Chapter 7 - Point of View
Setelah pertandingan football melawan Statton High, aku menghabiskan akhir pekan di rumah. Selain konflik antara aku dan Ezra, sikap Michael pada Nat saat pertandingan juga sedikit menggangguku hingga membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Tidak biasanya aku ikut campur dalam hubungan orang lain, tetapi melihat mereka berdua membuatku merasa sangat emosional.
Hal yang masih tidak kumengerti adalah, apakah aku merasa emosional karena Michael memaksakan perasaannya pada Nat, ataukah hanya sekedar egoku sendiri?
Sore ini, aku menghabiskan waktuku di ruang musik untuk merevisi lagu yang kubuat untuk pertandingan kemarin, menjadikannya lagu yang sempurna untuk pertandingan selanjutnya. Namun sekeras apapun aku berpikir, ide segar tak kunjung datang. Dengan amarah, aku melemparkan kertas-kertas musikku dari atas meja dan membiarkan berserakan di lantai.
Tiba-tiba, terdengar langkah kaki seseorang di pintu masuk ruang musik, dengan cepat aku menoleh ke arah pintu dan melihat Nat diam mematung di depan pintu, wajahnya tampak terkejut.
Aku mengusap wajahku dengan kasar kemudian menunduk dan menopangkan pipiku dengan kedua tangan. "No no no, kau tidak boleh melihatku seperti ini."
Nat mengambil salah satu lembaran musik yang terjatuh di lantai. "Apa ini ... lagu yang kita mainkan Jumat kemarin? Dengan sedikit perubahan?"
Aku melirik ke arahnya. "Aku berusaha sangat keras namun tidak pernah--nevermind."
Ia mendekatiku dan berdiri di sampingku. "Go on, I'm listening."
Aku menghembuskan napas berat. "Seberapa keras aku berjuang, aku tidak pernah cukup di mata semua orang. Di mata Ezra, anggota band, bahkan kau--"
Nat mengangkat salah satu alisnya. "Aku?"
Aku terdiam, kemudian menggigit bibirku. "Uh-em-aku--sudahlah. Seharusnya aku mendengarkan perkataan Ezra untuk tetap memainkan Fight Song."
"Atau seharusnya ia yang mendengarkanmu."
Aku tertawa dengan putus asa. "Mengapa Ezra harus mendengarkan seseorang yang sudah berjam-jam duduk di ruang musik namun sama sekali tidak mendapatkan inspirasi?"
Nat merunduk dan memungut kertas-kertas musikku di lantai. "Hei, sepertinya kau mengalami writer's block. Yang harus kau lakukan adalah pergi sejauh mungkin dari sini dan kembali saat pikiranmu lebih rileks."
"Aku tidak bisa pergi dari sini--"
"Coba pikirkan, adakah tempat yang ingin kau kunjungi? Atau sesuatu yang ingin kau lakukan?"
Aku terdiam dan berpikir, mungkin Nat benar.
"Menulis lagu?"
Nat terkekeh. "No! Selain musik!"
"Bagaimana kalau ... skating?"
"Skating? Seperti bermain skateboard?"
Aku menggeleng. "No. Kau ingat arcade game di gedung sebelah Golden Griddle? Mereka punya arena bermain roller skate."
Nat tersenyum. "Kau ingin ke sana?"
"Yeah--Uh, maksudku, sekarang? Bersamamu? Kau tidak berpikir aku akan mengajakmu pergi dengan maksud--"
"Ssshhh. Iya atau tidak?"
Aku terdiam selama beberapa detik. lalu mengangguk.
Nat tersenyum dan memberikan lembaran kertas musik yang sudah ia kumpulkan padaku. "Masukan seluruh kertas dan alat tulismu ke tas, ayo kita pergi ke sana!"
*****
Sekitar 20 menit kemudian, kami sampai di arcade game dan membeli tiket untuk menyewa roller skate. Di atas arena, Nat terlihat berusaha menyeimbangkan tubuhnya dan mencoba untuk berseluncur.
Aku berseluncur mengitarinya dan tersenyum. "Baru pertama kali mencoba?"
"Tidak, aku pernah bermain roller skate saat umurku 13 tahun, namun sepertinya aku lupa bagaimana cara meluncur." Ia melirik ke arahku. "Astaga, kau lebih mahir dari yang kukira!"
Aku meraih kedua tangannya, membantunya untuk tetap berdiri.
"Kau harus melakukannya secara perlahan, Nona Tidak Sabaran!" gurauku.
Setelah ia berhasil menyeimbangkan tubuhnya, ia tersenyum lebar. "Yessss I did it!"
"Cobalah untuk meluncur, perlahan saja." Aku berjalan mundur agar Nat dapat melangkah maju.
Nat meluncur dengan perlahan, ia memejamkan mata dan menggengam erat tanganku, membuatku terkekeh geli.
"Don't be afraid," bisikku.
Nat membuka netranya, kemudian menarik napas dalam-dalam. Gadis itu mencoba menggerakan kakinya untuk memberikan momentum dan mulai berlatih untuk meluncur. Aku bergerak mundur untuk menariknya.
Beberapa kali aku memergoki Nat melirik ke arahku dan tersenyum. Tentu saja aku membalas senyumannya.
Setelah beberapa menit berlatih, nampaknya Nat sudah bisa menyeimbangkan tubuhnya. Aku melepaskan tanganku dengan perlahan, namun Nat menggenggam tanganku lebih erat dari sebelumnya, membuatku tertawa.
"Sampai kapan kau akan menahanku?"
"Ah, maaf." Ia melepaskan genggamannya, lalu mencoba untuk meluncur seorang diri.
Aku mulai berseluncur di belakangnya, mencoba ekstra siaga jika saja ia kehilangan keseimbangan lagi. Namun hal itu tak terjadi, gadis itu sudah mahir bersemuncur sekarang.
"Aiden, kau lihat tadi? Aku meluncur!" soraknya.
"Wow, kau lebih cepat belajar dariku dulu!"
Nat mengedipkan salah satu matanya padaku. "Tentu saja ini karena bantuanmu."
Gadis itu meluncur pergi setelah lagi-lagi membuat pipiku menghangat.
"That's not fair!" cicitku pelan sambil menekuk wajah. Aku menunduk dan menggigit bibirku, kemudian melirik ke arahnya dan tersenyum.
Nat berseluncur di sekitarku, ia berbelok dan berputar arah, membuat surai pirang panjangnya barkibar. Lampu yang temaram merefleksikan wajahnya saat ia menoleh dan tersenyum padaku, membuatnya menjadi berkali-kali lipat lebih cantik dari biasanya.
Di tengah lamunanku, ia berhenti dan menjentikan jarinya tepat di depan wajahku. "Kau akan diam saja di situ, atau kita akan berseluncur bersama?"
Aku tersadar dari lamunanku saat ia meluncur menjauh dariku. Aku tersenyum dan mengejarnya. "Hei, tunggu!"
Kami meluncur bersama selama beberapa saat, menikmati alunan musik yang terdengar di seluruh penjuru ruangan.
Nat melesat di sampingku dan bertanya, "mengapa harus roller skate? Kau tahu, hal seperti ini terlalu cheesy untukmu."
Aku menekuk wajahku. "Memangnya aku tidak boleh melakukan hal-hal yang cheesy?!"
Nat tertawa. "Of course you can! Just curious, you know?"
Aku menunduk dan tersenyum tipis. "Aku merasa cukup mahir bermain roller skate. Kurasa terbiasa untuk menekuni sesuatu yang mudah kukuasai adalah hobiku. Seiring berjalannya waktu, aku jadi mahir dan menyukainya."
"Bagaimana dengan musik?"
Aku mengangguk. "Sama dengan roller skate. Awalnya aku hanya bisa memainkan piano. Perlahan-lahan aku mencoba alat musik lainnya, seperti gitar. Setelah merasa puas memainkan lagu karya orang lain, aku memutuskan untuk mencoba menulis laguku sendiri. Setelah 10 tahun aku menyadari bahwa musik adalah hal yang paling kusukai dan kukuasai."
Nat terdiam selama beberapa saat sebelum merespon.
"You know what?" ucapnya.
"What?"
"Aku kagum padamu."
Aku terkejut dan menoleh ke arahnya. "What?!"
Nat tertawa. "You said it twice!"
"I'm sorry."
"Lupakan saja apa yang kukatakan dan tetap lakukan hobimu, oke?" Gadis itu tersenyum.
Tiba-tiba, musik berganti menjadi lebih lembut dan romantis. Seseorang di balik speaker berbicara. "Ladies and gentlemen, saatnya untuk couple skate! Silakan mendekat dan berseluncur bersama orang terkasih!"
Kami saling pandang satu sama lain ketika semua orang yang ada di atas arena berseluncur sebagai pasangan.
"Diskriminasi untuk orang yang tidak mempunyai pasangan!" cicitku.
"Atau salah satu cara bagi seseorang untuk mengungkapkan perasaannya?"
"Yeah. Maybe."
Nat mengulurkan tangannya padaku. "May I have this skate?"
"D-do you want to skate with me?" tanyaku gugup.
Nat tertawa. "Yeah! Itu tujuan kita ke sini, kan?"
"S-sure."
Aku meraih tangannya dan menggengamnya dengan erat. Kami meluncur bersama secara perlahan dan menyesuaikannya dengan irama musik. Arena skating dipenuhi oleh banyak pasangan yang berseluncur dan berdansa bersama.
Nat berbisik padaku. "Di sini romantis sekali!"
Kami melihat sepasang kekasih yang cukup mahir berseluncur. Seorang pria menuntun pasangannya untuk berputar, kemudian menariknya dan menciumnya.
Wajahku berubah muram. "Lihat orang-orang di sini, mereka tampak percaya diri mengekspresikan dirinya di depan banyak orang, percaya diri dengan apa yang mereka lakukan! Kau lihat pasangan tadi?" Kemudian menghela napas berat. "Sedangkan aku ...."
Kami berhenti berseluncur, Nat berdiri di hadapanku. "Hei, apa yang terjadi di lapangan bukan salahmu. Berhentilah berusaha keras untuk menyenangkan semua orang."
"Aku benci melihat diriku tidak cukup baik di mata orang lain."
"Siapa yang bilang kau tidak cukup baik? Hanya Ezra, kan? Bagiku, kau adalah pemusik paling berbakat yang pernah kutemui!"
"Benarkah?"
Ia tersenyum hangat. "Yeah. Siapa orang yang memainkan Mozart Sonata no 16 dalam C Mayor sebagai lagu pertamanya untuk berlatih piano selain kau, huh? Dan saat itu usianya masih 6 tahun?"
Aku menatap kedua iris emerald-nya dalam-dalam hingga kepercayaan diriku kembali.
"You know what? I guess you're right." Aku tersenyum gugup. "Thanks!"
Kami terdiam di tengah arena dan saling menatap satu sama lain. Nat menggenggam kedua tanganku dan mendekat ke arahku.
"What are you--"
Sebelum kalimatku selesai, gadis itu mendongakan wajahnya dan mengecup pipiku. Jantungku seakan berhenti berdetak, aku mendorong tubuhku menjauh dan menyentuh pipiku dengan kedua tangan, seluruh wajah dan telingaku menghangat.
"Wha-what was that for?"
Nat tertawa kecil, membuat jantungku berdebar semakin cepat.
"For being the boldest person I've ever met."
Ya, gadis itu berkata demikian hanya untuk menghiburku, kan?
"Terima kasih juga untuk hari ini," tambahnya.
Aku membalas senyumannya. "Seharusnya aku yang berterima kasih padamu."
Nat sedikit memiringkan kepalanya dan tersenyum. "Aku juga harus berterima kasih padamu, karena aku juga senang kita berdua menikmati hari ini."
"Well, thanks for you too," jawabku sambil menatap lekat kedua netranya. "Berkat kau, ide-ide segar bermunculan di kepalaku."
******
Rabu siang saat latihan band, aku memasuki ruang musik dan melihat seluruh anggota duduk di dua kubu yang berbeda.
Ezra melirik ke arahku tepat ketika aku memasuki ruangan. Ia mencibirku. "Hei, lihat siapa yang mengacaukan pertandingan!"
Aku mengepalkan tanganku dan merasa sangat marah, rahangku mengeras. Dengan spontan aku berjalan cepat ke arah Ezra dan menggenggam kerah jaket kulitnya.
"Son of a--" desisku.
"Bubarkan saja klub band ini kalau kalian tidak bisa akur!" Nat membentak kami berdua, kemudian melirikku dan Ezra dengan tajam.
Ezra tertawa dengan sinis. "Anak baru sepertimu berani membubarkan band ini?"
Myra berdiri dari bangkunya dan berteriak. "Ezra! Perbaiki sikapmu!" Kemudian ia melirik ke arahku. "Kau juga, Aiden!"
Aku dan Ezra terdiam, kami saling bertukar pandangan. Aku melepaskan cengkramanku dan melangkah mundur, sedangkan Ezra merapikan pakaiannya.
Nat berdiri dari bangkunya, menatap satu persatu anggota band di dalam ruangan. Jujur saja, aku tidak pernah melihat Nat seserius ini.
"Pertandingan football melawan Hearst High kurang dari sebulan lagi dan pertadingan itu menentukan reputasi kita! Aku tahu pertandingan minggu lalu adalah bencana bagi kita semua, jika kita semua tidak bisa bekerjasama, apa yang terjadi minggu kemarin akan terulang lagi. Kalian mau hal itu terjadi lagi?" ucap gadis itu panjang lebar.
Ruang musik diliputi keheningan, aku memergoki Ezra melirik ke arahku sebelum memalingkan pandangannya kembali dariku.
"Nat benar. Aku tidak ingin kita dipermalukan seperti waktu itu." Lirih pemuda di depanku, kemudian duduk di bangkunya dan menghela napas berat. "Menurutmu, kita harus memainkan lagu apa?"
Aku mengambil binder musikku dari dalam tas dan membuka lembaran paling akhir, lalu memberikannya pada Ezra. "Bagaimana dengan ini? Aku melakukan sedikit perubahan."
"Tidak ada salahnya untuk melihat lagu yang dibuat Aiden terlebih dahulu, kan?" tanya Myra.
Ezra terdiam beberapa saat sebelum meraih binder musikku. Pemuda itu melihat-lihat lagu yang sudah kubuat beberapa hari yang lalu setelah pulang dari arcade game
Myra dan Nat saling pandang dan saling memberikan kode-kode yang tak kumengerti.
Tak lama kemudian, wajah Ezra berubah cerah. "Aku tidak tahu harus berkata apa." Pemuda itu mendongak ke arahku. "Bagaimana bisa kau menciptakan lagu yang begitu rumit dan sempurna seperti ini?"
Aku mengangkat bahuku dan duduk di sebelah Ezra. "Mungkin kau hanya butuh beristirahat dan melihat dari sudut pandang yang berbeda?"
Ezra tersenyum tipis. "Intro-nya bagus. Tetapi, bagaimana kalau begini?" Ia mengambil pensil dari ranselnya dan mengoreksi lagu ciptaanku.
Myra dan beberapa anggota band bergabung dengan kami untuk mendiskusikan lagu yang kubuat. Setelahnya, Ezra dan beberapa anggota mengambil alat musik mereka untuk mencoba memainkan lagu yang sudah kami revisi.
Hampir semua wajah anggota band di dalam ruang musik berubah cerah. Tampaknya mereka menyukai lagu yang kubuat, tentu saja dengan sedikit koreksi dari Ezra dan teman-teman yang lain.
Ezra menoleh ke arahku, ia tersenyum tipis dan menepuk bahuku. "Man, maafkan aku sudah bertingkah menyebalkan, kita akan pakai lagumu versi sekarang untuk pertandingan selanjutnya, okay?"
Aku tersenyum lebar dan mengangguk. Setelah laguku selesai direvisi, secara tidak sengaja aku melirik ke arah Nat yang sedang duduk di bangkunya. Ia tersenyum padaku dan mengedipkan salah satu matanya.
Aku membalas senyumannya dan menggerakan bibirku tanpa bersuara. "Thank you."
******
Setelah beberapa saat, latihan band dan football berakhir, Caleb mendatangi Ezra di ruang musik. Pemuda itu membawa barang bawaannya dan sudah memakai pakaian ganti, wajahnya tampak muram.
"Hei, bro, come in!" Ezra berteriak dan mempersilahkan Caleb untuk masuk ke dalam ruangan.
"Why the long face?" Myra bertanya pada Caleb yang sedang menghela napas berat.
"Pertandingan selanjutnya kurang dari sebulan lagi dan kami belum menemukan quarterback untuk team. Kami baru saja melakukan tryout, namun tidak ada satupun yang memenuhi kriteria." Caleb menjawab.
"Seburuk itu? Tidak ada satupun yang berpotensi untuk membawa Tigers menuju kemenangan?" Ezra merangkul bahu adiknya, Caleb menggelengkan kepala.
Nat menjentikan jarinya. "Apakah kalian ingat ketika Mike melempar helm milik Brian saat pertandingan football kemarin? Akurasinya cukup bagus. Bagaimana dengan Michael?"
Caleb menggelengkan kepala. "Ia tidak mendaftar untuk melakukan tryout."
"Kita harus berbicara dengannya." Nat berdiri dari bangkunya, kemudian berjalan menuju ke arah pintu keluar.
"Where are you going?" tanya Caleb.
Gadis itu menoleh ke belakang dan menjawab. "Aku tahu Mike ada di mana."
Aku dan Caleb mengikuti Nat menuju ke arah lapangan belakang sekolah. Lokasi ini adalah sarang bagi orang-orang seperti Michael, Wes dan Morgan. Sesampainya di sana, kami melihat Michael sedang bermain skateboard dengan Wes.
Wes menghentikan skateboardnya, diikuti oleh Michael. Pemuda itu menyikut lengan Michael dan berbisik, "Hei, ia mendatangimu duluan--"
Namun sebelum Wes menyelesaikan kalimatnya, Michael menginjak kakinya.
"Nat?" Michael menatapku, Nat dan Caleb secara bergantian. "Ada apa?"
Caleb berdeham. "Em, kau sudah dengar tentang tryout untuk posisi quarterback?"
Michael mengangkat salah satu alisnya. "Iya, lalu?"
Nat melangkah maju. "Kami ingat saat kau melempar helm milik Brian. Kemampuanmu sangat cocok untuk menjadi quarterback."
"Jadi, kau memintaku untuk mengikuti tryout?" Michael melirik ke arah Caleb, ia mengangguk.
"You are our only hope," lirih Caleb.
Michael menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa. Atau bisa kubilang, tidak mau."
"Apa!? Kenapa!? Kau tidak akan tahu kalau belum mencoba!" ucap Nat.
Michael menunduk dan mengusap dahinya. "Bukan, maksudku, bukan karena aku payah dalam berolah raga, tapi aku benar-benar tidak bisa melakukannya."
"Why not?" tanyaku.
"Nevermind, kalian tidak akan mengerti," jawab pemuda itu.
Caleb memohon. "Ayolah, Michael, kau mau membiarkan Hearst High mengalahkan kita?"
"I said no!" Michael meninggikan suaranya hingga Nat terkejut.
Dengan cepat aku meraih tangan Nat dan menatap Michael dengan tajam. Ekspresi pemuda itu melunak ketika menyadari sudah membuat kesalahan.
"Easy, Mike!" desisku.
Michael melirik ke arahku kemudian ke arah Nat, kemudian menghela napas berat. "I'm sorry."
"Ck, terserah." Nat berdecak dan perlahan menggelengkan kepalanya, kemudian pergi meninggalkan Michael.
Aku dan Caleb berlari untuk mengejarnya. Akhirnya, kami memutuskan untuk pulang dan berusaha melupakan apa yang terjadi hari ini.
Aku sedikit lega karena klub band berhasil menyelesaikan konflik internalnya, namun aku merasa sedikit khawatir dengan tim football. Cepat atau lambat, mereka harus menemukan pengganti Brian.
Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙
******
GLOSSARIUM
Roller Skating Rink: Arena bermain roller skate indoor. Biasanya dilengkapi dengan musik latar dan lampu berwarna-warni
Quarterback Tryout: Tes praktik untuk menentukan pemain Quarterback yang baru
******
Hi there🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro