Bab 16: Sirah Nabawiyah
Sebelum baca part ini, sila follow yudiiipratama untuk mengetahui info novel ke-4 saya yang akan segera terbit:) Jazakumullah. Dan selamat membaca.
[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
☔️☔️☔️
"Sirah nabawiyah adalah bukti sejarah yang tak terbantahkan. Dan perlahan peradaban tak lagi sejalan dengannya, kini sudah banyak melenceng dari koridor Tuhan. Apa ini sebuah pertanda akan tibanya akhir zaman?"
☔️☔️☔️
Hujan terus turun perlahan mengikis debu-debu yang bertebaran di sepanjang jalan menuju pondok Pesantren Daarut Tauhiid. Usai salat subuh yang dilanjutkan dengan membaca Al-Quran dan juga zikir pagi bersama Yudis tadi, setelah mendapatkan pesan dari Abi terkait alamat lengkap pondok yang akan aku datangi ini, kami berdua langsung menuju Jalan Gegerkalong Girang. Kira-kira jarak tempuh dua puluh menit dari kosku.
Sebelumnya Abi juga sudah menghubungi sepupunya yang merupakan salah satu guru besar dan pembina di Pesantren Daarut Tauhiid. Katanya ia menunggu kehadiranku di sana. Namanya Kiai Haji Muhammad Ali. Aku belum pernah bertemu dengannya, tapi kata Abi beliau sudah pernah menggendongku sewaktu balita dulu sebelum ia menetap di Bandung. Pasti ia tidak akan mengenaliku.
Mobil yang dikemudikan Yudis kini memasuki kompleks pondok pesantren Daarut Tauhiid yang begitu luas, tak ada sekat atau pun pembatas antara masyarakat dan para santri. Sepanjang jalan begitu ramai dipadati santri-santi ikhwan juga akhwat. Bahkan para pedagang Usaha Kecil dan Menengah ada di tengah-tengah kompleks ini, ditambah lagi sepanjang jalan hampir penuh oleh tukang becak dan ojek konvensional. Semuanya menyatu, kawasan pesantren ini bersifat virtual.
Abi pernah cerita tentang pesantren ini yang menjadi tempat mengabdi Paman Ali selama puluhan tahun, katanya Kiai Haji Abdullah Gymnastiar yang kerap disapa Aa Gym merupakan pendiri sekaligus pemimpin sentral di pesantren ini. Siapa yang tidak mengenal Aa Gym? Seorang pendakwah, penyanyi, penulis buku, sekaligus pengusaha yang sudah menjadi suri tauladan bagi umat islam Indonesia. Terlebih lagi ia mendirikan sebuah pesantren yang penuh hasanah. Lalu pamanku? Katanya ia juga dikenal banyak ulama di Bandung sebagai guru besar. Tapi jika kutanya pada Yudis, pasti ia tidak akan mengenalnya.
"Kita berhenti di depan, Dis. Di rumah nomor 58," pintaku pada Yudis.
Alamat yang Abi kasih adalah alamat rumah Paman Ali yang berada tidak jauh dari masjid Daarut Tauhiid. Aku yakin ia sudah menungguku di rumahnya. Setelah Yudis memarkirkan mobil di pinggir jalan, kami berdua bergegas turun.
Rumah dengan pagar cokelat itu tampak begitu ramai pada bagian teras. Pengajian sedang berlangsung, membuat aku dan Yudis harus menunggu di bawah pohon ketapang berukuran sedang di halaman rumah yang cukup luas ini hingga selesai.
Aku melirik Yudis yang suasana hatinya masih gundah seperti kemarin, ia tidak banyak bicara, matanya hanya menatap kosong ke depan. Ia tidak seperti biasa, ingin sekali aku menegurnya tapi kuurungkan. Jika aku di posisi Yudis, aku akan melakukan hal yang sama.
Pengajian yang dihadiri puluhan santri di teras rumah yang berukuran seluas sembilan meter persegi itu tengah berakhir. Satu per satu mereka pamit untuk kembali ke pondoknya masing-masing.
Seorang bertubuh besar yang memakai jubah berwarnah putih dengan jenggot panjang sejengkal berdiri dengan tegapnya menatap ke arahku. Apa ini pamanku Kiai Haji Muhammad Ali?
Dengan pelan aku berjalan ke arah beliau. Kulirik Yudis yang masih saja melamun, langsung saja aku menarik tangannya untuk segera mengikut di belakangku. Aku kemudian kembali menatap wajah bapak yang bertubuh besar tinggi itu. Balasan tatapannya sedikit menggetarkanku, wajah beliau sangat datar tanpa aksen senyum.
"Assalamualaikum, Kiai," sapaku yang langsung menunduk dan menyalami punggun tangannya.
"Waalaikumsalam warahmatullah."
Aku masih tersenyum, dan pandangannya belum juga lepas dariku. Kusenggol Yudis yang seperti orang tidak penuh gairah, lalu menyuruhnya untuk menjabat tangan orang tua yang sedang berdiri di hadapannya.
"Kau Alan anaknya Salam, ya?" tanyanya sembari menunjukku. Sudah sangat jelas, beliau ini adalah pamanku.
Aku terkekeh sembari mengangguk. "Iya. Saya, Kiai."
"Maasya Allah. Sudah dewasa kau sekarang, yah? Dulu kau masih sangat kecil, dan paman ingat betul bagaimana kau merengek ketika kugendong. Sini ... silakan duduk."
Ia kemudian menepuk pundakku dan mengajakku untuk duduk. Aku menggaruk-garuk kepala oleh karena malu. Yudis masih belum bersuara, tapi ia ikut duduk di atas kursi yang terbuat dari rotan ini.
"Gimana kabar orang tuamu?"
"Alhamdulillah, Abi dan Umi sehat walafiat."
Kemudian beliau memanggil istrinya dan juga anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Lalu memperkenalkan mereka padaku. Bibi Maryam, Bani, Hilal, dan Arini, salam kenal.
Percakapan mengalir dengan saling bertanya untuk mengenal satu sama lain, aku juga memperkenalkan Yudis pada Paman dan Bibi. Aku belum mengutarakan apa maksud dan tujuanku datang ke rumah Kiai Ali—katanya begitu sapaan murid-murid santri di sini kepada Paman. Canggung rasanya jika harus berterus terang, tapi bagaimana pun juga aku memang ke sini awalnya untuk membawa Yudis memperdalam ilmu agamanya.
"Yudis ini pasti anak orang kaya, ya?" Spontan Kiai Ali menegur Yudis.
Aku menoleh ke Yudis, ia memang sedari tadi melamun saja. Namun matanya kini sudah beralih pandang setelah mendengar perkataan Kiai Ali. Yudis sedikit memperbaiki duduknya sembari menundukkan kepala.
"Yudis teman kerja Alan di kantor kejaksaan. Ia juga yang mengenalkan Bandung pada Alan."
Kiai Ali menganggukkan kepalanya. "Kenapa kau diam-diam saja? Apa kau malu?" tanyanya sekali lagi.
"Tidak, Ki," dijawab Yudis tersenyum.
Selanjutnya Kiai kembali bertanya-tanya padaku seputar pekerjaan hingga menceritakan sedikit masa kecilnya bersama Abi.
"Aku dan abimu itu sudah seperti saudara kandung. Tinggal serumah, ke mana-mana bareng, nanti pas masuk pesantren baru pisah ranjang. Abimu masuk ke pesantren khusus hafidz, dan paman masuk pesantren umum," jelas Kiai Ali. "Aku dan abimu tidak pernah bertengkar
"Iya, Kiai. Abi juga pernah bercerita masa kecilnya bersama Kiai dulu ke aku."
"Apa yang ia ceritakan?" Tatapan seriusnya kembali.
"Kata Abi, dulu waktu kalian berdua masih kanak-kanak pernah membunuh seekor anjing karena termasuk hewan yang diharamkan oleh Allah."
Untuk pertama kalinya Kiai Ali tertawa keras hingga jenggot miliknya ditarik-tarik ke bawah, mungkin ia sedang mengingat-ngingat kejadian lucu kala itu bersama Abi.
"Ha ha ha. Itu kejadian yang paling tidak bisa Paman lupakan. Waktu itu kami masih sangat dini, belum mengerti apa-apa, tapi lucunya, kami tahu anjing itu haram. Jadi kita musnahkan saja."
Aku ikut tertawa, ditambah Yudis yang tiba-tiba nimbrung. Aku kemudian menatapnya dengan heran. Setelah itu, ia sadar kalau aku sedang menatapnya dan seketika mimik yang tadi ceria kembali luntur. Sepertinya Yudis sudah mulai terbawa suasana.
"Abi juga pernah cerita, kalau kalian berdua itu paling suka main pedang-pedangan dengan kayu, membuat anak panah dari bambu. Pokoknya membuat sesuatu benda kreatif untuk berperang ala-ala zaman nabi," kulanjut ceritaku. "Hingga salah satu dari kalian membuat anak perempuan nangis karena tidak membolehkannya ikut bermain. He he." Aku terkekeh.
"Sirah nabawiyah. Dari kecil, kami berdua sering diceritakan almarhum kakek buyutmu tentang perjalanan hidup Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Dan aku yang paling antusias setelah mendengar cerita perang badr kurba, perang uhud, perang khaibar dan wadil qura hingga kisah dibalik perang dan penaklukan Makkah. Aku masih ingat semua sejarah yang tak bisa terbantahkan itu. Zaman sekarang, pemuda seusiamu pasti hanya sedikit yang mengetahuinya."
Pembahasanku dengan Kiai Ali menjadi lebih serius, sepertinya aku terlalu mengungkit-ngungkit masa lalu beliau.
"Apa para nabi pernah melakukan kesalahan, Ki?" tanya Yudis yang membuatku sedikit terkejut.
Anak ini ternyata ikut menyimak. Syukurlah, ia bisa masuk dalam percakapan. Aku bingung harus memulai dari mana mengatakan pada Kiai Ali maksud dan tujuanku ke sini, mungkin Yudis bisa mengutarakannya. Dari tadi aku membahas masa kecilnya Kiai Ali dan Abi, yang ada semua masa kecilnya dulu yang Abi ceritakan kuceritakan kembali di sini seperti buku sejarah.
"Nabi itu seperti kita, hamba Allah yang paling dimuliakan. Tapi bagaimana pun juga, setiap manusia pasti tidak pernah luput dari kesalahan. Nabi Muhammad sekalipun."
"Apakah para nabi bertaubat, taubatnya akan diterima dan dosanya diampuni?"
What, pertanyaan apa ini?! Kenapa Yudis membuatku ingin menutup wajah ini sekarang juga.
Kiai Ali tidak menjawab, ia justru balik menatapku kebingungan. Dan aku menatap ke Yudis lalu tersenyum hambar.
"Kau manusia atau bukan?" Kiai Ali balik bertanya yang ditujukan pada Yudis.
Yudis melirikku sembari menganggukkan kepala, lalu kembali menatap Kiai Ali. Aku cemas, ia akan mendapatkan kata-kata yang pedas.
"Kau percaya dengan Allah?"
"Nya, atuh, Kiai."
Kiai Ali bukan orang sunda seperti Yudis, jadi sepanjang percakapan tadi ia menggunakan dialek yang serupa denganku.
"Tapi kenapa kau masih mempertanyakan pertanyaan yang semua orang tahu jawabannya? Ini yang aku bilang tadi, generasi sekarang banyak yang tidak tahu sejarah Rasulullah! Jangan-jangan kau juga tidak mengenal tuhanmu dengan baik. Nanaonan leu (apa-apaan ini)!"
Jakunku naik turun oleh karena menelan air liur. Sebuah tamparan kata-kata melayang keras di depan Yudis secara langsung. Anak itu langsung menundukkan kepala. Aku semakin bingung harus mulai dari mana menjelaskan maksud dan tujuan kamu berdua datang ke sini.
Aku menarik napas panjang. "Aku harus membantu Yudis."
Tanpa menunggu lama lagi, aku berbisik pada Kiai Ali untuk berbicara berdua saja. Ia pun mengajakku ke dalam ruang tamu, meninggalkan Yudis yang masih tertunduk diam. I know your feelings, Bro.
Beberapa menit aku mencoba menceritakan maksud dan tujuanku datang ke sini pada Kiai Ali. Aku menceritakan sedikit perihal Yudis yang baru saja kehilangan ayahnya, dan ia ingin belajar mendalami ilmu agama di Pesantren Daarut Tauhiid.
Keluar dari ruang tamu, aku langsung menghampiri Yudis yang masih termenung. "Dis, Kiai Ali akan mengajak kita keliling-keliling pesantren setelah ini."
Yudis tersenyum. "Bagus itu. Aku juga penasaran dengan pesantren ini yang katanya ada tempat latihan memanah dan menunggang kudanya."
"Daarus Sunnah. Kawasan olahraga kuda dan belajar memanah. Dari mana kau tahu?" tandas Kiai Ali.
"Ramai diperbincangkan di sosial media, Ki," dijawab Yudis.
Kiai Ali kembali duduk di antara kami. "Nanti sekalian kita ke sana. Kalian bisa mencobanya."
Aku dan Yudis saling melempar tatapan senang.
"Oh, ya. Setiap selesai salat magrib di masjid Daarut Tauhiid ada ta'lim yang membahas dari awal tentang sirah nabawiyah. Kalian boleh ikut. Khususnya Yudis yang ingin memperdalam ilmu agama. Dan mulai besok, kalian berdua boleh ikut serta dalam kajian di beberapa santri putra di pondok Daarut Tauhiid ini. Jangan khawatir, aku adalah salah satu Pembina mereka, jadi kita akan sering-sering bertatap muka."
Wajah Yudis yang tadinya murung kini terlihat semringah. Niatnya memperdalam agama sungguh membuatku terpukau. Tidak ada kata terlambat untuk sesuatu hal yang baik. Sebenarnya saat perbincangan empat mata tadi, Kiai Ali menyuruhku untuk meninggalkan Yudis di sini sendirian, katanya biar ia yang mengurusnya. Tapi aku sudah berjanji pada Yudis untuk menemaninya mendalami islam. Maka dari itu aku meminta izin pada Kiai Ali untuk turut serta di setiap kajiannya.
Tidak hanya itu, Kiai Ali memberikan dua buah buku terjemahan dari arab yang berjudul Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri kepada kami berdua.
Kiai Ali menitip pesan pada aku dan Yudis sebelum memberikan buku tersebut, "Kalian harus menjadi generasi ahli dzikir, ahli fikir, dan ahli ikhtiar. Perjalanan hidup Rasulullah begitu luas membentang seperti lautan. Rasulullah menyimpan pesona alami nan abadi. Tak ada mata yang akan bosan memandang, tiada hati yang jemu menikmati, tiada henti-hentinya orang menyelami. Sebab beliau adalah pesona sepanjang masa, dan sosok sebaik-baiknya suri tauladan. Jadilah seperti beliau, ikuti sunnah rasul. Merindulah padanya, sebab kita tidak akan ada tanpa kasih dan sayangnya."
Air mata Kiai Haji Muhammad Ali mengalir membasahi pipinya. Aku bisa merasakan beliau begitu tawaduk pada baginda nabi Muhammad. Kulihat Yudis ikut berkaca-kaca. Sejatinya hatiku juga tergugah, siapa pun yang mempertajam pandangannya tentang sejarah Rasulullah pasti akan terpesona melihat kemanusiaan yang begitu indah. Tidak ada seorang pun yang dapat menyerupainya dalam kesabaran menghadapi cobaan, keteguhan memegang prinsip-prinsip kebenaran, serta kemantapan hati dalam menghadapi goncangan dunia. Sungguh, Allah telah membentuk pribadi Nabi Muhammad, menjauhkan diri beliau dari kepalsuan hawa nafsu duniawi yang menyesatkan.
Hatiku seketika meringis, Abi sering menceritakanku tentang baginda nabi, bahkan tak jarang aku juga membacanya sendiri. Tapi kenapa aku masih sulit mencontoh beliau? Mengikuti semua sifat-sifat beliau? Apa hati ini belum mendapat hidayah? Berilmu saja tidak cukup untuk menolongku bertemu dengan Rasulullah kelak.
Aku kembali menatap Yudis, raut wajahnya begitu serius mendengar segala masukan dan pesan yang Kiai Ali lontarkan. Maasya Allah, semoga ia akan benar-benar berubah dan istikamah.
☔️☔️☔️
Karena merevisi itu melelahkan, maka dari itu bantu saya menemukan typo dan penggunaan kata/kalimat yang kurang tepat.
Oh, ya, sepertinya saya perlu membahas panjang tentang sirah nabawiyah. Kalian tahu, kan, Sirah Nabawiyah? Coba kalian berbagi di sini kekaguman pesona apa yang paling membekas di hati dari perjalanan Rasulullah:) [Komen di sini]
Find me here:
IG: yudiiipratama
Wattpad: yudiiipratama
Published: Saturday, 17 August, 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro