Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13: Shohibul Qalbi

Sebelum baca part ini, sila follow yudiiipratama untuk mengetahui info novel ke-4 saya yang akan segera terbit:) Jazakumullah. Dan selamat membaca.

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
☔️☔️☔️

"Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh, maka peganglah erat-erat."
-Umar bin Khattab-
☔️☔️☔️

Hujan kembali turun dengan derasnya mengguyur Kota Bandung sore itu. Aku dan Yudis masih di sini, restoran junk food McDonald's. Sani pamit lebih dulu setelah ia dijemput oleh keluarganya yang juga datang dari Jakarta.

Aku menghargai Sani hanya sebagai seorang teman, memuji kecantikannya dalam diam adalah sebuah kemunafikan, karen jujur di hadapannya akan membuat suasana hati semrawut-mungkin. Dari awal aku di Bandung, sebisa mungkin mata ini berusaha menghindar dari kecantikan perempan berdarah sunda yang membuat iman goyah. Tapi apa daya, aku hanya manusia biasa.

"Apa yang kamu cerita dengan Sani tadi? Pasti dia tertarik denganmu, kan?" tanya Yudis semringah.

"Maksudmu tertarik?"

"Sejak kalian pertama kali bertemu, Sani sudah penasaran sama kamu."

"Ah, serius?" Wajahku sedikit penasaran. "Terus?"

"Menurutmu dia bagaimana?"

"Ya, dia cantik," kujawab asal. "Tapi tak secantik Jihan. He he." Aku terkekeh.

"Ah, sudah kuduga. Sisakan Sani untukku."

Aku hampir terperanjat. Apa iya, Yudis menyukai Sani? Aku tidak ada masalah jika memang benar, tapi bukannya mereka adalah sahabatan sejak dulu? Pikirku dalam hati.

Oleh karena aku memasang wajah terkejut, Yudis mengatakan, "Kamu mau sama Sani juga? Wah, Gelo maneh, Kang Alan, euy," lanjutnya terpingkal-pingkal.

Aku mendengkus sebal sembari menggaru-garuk kepala. "Ah, kumaha anjeun weh, Dis." (Terserah kamu saja, Dis.)

Yudis masih tertawa sembari menikmati fruit tea miliknya yang belum juga habis, sedangkan aku kembali menatap kaca transparan yang mempertontonkan rintik hujan di luar sana. Ah, semakin deras saja. Terlihat kasihan beberapa pengendara motor itu serta pejalan kaki yang secara terpaksa harus berlarian masuk ke halaman restoran hanya untuk berteduh. Sedangkan pengendara mobil harus ikut menahan sabar di tengah-tengah badai lantaran macet.

Aku juga kasihan pada diriku, setengah jam lalu waktu salat asar sudah berlalu dan aku masih terjebak di sini. Resto ini tidak menyediakan musala, jadi bagaimana mau salat? Meski Yudis mengendarai mobil, tetap saja di luar sedang macet parah dan jarak masjid dari sini cukup jauh. Bandung benar-benar tidak bersahabat hari ini. Beberapa kali aku mendengkus, kemudian aku menyalakan handphone dan kembali menonton anime di youtube. Ada banyak episode baru. Untuk sesaat, waktuku tersita menonton anime. Lantas Yudis kusilakan mengoceh tanpa mengindahkannya-apalagi yang bisa ia lakukan selain menggangguku.

Namun, aku berhenti memutar anime saat Yudis melempariku sebuah pernyataan serius. "Aku minta maaf, ya, Lan. Aku seperti parasit saja yang terus-terusan menganggu hidupmu."

Aku mengernyit. "Apa yang kamu bicarakan?" Handphone­ secara tak sadar kuletakkan di atas meja, dan mataku tertuju pada Yudis. Kali ini, apa lagi yang ada di benak anak ini?

"Sudah dari dulu aku mencari sahabat sepertimu," lugasnya lagi.

Tatapan Yudis kosong ke depan beberapa saat. Kemudian aku berdeham, membuat Yudis kembali menatapku, tarikan napas panjang hingga embusan napas ini memperlihatkan senyuman merekah pada wajah. "Kamu tahu bagaiamana sebuah persahabatan tercipta, Dis?"

Yudis sejenak berpikir. "Saling membantu ketika kita susah adalah persahabatan yang dilandasi pada ketulusan. Dan saling menjaga dengan baik adalah sebuah keharusan," lirih Yudis ketika aku mempertanyakan definisi persahabatan padanya.

Kembali aku menanggapinya dengan senyum. Aku tidak membenarkan atau pun menyalahkan pernyataan Yudis, hanya saja ia sedikit keliru memandang persahabatan begitu luas.

"Kamu tahu berapa jumlah sahabatmu?" kutanya lagi.

Kulihat Yudis kembali berpikir, mungkin menghitung jumlahnya.

"Sani termasuk sahabatku sejak awal-awal kuliah dulu. Mungkin juga kamu ingat Rendi saat kita interview, ia juga termasuk sahabatku semasa kuliah. Tapi sekarang, ia hilang kabar. Sebenarnya sahabatku ada banyak, sih, Lan. Tapi nggak ada, tuh, kayak kamu." Yudis menggelengkan kepala, tatapannya kembali kosong ke depan.

"Apa kontribusinya mereka dalam hidupmu?"

Yudis balik menatapku heran. "Kebanyakan menyusahkannya, sih. Atau, mereka datang ketika butuh saja, setelah itu menghilang." Ia tersenyum lebar.

Aku sedikit tertawa mendengar jawaban Yudis. Ia begitu polos dalam berteman, tipikal orang yang mudah diperalat sepertinya. Aku melihatnya terlalu baik, mungkin Yudis tidak sadar kalau aku mempelajari dirinya dari bagaimana ia menyikapiku.

"Abiku pernah bilang, bersahabatlah dengan orang-orang yang saleh. Sungguh itu nikmat yang sangat besar."

"Maksudnya?"

"Ya, sahabat saleh itu akan selalu menasehati kita ketika salah. Tidak hanya ada ketika bersenang-senang saja, atau sahabat yang memuji karena basa-basi semata. Shadiqaka man shadaqa laa man shaddaqaka; Sahabat sejatimu adalah yang senantiasa jujur ketika salah diingatkan, bukan senantiasa membenarkanmu."

Yudis terlihat menyipitkan mata. "Kalau begitu, kenapa kamu mau bersahabat denganku?" tanya Yudis seperti tersinggung. "Aku kan tidak pernah menasehatimu yang baik-baik, Lan. Hampir semua buruk."

"Bandung sangat besar, Dis. Orang kayak aku tidak mudah bergaul, dan takut salah gaul. Lagian kalau itu hal yang salah, aku tidak akan mungkin mengikutimu. Aku juga memilihmu, karena kamu ada baiknya. Dan insya Allah akan menjadi orang yang saleh nantinya."

"Amin. Bantu aku, Lan. Kamu termasuk orang-orang yang saleh."

"Amin. Insya Allah. Itu doa, yaaa. Ha ha." Aku tertawa kemudian.

Aku tidak pernah menganggap diriku saleh di depan Yudis, tidak sedikit pun. Aku hanya lebih beruntung darinya oleh karena lebih memahami agama. Meski terkadang, sifat manusia yang selalu saja lalai. Itu tak bisa dipungkiri. Seperti saat ini, aku belum juga mengerjakan salah satu salat wajib. Apa Allah akan memaklumi? Wallahu A'lam Bisshowab.

"Suatu hari aku akan mengajakmu ke pesantren milik pamanku di Bandung."

"Oh, ada, ya? Hoyong, atuh." (Pengin, dong)

"Iya. Dan akan kupastikan kamu bisa berkumpul dengan orang-orang yang saleh di sana. Sebab sifat seseorang dan kesalehan itu menular, Dis. Aku masih ingat salah satu hadis riwayat bukhari dan muslim; perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk itu seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api atau pandai besi."

Kulihat Yudis begitu serius menyimak pembicaraanku. Aku bisa merasakan semangatnya itu masih ada. "Kamu tahu jika berteman dengan penjual minyak wangi, mungkin ia akan memberikan hadiah kepadamu, atau kamu akan membeli darinya, atau bisa saja kamu akan mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan berteman dengan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk. Seperti itu pertemanan tercipta."

"Kapan, atuh, kita bisa ke pesantren pamanmu itu?"

"Yuk."

"Hah, Bade' kamana?" Yudis terperanjat. (Mau kemana?) "Sekarang?"

"Enggak, Dis. Kita salat asar dulu. Ini sudah mau petang. Macet di luar bukan halangan."

Yudis melihat jam tangannya. "Kenapa nggak bilang dari tadi, sih, Lan? Kita lewat jalan pintas saja."

Mataku membelalak. "Oh, ada?!" Aku menepuk jidat. "Alhamdulillah."

Kami berdua langsung beranjak dari resto untuk segera mengejar waktu salat asar yang segera berlalu. Yudis terlihat semangat, hingga di dalam mobil ia kembali mengucapkan terima kasih padaku.

"Nuhun, ya, Lan, atas pembelajarannya hari ini."

"Na'am, akh." Aku tersenyum. "Segala puji hanya milik Allah."

Seketika aku lanngsung teringat Jihan. Wajahnya melintas begitu saja di depan mataku. Biasanya, Jihan menasehatiku dengan bumbu-bumbu hadis. Entah itu secara langsung maupun melalui pesan WA. Namun sejak menjaga jarak, aku tidak lagi mendapatkan itu darinya. Jika aku merindukan perempuan saleh itu, apakah sebuah kesalahan?

Aku kembali menarik napas. Sedang apa kamu, Jihan?

☔️☔️☔️

Jangan lupa vote dan komennya, akhi/ukhti.
Siang ini, kita ketemu lagi, ya;) Insya Allah update di pukul dua siang. Stay tune!

Find me here:
IG: yudiiipratama
Wattpad: yudiiipratama

Published: Saturday, 20 July, 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro