Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14: Kematian

Sebelum baca part ini, sila follow yudiiipratama untuk mengetahui info novel ke-4 saya yang akan segera terbit:) Jazakumullah. Dan selamat membaca.

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
☔️☔️☔️

"Sebab kematian adalah sesuatu hal yang pasti. Dan tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati."
☔️☔️☔️

~Pov Yudis~

            Pukul delapan pagi waktu jam di rumahku, Alan memberi aku kabar kalau ia tidak akan masuk kantor oleh karena harus pergi ke acara syukuran adiknya Teteh Jihan yang tengah berulang tahun hari ini. Sebelumnya ia mengajakku juga ke sana sekaligus menemaninya mencari sebuah kado untuk Adit. Tapi aku tidak bisa, aku harus menyelesaikan tugasku dulu di kantor. Kalau sempat, aku akan menyusul.

            Seperti biasa, sebelum berangkat kerja, aku harus meladeni ocehan ayahku dulu. Kemudian mendengar ucapan sok manis istrinya itu di depanku. Aya-aya wae, orang tua ini begitu pandai bersandiwara di depan suaminya. Jika saja Bunda masih ada di rumah ini, aku tidak akan sesial sekarang.

            "Kalau di kantor, biasakan untuk tidak keluyupan sesukamu. Walaupun aku atasan di sana, aku tidak peduli meski kau anakku sendiri." Suara beratnya sungguh membuatku ingin menutup telinga. "Aku tidak mau lagi mendengar laporan-laporan aneh, kau sering hilang ketika penugasan, kau sering tertidur di ruang kerja. Bahkan kau selalu menghilang di kantor setelah jam makan siang."

            "Ingat lagi satu hal! Tahun depan, kau harus lulus menjadi seorang jaksa. Kali ini, Ayah yang akan mengurus semuanya. Dan kau tinggal tunggu arahan saja. Jangan lagi menolak atau pun membangkang!"

            Sedikit lagi, tubuh ini akan meronta-ronta lantaran tekanan batin yang selalu Ayah berikan, namun aku berusaha keras untuk menahan amarah. Hampir setiap pagi, kondisi hatiku tidak pernah damai meninggalkan rumah ini.

            "Lieur, ah! Terserah Ayah saja," tuturku dalam hati. (Pusing, ah!)

            Setelah aku selesai menyantap sarapan pagi, Ayah menyodorkan sebuah map berisi surat-surat yang harus aku berikan ke Pak Dadang. Aku sama sekali tidak peduli ketika Ayah mengatakan bahwa map merah tersebut penting dan harus segera Pak Dadang periksa hari ini. Aku tahu ayahku seorang Jaksa yang sudah berpuluh-puluh tahun bergelut di bidangnya, tapi apakah ia harus menekan setiap orang yang bekerja di bawah arahannya? Entah kapan ia akan berubah. Sama anak kandungnya saja ia tegas, apalagi pada orang lain. Wajar saja jika Pak Dadang selalu menuruti apa yang aku minta darinya, toh ia adalah salah satu korban dari under pressure.

            "Ingat, langsung bawa ke ruangan Pak Dadang." tegasnya lagi.

            Aku hanya mendengkus kemudian kujawab singkat, "Siap, Pak!"

Sesaat ingin beranjak dari meja makan dan mengambil map tersebut, tiba-tiba adik tiriku berdiri di atas kursi dan langsung lebih dulu menarik map. Sontak semua yang ada di ruang makan terkejut, kecuali aku. Adik tiriku memang bangor. Tak jarang ia kubuat nangis karena keusilan dan kecaperannya padaku.

Seperti sekarang ini, aku sangat malas meladeninya. Dan aku harus segera berangkat ke kantor. Anak polos itu terlihat tertawa bahagia menggenggam sebuah map, tetapi tidak kubiarkan itu berlangsung lama. Aku justru langsung menarik mam tersebut dari tangannya. Ia kemudian diam sejenak, kemudian aku memukul pelan punggungnya menggunakan map ini.

Lagi-lagi ia kembali merengek. Sebentar lagi Ayah akan memarahiku.

"Yudis!" pekik Ayah.

Kujawab tersenyum simpul lalu beringsut dari ruang makan.

"Mas Haliq," ucap halus istrinya. Si munafik akhirnya bicara. "Enggak apa-apa, Mas. Namanya juga anak-anak."

Melihat wajahnya yang penuh dengan kepura-puraan itu, aku ingin muntah. Daripada melihat drama yang tidak keruan, lebih baik aku segera pergi dari sini.

"Punten, Yudis pergi dulu," kataku sebelum benar-benar hilang dari pandangan.

Masih bisa kudengar Ayah mengatakan, "Pulang kerja, langsung pulang ke rumah. Jangan keluyuran."

Meski Ayah tegas, aku tetap tutup telinga. Hampir semua perkataannya tidak kuindahkan. Untuk apa ia menyuruhku pulang? Sedangkan ia sangat disibukkan dengan pekerjaannya. Jika saja pulau sumatera dekat dari Bandung, akan kususul Bunda juga Sarah. Tapi hak asuh terhadapku sudah diberikan sepenuhnya pada Ayah, dan Sarah ikut Bunda. Ah, kenapa juga aku dan adikku harus terlibat dalam perceraian mereka berdua. Aku benar-benar muak! Bunda tahu, Yudis selalu rindu.

Menuju garasasi mobil, entah kenapa perasaanku sungguh tidak enak meninggalkan rumah. Seperti ada bisikan seseorang menghalangiku untuk tidak ke luar. Selang beberapa waktu, handphone-ku bordering, aku terbangun dari pikiran kosong. Segera aku merogoh saku celana untuk meraih telepon yang ternyata datang dari Alan. Setelah masuk ke dalam mobil, aku langsung menjawabnya.

"Assalamualaikum, Lan. Kunaon?"

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Dis." Seperti biasa, anak pak ustad menjawab salamku lengkap, huruf w-nya taka da yang tertinggal.

"Afwan, Dis. Kamu sudah di kantor?"

"Ini baru mau jalan."

"Syukurlah. Aku boleh minta tolong, nggak?"

"Boleh, dong. Apa, sih, yang nggak buat, Kang Alan?" candaku seraya menstarter mobil.

"Itu Pak Dadang minta surat panggilan penyelidikan kasus tipikor, suratnya ada di atas meja kerjaku. Bisa tolong antarkan ke ruangannya Pak Dadang?"

"Bisa, kok."

"Alhamdulillah. Tapi sebelumnya, jangan lupa dicek dulu ya suratnya, barangkali ada kekeliruan, langsung kamu eksekusi saja. Tolong, ya, Dis."

"Na'am, Akhi. Laksanakan!"

Kudengar Alan tertawa di seberang sana. "Syukron, Dis. Kalau pekerjaanmu sudah selesai, nanti nyusul ya. Adit pasti nungguin."

"Siap. Datang dong. Teh Jihan kan juga sedang menungguku."

"Ah, ngawur kamu. Ha ha."

"Ha ha ha. Tenang, Lan. Nggak usah cemburu gitu, Jihan sukanya sama kamu." Aku menggodanya.

Alan pun kembali tertawa, ia tak sanggup menahannya. "Ya, sudah. Hati-hati. Aku lanjut cari kado dulu buat Adit."

"Mangga, Kang."

Panggilan pun terputus setelah kami saling melempar salam.

Aku kemudian menancap gas meninggalkan rumah, meninggalkan perasaan-perasaan yang tak keruan menuju kantor Kejaksaan Negeri Bandung. Di beberapa ruas jalan terjadi kemacetan, tapi itu tidak berlangsung lama. Hingga aku tiba di kantor, hujan langsung mengguyur Bandung cukup deras pagi itu. Untung saja, aku memilih parkit di basemen.

Sebelum memberikan map ini ke Pak Dadang dan juga menyerahkan surat yang ada di meja kerja Alan, terlebih dulu aku harus menyelesaikan pekerjaanku. Ini lebih penting dari sekadar menjalankan amanah yang dititipkan orang lain padaku. Hampir sejam aku berdialog dengan teman kantorku yang rata-rata usia mereka lebih tua enam tahun. Seperti biasa, basa basiku ke mereka tidak seperti Alan. Jika ke Alan aku mengoceh ini itu, jika ke teman kerja hanya berbicara ala kadarnya.

Hampir dua jam aku menahan diri duduk di ruangan ini, sekarang sudah waktunya finalisasi berkas-berkas hasil survei lapangan kemarin. Setelah itu, beranjak dari sini. Aku selalu merasa, pekerjaanku cepat selesai lebih awal dibandingkan yang lain. Apa karena faktor umur atau aku yang terlalu semangat di setiap harinya? Makanya aku suka keluyuran sana sini. Ayah tak tahu saja dengan kinerjaku.

Hanya hitungan satu dua menit, berkas-berkas sudah aku email ke atasanku. Akhirnya, aku bisa menyusul Alan. Namun sebelum itu, aku harus menemui Pak Dadang untuk memberikan map merah ini dan selembar surat yang Alan telah kerjakan.

Aku meninggalkan ruang kerjaku tanpa pamit ke rekan kerjaku, selalu seperti itu. Menuju ruang administrasi, sepanjang koridor kantor tampak begitu sepi. Apa tak ada kasus yang harus disidang hari ini? Padahal masih pagi menjelang zuhur. Oh, iya, pantas saja semua orang bermalas-malasan, Kepala Kejaksaan Negeri Bandung saja masih leha-leha di rumahnya. Mantap djiwaaa.

Setibanya aku di meja kerja Alan, aku langsung menarik dua lembar kertas yang ada di atas meja. Ada dua kertas, isinya surat panggilan terhadap tipikor (Tindak Pidana Korupsi) dari terdakwah yang sama. Yang membedakan adalah jenis surat panggilannya, satu surat penyidikan dan satu lagi surat penyelidikan.

Aku bingung, tadi Alan menyuruh aku membawa surat yang mana, ya? Hadeh, Nanaonanleu? Kenapa aku bisa lupa? Aku menepuk jidat sembari memandang kedua kertas tersebut.

Suara azan kemudian berbunyi selang beberapa saat, menandakan waktu zuhur telah tiba. Tanpa berpikir panjang lagi, aku kembali menarik satu lembar surat yang paling atas tadi, itu sudah pasti surat yang Pak Dadang minta. Iya, surat penyidikan.

Setelah meyakinkan diri, aku langsung beranjak menuju ruangan Pak Dadang. Semoga ia tidak ada di ruangannya, jadi aku bisa langsung menyimpannya saja di atas meja tanpa harus diajaknya ngobrol panjang lebar. Aku sedikit lelah jika harus meladeni Pak Dadang yang selalu saja menyanjung sosok Pak Haliq di depanku dengan menyebutku si Bos Kecil.

☔️☔️☔️

            ~Pov Alan~

            Acara syukuran hari lahir Adit berlangsung dengan penuh hikmat, namun sayangnya Yudis belum juga hadir di tengah-tengah keramaian dan keramahan keluarga Jihan. Setelah tadi melaksanakan salat zuhur di masjid dekat rumah Jihan, aku kembali duduk dan begitu canggung harus berdiam diri di pojokan sendiri, melihat calon mertua sedang bercengkerama ria dengan anak perempuannya yang gelies pisan.

Lan, apa yang ada di pikiranmu? Calon ibu mertua? Berkacalah sebelum berbicara. Dan segeralah menyebut nama Allah. Lirihku dalam diam yang sedang mencoba untuk tidak terus-terusan menatap Jihan yang tak berada jauh duduk menghadapku.

Ingin kuajak Adit main, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa jika berada di keramaian. Ia hanya bisa tertunduk diam. Alhasil, Liana menghampiriku dan mengajakku berbicara. Tuturnya begitu sopan seperti biasa, apalagi logat sundanya sangat mengental. Aku tidak berharap Jihan menghampiriku. Di sana juga ada aba Jihan, orang tuanya baru tiba dari Makassar semalam, sudah pasti ia tidak akan menghampiriku. Mungkin setelah acara selesai. Aku berharap Yudis segera tiba, agar aku tidak secanggung ini.

Beberapa kali orang tua Jihan melirikku. Sontak aku tertunduk malu. Sepertinya Jihan sedang memperkenalkan aku kepada mereka. Aku menggaruk-garuk kepala, setelah ini aku akan menanyakan pada Jihan apa yang mereka bicarakan.

Tak lama kemudian, sebuah notifikasi pesan whatsapp masuk, layar teleponku menampilkan pesan yang datang dari Yudis. Aku langsung menggeser layar dan membaca pesannya itu.

            Chat from Yudis:

            Maaf, Lan. Aku tidak bisa menyusulmu. Aku dapat telepon dari rumah kalau ayahku masuk UGD, aku menuju rumah sakit sekarang. Tidak usah mengkhawatirkanku. Jangan pergi sebelum acara selesai. Sampaikan juga permohonan maafku pada Adit dan Jihan. Mohon doanya, semoga ayahku baik-baik saja.

Innalillahi. Aku segera berdiri, lalu mencari tempat jauh yang tidak ramai dari khalayak. Tiba-tiba saja aku mencemaskan Yudis, sebelumnya aku belum pernah bertemu dengan ayah Yudis. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan beliau.

Saat aku telah berada jauh dari keramaian, aku langsung menelepon Yudis. Tapi ia tidak mengangkatnya. Aku mengirimnya chat agar segera mengangkat teleponku. Namun tetap saja, pesanku tidak dibaca olehnya meski status sedang online.

Ketika aku membalikkan badan, aku dikejutkan dengan seseorang berjilbab hitam dengan pakaian syar'I berwarna putih menghampiriku. "Ada apa, Lan?"

"Eh, Jihan." Jantungku semakin berdebar. "Huft, kamu hampir membuat jantungku copot," dengkusku.

Ia tersenyum. "Afwan. Memangnya, kamu menelepon siapa?"

"Oh, anu ... ayahnya Yudis masuk UGD katanya."

"Innalillahi. Kapan? Sekarang Yudis di mana?"

"Baru-baru saja. Aku dapat pesan darinya, ia sedang menuju rumah sakit."

"Ya, sudah, kamu ke rumah sakit sekarang."

Aku menggelengkan kepala. "Yudis tidak mengangkat teleponku. Dan ia menyuruhku untuk tetap di sini, jangan pergi sampai acaranya benar-benar selesai."

Jihan tidak menjawab kali ini, ia terdiam. "Yudis juga mengucapkan permintaan maaf kepadamu dan Adit."

"Na'am. Semoga ayah Yudis segera diangkat penyakitnya. Insya Allah ia akan baik-baik saja. Besok, kita harus menjenguknya."

            Aku mengangguk setuju.

            "Oh, ya, Lan. Mari ikut aku. Ingin kukenalkan kamu pada Aba dan Umma."

            "Hah." Aku membelalak. "Se—serius."

            "Iyaaa. Kenapa kamu terkejut seperti itu?"

            Lagi-lagi aku menggeleng. "Enggak apa-apa. He he."

            "Ya sudah, sok atuh," ajak Jihan.

            Tiba-tiba saja jantung ini semakin berdetak tak beraturan. Meski seperti itu, pikiranku melayang ke Yudis. Maafkan aku saudara, semoga limpahan karunia dan rahmat Allah selalu tercurah padamu dan keluarga. Amin.

☔️☔️☔️

            Grup Whats App sejawat kantorku tengah ramai sejak subuh tadi, dan aku baru membukanya setelah melaksanakan salat subuh di masjid dan membaca dua lembar ayat al-qur'an. Aku begitu terkejut di kamarku ketika melihat notifikasi pesan dipenuhi dengan ucapan belasungkawa.

            Pesan belasungkawa juga datang langsung dari Pak Dadang yang turut berduka cita atas wafatnya Prof. Haliq Sudikno Mertokusumo SH. MH selaku Kepala Kejaksaan Negeri Bandung. Membaca pesan tersebut bibir ini bergetar mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Hari itu, aku masih mengingat jelas bagaimana sikap Pak Haliq terhadapku. Sunggung, dengan segala kekhilafan, aku meminta maaf terhadap beliau atas pemikiran-pemikiran burukku terhadapnya. Dan dengan segala kerendahan hati, aku sudah memaafkan beliau apabila ada salah. Terimalah ia di tempat terbaikmu, ya Allah.

            Saat itu juga aku langsung turut mengucapkan belasungkawa di dalam grup tersebut, kemudian menghubungi Yudis untuk menjemputku agar bersama-sama ke rumah duka. Namun, WA Yudis belum juga terhubung dari kemarin. Bahkan aku tidak mengetahui kabarnya setelah pesan terakhirnya yang menyatakan ayahnya masuk rumah sakit. Semua pesanku hanya ceklis ke Yudis. Anak itu benar-benar aneh. Apa sebenarnya yang terjadi? Ia terlalu banyak menyimpan rahasia dariku.

            Daripada aku berpikir yang tidak-tidak, aku kembali mengambil air wudhu dan langsung melaksanakan salat gaib. Mungkin aku hanya akan datang pada saat pemakaman saja. Aku masih harus menunggu kabar dari Yudis agar ada yang menemaniku untuk pergi ke rumah duka. Jika tidak, aku akan ke pemakaman seorang diri.

            Berjam-jam aku menunggu kabar Yudis, arahan demi arahan juga sudah menjalar di grup whats app, terakhir Pak Dadang me-notice kami yang belum datang agar menyusul ke pemakaman saja, karena jenazah segera diantar ke pemakaman dan dikebumikan sebelum pukul sepuluh.

            Pak Dadang memberikan alamat TPU (Tempat Pemakaman Umum) yang akan menjadi tempat peristirahatan terakhir dari Pak Haliq. Koordinasi kami yang tergabung dalam grup pegawai honor KNB berada pada Pak Dadang. Dan itu membuatku harus segera meluncur menuju pemakaman. Setelah bersiap-siap lalu memesan gojek, aku pun langsung bergegas.

            Sekarang waktu menunjukkan pukul sembilan lewat pada jam tangan milikku. Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan yang aku tempuh agar tiba di lokasi pemakaman yang sangat ramai dari peziarah ini. Aku berada jauh dari tempat penguburan, taka da jalan pintas untuk melewati lautan manusia.

Maa sya Allah, begitu banyak yang datang untuk mendoakan almarhum Pak Haliq. Ia merupakan orang yang besar, sosok yang sangat dikagumi oleh banyak orang. Khususnya para penegak-penegak hukum. Berbanggalah ia yang menjadi anaknya, sang generasi Pak Haliq yang memiliki kesempatan besar untuk melanjutkan perjuangannya sebagai jaksa tersohor seantero negeri khatulistiwa.

Setelah pemakaman berakhir, aku menunggu hingga situasi tidak lagi ramai untuk menghampiri nisan Pak Haliq. Aku harus meminta maaf secara langsung di depannya melalui doa. Mungkin hari itu adalah pertemuan yang membuatku menyesal. Seharusnya aku tidak berprasangka buruk terhadap beliau.

TPA yang tadi dipenuhi dengan lautan manusia, kini hanya tersisa beberapa pegawai kejaksaan, Pak Dadang, dan keluarga yang ditinggalkan. Aku mendekati Pak Dadang, dan berdiri di sebelahnya. Ia menoleh padaku.

"Dari mana saja kamu?" lirih Pak Dadang.

"Maaf. Saya tadi di belakang, Pak." Suara Pak Dadang dan tangisan keluarga Pak Haliq saling sahut-sahutan.

"Kamu harusnya menemani Yudis di depan tadi. Ia sangat membutuhkanmu saat ini."

Aku mengernyit. "Maksudnya, Pak?" Tatapanku menoleh ke Pak Dadang.

"Kumaha, teh, Nak Alan?" tanya Pak Dadang yang juga menoleh ke aku. "Itu Yudis sedang berduka di depanmu!" lanjutnya memelototiku.

Sontak aku melempar tatapan ke depan, aku melihat seseorang yang tidak asing memakai kaus oblong hitam mengeluarkan suara isak tangis sambil memegang batu nisan. Perlahan, ia menoleh padaku. Kulihat matanya sembab, pipinya penuh air mata, wajahnya kumal, rambutnya acak-acakan.

"Ayahhhhhhhhhh!"

Kemudian suara tangis memecah keheningan pagi itu. Bibir ini mulai bergetar mendengar teriakannya, tubuh ini seketika kaku. Ia, Yudis saudaraku sedang berduka. Ternyata ... ia anak yang beruntung itu. Anak dari seorang tersohor. Tapi aku baru mengetahui semuanya.

Bibir ini masih saja bergetar, tidak bisa berkata apa-apa. Aku tak bisa bergerak dari tumpuanku sendiri. Semua terasa kaku. Hatiku seperti tercabik-cabik dan perlahan air mata mulai menitik.

Ia, Yudis saudaraku sedang berduka. Masih pantaskah aku disebut seorang saudara? Maafkan aku, Yudis.

☔️☔️☔️

Bab ini, beberapa kali membuatku menitikkan air mata, hingga aku selalu teringat almarhum Ayah. Bahkan ketika menulisnya, aku susah untuk menahannya:) Selamat membaca. Harusnya di-update semalam, tapi karena kendala jaringan, akhirnya tertunda. Afwan. Syukron kasiran sudah mau menunggu.🙏

Ada yang nangis membaca Bab ini? [DIJAWAB DI SINI]

Find me here:
IG: yudiiipratama
Wattpad: yudiiipratama

Published: Saturday, 20 July, 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro