Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.

Dua garis hitam di dekat mulut kaus kakinya menjadi simbol magis dimulainya kisah ini. Hari itu adalah hari pertama tahun ajaran baru. Awalnya tidak ada kejadian hebat. Kendaraan mengular, mengantar murid-murid ke depan gerbang sekolah. Pedagang bubur ayam menghambat ban gerobaknya dengan pecahan batu bata. Dari jok skutik Eman, bisa terlihat sekilas senyum gugup murid-murid tahun pertama. Tiga guru sudah siap menyambut kami. Satu bertugas di depan gerbang seperti penerima tamu, dua lagi berdiri di depan meja piket untuk mencari-cari pelanggaran. Maklum, liburan panjang membuat sebagian dari kami enggan minggat dari zona berpenampilan tanpa aturan, di mana kami bisa bebas membiarkan rambut menutupi dahi, memakai topi tanpa lambang tut wuri handayani, memasang tali sepatu berwarna kontras, atau menghias telinga dengan anting metalik. Untuk anak perempuan, sepertinya kebanyakan soal dandanan dan aksesoris mahal.

Setelah Eman berhasil menyalip minibus merah pudar yang terlihat seperti kotak pensil kaleng, kami berhenti sebentar untuk menyalami guru di depan gerbang, setelah itu Eman lanjut memutar gas menuju parkiran roda dua, tak jauh dari gerbang. Tepat di saat aku melepas helm, suara pintu dibanting sontak mencuri perhatian. Dari tempat kami berdiri, tidak terlihat jelas apa yang terjadi, tapi kemungkinan besar berasal dari minibus kotak pensil itu. Karena, setelah itu, raungan mesin tua menyedihkan terdengar seolah sedang mengucapkan selamat tinggal. Minibus kotak pensil itu kemudian melaju dengan gaya asal-asalan, yang entah kenapa menurutku terkesan percaya diri.

"Mabuk?"

Aku menoleh. Eman ternyata sudah selesai menata belahan rambutnya dari kaca spion. Tangan kirinya meminta helm yang sedari tadi aku pegang.

"Mungkin skenarionya: si anak diseret paksa ke sekolah, di perjalanan ada perang dingin. Terus, sebelum turun, si anak bilang, 'siap-siap, foto tanpa busanamu bakal aku posting di grup WA keluarga'."

Tawa Eman meledak. "Berdasarkan pengalaman nyata?"

Aku tidak meladeni dan memilih berjalan ke arah guru piket. Di sanalah pertama kali kulihat dia sedang menjalani pemeriksaan singkat. Kaus kaki itu masih luput dari perhatian. Yang menonjol malah dua tali melintang terpasang di bagian depan ransel kotak-kotak merah dan hitam yang dia sandang. Untung saja tidak ada peraturan yang menentukan gaya tas sekolah.

Dia bukan murid baru. Aku tahu dari warna simbol sekolah di lengan kanannya. Kami seangkatan. Aku pikir aku pernah melihatnya, tapi tidak ada yang spesial. Hanya saja, sekarang, ransel itu seolah minta diperhatikan. Ada dua siswa yang memisahkan kami. Jadi, tidak terlalu sulit untuk mengikuti gerak-geriknya.

"Tenang, Rip. Selama Juni, Gio, Reno nggak gabung di grup WA keluargamu, aman. Cuma aku yang bisa kasih ancaman."

"Udah basi. Kirim ke akun Twitter base kumpulan orang sange pun aku nggak peduli."

"Nggak peduli jadi bahan fap om-om sange?"

Aku melirik ke belakang, memastikan dua guru piket yang baru saja kami lewati tidak mendengar guyonan mesum Eman.

"Terserah imajinasimu aja," ucapku malas, lalu mempercepat jalan menuju kelas.

Namun, momen magis itu menghentikan niatku. Tiga langkah di depan, dia berhenti dan sedikit menunduk. Aku baru sadar ada dua garis hitam di bawah karet kaus kakinya. Model seperti itu tidak terlalu spesial sebenarnya. Tipikal kaus kaki anak sekolahan, selain yang putih polos. Namun, saat kedua tangannya sibuk melipat kedua mulut kaus kaki, menyembunyikan dua garis hitam, keningku berkerut. Sebenci apa dia dengan garis-garis itu?

***

"Nggak sia-sia nurut jadi tahanan setengah tahun, akhirnya sekarang bisa main Zelda pakai akun sendiri."

Aku mulai menyedot teh jeruk dingin andalan kantin sekolah sambil mengamati barisan paduan suara mengatur barisan di lapangan. Kurang lebih lima menit lagi upacara penyambutan siswa baru dimulai. Biasanya durasi amanat pembina upacara akan tiga kali lebih panjang dari proses pemasangan bendera. Jadi, sebelum kaki kebosanan berdiri, tidak sedikit yang memanfaatkan waktu untuk duduk-duduk di kantin; sarapan, mengobrol, atau memamerkan barang baru seperti yang baru saja dilakukan Juni.

Semua berawal dari awal semester lalu. Orangtuanya dipanggil ke sekolah karena dia ketahuan merokok di toilet. Sejak naik kelas dua, Juni mulai menikmati nikotin. Sayangnya dia agak amatiran. Teman sekelasku itu sembunyi-sembunyi dari orangtua dan guru, tapi terang-terangan mengepulkan asam di depan semua teman sekolah. Mungkin dia belum familiar dengan istilah cepu, sampai–entah siapa informannya–guru tiba-tiba menggerebek toilet laki-laki. Sudah pasti orangtuanya bertindak. Mulai saat itu dia setiap hari diantar-jemput, harus membawa bekal karena uang jajan ditahan, dan liburan kenaikan kelasnya pun dibatalkan. Namun, selalu ada hikmah di setiap musibah, kata banyak orang. Karena tidak memberi perlawanan dan dianggap telah berkelakuan baik, Juni dihadiahkan Nintendo Switch idaman di hari ulang tahunnya minggu lalu.

"Halah, ntar juga nyebat lagi pas kuliah." Gio di sebelahku memanas-manasi sambil sibuk menempelkan double tip di balik label namanya.

"Asal nggak norak, sebenarnya aman." Reno yang duduk di seberangku menimpali.

"Tenang, anak kuliahan orangnya lebih chill. Lagian aku kan udah niat merantau."

"Emangnya yakin bisa lulus?" tanya Gio sambil menempelkan label nama di seragamnya.

Setelah itu, perang lempar-lemparan sedotan dimulai. Topik obrolan kami memang bisa berubah secara ekstrim. Dari olokan gagal liburan, pamer hadiah ulang tahun, lalu tanpa sengaja menyerempet ke hal-hal serius semacam persiapan ujian, pilihan universitas, atau pertanyaan-pertanyaan semacam "mau ke mana siap ini?", "rencana selanjutnya apa?". 

"Makanya, nggak usah muluk-muluk. Mending ikut mamanya Eman. Jelas, terjamin. Waktu untuk belajar bisa dipake buat pacaran." Reno memberi ide. Sebenarnya itu kartu lama yang sering kami pakai kalau lagi malas memikirkan masa depan. Ibu Eman adalah dosen senior di sebuah universitas swasta yang dianggap kekurangan mahasiswa karena membuka pendaftaran lima kali per tahun. Namun, universitas tetaplah universitas. Tempat itu sama-sama bisa memberi gelar. Itu yang pernah Reno katakan.

"Eh iya, si Eman tumben mau sibuk-sibuk jadi panitia orientasi. Curiga aku niatnya cuma mau lihat yang bening-bening."

Juni menanggapi Gio dengan bahu terangkat. "Entah, aku pikir si otak mesum itu nggak bakalan betah jadi anggota OSIS. Mungkin biar punya pengalaman organisasi. Dia kan ogah kuliah bareng emaknya."

Untung saja bel berbunyi, menghentikan obrolan singkat tentang kuliah, pacaran, organisasi, dan semacamnya. Kali ini aku selamat karena setidaknya mereka membiarkanku duduk aman, hanya menjadi pendengar sambil menghabiskan teh jeruk dingin. Mungkin aku harus benar-benar mempersiapkan diri untuk bisa ikut berpartisipasi dalam obrolan selanjutnya tentang kuliah, pacaran, organisasi, dan semacamnya.

Kami pun meninggalkan kantin menuju lapangan upacara. Kakiku rupanya masih setia dengan memori yang disimpan selama setahun, otomatis bergerak lurus ke barisan di sisi timur, sementara Gio, Juni, dan Reno kompak berbelok menuju sisi utara. Sembunyi-sembunyi aku melepas napas menyesal. Sepertinya hanya aku yang belum sadar betul kalau kami sekarang telah berada di tahun terakhir masa SMA.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro