Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(15) Warta Pancadasa : Sungai Perantara Waktu

| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |

Di batas alam kesadarannya yang begitu kabur tak berbayang, sekujur tubuh Bayu seakan mengambang melayang-layang, terbawa arus deras di tengah-tengah dalamnya sungai tempat ia tenggelam. Helaan napasnya terasa begitu berat hingga menyesakkan dada, kepalanya hampir mati rasa akibat menderita sakit yang terlalu berat. Perlahan lelaki itu mencoba membuka kelopak matanya, dan mendapati dirinya berada di dalam mata air tempat ia bersama Ayuni melompat beberapa waktu yang lalu.

Sekonyong-konyong muncul pertanyaan bertubi-tubi di benak Bayu saat ini. Mengapa ia bisa ada di mata air ini? Apakah dia kembali ke masa depan, dan meninggalkan Ayuni di masa lalu sendirian? Bagaimana mungkin tiba-tiba ia dapat pulang kemari? Bukankah tugasnya sebagai Purnawarman belum selesai? Bagaimana jika Ayuni harus menghadapi permasalahan di zaman Tarumanegara itu sendirian tanpa dirinya? Apa yang sebenarnya telah terjadi?

"BAYU!"

"AYUNI! BAYU!"

Sayup-sayup Bayu mendengar seruan banyak orang memanggil namanya dengan lantang dari atas permukaan air. Ia pun berusaha menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk berenang menuju ke atas, sebelum ia kehabisan pasokan oksigen dari paru-parunya dan membuatnya mati tenggelam. Namun ketika ia hampir mencapai daratan, mendadak kedua kakinya ditarik oleh bayangan gelap yang membuat kembali terbawa ke bawah dalamnya sungai tersebut.

Bayu dengan susah payah berupaya melawan agar ia dapat kembali ke permukaan, tetapi energinya telah terkuras habis, membuatnya menyerah tak berdaya. Tubuhnya kembali kehilangan kekuatan untuk mengayuh, hingga perlahan ia terperosok semakin jauh di dalam mata air tersebut. Seberkas sinar kembali meredup di pandangan Bayu, sebelum akhirnya kedua netra lelaki itu terpejam lagi. Mengambang tenggelam dengan keadaan tidak sadarkan diri.

Bersama jiwanya yang kini ikut terperangkap di sana.

| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |

Berita mengenai Putra Mahkota Purnawarman yang jatuh pingsan ketika menyambangi pasar pekan rakyat di Ibukota Sundapura pun menyebar dengan cepat seperti debu yang ditiup angin kencang. Tentu saja kejadian tersebut menimbulkan berbagai tanggapan dan reaksi dari semua orang yang mendengar kabar itu. Bagi beberapa pihak yang bertentangan dengan Kerajaan Tarumanegara, informasi ini mungkin menjadi kabar yang menyenangkan, karena saat ini kerajaan tersebut sedang diterpa masalah secara bertubi-tubi, terjadi penculikan rakyat di daerah pesisir pantai - tertundanya pernikahan Putra Mahkota dengan calon Permaisurinya - prahara kelicikan para Petinggi Kerajaan kubu kiri yang mendapatkan hukuman diasingkan - hingga ambruknya Purnawarman secara tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya.

Ratungganara sedari tadi duduk di sebelah peraduan tempat Purnawarman berbaring, kukuh menggenggam telapak tangan lelaki itu yang terasa dingin dan kaku, seraya melantunkan do'a yang ia tujukan pada para Dewa agar memberikan keselamatan pada Purnawarman. sedangkan Cakrawarman bersama para prajuritnya sedang berada dalam perjalanan menuju Tanjung Barat untuk menjemput tabib kerajaan, agar Purnawarman bisa segera mendapatkan penanganan tepat dan perawatan khusus. Raja Dharmayawarman selaku Pemimpin Istana pun langsung mengumumkan pembatasan keluar masuknya orang ke dalam Ibukota Kerajaan, sebagai upaya pencegahan terjadi huru-hara yang tidak diinginkan selama proses pemulihan keadaan dari Putra Mahkota, Purnawarman. Seluruh pasukan militer kerajaan dikerahkan untuk menjaga dan mengawasi ketat pintu gerbang Ibukota Sundapura, mengantisipasi adanya serangan mendadak dari pihak musuh. Karena keamanan rakyat tetap menjadi prioritas utama di tengah keadaan genting seperti ini.

Ratungganara tanpa henti berbisik lirih merapalkan do'a sembari mengusap-usap lembut telapak tangan Purnawarman, dengan harapan lelaki itu bisa lekas siuman dari posisinya tidak sadarkan dirinya saat ini. Air mata perempuan itu tidak dapat berhenti menetes, meskipun ia tidak mengeluarkan suara tangisan sedikit pun karena ia berusaha menguatkan diri. Perempuan tersebut tak bergeser barang sedikitpun dari posisi duduknya, sabar menunggui Purnawarman di sampingnya, hingga dirinya lupa menyantap makanannya, bahkan tidak sempat berganti pakaian.

"Nyuwun pangesthu, Raden Ayu. Hamba izin masuk ke dalam," ujar Yu Ratih, pelayan setia Ratungganara dari sejak ia balita sampai saat ini. Ia memutuskan untuk membawa Yu Ratih dari Salakanegara ke Tarumanegara untuk menemani sekaligus melayaninya, karena dirinya kurang memercayai pelayan dan dayang yang sudah disediakan oleh Kerajaan Tarumanegara.
Ratungganara hanya mengangguk kecil tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Mengapa Raden Ayu belum menghabiskan makanan yang telah Yu Ratih bawakan?"
Yu Ratih memanggil Ratungganara dengan sebutan 'Raden Ayu' karena ia merupakan putri sulung dari Raja Salakanegara, yang berarti dia mempunyai garis suksesi utama untuk mewariskan tahta kerajaan. Maka dari itu Ratungganara bergelar 'Gusti Raden Ayu', meskipun nama tersebut sebentar lagi diganti, sebab ia akan segera menikahi Putra Mahkota Purnawarman dan berganti gelar menjadi 'Gusti Kanjeng Putri' dan 'Prameswari' ketika dilantik menjadi Permaisuri setelah dinobatkannya Purnawarman sebagai Raja penerus tahta.

Ratungganara menoleh pada Yu Ratih dengan tatapan sendunya. "Bagaimana bisa aku menyantap hidangan itu, jika Kakanda Purnawarman terbaring lemah begini? Kecemasanku sudah menghilangkan selera makanku."

"Ampun beribu ampun, wahai Raden Ayu. Mohon tenangkan diri anda, tabib kerajaan sedang menuju kemari untuk memberikan pertolongan terbaik bagi Putra Mahkota. Hamba khawatir jika Raden Ayu ikut jatuh sakit apabila tidak memakan dan meminum apapun, dan hamba yakin Putra Mahkota tidak ingin melihat Raden Ayu dalam keadaan nelangsa begini."

Ratungganara memalingkan wajahnya dari Yu Ratih, lantas ia kembali menatap lekat Purnawarman. "Aku takut, aku sungguh takut bila terjadi sesuatu hal yang buruk menimpanya. Bagaimana kalau dia tidak dapat terbangun lagi?"

"Jangan berputus asa atas kuasa Dewa, wahai Raden Ayu. Hamba percaya bahwa para Dewa selalu melindungi Putra Mahkota." ucap Yu Ratih menghibur Tuan Putrinya.

Ratungganara hanya memanggutkan kepalanya perlahan.

"Hamba mendapatkan kabar jika rombongan Pangeran Cakrawarman sedang dalam perjalanan kembali ke Ibukota Sundapura bersama Empu Bamang, seorang Guru Sakti pendiri padepokan Adikara Ageng dari Tanjung Barat. Semoga dengan mendengar berita itu, kegundahan hati yang dirasakan Raden Ayu dapat berkurang." tutur Yu Ratih.

Ratungganara tersenyum lega, lantas mengangguk kecil. Ia sungguh mengenal sosok Empu Bamang, namanya begitu tersohor sampai ke seberang pulau, sebab ilmu kebatinan dan kesaktian yang dikuasainya paling kuat di seluruh penjuru nusantara. Raja Dharmayawarman adalah salah satu murid terbaik hasil didikan Empu Bamang.

"Terima kasih, Yu Ratih. Aku benar-benar berterima kasih padamu, kau selalu tahu bagaimana cara untuk menenangkanku di saat diriku bermuram gelisah."

"Sudah menjadi kewajiban hamba untuk melayani Raden Ayu dengan sebaik-baiknya,"

Ratungganara menghela napas sebentar, kemudian ia menegakkan punggungnya. "Yu Ratih, suruh Kepala Pelayan agar segera menyiapkan meja makan untukku disini, dan tolong bawakan secarik kertas beserta bulu tintanya. Aku berniat mengirimkan surat permintaan bantuan kepada keluargaku di Salakanegara sekarang."

Yu Ratih menundukkan tubuhnya dengan khidmat. "Sendhiko dhawuh, Raden Ayu."

| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |

"Sungguh mengherankan, bagaimana bisa Putra Mahkota tiba-tiba tak sadarkan diri tanpa diketahui penyebabnya? Dia bukanlah lelaki yang lemah, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, betapa keras dan sulitnya setiap tahapan latihan fisik yang ia jalani selama bertahun-tahun, demi memantaskan diri meneruskan tahta Kerajaan Tarumanegara." Empu Bamang berkomentar usai mendengarkan tentang kronologi jatuh pingsannya Purnawarman yang diceritakan oleh Cakrawarman.

"Tidak ada yang tahu jawabannya, Guru. Maka dari itu, kami benar-benar mengharapkan kerelaan Guru untuk memulihkan serta menyadarkan Putra Mahkota dari posisi terlengarnya." balas Cakrawarman memohon pada Empu Bamang.

"Tentu saja aku akan merawatnya, dia sudah kuanggap cucuku sendiri. Begitu pun dirimu, Pangeran Cakrawarman. Aku akan melindungi dan menjaga kalian dengan segenap kemampuan yang diriku punya saat ini."

"Terima kasih atas kemurahan hati Guru, sungguh kami sangat beruntung."

Pasukan berkuda pengiring Cakrawarman bersama Empu Bamang melaju dengan cepat tanpa hambatan menempuh perjalanan kembali ke Sundapura dari Tanjung Barat, melewati jalur setapak kecil membelah hutan lebat, agar pihak musuh dari Tarumanegara tidak bisa melakukan penyerangan terhadap rombongan yang membawa tabib kerajaan, karena pergerakan mereka tidak dapat terdeteksi ataupun terbaca oleh orang-orang tersebut.

Salah satu prajurit mendekat ke arah kuda tunggangan Cakrawarman, sepertinya ia membawa pesan yang ia dapatkan dari mata-matanya. Cakrawarman yang menyadari gerak-gerik ganjil prajuritnya itu pun segera bertanya padanya.

"Adakah sesuatu yang ingin kau sampaikan untukku?" tanyanya.

"Benar, Yang Mulia. Hamba hendak memberitahu bahwa di waktu yang sama, rombongan dari Kerajaan Indraprahasta sedang berjalan menuju Tarumanegara. Rombongan itu dipimpin langsung oleh Raja Maharesi Sentanu Murti." cakap prajurit itu membeberkan berita yang ia dapatkan.

Cakrawarman mengerutkan dahinya tidak percaya, bagaimana bisa kerajaan tersebut tidak punya malu dan bersikap tidak tahu diri seperti itu? Setelah mereka terang-terangan melakukan pengkhianatan, mereka masih memiliki muka untuk berkunjung ke Tarumanegara? Benar-benar memuakkan.

"Apakah di rombongan itu ada bangsawan perempuan yang ikut?" tanya Cakrawarman kemudian.

Prajurit itu tampak kebingungan dengan pertanyaan yang dilontarkan Cakrawarman. "Mohon maaf, Pangeran?"

Lelaki itu mendecakkan lidahnya kesal, menyadari jika kalimatnya terdengar aneh dan terkesan rancu. "Maksudku, apakah Dyah Maheswari Bajramuara ikut serta dalam rombongan tersebut?"

"Ah, benar, Yang Mulia. Tuan Putri Maheswari turut berada di dalam rombongan tersebut. Kabarnya, mereka hendak mengantarkan Tuan Putri sebagai calon mempelai untuk Pangeran."

Cakrawarman terperangah tak percaya usai menyimak pernyataan dari Prajuritnya, ia hampir lupa bahwa Purnawarman telah menjodohkannya dengan Maheswari ketika Konferensi Kerajaan beberapa waktu yang lalu. Namun mengapa Kerajaan Indraprahasta harus tergesa-gesa menyerahkan Putri mereka kepadanya? Lagipula, situasi Tarumanegara pun sedang tidak kondusif akibat Putra Mahkota yang pingsan mendadak dan belum siuman hingga sekarang. Apakah mereka mempunyai rencana licik terselubung di balik itu?

Akhirnya lelaki itu menganggukkan kepalanya. "Terima kasih sudah menyampaikan beritanya padaku. Kita harus bergegas kembali ke Tarumanegara agar Putra Mahkota bisa segera mendapatkan perawatan yang dia butuhkan. Aku pun harus menjamu rombongan dari Indraprahasta yang sebentar lagi tiba di kerajaan kita."

"Sendhiko dhawuh, Pangeran." jawab Prajurit itu sembari membungkukkan tubuhnya, kemudian pamit menjauh dari hadapan Cakrawarman dan Empu Bamang, lalu kembali ke barisan pengiring.
Cakrawarman mendongakkan kepalanya, lantas menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum ia hembuskan perlahan. Ia mulai mengatur pikiran dan menata perasaan untuk menyambut kedatangan dari rombongan Kerajaan Indraprahasta. Dirinya tidak boleh lepas kendali dan berbuat hal nekat jika nanti Raja Maharesi Sentanu Murti bersikap manipulatif di depan ayahandanya, Raja Dharmayawarman. Meskipun Cakrawarman sangat membenci Indraprahasta, namun ia harus bisa menahan diri, agar tidak terjadi konflik kericuhan yang semakin memperburuk keadaan.

Menyaksikan Cakrawarman yang tampak gelisah, Empu Bamang pun membuka suara. "Apa yang memberatkan pikiranmu, wahai anak muda? Kau mengkhawatirkan Kakandamu? atau kau mencemaskan kehadiran dari rombongan Raja Sentanu?"

"Keduanya, Guru. Banyak hal yang membebani kepala hamba."

"Aku sudah mendengar kabar tentang pengkhianatan itu. Sri Indariwarman merupakan wanita yang berbahaya, ia pandai, culas, cerdik, dan kejam di waktu yang bersamaan. Meskipun Tarumanegara telah mencabut gelar kebangsawanannya dan mengasingkannya jauh dari peradaban, bukan berarti dia akan berhenti begitu saja. Dengan segala cara, ia akan menuntaskan rasa haus kekuasaannya dan membalaskan kekalahannya. Bisa saja ia kembali berkonspirasi dengan Indraprahasta."

Cakrawarman menghela napasnya perlahan, sepertinya masalah yang tengah dihadapi Kerajaannya saat ini cukup berat. Kini lelaki itu menundukkan kepalanya, merenungi kalimat yang baru saja diucapkan Empu Bamang kepadanya.

"Tapi engkau tak perlu khawatir," Empu Bamang menambahkan. "Para Dewa tidak pernah membiarkan kemunafikan dan kejahatan mengalahkan kebajikan serta keluhuran hati, astungkara."

"Astungkara," balas Cakrawarman pelan.
Pandangan mata dari Empu Bamang menerawang ke depan, memandangi rimbunnya pepohonan di tengah hutan yang menaungi jalur perjalanan mereka, lalu mengalihkan dengan tenang mengalihkan wajahnya pada Cakrawarman.

"Dyah Maheswari Bajramuara, dia adalah perempuan berbudi pekerti. Anggun dan santun perilakunya, halus dan lembut tutur katanya, tangguh dan kuat jiwanya. Satu-satunya keburukan yang ia punya adalah terlahir menjadi Putri dari Kerajaan Indraprahasta. Ayahnya terlalu tamak untuk menjadikannya sebagai alat penyambung hubungan dengan kerajaan besar, seperti Tarumanegara. Maka dari itu mereka bersikeras mengawinkan Maheswari dengan Putra Mahkota Purnawarman, agar derajat Kerajaan Indraprahasta ikut naik apabila Maheswari menjadi Permaisuri.

"Beruntungnya, Kakandamu itu panjang akal, demi menjaga pertalian hubungan dengan Indraprahasta, tetapi tidak merugikan Tarumanegara, ia memutuskan untuk menjodohkanmu dengan Maheswari. Sayangnya, kerakusan Indraprahasta memang tidak terbantahkan, mereka justru mengkhianati kerajaanmu dengan mencoba menculik rakyat pesisir pantai dan bersekongkol dengan Pimpinan Dewan Inti Kubu Kiri kerajaanmu, yaitu Sri Indariwarman."

Cakrawarman diam tak berkutik tanpa suara, ia belum menemukan rangkaian kata yang tepat untuk menimpali pembicaraan Empu Bamang. Akhirnya ia memilih menjadi pendengar saja.

"Jangan salahkan keputusan Purnawarman, wahai anak muda. Seharusnya kau berterima kasih padanya. Karena dengan begitu, kau bisa memanfaatkan Putri Maheswari sebagai 'pusaka' mematikan untukmu. Kau hanya perlu mengasah kemampuannya dan berikan dia kasih sayang agar ia merasa dicintai, lalu dirinya pun pasti rela melakukan apapun untuk melindungimu."

Cakrawarman mengernyitkan keningnya kebingungan, dulu Purnawarman juga sempat berkata seperti itu. Bagaimana bisa ia memanfaatkan Maheswari, jika gerak-geriknya perempuan itu saja belum dapat ia percayai sepenuhnya? Cakrawarman masih menaruh rasa curiga kepada Maheswari, karena bagaimanapun juga asal-usul dari perempuan itu berpengaruh terhadap cara pandang Cakrawarman kepadanya.

"Keraguanmu itu wajar, wahai anak muda. Tapi tidakkah kau mau mencoba untuk memberinya kesempatan? Dia hanyalah seorang perempuan tidak beruntung, dimana nyawanya yang berharga digantungkan pada kesemena-menaan dari perangai buruk Raja Sentanu. Dasar hatinya pun paham bahwa apa yang dilakukan Ayahandanya itu salah, tapi dia tidak bisa melakukan apapun karena ketidakberdayaannya."

Cakrawarman memanggutkan kepalanya setuju. Hidup menjadi seorang perempuan memang terasa sulit di zaman ini. Setinggi apapun derajatnya, tetap saja mereka harus bersujud di bawah kaki lelaki. Ruang gerak mereka pun begitu terbatas, bahkan beberapa orang menganggap perempuan sekadar makhluk penghibur dan penghangat ranjang. Hanya segelintir perempuan yang bisa mempunyai kekuatan dan pengaruh yang besar di era ini.

"Untuk kalangan wanita, Maheswari cukup pandai bermain pedang dan memanah, meskipun tidak semahir calon Permaisuri dari Purnawarman. Kau bisa mengasah kemampuannya jika sering mengajaknya berlatih bersama. Aku yakin dia akan senang jika diizinkan bergabung latihan." tutur Empu Bamang kemudian.

"Guru mengenal Putri Ratungganara?"

"Tentu saja aku mengenalnya, dia merupakan perempuan dengan kemampuan bertarung terbaik di Tanah Jawa, dia pun sangat dihormati oleh kalangan bangsawan kerajaan tetangga. Kau pikir, apa alasan Kakandamu menikahinya? Itu karena Purnawarman mencari sekutu yang kuat untuk dia jadikan pasangan hidup. Purnawarman dan Ratungganara akan saling melengkapi dengan kemahiran, kekuatan, serta kepandaian mereka. Maka dari itu, banyak sekali pihak yang menentang dan berupaya menggagalkan pernikahan mereka."

"Karena dengan begitu, Kerajaan Tarumanegara akan semakin disegani dan tak tertandingi..."

Empu Bamang mengangguk takzim. "Benar."

Cakrawarman diam termenung, sedari awal dirinya memang tidak pernah meragukan kepandaian serta kebijaksanaan dari Purnawarman dalam setiap menangani permasalahan yang ia hadapi. Tetapi mengapa situasi saat ini justru tidak sesuai dengan yang direncanakan dan sulit dikendalikan? Terlalu banyak rintangan yang menghadang, bahkan sebelum Purnawarman resmi dilantik sebagai penerus tahta Kerajaan Tarumanegara. Seakan dapat membaca kegundahan hati Cakrawarman, Empu Bamang pun menepuk-nepuk perlahan punggung lelaki itu.

"Janganlah risau, wahai anak muda. Meskipun kerajaan kalian sekarang menemui banyak kesulitan, namun kelak suatu saat kerajaan kalian akan menjadi yang terbesar dan terkuat di Bhumi Jawa ini. Memang sulit prosesnya untuk menuju ke masa kejayaan, tapi percayalah bahwa dhuwur wekasane, entek wiwitane, akhir yang mulia dimulai dari awal yang sengsara." tutur Empu Bamang memberikan wejangan pada Cakrawarman.

Akhirnya lelaki itu mengangguk pendek, walaupun raut kusut pada mukanya belum bisa hilang sepenuhnya. "Terima kasih, Guru."

"Sepertinya kau terlalu banyak mencemaskan berbagai hal, Cakrawarman. Jangan kau pikul beban seberat itu sendirian," seloroh Empu Bamang kemudian.

"Maafkan hamba, Guru. Hamba hanya menimbang-nimbang, apa yang terjadi jika rombongan kita terlambat sampai ke Ibukota Sundapura dan didahului oleh rombongan dari Indraprahasta?"

Empu Bamang terkekeh pelan sembari mengibas-ibaskan tangannya dengan santai. "Tidak akan terjadi apapun, anak muda. Ayahmu akan mengurus perkara tersebut, lagipula disana pula ada Putri Ratungganara yang bisa diandalkan, jadi kau tidak perlu khawatir. Atau jangan-jangan, kau rindu bertemu Putri Maheswari, ya? Makanya kau ingin bergegas sampai di Sundapura?"

Wajah Cakrawarman seketika memerah padam usai mendengar kalimat yang diutarakan oleh Empu Bamang. "Bukan seperti itu maksud hamba, Guru." lelaki itu berusaha mengelak, namun beliau tampaknya tidak peduli dengan kilahan Cakrawarman.

"Percepat laju kuda kalian, Prajurit! Pangeran kalian ini sudah tidak sabar hendak bertemu dengan calon istrinya!" ujar Empu Bamang berseru lantang dengan tersenyum lebar.

Cakrawarman pun hanya dapat menggelengkan kepala sembari mengurut keningnya dengan pasrah.

| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |

Dengan perlahan dan berhati-hati, tangan Ratungganara yang telah menggenggam pena bulu pun bergerak menggoreskan beberapa tulisan di atas kertas menggunakan tinta hitam. Disaksikan beberapa pelayan dan dayangnya, serta didampingi oleh Yu Ratih, Ratungganara mulai merangkai kalimat di dalam secarik surat yang akan ia tujukan untuk Ayahandanya di Kerajaan Salakanegara. Secara singkat ia menceritakan masalah yang tengah terjadi di Tarumanegara, diawali dari penculikan rakyat pesisir pantai, penundaan pernikahannya dengan Purnawarman, pengkhianatan dari Kerajaan Indraprahasta yang bersekongkol dengan Dewan Internal kubu kiri, kegelisahannya terhadap kondisi Purnawarman yang pingsan mendadak, dan permintaannya kepada Ayahandanya untuk membantu mengawasi sekaligus memata-matai pergerakan dari Sri Indariwarman yang ia curigai sebagai dalang dibalik tidak sadarkan dirinya Putra Mahkota Purnawarman. Ketika sampai di penghujung surat, Ratungganara mendo'akan keselamatan dan kesejahteraan untuk seluruh keluarga dan segenap rakyatnya di Kerajaan Salakanegara.

Setelah menyelesaikan tulisan suratnya dan memastikan jika tintanya sudah kering, perempuan itu pun segera menggulung kertas tersebut dan menyerahkannya pada Yu Ratih. "Berikan pesan ini pada Ayahku, secepatnya." titah Ratungganara.

Yu Ratih menundukkan kepalanya sembari mengambil gulungan kertas tersebut, lantas melangkah mundur, pamit undur diri dari hadapan Ratungganara. "Mituhu dhawuh, Raden Ayu."

Matahari sudah kembali ke ufuk barat, tenggelam di kaki langit dengan mengeluarkan semburat cahaya jingga keemasan. Hal itu menandakan bahwa Purnawarman belum sadarkan diri selama hampir satu hari, dan lelaki itu tidak memberikan tanda-tanda akan segera bangun dalam waktu dekat. Kepanikan serta kekhawatiran yang terasa di dalam seluruh sudut Istana pun menjadi semakin menyebar. Akhirnya ramai muncul desas-desus bahwa Putra Mahkota terkena sihir guna-guna yang dikirimkan dari pihak musuh agar dapat menyerang tanpa ketahuan. Sebenarnya Ratungganara pun beranggapan hampir sama, saat ini Purnawarman pasti menjadi target serangan ilmu hitam dari Sri Indariwarman karena wanita itu tidak terima lalu merasa dendam akibat digusur secara tidak hormat dari Kerajaan Tarumanegara dan dicabut gelar kebangsawanan oleh pengadilan yang diadakan oleh Purnawarman. Maka dari itu ia meminta pertolongan kepada Ayahandanya, Prabu Salakanegara, untuk mengawasi gerak-gerik yang mencurigakan dari Sri Indariwarman yang berpotensi membahayakan Kerajaan Tarumanegara.

"Sri Maharaja Dharmayawarman datang untuk menemui Tuan Putri Ratungganara!" seru Kepala Kasim.

Ratungganara segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian lekas membungkukkan tubuhnya ke arah Raja Dharmayawarman yang berjalan mendekatinya.

"Bangunlah, Putri Ratungganara." ujar Raja Dharmayawarman. Perempuan itu pun kembali ke posisi duduk tegaknya dan menatap lurus ke arah Sang Raja.

"Perihal penting apa yang membawa Yang Mulia jauh-jauh menghampiri hamba ke tempat ini, wahai Raja Dharmayawarman?" tanya Ratungganara kebingungan.

Meskipun terlihat tenang dan kokoh, tetapi secercah gurat kekhawatiran di wajah Dharmayawarman tetap tidak bisa disembunyikan. Pasti ia mencemaskan kondisi putra sulungnya yang terbaring tak sadarkan diri tanpa mengetahui apa penyebab sesungguhnya.

"Kau sudah mendengar berita kedatangan rombongan dari Kerajaan Indraprahasta?" tanya Dharmayawarman.

Ratungganara mengernyitkan keningnya terkejut, lalu menggeleng pelan. "Untuk keperluan apa mereka kesini, Yang Mulia?"

"Aku menduga jika kedatangan mereka saat ini ada sangkut pautnya dengan hasil keputusan pengadilan kerajaan kita yang menyatakan bahwa Indraprahasta bersekutu dengan Dewan Internal kubu kiri untuk mengkhianati kita. Bisa jadi mereka hendak menyuguhkan ucapan manis untuk membantah dakwaan tersebut. Selain itu, mereka sepertinya hendak menyerahkan putri mereka untuk dijadikan garwa padmi* oleh Cakrawarman, sesuai dengan kesepakatan yang diutarakan Purnawarman di konferensi kerajaan beberapa saat yang lalu."

"Janganlah anda termakan bujukan mereka, Yang Mulia. Ingatlah jika Putra Mahkota, Pangeran Cakrawarman, dan hamba turun langsung ke pesisir pantai untuk menyelamatkan rakyat Tarumanegara yang ditawan oleh Kerajaan Indraprahasta."

"Tidak mungkin aku lupa, Putri Ratungganara. Sebab hal itu akhirnya terbongkar konspirasi buruk yang disusun di belakangku, meskipun aku yakin itu belum semuanya terungkap."

Raja Dharwayarman kemudian menyentuh pundak Ratungganara perlahan. "Segera bersiap, karena Cakrawarman masih dalam perjalanan, dan Purnawarman belum sadarkan diri, maka kaulah yang akan menemaniku menyambut rombongan Kerajaan Indraprahasta."

Perempuan itu pun membungkukkan tubuhnya, menunjukkan rasa hormatnya pada Sang Raja. "Sendhiko dhawuh, Paduka Raja. Hamba akan segera bersiap untuk menemui tamu kita."

Dharmayawarman mengangguk. "Kutunggu di pendhopo utama."

Usai mengucapkan hal tersebut, Sang Raja pun pergi meninggalkan ruangan itu, menyisakan Ratungganara yang mulai menata dan membenahi diri yang dibantu oleh para dayangnya. Kemudian ia menoleh ke arah Kepala Kasim yang bersiaga menjaga Purnawarman.

"Tolong... apapun yang terjadi, perhatikan dan awasi Putra Mahkota." pintanya lirih.

| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |

Bayu kembali membuka kelopak matanya, lalu menyadari bahwa ia belum berpindah dari kedalaman air sungai yang telah menenggelamkan dirinya. Dirinya mengira jika ia akan mati atau kembali terbawa ke masa lalu, tempat ia berubah menjadi calon pewaris tahta Kerajaan Tarumanegara. Namun ternyata dia belum beranjak sedikit pun dari tempat tersebut, dan membuatnya merasa kebingungan bukan main. Sebenarnya situasi apa yang tengah ia hadapi? Mengapa ia tidak bisa pergi ke masa lalu ataupun masa depan, dan hanya diam mengambang di dalam sungai ini? Apakah jiwanya tersesat di pembatas waktu, sehingga ia tidak bisa kemana-mana?

Lamat-lamat pandangannya menangkap seseorang yang juga berdiri mengambang di hadapannya dengan paras wajah yang begitu mirip dengannya, namun dengan menggunakan pakaian adat kerajaan. Bayu pun sekilas mengintip baju yang ia kenakan, yaitu kemeja biru langit dengan celana kain berwarna krem, sama seperti saat terakhir kali ia melakukan ekspedisi pencarian situs peninggalan Kerajaan Tarumanegara.

Tak salah lagi, saat ini ia sedang menjadi dirinya sendiri-yakni Bayu, dan lelaki di hadapannya ini merupakan sosok Purnawarman yang asli.

Purnawarman mengusap dahinya, lantas ia usapkan juga pada dahi Bayu. "Kuserahkan seluruh kemampuan dan memori utuh yang aku miliki untuk kau gunakan nanti. Pergilah ke tempat pertapaanku di samping Gunung Wayang, carilah petunjuk di dalam goa yang sudah kutulis untuk memudahkan dirimu menghadapi masalah-masalah yang akan kau temui. Terima kasih telah berusaha untuk menunaikan sumpahku, semoga Dewa Wisnu selalu melindungimu."

Dengan cahaya terang di telapak tangannya, Purnawarman mendorong tubuh Bayu dengan sekuat tenaga, menghempaskan tubuh lelaki itu dan membuatnya terhuyung melayang, Purnawarman melempar Bayu kembali ke masa lalu untuk menyelesaikan misinya.

Lalu akhirnya Bayu bisa kembali merasakan udara mengalir di saluran pernapasannya.

| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |

*garwa padmi = gelar bagi seorang istri pertama dari Pangeran Adipati yang merupakan adik kandung dari Putra Mahkota.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro