Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17: Menjaga Hati

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

☔️☔️☔️

"Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah qalbu (hati)."

☔️Hadis Riwayat Buhari☔️

Sudah hampir sebulan aku dan Yudis rutin mengikuti kajian dan tahsin di Pesantren Daarut Tauhiid. Perlahan-lahan pikirannya mulai terbuka, bahkan di setiap kali kami menyelesaikan kajian, Yudis mengajukan banyak pertanyaan perihal proses hijrah.

Melihat Yudis banyak perubahan, membuat hatiku semakin tergerak untuk menemaninya berproses ke arah yang lebih baik. Tak bisa kukatakan aku juga menjalani proses tersebut, intinya kami berdua sama-sama belajar cara memantaskan diri.

Oleh karenanya, beberapa minggu aku fokus membangun kebersamaan dengan Yudis. Tidak meninggalkannya sendiri dengan kondisinya yang baru-baru saja kehilangan sosok ayah, orang yang ia cinta. Komunikasiku juga dengan Jihan tak lagi seintens kemarin, tapi sudah kujelaskan semua padanya melalui percakapan whatsapp; dari awal Yudis merasakan patah hingga sekarang berusaha menambal kembali hatinya yang tengah rapuh itu dengan mendekatkan diri pada Allah.

Oh, ya. Kerjaku tetap kujalankan sebagaimana mestinya di kantor, hanya saja aku sering pulang cepat untuk menemani Yudis. Bahkan tak jarang kami membantu Kiai Ali merawat tanaman di sore hari setelah selesai menimba ilmu di halaqahnya.

Fokusku teralihkan ke Yudis. Hitung-hitung, ini salah satu caraku membalas kebaikan-kebaikan Yudis selama aku di Bandung. Kemana pun pergi, ia selalu memintaku untuk menemaninya. Termasuk pada hari ini, Yudis ingin bertemu dengan Sani, sahabatnya sejak masa kuliah dulu.

"Lan, Sani hari ini mau ketemuan. Kamu ikut, ya. Biar nggak mengundang fitnah." Yudis menutup layar ponselnya, kemudian merebahkan diri di atas spring bed.

Aku tersenyum. "Maasya Allah. Ana nggak salah dengar apa yang antum katakan barusan?"

"Iyaaa," dengkusnya. "Lagian Sani itu perempuan yang siapa saja melihatnya pasti akan terpukau. Sudah cerdas, pekerja keras, cantik, —"

"Astagfirullah, ussstt ... jaga ucapanmu, Dis! Perkataanmu saja sudah mengundang fitnah wanita," kupotong Yudis yang terlentang menghayalkan sosok Sani.

Aku menggelengkan kepala.

"Coba saja Sani masuk islam, ya, Lan," pikir Yudis sambil memperbaiki posisi tidurnya menghadap padaku.

Aku mengernyit. "Kamu ini bicara apa, sih?" tanyaku. "Dia saja tidak begitu percaya dengan agama yang dianutnya."

"Hah, kamu tahu dari mana?"

Sontak mataku menoleh ke Yudis, terlihat alisnya mengernyit. Sepertinya aku salah sebut, dan sepertinya aku harus jelaskan pada Yudis perihal percakapanku kala itu.

"Iya. Sani pernah cerita masalah dosenmu dulu yang dibunuh sama salah satu mahasiswi di kampusmu ke aku."

Terlihat Yudis berpikir sejenak. "Oh, kasusnya si Jessy? Kapan? Pas kita di McD itu, ya?"

Aku mengangguk.

"Dia cerita apa aja ke kamu, Lan?" Yudis memperbaiki posisi duduknya.

"Ah, nggak banyak," dengkusku. "Hanya tentang itu saja seingatku."

Baru saja Yudis ingin kembali menggubris, handphone-ku langsung berdering. Aku langsung mengangkatnya. Syukurlah, percakapan aku dengannya bisa teralihkan, lagian Yudis tidak perlu tahu karena percakapanku dengan Sani waktu itu tidak begitu penting. Sepertinya.

Sedang berlangsung panggilan telepon yang datang dari Pak Dadang yang menyuruhku untuk ke kantor sekarang. Padahal ini

"Siapa, Lan?" tanya langsung Yudis setelah panggilan berakhir.

"Pak Dadang."

"Oh, kenapa?"

"Aku disuruh menemui beliau di ruangannya sekarang. Katanya, ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Kamu jam berapa mau bertemu dengan Sani?"

"Mungkin siangan, atau selesai jam kantor. Ya udah, aku ikut kau kalau gitu." Yudis sontak bergegas berdiri.

"Bukanya kamu masih ada jatah cuti seminggu lagi, ya?" kutanya Yudis dengan membatin apakah ia benar-benar serius ingin menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya lagi setelah kepergian ayahnya?

"Emang kalau aku masih cuti, nggak boleh ke kantor, ya? Kantor kan buka untuk umum," elaknya.

Aku berdiri lalu mendorong Yudis masuk kamar mandi yang tidak berhenti mengoceh di hadapanku. "Iya iyaaa. Sudah, siap-siap dulu sana. Aku tunggu di bawah."

Kuharap Yudis sudah berbesar hati dengan apa yang telah menimpanya. Wajahnya boleh saja terlihat merekah, tapi siapa tahu isi hatinya? Sudah pasti masih ada kesedihan yang dipendam. Yudis juga hanyalah hamba Allah yang tak berdaya dan bisa merasakan duka.

Bandung masih saja terlihat mendung, entah siapa yang sedang murung pagi ini hingga hujan pun enggan turun. Aku melihat wajah Yudis yang berjalan memasuki pintu kantor sekilas terlihat baik-baik saja, kupikir ia akan menitikkan air mata. Ah, payah sekali rasanya ketika seorang lelaki terlihat lemah di mata khalayak, dan itu yang sedang Yudis pertontonkan padaku sekarang.

Suasana kantor kejaksaan cukup ramai dengan kondisi pegawai yang tak lagi terlihat berduka semenjak kepergian almarhum Profesor Haliq. Senyum mereka yang ramah satu per satu menyapa kehadiran Yudis oleh karena untuk pertama kalinya Yudis memunculkan wajahnya di depan mereka. Sayangnya semua hanya tersenyum menyapa Yudis, dalam hati mereka pasti bertanya-tanya bagaimana perasaan Yudis saat ini setelah kepergian sang ayah.

Jujur, aku tak tahu apa gerangan yang Pak Dadang akan sampaikan padaku. Semoga sesuatu hal yang baik, atau mungkin saja ia ingin tahu perkembangan Yudis dariku. Mengingat, Yudis belum pernah memunculkan wajahnya lagi di depan Pak Dadang setelah ayahnya wafat. Bagaimana reaksinya nanti ketika bertemu langsung?

Sebelum masuk ruangan Pak Dadang, aku berniat mengetuk pintu. Namun dengan sigap, Yudis menarik gagang pintu dan langsung masuk tanpa permisi. Sebenarnya tidak heran jika melihat Yudis seperti itu, toh ia juga sudah begitu akrab dengan Pak Dadang. Hanya saja, tidak sopan masuk tanpa permisi.

Setelah Yudis memberi salam dan menyusul aku di belakangnya, Pak Dadang menoleh ke arah kami dan tanpa menjawab salam.

Kehadiranku dan Yudis sama sekali tak diindahkan oleh beliau, bahkan Yudis pun tak lagi ia sapa seperti biasa dengan panggilan khasnya, bos kecil. Wajah Pak Dadang terlihat geram menatapku. Aku pun kebingungan.

"Alan? Kamu tahu kenapa saya memanggilmu?!" Suara Pak Dadang yang setahu saya lembut tiba-tiba meninggi. Matanya melirik sinis ke arah Yudis yang juga tidak mengindahkannya.

Tatapanku menjadi dua arah, ke Yudis dan juga Pak Dadang. Terlihat seperti ada perang dingin antara mereka berdua. Atau, ini ada sangkut pautnya dengan aku?

Kujawab, "Saya minta maaf, Pak. Saya nggak tahu. Ada apa ya, Pak?" Aku sulit menelan air liur.

Pak Dadang kemudian mengambil selembar kertas di atas meja, lalu menyodorkannya padaku. "Kam baca itu! Apa yang salah!" pekiknya.

Aku langsung meraih kertas tersebut dengan wajah yang masih kebingungan, kubaca kop surat tersebut yang bertuliskan "Surat Panggilan" dan menyusul tulisan pada bagian pertimbangan yang berisi tentang kepentingan pemeriksaan penyidikan tindak pidana. Aku membacanya dalam hati, tapi belum juga paham.

"Ini surat panggilan penyidikan, Pak?" kutanya lagi beliau.

"Nah, terus?!" tandas Pak Dadang.

"I—iya, ada apa dengan surat panggilan ini, Pak?"

"Kamu tahu kan, bedanya surat penyidikan dan penyelidikan?"

Aku mengangguk paham.

"Apa yang saya perintahkan waktu itu? Kamu masih ingat saya menyuruhmu membuat surat penyelidikan, bukan penyidikan!"

Aku terdiam sejenak. Aku mencoba mengingat kembali peristiwa beberapa minggu lalu, memang pada waktu itu Pak Dadang pernah menyuruhku dan aku sudah membuat surat penyelidikan kasus Tindak Pidana Korupsi yang Pak Dadang minta. Bahkan aku menyediakan hard copy untuk surat penyelidikan lebih awal sebelum diminta, dan sekaligus membuat surat penyidikan untuk jaga-jaga, biar aku tidak kerja dua kali. Pak Dadang memintanya dua hari setelah pembuatan surat panggilan tersebut selesai dikerjakan, dan posisi saat itu aku lagi tidak sedang di kantor.

Bola mata ini kemudian spontan tertuju pada Yudis yang duduk di sofa tamu, terlihat ia juga seperti berpikir dan bisa kutebak ini semua pasti karena keteledoran Yudis. Ia mungkin tidak teliti di hari aku meminta tolong padanya, padahal sudah kuingatkan untuk mengeceknya kembali sebelum diberikan pada Pak Dadang. Seingatku juga di hari yang sama adalah hari dimana Yudis harus segera ke rumah sakit karena ayahnya masuk ruang UGD.

Aku menarik napas cukup panjang sebelum kujelaskan pada Pak Dadang yang sedari tadi mengomel di hadapanku. Namun, aku memilih untuk tidak menceritakan panjang lebar ke Pak Dadang masalah yang sebenarnya. Aku tidak ingin memperpanjang masalah, dan menyalahkan Yudis atas ketidaksengajaannya. Lagian ini juga salah aku karena melimpahkan tanggung jawabku ke orang lain.

"Maaf, Pak. Mungkin saya khilaf salah ketik. Saya minta maaf, Pak," tuturku pada Pak Dadang penuh dengan penyesalan.

Meski seperti itu, tetap saja Pak Dadang tidak mengindahkan perkataanku. "Kamu tahu yang kamu lakukan itu fatal, kan?!"

"Iya, saya tahu. Saya salah, Pak."

Aku menundukkan kepala, tapi mataku kembali melihat Yudis yang juga diam melihatku. Kali ini ia bungkam, tak angkat bicara ataupun melakukan pembelaan. Ada apa sebenarnya antara Pak Dadang dan Yudis? Mengapa mereka tidak saling bicara? Paling tidak mereka saling menyapa. Apa ada masalah?

"Sekali lagi saya tegaskan ke kamu! Perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan itu jauh. Penyelidikan baru sebatas meminta keterangan, sementara penyidikan telah sampai pada penunjukan tersangka. Kamu harus tahu efek dari ketidaktelitian kamu dalam bekerja. Fatal akibatnya!" hardik Pak Dadang menyudutkan aku.

Aku terus saja mengangguk, tidak melawan sedikit pun. Kesalahan Yudis kali ini, biar aku yang menanggungnya.

"Ini pertama dan terakhir kamu berbuat salah. Saya nggak mau tahu. Ingat, proses kamu masuk ke sini itu sudah sangat dipermudah, nggak seperti yang lain. Jangan ngelunjak kayak teman kamu! Dikasih tahu, nyeyel wae!"

Aku menyimak intonasi Pak Dadang semakin tegas dan ikut menyudutkan orang lain. Aku tidak bertanya teman siapa yang ia maksud, karena tatapannya sudah jelas ke arah Yudis.

"Siap, Pak. Nuhun. Sekali lagi saya meminta maaf."

"Silakan keluar. Minggu ini kamu cuti, nggak usah masuk kerja! Kamu belajar sana lagi, pahami betul apa bedanya penyidik dan penyelidikan. Malu-maluin aja gelar kamu cumlaude, tapi otak kamu dangkal!"

Aku tersentak mendengar pernyataan Pak Dadang yang sarkas barusan. Aku membatin, astagfirullah.

Dari arah sofa, Yudis berdiri dengan sigap sambil mengepalkan kedua tangannya menuju arah Pak Dadang berdiri. Aku langsung lebih dulu menghampiri Yudis lalu menariknya ke belakangku. Mata Yudis cukup memerah saat ini. Tapi Pak Dadang sama sekali tidak memedulikannya.

"Sudah kalian berdua keluar sekarang! Di luar, jaga nama baik kantor ini. Jangan bandel!" teriak Pak Dadang setelah aku pamit dari hadapannya sembari mendorong Yudis keluar ruangan.

Tanduk Yudis naik. Batinnya sedang membara saat ini.

"Sudah, Yudis. Tidak usah dipikir. Istigfar. Kita langsung ke lokasi pertemuanmu dengan Sani saja ya."

"Aku nggak terima, Lan! Kau dihina habis-habisan tadi di dalam sama si penjilat Dadang itu!"

"Sudahlah, Dis. Lagian ini juga salah aku, kok. Wajar kalau beliau marah besar."

Yudis langsung melepaskan tanganku dari lengannya. "Ini salah kamu? Sampai kapan kamu mau bersikap kasihan padaku? Aku tidak perlu dikasihani!" pekiknya.

Aku mengernyit. "Apa maksud kamu? Aku tidak mengasihanimu. Toh ini memang salah aku, kan? Seharusnya aku tidak menitipkannya padamu!" kujawab dengan nada yang cukup tinggi.

Ia pasti tidak mengerti maksudku. Aku tahu Yudis menyadari kesalahannya itu. Tapi apakah dengan menceritakan yang sebenarnya pada Pak Dadang akan menyelesaikan masalah? Belum tentu. Yudis masih saja menggunakan perasaan daripada logikanya, padahal ia cukup cerdas dalam beberapa hal. Tapi perihal emosional, masih saja sulit dikontrol dengan baik.

Saat ini ia terdiam, tak berkutik. Kemudian perlahan kubuat Yudis untuk sedikit paham. "Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan cara beradu pendapat, dengan cara melawan. Kita mengalah bukan berarti kalah. Tapi ada hati yang harus dijaga."

Aku merangkul Yudis sembari jalan pelan-pelan keluar dari kantor menuju parkiran. Tak peduli berapa orang yang memandang kami, lebih tepatnya memandang Yudis yang wajahnya masih sedikit memerah. Sepertinya amarahnya mulai meredah.

Aku menasehati Yudis bahwa, "Bagaimana pun masalah yang kita hadapi, Dis. Kita harus pandai-pandai mengontrol emosi agar tidak terjerumus dalam lingkaran syaian, kamu mau jadi sekutu mereka? Ingatlah, Dis, bahwa di dalam jasad kita ini ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati."

Yudis mengangguk. "Aku minta maaf, Lan. Apa yang baru saja aku lakukan? Aku percuma salat lima waktu, puasa sunnah, ngaji, ikut majelis ilmu tapi pada akhirnya aku terjerumus oleh fitnah syaitan yang terkutuk," ucap Yudis mengelus dada.

"Perbanyak istigfar. Sertakan nama Allah setelahnya. Insya Allah, kamu akan terlindung oleh syaitan yang terkutuk itu."

"Astaqfirullah al-azim," lanjutnya mengucap istigfar berkali-kali.

Halo, Alaners. Gimana kabar antum sekalian? Semoga selalu dalam lindungan Allah. Ini saya published ulang lengkap bab ini yaaa. Happy reading ke bab selanjutnya!

So, Hal apa yang nenarik pada bab ini? Komen di sini, yuk!:)

Re-Published: Thursday, 02 April, 2020

Find me here:

IG: yudiiipratama
Wattpad: yudiiipratama

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro