Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

That day when Ben is leaving home

Carl's house, 2 days ago.


Sore itu aku bersiap untuk berangkat ke tempat kerjaku--bengkel Paman Seth--seperti biasa. Seragam mekanik berwarna biru dengan garis perak di bagian dada inipun sudah siap di tasku dan aku selalu mengganti pakaianku sesampainya di sana.

Beberapa orang bertanya, kenapa seorang Carl harus repot-repot mencari pekerjaan, sementara ayah dan ibunya memiliki profesi yang bisa dibilang cukup keren--atau sangat keren--di kota New York.

Ayahku menjabat sebagai kepala sekaligus doktor bedah untuk penanganan pasien dengan gangguan jiwa di Golden Hospital. Sedangkan Ibu, menjadi manager sekaligus model majalah pakaian lokal. Terdengar keren, bukan?

Mungkin iya. Tapi itu tidak akan berlangsung lama. Cepat atau lambat, aku, Carl si anak sulung akan menggantikan mereka sebagai tulang punggung dan harus menopang kebutuhan keluarga. Dan sayangnya, aku tidak berbakat untuk meneruskan pekerjaan mereka. Aku tidak bisa menjadi dokter karena aku membenci darah dan aku tidak mungkin menjadi model karena aku tidak suka menjadi pusat perhatian.

Hari itu, sebelum aku pergi ke bengkel Paman Seth, suara berisik dari Ayah dan Ibu yang bertengkar di lantai bawah mengusikku. Suara mereka yang keras dengan teriakan penuh caci dan maki berhasil menembus udara hingga sampai ke lantai dua--kamar anak-anaknya.

Akhir-akhir ini mereka berdua memang sering terlibat cekcok.

Ayah menyalahkan Ibu karena menganggapnya terlalu mengumbar tubuh dan hidupnya kepada publik. Sementara Ibu menuding Ayah berselingkuh dengan salah satu perawat rumah sakit. Mereka seolah lupa bahwa di rumah ini ada aku dan Ben.

Kakiku mendadak berhenti di depan kamar Ben yang pintunya terbuka. Ia tampak duduk menghadap jendela dan terdiam.

Kurasa aku harus melakukan sesuatu.

Aku menghampirinya dan langsung duduk saat tahu alat bantu dengar yang selama ini ia gunakan tergeletak asal di lantai. Buru-buru aku meraihnya dan menyodorkannya pada Ben.

"Carl?" katanya setengah terkesiap. Ia kemudian menerima alat bantu dengarnya dan segera memasangnya di telinga. "Apa mereka sudah selesai?"

Aku dan Ben memang jarang berbicara sebelumnya. Bisa dibilang, hubungan kami sebagai kakak-adik tidak terlalu berjalan baik.

Mataku menatapnya sendu. "Apa kau baik-baik saja?" tanyaku memastikan.

Ben tercenung sesaat sebelum akhirnya tersenyum getir. "Aku hanya ingin mereka kembali seperti dulu, Carl."

Mataku tak beralih darinya. "Kau tahu, 'kan, kalau orang dewasa akan selalu memiliki masalahnya sendiri?"

Dan Ben hanya mendengus geli untuk merespons ucapanku barusan. "Omong-omong, kau belum pergi, Carl?" Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.

Merasa suasananya berubah tak nyaman, akupun beranjak. "Ya, aku akan bergegas." Ia hanya menggumam menanggapiku dan kembali menatap jendela besar di hadapannya. "Kupikir..."

Ben menoleh saat aku menggantung kalimatku di udara.

"Jika kau butuh sesuatu, atau seseorang, mungkin kau--"

"Aku baik-baik saja, Carl," potongnya.

Aku menelan kembali ucapanku dan mengangguk paham. Sebelum pergi, aku kembali menatap iris cokelat Ben lurus-lurus. "Ah, baiklah Ben, jaga dirimu selagi aku pergi," kataku ragu.

Dan adikku hanya tersenyum tipis sambil berkata, "Tentu. Jaga dirimu juga, Carl."

Aku tidak pernah tahu bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir kami bertemu--berbicara. Karena setelahnya, aku langsung bergegas menuju bengkel Paman Seth.

Pemandangan yang ganjil menyambutku sesampainya aku di sana. Tumpukan botol minuman menumpuk di halaman depan. Sebagian sudah pecah dan airnya mengalir ke sekitarnya.

"Ada apa ini, Paman Seth?" tanyaku saat pria bertubuh gempal itu menghampiriku.

"Jadi ini yang kau kerjakan selama ini?!Kau menggunakan bengkelku sebagai ladang menyimpan alkohol dan mabuk-mabukan? Hm?!" pekik Paman Seth. Ia kemudian melemparkan sejumlah uang tepat di depan wajahku dan menunjukku. "Sekarang kau pergi dari tempatku dan jangan pernah kembali ke sini!"

Matanya menatapku nyalang dan aku tak pernah melihat Paman Seth yang seperti itu sebelumnya. Aku mengembuskan napas pasrah sebelum mengembalikan seragam mekanikku padanya dan pergi dari tempat itu.

Aku dipecat hari itu.

Dan kupikir, rumah bukanlah tujuan yang tepat untukku kembali.

Aku menghentikkan motor besarku di tengah perjalanan dan menekan nomor Nate, sahabatku. "Halo?" kataku saat panggilanku tersambung.

Aku menarik napas berat dan melanjutkan, "Aku akan ke rumahmu. Kurasa aku juga akan menginap dua malam di sana. Bagaimana menurutmu?"

T H E  L O S T  B R O T H E R
A Novel by :
Nurohima

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro