Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1

Trang!

Belatinya terjatuh karena tandanganku ke tangannya. Benda itu terlempar jauh. Euforia-ku terinterupsi saat dia menarik tubuhku, membantingnya ke lantai.

"Arghh!" erangku kesakitan.

Kurasakan kakinya memijak bahuku. "Aeera Himeka ... kau memang cantik!" ucapnya sembari memutar kakinya, memeras darah dari luka yang dia buat di sana dengan belatinya sebelum ini. Senyumnya tampak mengerikan saat mata kami bertemu.

5 detik ....

10 detik ....

Dia akhirnya mencampakanku, lebih memilih sebotol air ketimbang menolongku setidaknya untuk duduk. Setelah puas membantaiku dengan brutal, dia–seniorku–menegak habis sisa air minum milikku. Dia melenggang begitu saja setelahnya. Tak memperdulikanku yang bisa saja mati di sini. Dengan tubuh sesakit ini, aku ragu bisa kembali ke kamar asrama dengan selamat tanpa membuat keributan berarti.

"Sial," caciku sambil menyeka darah di pelipis. Dia begitu bernafsu menghancurkan kepalaku sampai-sampai lupa, sepatu boots-nya bahkan bisa membuka air mancur darah di kepalaku dalam sekali tendang.

Mulutku gatal sekali untuk meneriakkan kata tolong. Seminimnya, pasti ada droid pengawas yang akan datang untuk mengecek kesini. Lebih beruntung kalau sekalian dibawa ke ruang kesehatan. Aku selalu suka tempat itu. Di sana agak lebih manusiawi dengan dinding putih polos tanpa cela yang begitu terawat. Beda dengan ruang luas ini, yang cat dingingnya terkelupas, ditambah pecahayaan yang minim. Entah sengaja untuk menambah kesan misterius, atau mereka—pihak akademi—memang tidak punya lagi lampu untuk memperbaiki penerangan disini. Tapi, di saat-saat sibuk seperti ini, aku yakin hampir semua droid pergi ke gelanggang untuk mengawasi jalannya duel.

Tubuh si senior masih terlihat, bayangannya panjang terbentang sampai kedekat kakiku. Suara denting berganti ketukan langkah tidak teratur. Senior itu berjalan sambil melompat-lompat dengan senandung pelan, dan sialnya suaranya amat merdu—membuatku ingin terlelap menjemput gelap.

Hening.

Deru nafasku kini menjadi satu satunya suara dalam ruangan luas ini. Tidak seperti biasanya yang selalu ramai oleh fox yang berlatih.  Semua orang berbondong-bondong pergi ke arena untuk menonton duel. Ada fox level D yang menantang senior kelas A. Membuat semua orang terkejut dan penasaran akan kemampuannya.  Aku tidak termasuk dalam golongan itu—lebih memilih berlatih disini, itu lebih baik kalau saja senior itu tidak datang.

Aku ingat betul detailnya. Aku sedang melatih tendangan dan tiba-tiba senior itu berlari sambil menyerang, belati di tangannya siap mengincar leherku. Refleksku yang selambat siput ini, membuatnya berhasil melukaiku walau cuma di bahu—darah mengucur deras dari sana. Tapi, itu lebih baik daripada kepalaku yang terlepas dari badan.

Butuh waktu untukku bisa berdiri tegak dan melangkahkan kaki. Beberapa meter kutempuh dengan tertatih, aku berjongkok meraih belati yang sebelumnya jatuh di lantai. Dia juga tidak mengambil benda ini lagi, padahal cukup sulit mendapatkan senjata sunguhan di tempat ini.

Dengan terseok-seok aku berjalan menuju pintu keluar. Aku melanjutkan langkah, belatinya tak kubuang—anggap saja sebagai bayaran atas luka yang dia buat—dengan itu, kurobek bagian bawah kaos yang kukenakan lalu mengikatkannya ke bahu. Tak perduli tampilanku aneh karna atasanku beralih menjadi crop top. Tapi, itu lebih baik, daripada mati kehabisan darah.

Kakiku memelan seiring dengan menipisnya jarak antara aku dengan tangga. Undakan turun itu menunggu untuk dititi, di ujung tangga ini, adalah sebuah ruang kesehatan yang menjadi tujuanku. Tapi sebelum anak tangga pertama kutapakki, pandanganku memburam.

Lanskap blur yang terlihat, mulai berputar. Aku mencoba mengembalikan titik fokus dengan menggelengkan kepala. Tapi, itu sia-sia. Tubuhku lemas, lukaku perih tersiram keringat dan tenagaku seolah direnggut oleh tangan tak kasat mata. Tubuhku tersentak jatuh kesamping dan walau kepalaku terbentur dinding, aku beruntung karna tidak terjatuh ke arah depan. Tubuhku tak harus menggelinding jatuh menggantikan kaki menuruni tangga.

Dengung statis memenuhi kepalaku. Semuanya menggelap sedetik setelah kulihat sepasang sepatu terhenti tepat di dekatku. Hal terakhir yang kuingat, pemilik sepatu itu berjongkok, dia mengatakan sesuatu tapi suaranya terblokir oleh gaung mengganggu itu. Usapan tangannya di keningku mengantarkanku pada gelap beserta semua mimpi-mimpi buruk yang tak berhenti menghantui.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro