Chapter Eight
Keduanya tangannya penuh membawa bola futsal untuk di simpan di dalam ruangan olahraga. Mempunyai kesukaan terhadap permainan itu, membuat ia menjadi dekat dengan guru olahraganya. Hal baiknya adalah ia bisa mendapatkan nilai dengan mudah kalau begitu. Namun, buruknya ia selalu mendapat tugas untuk mengembalikan barang yang dipakai saat berolahraga, mungkin karena hanya dirinya yang dipercaya oleh Mr. Sam.
Ruang penyimpanan barang-barang olahraga berada di lantai dua dan berdekatan dengan laboratorium kimia. Saat melewati ruangan penuh bahan kimiawi itu, seseorang tiba-tiba saja keluar dan mengagetkan Alex sehingga ia terlonjak dan bola-bola yang ia pegang jatuh berhamburan berguling-guling menjauh.
"Astaga! Kau mengagetkanku!"
"Maaf ... maaf." Edgar segera membantu mengambil bola-bola itu kembali, yang untungnya tidak pergi terlalu jauh.
"Trims." Kini benda bulat itu sudah kembali ke tangannya.
Saat hendak pergi Alex mengurungkan niatnya saat melihat, Erik teman sekelasnya keluar dari ruangan tadi dan menghampiri Edgar.
"Kau melupakan ini," kata Erik memberikan sebotol bahan kimia pada laki-laki.
Alex heran mengapa Erik bisa ada di sana, padahal mereka baru saja selesai olahraga dan setelah ini adalah pelajaran bahasa bukan kimia. Karena penasaran ia kembali menemui kedua orang itu dan memandang curiga.
"Mengapa kau ada di sini?" tanyanya pada Erik.
Erik terkejut melihat Alex dan langsung gelagapan. Seperti seorang yang ketahuan mencuri, buru-buru laki-laki pergi sambil berlari.
"Ada apa dengan dia?"
Berbeda dengan Erik, Edgar tampak tenang dan santai. Dengan dagunya ia menunjuk ke arah laboratorium. "Ia ikut belajar dengan kelas kami."
"Lalu kenapa dia ketakutan?"
"Dia membolos mata pelajaran dan kau adalah murid kesayangan guru olahraga. Sekarang mengerti?"
Baiklah tentang hal itu, Alex paham. Namun, mengapa Erik mengikuti kelas lain yang belajar kimia. Pikirannya kembali teringat meja kelompok satu hari itu. Erik salah satu anggotanya, keanehan ini membuat ia berpikir bahwa ada yang disembunyikan kelompok satu dan terutama Erik.
"Jangan mencurigainya, ia hanya siswa yang sangat menyukai kimia. Sudah sana kembalikan bola-bola itu, sebelum benda itu kembali jatuh dan menyusahkanmu." Edgar memasukkan botol tadi kesakunya dan meninggalkan Alex yang sekarang malah menatap kepergian laki-laki itu sama curiganya terhadap Erik.
***
Penasaran dengan Erik, siang pulang sekolah, ia batal menemui Eva dan memilih membuntuti Erik. Eriko Baverta adalah siswa yang menempati posisi lima besar di kelas, laki-laki tidak dan bahkan anti dengan pelajaran yang melibatkan fisik seperti olahraga, dan lebih suka memainkan otaknya dengan matematika, fisika dan kimia.
Meski begitu, laki-laki itu memiliki tubuh yang cukup atletis untuk seseorang yang jarang berolahraga. Erik adalah salah satu dari beberapa siswa di kelas yang tidak tinggal di asrama. Laki-laki dengan tinggi yang sama dengan dirinya itu berasal dari keluarga yang cukup kaya dan selalu di antar jemput.
Namun, hari ini Alex beruntung. Erik tidak dijemput seperti biasanya, laki-laki itu dengan diam-diam pergi ke halte untuk menunggu bus. Hal yang tidak biasa juga aneh. Membuat rasa penasaran Alex kian tinggi terhadap dia.
Berusaha agar Erik tidak curiga ia membuntutinya, Alex meminjam jaket hoodie milik temannya lalu menyempatkan membeli masker di koperasi sebelum mengikuti Erik masuk di bus yang sama. Ia memilih berdiri sedikit jauh dari tempat laki-laki itu duduk, juga karena ia tidak kebagian bangku akhirnya ia berdiri di bagian belakang bus sambil terus mengamati Erik.
Ia turun di halte pertama yang dilewati bus yang mereka naiki. Dengan berhati-hati dan berusaha kuat agar tidak terlalu mencolok, ia kembali mengikuti Erik yang berjalan masuk ke sebuah Kafe. Tidak ramai meski di jam makan siang.
Alex terkejut saat melihat Lily sudah menunggu dirinya di sebuah meja. Ini begitu mengejutkan, apa yang sebenarnya Erik sembunyikan selama ini? Apa hubungannya dengan Lily?
Agar tidak ketahuan Alex mau tak mau ikutan memesan sebuah menu di meja berdekatan dengan dua orang yang sedang ia intai tersebut. Menajamkan telinga terhadap pembicaraan kedua orang tersebut.
"Peluang kita besar. Kali ini kita pasti bisa."
Lily tampak meyakinkan Erik yang sepertinya tidak bersemangat. Gadis itu menyentuh telapak tangan Erik, wajahnya dihiasi senyum semangat. "Saingan kita tidak ada lagi."
"Merry dan Anya tidak akan bisa menghalangi kita lagi."
Alex memejamkan matanya, begitu terkejut dengan apa yang ia dengar. Jangan-jangan mereka merupakan orang di balik teror selama ini. Mengondisikan keinginan untuk melabrak keduanya, ia mencoba menggali lebih banyak informasi dengan mendengarkan mereka.
"Ini salah, Lily. Aku tidak bisa lebih jauh lagi dari ini. Bagaimana kalau kita ketahuan? Kita tamat. Tidak ada harapan." Erik mengusap wajah begitu frustasi.
"Sudah sejauh ini. Mau kau berhenti atau tetap lanjut, risikonya sama saja."
Lily berhenti bicara saat benda pintar di meja dengan tangannya bergetar dan berbunyi. Ia buru-buru mengangkat dan berdiri. "Sebentar." Setelah permisi kepada Erik ia berjalan ke arah toilet.
Entah apa yang membuat Alex melakukan tindakan nekat mengikuti gadis itu sampai ke toilet. Untungnya ia tidak masuk hanya berdiri di lorong yang dekat dengan pintu toilet.
Alex bersembunyi di dekat palem hiasan yang tumbuh di pot keramik di salah satu sisi lorong itu. Agar tidak dicurigai ia juga mengeluarkan ponselnya dan meletakkan di telinganya sambil sesekali bergumam seperti sedang menelepon.
"Aku berada di luar sekolah sekarang, Miss Kely."
Agak kecewa karena ternyata orang menghubungi Lily adalah wanita menjengkelkan itu. Alex memutuskan untuk pergi dari sana, karena perempuan yang mau ke kamar mandi melihatnya curiga, ia tidak ingin disangka ingin mengintip.
Saat ia balik ke mejanya, ia melihat Eva masuk ke kafe. Karena penasaran mengapa gadis itu bisa ada di sana ia menghampirinya. Kafe yang mulai ramai membuat suaranya tidak dengar Eva ketika ia memanggil nama perempuan itu.
Ia menjadi menarik tangan gadis itu untuk mendapat atensinya. Hak yang tidak diperhitungkan Alex sebelumnya terjadi. Eva berteriak ketakutan dan memukul tangan Alex agar melepaskan dirinya. Merasa tidak ada yang salah, laki-laki itu malah mengejar Eva yang berlari keluar.
"Eva, ada apa?"
Alex bertanya, tetapi lagi-lagi tidak di dengar karena ributnya cafe itu. Saat ia sudah dekat dengan Eva, tiba-tiba saja pukulan keras menghantam wajahnya hingga ia jatuh tengkurap dan tubuhnya menghantam lantai dengan cukup keras. Tak berhenti di situ, Seseorang menarik ia sampai berdiri dan membuka tudung jaketnya juga masker yang ia pakai. Eva yang melihat itu terkejut.
"Alex?"
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro