V
Semenjak insiden dimana Andrea dan Rani diantarkan pulang oleh Arya Atmodjo. Sejak saat itu lah Andrea berusaha agar tidak bertemu dengan Arya Atmodjo di kantor. Entah kenapa ia malu dan merasa tidak nyaman, berbeda jika kasusnya Bagus yang mengantarnya, mungkin ia akan senang. Semua karena ulah saudara kembar Arya, Indira yang memaksa agar Arya mengantarnya pulang. Demi Tuhan, Andrea selalu bergidik ngeri jika bertemu dengan pria itu.
"Hushh!" Kaia baru saja mengibaskan tangannya di hadapan wajah Andrea yang tengah melamun. "Melamun aja lo! Mau kesambet sama hantu di sini, ya?!"
Andrea tidak percaya. "Memang di sini ada hantu?"
"Menurut lo? Hayu kita makan siang, ini udah jamnya istirahat sampai kapan lo menekuri rundown lo itu?"
Andrea menghela napasnya dengan kesal, ia memgencangkan ikatan rambutnya. "Kalau aku nggak mikirin konten, gimana jadinya sama Menajam Langit, Kai?"
"Makanya, pindah jadi tim kreatif di program lain aja. Orang-orang di sini resek." komentar Kaia.
"Mereka nggak resek, Kai. Tapi lebih fokus sama kerjaan masing-masing aja."
"Ya, itu yang lo katakan fokus sampai lo nggak punya teman di sini selain gue. Aneh ya, An. Lo ini bukan tipe yang membosankan kok, kalau udah diajak ngobrol lo enak dan kasih feed back, tapi kenapa orang-orang seolah memandang lo itu membosankan?" tanya Kaia.
Andrea menggeleng. "Aku nggak tahu, Kai. Dari dulu, aku sulit punya teman. Mungkin karena penampilan aku yang selalu tertutup dan dandananku yang membosankan."
Kaia akhirnya tertawa. "Kalau ada orang yang mikir kayak gitu, asli otaknya nol banget. Penampilan seseorang bukan jadi tolak ukur lo punya teman atau nggak. Buktinya? Gue mau jadi teman lo."
Andrea tersenyum, dan ia pun merasa bersyukur akan hal itu. "Iya, aku bersyukur banget dapat teman baik kayak kamu."
Kaia mendengus, ia mengajak Andrea berjalan cepat menuju lift yang hendak tertutup. "Shit!" Kaia mengumpat karena takut pintu lift tertutup, sayangnya kesempatan masih ada di depannya.
Kaia menghela napasnya lega, tapi berbeda dengan Andrea ketika melihat siapa yang ada di dalam lift tersebut.
"Pak," sapa Kaia dengan sopan.
Pria itu mengangguk singkat. "Masuk saja," kata pria itu.
Kaia menarik tubuh Andrea yang diam saja sejak tadi. Arya Atmodjo terlihat tampan dengan jas berwarna abu-abunya dan kemeja putih tanpa dasi itu. Andrea mengangguk sedikit guna menyapa Arya agar tidak dinilai karyawan kurang ajar.
"Bapak tumben nggak pakai lift pribadi." celetuk Kaia dengan mulut embernya.
Andrea menghela napasnya kesal, ada apa dengan otak Kaia? Memang salah jika pemilik gedung ini ingin menaiki lift umum?
"Lagi pengen aja, nggak biasanya juga saya pakai lift untuk karyawan." jawab Arya dengan senyuman.
Pria itu menatap Andrea dari atas hingga bawah, membuat Andrea risih tentunya karena di tatap seperti itu. "Kalian turun untuk cari makan?" tanya Arya pada Kaia pastinya.
Kaia mengangguk. "Iya, Pak. Kita berdua mau turun ke kantin bawah saja."
"Kenapa harus kantin bawah?" tanya pria itu lagi.
Andrea berharap kafetaria karyawan lebih dekat dari yang ia pikirkan. Dan kenapa lift ini terasa lambat?
"Mau cari yang praktis dan dekat saja, Pak." jawab Kaia dengan cengirannya yang khas.
"Kalau gitu, ikut saja. Saya dan Bagus sudah memesan meja di Hanamasa." katanya pada Kaia.
Kaia menyikut lengan Andrea, Andrea hanya menatap Kaia dengan bingung. "Saya ikut Andrea saja maunya bagaimana." ujar Kaia kini meminta pendapat.
"Eh, kok aku?" tanya Andrea dengan wajah seperti anak kecil yang ketahuan bolos dari sekolahnya.
"Ya, itu mumpung Pak Arya nawarin. Kapan lagi coba, An?" kata Kaia dengan semangat.
Andrea meringis lalu ia menoleh melihat wajah pria bermata abu-abu itu seolah menunggu jawaban darinya. "Hmm, bebas deh."
Kaia menatap Andrea dengan kesal karena jawaban yang gadis itu berikan. Sementara Arya sudah tersenyum simpul dan berkata. "Itu memang jawaban khas setiap perempuan, ya? Ketika di ajak makan atau diberi pilihan jawabannya tidak akan jauh dari kata bebas dan terserah."
Andrea buru-buru membulatkan matanya. "Bu-bukan seperti itu maksud saya. Saya kan, tadi dengan Kaia hanya akan—"
"Kalau begitu kenapa kamu seakan ingin menolak ajakan saya?"
"Hah?" raut wajah Andrea kini sudah berubah total alias mupeng.
Sementara Kaia hanya bisa terkekeh pelan. "Kami menerima tawaran Bapak untuk makan siang bersama di Hanamasa. Makasih ya Pak." jawab Kaia dengan cepat.
Andrea merasa sesak kembali, entah untuk alasan apa ia tidak memiliki mood bagus jika berada di dekat Arya Atmodjo.
Tapi tadi Pak Arya bilang ada Bagus, kan?
Seketika senyum simpulnya terbit. Andrea tidak akan menyia-nyiakan pemandangan baik milik Bagus dari sisi manapun.
...
...
Memasuki Hanamasa dan lagi-lagi Andrea harus menghirup aroma makanan Jepang yang khas. Andrea suka, tapi ia tidak pernah keterlaluan ketika menyukai sesuatu. Makanan yang Andrea lebih sukai adalah Padang, dan masakan Melayu lainnya. Neneknya adalah orang Malaysia, dan Andrea sangat mencintai masakan Melayu.
Andrea bisa melihat Bagus yang sudah menempati tempat duduk terlebih dahulu. Tampaknya pria itu sudah mulai memesan shabu-shabu terlebih dahulu.
"Lho? Kok lo sama.. Mereka?" tanya Bagus dengan heran.
Andrea tersenyum tipis sebelum mengambil tempat duduk di sisi Bagus, sementara Kaia berada di sisi Arya.
Catat! Andrea tidak mau duduk berada di sisi Arya lagi, pria itu memiliki kekuatan magis yang bisa membuat tubuhnya merinding, dan Andrea tidak suka itu.
"Kebetulan, daripada mereka makan di kantin." kata Arya menjawab Bagus.
Kaia menatap menu dengan antusias, sementara Andrea hanya berharap Kaia bisa satu selera dengannya. "An? Kita pesan shabu-shabu juga, yuk? Satu buat berdua aja." kata Kaia.
Andrea mengangguk menyetujuinya. "Okay."
Arya memesan beef roll onion, berbeda dari Bagus yang tampak semangat memakan daging dan sayuran itu.
"Jadi Pak Bagus sama Pak Arya ini sahabatan?" tanya Kaia yang mulai kepo.
Bagus mengangguk. "Lebih tepatnya, teman sejak taman kanak-kanak aja, sih. Setelah besar, Arya lebih banyak pindah sekolah."
"Oh, ya? Dan kalian dipertemukan di tempat kerja? Waw, keren banget." kata Kaia dengan antusias.
Arya hanya berdeham. "Nggak nyangka juga gue punya karyawan kayak lo." ledeknya pada Bagus.
Bagus malah tertawa puas. "Ya gimana ya, cita-cita gue memang lebih aneh daripada saudara-saudara gue. Jadi Production Assistant tuh rasanya bikin gue lebih merasa kuliah ilmu komunikasi gue nggak sia-sia."
Arya tertawa lagi. "Gue ingat betul gimana kepepetnya lo keterima di jurusan ilmu komunikasi."
"Memang Pak Bagus alumni universitas mana?" tanya Kaia lagi.
Andrea sedikit senang, setidaknya Kaia adalah perantaranya agar ia mengetahui segala tentang Bagus tanpa perlu mengeluarkan suara. Ada untungnya juga ia mempunyai teman bawel dan cerewet seperti Kaia.
"Stanford," jawab Bagus dengan senyumannya.
Andrea terkesima, baru kali ini ia benar-benar memuja seorang Bagus. Dan baru kali ini, selama hidupnya Andrea menginginkan lebih banyak tahu persoalan seseorang, dan itu Bagus.
"Kalau Pak Arya?" kata Kaia kali.
"Saya Harvard, dan ya as usually saya datang ke Harvard sebagai hukuman." timpal Arya.
Oh, Andrea tidak peduli akan hal itu. Ia memandangi Bagus yang tengah melahap makanannya.
"Andrea? Lulusan mana?" tanya Bagus kali ini.
Andrea mengerjapkan matanya lambat dan merasa malu. "Saya.. Lulusan UNPAD, Pak."
"UNPAD?!" celetuk Kaia kaget. "Lo kok nggak bilang kalau lo lulusan UNPAD?"
Berlebihan sekali... "Memang kenapa, Kai?"
Kaia meneguk minumannya dengan cepat dengan napas yang tersengal-sengal. "Gue juga lulusan UNPAD. Itu artinya gue senior lo, Andrea!"
Andrea ingin membalasnya dengan segala rasa gemas dan kesalnya pada Kaia. "Lah, aku kan waktu itu sudah panggil kamu Mbak. Tapi kamu yang minta kalau kamu—"
"Bukan itu maksud gue, Andrea. Literally we're from UNPAD. Ada alasan tersendiri gue senangnya, ibaratkan ketemu sama anak UNPAD di metropolitan gini tuh bikin gue senang. Dan lo harus tahu, we are officially family right now."
Andrea mengernyitkan keningnya bingung. "Kok bisa gitu?"
"Bisa dong, kita sama-sama dari UNPAD, artinya kita sudah jadi saudara secara nggak langsung."
Andrea tersenyum mendengarnya dan ia mengangguk.
"Wah, jadi seninya anak UNPAD tuh begini, ya? Tiap ketemu sama orang dari kampus yang sama bisa jadi saudara? Untung Stanford nggak menganut sistem seperti ini." ujar Bagus yang sudah merasa aneh melihat tingkah Kaia dan Andrea.
Kaia meringis dan tertawa. "Sebenarnya, lebih ke senangnya sih, Pak. Kayak ketemu sama saudara beneran."
"Harvard pun nggak menganut sistem seperti ini." timpal Arya dengan wajahnya yang datar. "Jadi Andrea," kata Arya yang kini sudah menatap Andrea dengan penuh perhatian. "Kenapa kamu tidak mengambil jurusan kedokteran? Karena kamu lebih terlihat seperti kutu buku sebenarnya."
Apa ia tidak salah dengar? Andrea kutu buku? Jelas-jelas ia adalah anak yang malas! "Saya nggak menyukai medical school, Pak." jawab Andrea. "Lagipula, pada saat itu Ibu saya melihat potensi besar saya di ilmu komunikasi."
"Oh, lalu apa kamu nyaman bekerja di FGM?" tanya Arya lagi.
Apa ini pertanyaan menjebak? Karena kalau iya, Andrea merasa harus menjawab pria di depannya dengan hati-hati. "Saya nyaman, Pak."
"Sangat nyaman?" tanya Arya sekali lagi seolah berusaha mencari yang ingin ia ketahui.
"Iya, Pak."
Arya menatap mata Andrea dan pria itu sedikit tersenyum. "Saya ingin memberikan tanggung jawab baru pada kamu."
"Bagaimana, Pak?" tanya Andra yang terkejut.
Ia yakin kini Andrea tak bisa mengontrol air wajahnya. "Saya bilang, saya mau kamu memegang tanggung jawab baru selain menjadi Tim Kreatif."
"Arya?" kata Bagus memanggil sahabatnya itu.
Arya mengangkat tangannya mengisyaratkan agar Bagus tak mengatakan apapun saat ini. "Saya ingin kamu menjadi sekretaris saya, apa kamu bisa?"
"Tapi—"
"Saya akan memberikan percobaan selama satu bulan, Andrea. Dan jika kamu gagal dan merasa tidak cocok menjadi sekretaris saya, kamu bisa pindah kembali ke divisi kreatif. Bagaimana?" tawar Arya.
Kaia menatapnya dengan antusias sambil mengepalkan kedua tangannya. "Terima aja, An! Lagian acara Menajam Langit orang-orangnya resek dan nggak kooperatif sama lo!"
Gila, Kaia baru saja membongkar aib di depan Bagus. "Kaia—"
"Terima, Andrea. Jadi sekretaris Arya tidak akan sesulit yang kamu kira.
Kali ini yang berbicara bukan Kaia ataupun Arya. Tapi seorang Bagus! Bagus Hananta yang sudah ia jadikan crush sejak Andrea diajak keluar dari ruangan Personalia oleh pria itu.
Kali ini Bagus yang menyarankan, dan Andrea yakin dengan apa yang Bagus katakan.
"Baik, saya akan menerima percobaan satu bulan untuk menjadi sekretaris Bapak." kata Andrea pada Arya.
Andrea melihat seulas senyuman manis dari Arya, dan ia segera menundukkan pandangannya. Jujur, ia tidak nyaman berpandangan lama-lama dengan Arya. Seolah ada energi atau sengatan listrik yang hidup di dalam tubuhnya. Dan Andrea merasa bahaya itu akan datang!
Dan bagaimana ceritanya ia menjadi sekretaris dari pria yang ia takuti selama ini? Apa Arya Atmodjo akan membuat kesehatannya menurun? Ah, entah lah.. Andrea lagi-lagi harus menggantungkan nasibnya dalam percobaan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro