Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Demam

Wattpaders yang belum ramaikan, yuk jangan lupa ramaikan. Masukin juga cerita ini ke library biar bisa dapat notif tiap kali update.

Cade Abimanyu, Anak bungsu keluarga Abimanyu

===========

Reyga memutar kemudi dan putar balik. Arahnya yang berniat menuju galeri perhiasan dia urungkan lantaran Kiana mendadak demam.

Saat check out dari hotel, dia meminta izin Nenek untuk membawa Kiana membeli cincin baru. Sementara yang lainnya langsung menuju arah pulang. Pun nenek akhirnya ikut serta bersama mereka. Kecuali Raven yang langsung bertolak menuju kantor.

"Kamu yakin kita nggak ke rumah sakit aja? Wajah kamu makin pucat, Kiana."

Wanita di sebelahnya kekeh menggeleng. "Nggak apa-apa. Aku cuma kecapean. Minum parasetamol dan istirahat udah cukup kok."

Sudah Reyga duga, kepulangannya kembali membuat Nenek terkejut. Wanita tua itu langsung mengernyit melihat dua orang itu muncul di rumah.

"Kalian nggak jadi beli cincin baru?" tanya Nenek heran. Dia baru saja membereskan barang bawaannya selama menginap di hotel tempat acara pertunangan cucunya itu berlangsung.

"Lain kali, Nek. Kiananya lagi nggak enak badan."

Mata tua itu menatap cucunya dengan pandangan khawatir. "Bawa Kiana ke kamarnya, Reyga. Nenek buat teh hangat dulu."

Sebenarnya Kiana tidak ingin membuat siapa pun cemas dengan kondisinya. Namun badannya benar-benar tidak nyaman. Dia menggigil, tapi suhu badannya naik. Tidak ada yang ingin dia lakukan lagi selain tidur. Dan begitu Reyga memberinya obat, dia pun langsung mencari posisi nyaman untuk rebah.

"Kamu pulang aja, Rey. Aku nggak apa-apa kok. Ada nenek," ucap Kiana lemah. Dia paksakan tersenyum meskipun sebenarnya dirinya kesakitan. Pun ketika acara sarapan bersama pagi tadi. Dia memaksakan diri hadir demi tidak membuat semuanya cemas.

Daripada berkumpul dia lebih ingin menyendiri dan kembali meratapi nasibnya yang malang. Jujur melihat Reyga masih baik padanya, membuatnya makin hancur. Seandainya pria itu tahu kalau harga dirinya sudah porak-poranda, mungkinkah Reyga masih mau menerimanya?

"Aku kan masih cuti. Jadi, aku bakal nemenin kamu," ujar Reyga seraya menyentuh lengan Kiana. Bertepatan dengan itu matanya tanpa sengaja melihat bercak kemerahan mengintip dari balik cardigan yang Kiana kenakan. Dahinya sempat berkerut, tapi tak lama lantaran dia langsung mengabaikan. Mungkin itu cuma gigitan nyamuk saja. "Kamu mau lepas scraf-nya?"

"Nggak, jangan," sahut Kiana cepat seraya memegangi scraf yang melilit lehernya. Dia menelan ludah takut. Kalau sampai scraf ini lepas, Reyga akan melihat semua jejak yang Raven tinggalkan di sana. "Aku dingin, Rey."

"Hm, oke. Kupikir itu bakal mengganggu."

"Aku nyaman kok." Kiana baru bernapas lega ketika Reyga tidak mempermasalahkan itu lagi.

Reyga membiarkan tunangannya itu terlelap, sementara dirinya masih tetap di sana sembari sesekali mengecek pekerjaan. Raganya memang cuti, tapi tetap saja gangguan dari kantor tidak bisa dihindari.

Tiap satu jam sekali, dia akan mengecek suhu badan Kiana dan mengganti air kantong kompres dengan yang baru.

"Jangan, Kak. Jangan begini..."

Reyga yang hendak melangkah keluar kamar menoleh mendengar rintihan Kiana. Dia agak terkejut Kiana merintih di tengah tidurnya.

"Tolong, jangan, Kak."

Cepat-cepat Reyga menghampiri tempat tidur. Dia yakin Kiana tengah mengalami mimpi buruk. "Kiana ...." Reyga menyentuh pipi Kiana, menepuknya pelan. "Kiana...."

Wajah Kiana terlihat gelisah dan keringat dingin bermunculan. Reyga makin gencar membangunkan wanita itu karena cemas. Usahanya tak sia-sia ketika pada akhirnya Kiana membuka mata.

"Reyga!" seru Kiana langsung menghambur ke pelukan pria itu dan tangisnya pecah. Tubuhnya bergetar hebat, rasa takut kembali merudungnya.

"It's okay, Ki. Aku di sini," ucap Reyga seraya mengusap punggung Kiana. Pakaian wanita itu basah. Kiana banjir keringat. Meski begitu, Reyga bisa merasakan demam wanita itu sudah menurun.

Kiana menyadari tingkahnya yang berlebihan. Dia segera menghentikan tangis lantaran takut membuat Reyga curiga. Dirinya pun segera menjauh.

"Maaf, Rey. Tadi aku mimpi buruk," ujarnya seraya mengusap pipinya yang basah.

"Kamu lagi nggak enak badan. Wajar kok kalau mimpi buruk. Kamu keluar banyak keringat, mau ganti baju dulu?"

Tanpa pikir panjang Kiana mengangguk. Hal itu membuat Reyga otomatis berdiri dan keluar dari kamar untuk memberi waktu Kiana berganti pakaian.

Begitu Reyga hilang dari pandangan, Kiana sontak membuang napas sembari memegangi dahinya. Dia menyugar rambutnya yang lepek dan penuh keringat. Ya Tuhan, dia masih bisa merasakan sentuhan tangan Raven di sekujur tubuhnya. Itu terlalu menakutkan, bahkan sampai terbawa mimpi. Di mimpi itu Raven seolah kembali memaksanya. Demi apa pun itu adalah mimpi terburuk sepanjang hidupnya.

***

"Kenapa balik lagi? Ada yang ketinggalan?"

Sekitar beberapa menit lalu Reyga baru saja pulang dari rumah Kiana. Seharian ini pria itu sudah menjaganya. Kiana tidak mau lebih merepotkan lagi dan memaksa Reyga pulang. Namun, belum sampai sepuluh menit berlalu pintu kamarnya kembali terbuka. Lalu langkah seseorang terdengar mendekat. Kiana tahu itu bukan langkah nenek.

Beberapa saat tidak terdengar sahutan dari Reyga. Kiana yang tiduran dengan posisi miring membelakangi arah pintu, mengenyitkan dahi. Dia menggeser tubuhnya dan membalikkan badan.

"Rey—" tenggorokannya seperti tercekat melihat sosok pria yang bukan Reyga berdiri tidak jauh dari ranjang tidurnya. Refleks dia bergerak mundur sembari menarik selimut tinggi-tinggi. "M-Mau apa kamu ke sini?" tanya Kiana tergagap. Ketakutan serta-merta datang menyerbu. Pasalnya yang datang saat ini adalah Raven.

Pria itu tampak masih mengenakan pakaian formal. Hanya saja lengan kemejanya sudah dia gulung hingga siku.

"Aku mau tau keadaan kamu. Reyga bilang kamu demam tinggi."

Mendengar itu Kiana sontak membuang muka. Setelah semua yang pria itu lakukan, sekarang dia pura-pura peduli. "Aku nggak apa-apa. Silakan kamu pergi," ucapnya tanpa memandang paras tampan itu. Dia agak waswas. Tanpa sadar tubuhnya pun gemetar. Apalagi saat ini dirinya sendirian lantaran nenek sedang menghadiri ulang tahun temannya yang tinggal di panti jompo.

Raven terlihat meletakkan sesuatu di atas nakas. "Aku bawa ini. Ini salep buat luka vagina."

Kiana agak terkesiap mendengar itu dan makin mengeratkan cengkeraman pada selimutnya. "I-itu—"

"Aku bisa bantu mengolesnya di tempat yang sakit."

"Nggak!"

Pria itu gila! Bagaimana bisa dia sepercaya diri itu? Refleks Kiana merapatkan kaki. Dia tidak akan membiarkan Raven menyentuhnya lagi.

"Oke kalau kamu bisa melakukannya sendiri." Raven bergerak mendekat, tangannya terjulur. Menempelkan punggung tangannya ke dahi Kiana.

Semua terjadi begitu cepat membuat Kiana tersentak sampai tidak sempat menghindar.

"Badan kamu masih hangat," ujar Raven seraya menarik tangannya kembali.

Demi apa pun, Kiana mendadak panas dingin saat Raven menyentuhnya tadi. Padahal itu hanya berlangsung sebentar.

"Kamu mau makan sesuatu?"

"Nggak. Aku nggak mau makan apapun. Sebaiknya kamu pulang."

Alih-alih menuruti permintaan Kiana, Raven malah menarik kursi dan duduk di dekat ranjang tidur wanita. "Aku jagain kamu malam ini. Nenek sedang nggak ada di rumah kan?"

"Nenek sebentar lagi pulang." Kiana tidak mau berlama-lama terjebak bersama Raven. Kejadian kemarin malam masih menyisakan trauma yang mengerikan. Apa lelaki itu tidak sadar Kiana demam karena perbuatannya?

Namun bersamaan dengan itu,  ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan muncul. Wajah Kiana sontak menegang saat membaca pesan di layar ponsel. Nenek menginap di panti!

Diam-diam dia melirik Raven. Pria itu tidak boleh tahu kegelisahannya.

"Kalau gitu aku di sini sampe nenek datang. Setelah itu aku baru pergi."

Ya Tuhan! Kiana memejamkan mata. Dia sama sekali tidak ingin berurusan dengan pria itu lagi. "Itu nggak perlu. Aku mau sendiri."

"Kamu nggak bisa mengusirku, Kiana."

Candra pernah bilang bahwa di antara empat bersaudara, Raven-lah yang paling keras kepala. Interaksi tipis antara Kiana dan Raven membuat wanita itu tidak bisa membuktikannya. Namun, malam ini   kata-kata Candra benar-benar terbukti. Raven bersikeras menungguinya.

Kehadiran Raven di sekitarnya malah membuat tubuh Kiana menggigil lagi. Dia tidak peduli apa yang akan Raven lakukan selama pria itu tidak mencoba mendekat.

Lantaran merasa tubuhnya tidak nyaman, dia pun merapatkan selimut. Kiana makin tidak mengerti dengan kondisinya sendiri. Rasa sakit di sekujur tubuh membuatnya tidak bisa beristirahat dengan tenang. Dia merasakan kembali panas di seluruh badannya. Kepalanya bahkan berdenyut kencang dan sakit luar biasa.

Di tengah ketidak-berdayaannya, dia melihat bayangan seseorang yang tampak begitu sibuk mengurus dirinya. Meski matanya terkatup rapat dan sulit terbuka, Kiana bisa merasakan bahwa ada seseorang yang menyeka dahi dan lehernya, memberinya obat dan minum, serta memijat kakinya.

Pijatan di kaki membuatnya merasa nyaman. Dan tidak lama akhirnya wanita itu bisa tidur dengan tenang.

Saking tenangnya, Kiana baru membuka mata saat berkas cahaya dari arah jendela memapar tepat ke wajahnya. Entah pukul berapa dia terlelap, yang pasti badannya saat ini terasa lebih ringan, tidak seberat semalam.

Akan tetapi sejurus kemudian dia menyadari ada sesuatu yang terasa janggal.  Mendadak Kiana bisa merasakan ada napas lain yang berembus di dekatnya, menggelitik cuping telinga. Tepat ketika kepalanya menoleh ke samping secara perlahan, dan tatapnya menangkap sosok Raven yang terlelap nyenyak di sisinya, wanita itu menjerit seketika.


Kira-kira Raven bakal diapain Kiana? Atau Kiana yang diapain Raven?🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro