurang sama saja dengan jam lima lewat. Dia pandai sekali menyusun kata-katanya. Walau begitu hatiku sedikit kehilangan rasa kesalnya karena Putra tidak menipuku.
"Kau menemuinya?" Itulah inti masalah kami. Entah sampai kapan pembicaraan ini menjadi momok dalam rumah tanggaku. Putra tidak menjawabku, ia mengancingkan kemejanya. "Benar, kan?"
"Ita; ini masih pagi," Putra memberiku nada peringatan.
"Benar kau menemuinya, kan?"
Putra menatap langit-langit kamar sebelum melihat ke arahku. "Vera yang membawa Tasya kemarin."
"Tapi Tasya sudah pulang. Kau tidak harus bertemu dengannya." Kedatangan Putralah yang diinginkan Vera. Memang itu tujuannya membawa Tasya. Aku tahu dia memang selicik itu.
"Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengannya."
"Sampai pagi?" Apa-apa saja yang dibicarakan dengan waktu sebanyak itu.
Selesai mengenakan pakaian, Putra mengambil jam tangannya. "Sebelum bertemu Vera aku ke tempat lain. Jabgan tanya! Aku tidak bisa cerita sekarang."
"Kau tidak bisa cerita pada istrimu sendiri?" Bola mataku berputar cepat mendengarnya.
"Ini demi kebaikanmu, Ita."
"Tidur di mana kau tadi malam?"
Putra mengacak-acak rambutnya. "Kau pikir aku tidur dengan Vera?"
Siapa yang tahu? "Aku tidak bilang begitu! Aku cuma bertanya."
"Tapi pertanyaanmu mengatakan kau tidak percaya padaku."
Memang! Akhir-akhir ini Putra terlalu sering mengelabuiku. "Kau hanya tinggal menjawab. Masalah selesai."
"Masalah takkan pernah selesai jika berbicara denganmu, Ita. Kau cerewet sekali sejak hamil. Padahal dulu kau tidak begitu."
Itu kan dulu. ''Jadi maksudmu bagaimana? Hah? Kau menyesal menikah denganku? Begitu?"
"Ya, Tuhan." Putra menatapku tidak percaya. "Apa yang merasukimu pagi-pagi begini, Ta?"
"Kau yang memulai duluan, Putra. Kau pergi menemui Vera padahal kau sudah tahu aku tidak suka. Kau sadar tidak, dia membawa Tasya supaya kau bicara dengannya dan pergi menemuinya."
''Urusanku dengannya hampir selesai. Ada beberapa hal yang harus menunggu proses. Setelah semuanya jelas, Vera takkan berani mendekati Tasya lagi."
"Sampai kapan? Selama ini Vera berhasil membuatmu mencarinya."
"Sebentar lagi, sayang." Putra memegang bahuku dengan kedua tangannya. "Kau jangan mengomel terus. Tidak baik untuk kandunganmu. Vera jangan kau pikirkan. Yang harus kau pikirkan adalah kesehatan bayi kita."
"Vera masih ingin bersamamu."
"Sebelumnya sudah kukatakan padamu. Itu haknya, Ita. Yang penting aku tidak menginginkan apapun darinya."
"Kau yakin?" Mataku menyipit, membuat Putra bertambah kesal. "Vera cantik."
"Masih banyak perempuan cantik di luar sana, kalau hanya cantik yang kau bicarakan."
"Lebih cantik dariku?" Aku memasang ekspresi terkejut.
Putra melirikku sekilas, kemudian menggeleng. "Kau bukan wanita paling cantik di dunia."
"Kalau begitu kau seharusnya tidak menikah denganku. Apa yang kau lihat dariku?"
Sekali lagi Putra melirikku lantas menggeleng juga. "Aku tidak tahu. Mungkin kau memberikan sesuatu pada makananku supaya aku melupakan gadis-gadis lain."
"Maksudmu aku memeletmu?" Darimana dia bisa menemukan pemikiran seperti itu?
"Bisa jadi."
"PUTRAAAAAA!!!" kulempari dia dengan bantal yang ada di tempat tidur. Putra tertawa sambil mengelak. Cepat-cepat dia membuka pintu kamar lalu keluar.
****
Hari ini aku kurang enak badan. Aku pulang lebih awal dari kantor. Kusuruh Aldi memesankanku taksi.
"Kau yakin tidak mau aku yang mengantarmu?"
Aku menggeleng. "Aku bisa naik taksi. Ini hanya bawaan bayi, hanya pusing biasa. Istirahat sebentar pasti baikan."
Aldi menemaniku menunggu taksi lobi. "Kau sudah memberitahu pak Putra?"
"Dia bisa bersikap berlebihan jika aku memberitahunya." Beberapa saat kemudian taksiku datang. Setelah mengucapkan terimakasih pada Aldi, aku naik ke taksi.
Setibanya di rumah, ada titipan untukku. "Dari siapa?" tanyaku penasaran. Barangnya dibungkus kertas putih dan plastik transparan.
"Tidak tahu, Bu. Ada kurir yang mengantarnya kemari. Disana tertulis VR, mungkin itu nama pengirimnya. Atau ibu mau saya saja yang buka?"
"Tidak usah." Barang apa yang diberikan Vera padaku. "Biar saya saja yang membukanya sendiri. Terimakasih, ya."
Aku membawa bungkusan tersebut ke kamar. Tasku kulempar ke kasur sebelum kemudian mengoyak kertas pembungkusnya. Kertas dan plastiknya kubiarkan jatuh di lantai. Melihat isinya bungkusan itu aku terkejut.
"Kemeja?" Ini milik Putra. Kenapa bisa ada di Vera. Aku terduduk di ujung tempat tidur dengan kemeja Putra di tanganku. Aku memeriksa kemeja itu, ada beberapa noda lipstik. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.
Vera menyertakan catatan juga.
Karena terlalu asyik dengan kesibukan kami, Putra melupakan kemejanya. Aku berbaik hati mengembalikannya. Kutunggu ucapan terimakasihmu.
VR
Aku mendengus, kuremas kertas tipis tersebut. Tasku kuacak-acak demi mencari ponselku. Begitu kudapat aku menelepon Putra. Ia menjawab di dering pertama.
"Iya, Ta."
"Aku ingin bicara. Kau pulang sekarang atau aku yang ke kantormu? Kusarankan kau saja yang ke rumah." Napasku menggebu begitupun amarahku. Hatiku takkan tenang sebelum aku mendapat penjelasan dari Putra.
"Kau kenapa lagi, Ta? Aku sibuk. Nanti malam saja kita bicara."
Aku nyaris mengumpat namun kutahan. "Dalam setengah jam kau tidak pulang, aku pergi. Kita selesai."
"Jaga bicaramu."
Kuputuskan sambungan telepon. Aku pergi ke lemari pakaianku. Kumasukkan beberapa pakaianku ke dalam tas. Dia pikir aku bercanda? Coba saja dia tidak pulang, dia akan melihat aku tidak main-main. Sekarang dia harus memilih, aku atau Vera.
Tidak butuh waktu lama membereskan barang-barangku. Kemeja Putra masih kupegang. Sekarang kemeja itu sudah sangat kusut karena aku meremasnya terus.
Saat Putra masuk ke kamar kami napasnya agak berkejaran. Ia menatapku tajam. "Kau sudah gila?"
Kulempar kemeja miliknya ke wajahnya. "Bagaimana rasanya bisa tidur dengan Vera lagi?" Aku sudah lelah menangis. Amarahku mengalahkan segalanya.
"Kau memang sudah gila, Ta," Putra memegang kemejanya. "Dari mana kau dapat ini?"
"Mantan kekasihmu memberikannya padaku?" Aku berdiri menantang, bersedekap tak mau kalah. "Kau mau mengarang alasan? Katakan saja! Aku ingin dengar."
"Aku tidak tahu kenapa ini bisa ada padanya."
Aku berdecak. ''Kau mau bilang kalau kau tidak sadar Vera membuka bajumu? Begitu?"
"Aku tidak tidur dengannya. Kami hanya bicara."
"Lalu kenapa kemejamu bisa ada padanya?"
"Mana kutahu."
"Aku tidak tahan lagi," aku menarik kemeja bernoda lipstik itu dari tangan Putra dan melemparkannya ke lantai. ''Aku akan pergi. Jadi mulai sekarang kalian bebas bertemu."
"Kau tidak boleh pergi."
"Kau tidak bisa melarangku."
"Bisa! Aku suamimu.''
"Sebentar lagi kau akan kuceraikan."
Putra terbatuk menahan tawa. Astaga, andai aku lebih kuat darinya sudah pukul kepala sombongnya itu. "Ayolah, sayang." Dipegangnya tanganku yang langsung kutepis. "Vera hanya ingin kita bertengkar. Dia senang kita berpisah. Sebetulnya itulah yang dia inginkan."
"Aku tidak peduli apa yang dia inginkan. Kau tidak bersikap jujur padaku, itu sudah lebih dari jawaban. Aku melarangmu pergi tadi malam tapi kau tetap pergi. Memangnya kau pikir aku ini batu yang tidak punya perasaan?"
Putra berdiri kaku, ia tampak frustasi entah pada siapa. "Aku minta maaf soal yang tadi malam. Aku tidak akan mengulanginya."
"Kau mau aku percaya? Tidak akan."
Putra mengerang. "Lalu aku harus bagaimana?"
"Kembali saja pada Vera. Kalian berdua serasi." Membayangkannya saja sudah membuatku kesulitan bernapas. Kata-kata itu hanya di bibirku saja.
"Aku tidak menginginkannya," tukas Putra. Ia menaikkan daguku. "Kau lah yang kuinginkan."
"Lalu bagaimana dengan ruangan yang ada di belakang rumah. Kau tidak membiarkan siapapun masuk ke sana. Apa yang kau sembunyikan di dalamnya?"
Putra mekangkah mundur. "Tidak ada."
"Kalau begitu aku minta kuncinya." Kutadahkan tanganku di depannya. "Aku ingin memastikan sendiri."
"Kau tidak boleh masuk ke sana."
"Kenapa? Kau menyimpan sesuatu yang berbahaya di dalamnya? Kau teroris?" Tatapan Putra menjadi tajam. "Kalau begitu biarkan aku melihatnya. Kalaupun ada hal yang mengerikan di sana aku tidak akan memberitahu siapa-siapa."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro