Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 06: Secangkir kopi untuk Alan

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
☔️☔️☔️

"Kuharap aku bisa menjadi peredah, di saat jiwa seseorang sedang murka. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat orang-orang  di sekelilingku merekah bahagia."
☂️Jihan Astrid Savira☂️
[Psikolog Muda]
☔️☔️☔️

Sore itu hujan telah berlalu, menyisakan embun dan genangan air di luar cafe Iconik Bandung. Perbincanganku dan Jihan berlangsung begitu hangat. Masukan demi masukan Jihan lontarkan padaku.

Ia mengatakan dengan suara yang begitu lembut, "Ini bukanlah musibah, Alan. Melainkan ujian yang Allah berikan untukmu. Agar kamu lebih tawadu', mau kamu sepintar apa pun, tapi kalau tidak ada izin Allah di dalamNya, tidak akan pernah terwujud.

"Iya, Jihan. Aku mengerti. Terima kasih, yah."

"Sama-sama. Kuharap aku bisa menjadi peredah, di saat jiwa seseorang sedang murka. Bukan tanpa alasan, Lan aku baik padamu. Aku hanya ingin melihat orang-orang di sekelilingku merekah bahagia."

Aku mengangguk paham. Bisa kurasakan ketulusannya, ia memberi saran tanpa ada rasa menggurui. Ah, semoga Allah ta'ala membalas kebaikan wanita yang sedang duduk manis di depanku ini.

Jihan tersenyum, lagi-lagi menguji imanku. "Atas segala sesuatu yang telah terjadi kembalikan pada-Nya. Ikhlaskan."

Aku mengangguk. Semua kata-kata yang wanita ini lontarkan, Masya Allah membuat hatiku sangat tentram. Seketika amarah dan beban pikiran hilang dengan sendirinya. Ya Allah, aku tahu ini tidak boleh terjadi, bahkan Umi dan Abi akan marah jika aku ketahuan tak menjaga mata, hati, dan pikiran

Tapi apa daya, aku sangat rapuh dan butuh arahan sekarang. Kuharap, hadirnya Jihan atas kehendakMu, untuk aku yang sedang merasakan kegagalan. "Harus kuat, Lan. Aku juga pernah ada di posisimu. Bahkan lebih," lanjut Jihan yang juga mulai terbuka padaku.

"Oh, yah?"

"Saat itu semester akhirku di program S2 (Magister) Psikologi UI. Kuliahku hampir saja melayang karena kerjaan. Tapi alhamdulillah, atas izin Allah semuanya bisa teratasi."

"Kok bisa?"

"Ya, kuncinya sabar."

Aku mengerutkan alis. "Hah? Hanya dengan sabar?" Tak sadar leherku melonjong ke depan.

Bisa kulihat Jihan kemudian tertawa kecil, entah melihat wajahku yang terkejut atau hal lain. Aku tidak tahu.

"Pokoknya panjang ceritanya, Lan. Nanti aku cerita kalau kita punya banyak waktu untuk diskusi." Ia berhenti sejenak, seraya melihat waktu pada arloji di pergelangan tangannya, Jihan kembali berbicara, "Sudah waktunya salat asar, Lan. Kita salat dulu, yuk."

"Oh, iya bentar." Aku bergegas berdiri. "Aku tanya pelayannya dulu musalanya sebelah mana."

"Ehm ... nggak usah. Kita langsung salat di masjid saja."

Aku kembali duduk. "Tapi di luar kan masih dingin."

Jihan langsung berdiri. "Tapi sudah tidak hujan, kan? Masjidny dekat kok."

Oleh karena keinginan Jihan, aku ikuti saja. Padahal, aku masih ingin berlama-lama di sini dengannya. "Ya sudah," kujawab kembali berdiri dan langsung meraih tasku dan memasukkan laptop ke dalamnya. "Yuk."

Setelah Jihan melakukan transaksi pembayaran, kami pun beranjak ke luar dari cafe dan langsung menyambut kedinginan Bandung di jalan Asia Afrika setelah diguyur hujan deras. Kedua tanganku kuselipkan dalam saku celana, kali ini aku lupa mengenakan jaket oleh karena Yudis yang terburu-buru menjemputku di kosan. Baju kaos hitam berlengan panjang yang melekat di badanku tak cukup untuk mengatasi dinginnya cuaca saat ini.

Beda dengan Jihan, sejak di cafe tadi ia menenteng jaket denim berwarna biru navi dan sekarang ia sedang memakainya. Ah, sudah seperti Milea versi hijaber saja wanita di sebelahku ini. Kata orang Bandung gelies pisan euy.

Ah, lupakan. Sekarang aku dan Jihan berjalan menuju sebuah masjid yang tak jauh dari cafe iconik, hanya menempuh lima sampai enam menitan saja. Mesjid tersebut berada di ruas jalan Asia Afrika, antara Gedung Merdeka dan Hotel Preanger. Kata Jihan dua bangunan tersebut sangat lekat dengan sejarah Konferensi Asia-Afrika di tahun 1955 silam. Sepanjang jalan, Jihan banyak cerita tentang kenapa jalan ini diberi nama Asia-Afrika, dulu para pemimpin negara-negara asia afrika berjalan kaki dari Hotel Homman tempat mereka menginap ke lokasi konferensi di Gedung Asia-Afrika termasuk untuk salat juga di Masjid Agung Bandung—nama masjidnya kala itu yang sekarang berubah nama menjadi Masjid Raya Agung Provinsi Jawa Barat. Meski berubah nama, tetap saja warga bandung menyebutnya masjid agung.

Penjelasan singkat Jihan pun berhenti takkala kami berdua sudah berdiri di gerbang besar sisi kiri Masjid Agung Bandung. Untuk pertama kali aku melihat masjid yang begitu luas dan megah membuat mataku pangkling. Harusnya sejak awal, Yudis mengajak aku ke sini.

"Masya Allah, sungguh indah masjid ini, Jihan."

Mataku berbinar-binar berjalan menuju pelataran masjid yang penuh dengan pesona.

"Ini bukan sekadar masjid, Lan. Tapi sudah menjadi ikon provinsi jawa barat yang kerap mengundang banyak wisatawan. Kamu lihat saja, meski cuaca dingin begini tetap saja ramai pengunjung."

Apa yang dikatakan Jihan betul sekali, sejauh sepenglihatanku Masjid Raya Bandung ini sungguh megah, tiga kubah raksasa serta dua menara kembar menjulang tinggi membuatnya terlihat elegan. Ditambah lagi alun-alun nan hijau seperti lapangan bola yang sangat luas dan di depan masjid, orang-orang kebanyakan berkumpul di sana. Ada yang bersantai ala-ala piknik keluarga atau sekadar foto dan mengambil masjid raya sebagai latarnya. Sungguh, pilihan sangat tepat Jihan mengajakku ke sini. Baru nampak dari luar sudah begitu memukau, belum di dalamnya.

"Ya, sudah, kamu buruan masuk. Sudah mau ikamah. Aku tunggu di sana, yah. Di ibu-ibu penjual keliling itu." Ia menunjuk alun-alun sebelah kanan, di bawah pohon rindang.

"Loh, kamu nggak salat?"

Lagi-lagi ia tersenyum. "Aku sedang datang bulan. Kamu masuk saja, tempat wudhu paling belakang."

"Lantas kenapa tadi nggak di cafe saja? Kan cuman aku yang mau salat."

"Laki-laki itu, diwajibkan salat berjemaah di masjid."

Aku menarik napas seraya tersenyum. "Ya, aku tahu itu. Tapi—"

"Kamu mau bilang situasi kita lagi di cafe dan tidak enakan ke akunya, gitu?"

Embusan napasku keluar setelah ia memotong perkataanku. Kulihat raut wajahnya sedikit berubah, dia melemparkan tatapan tajam padaku.

"Aku bisa membaca kebiasaanmu, Lan. Pasti kamu suka menunda-nunda salat, kan?"

Aku hampir terperanjat, mataku sontak terbuka lebar dan kepala ini terus-terusan menggeleng tidak.

"E—enggak. Enggak juga, kok. Kadang-kadang saja ketika kondisi tidak memungkinkan." Aku cengengesan dengan alis mengerut.

Aku bukan tipikal orang yang pandai berbohong. Apa yang dikatakan Jihan memang benar, pun kalau aku dihubungi oleh Abi, akan kupastikan aku sudah menyelesaikan salatku baru mengangkat teleponnya. Insya Allah, lima waktuku terjaga. Sebab ada tiga perkara yang selalu Abi tanyakan pada saat menghubungiku; sudah salat? Salat di mana? Sudah ngaji hari ini? Tiga hal itu saja yang beliau ulang-ulang dikala meneleponku. Dan sekali lagi, aku tidak pernah berbohong pada Abi, Umi, atau siapa pun itu.

"Alan ... I know you know than me. Nanti kita diskusikan masalah ini. Sekarang bersegeralah melaksanakan kewajiban." Jihan menutup perkataannya dengan menyuruhku segeras masuk ke masjid.

"Aku tunggu di sana, yah. Assalamualaikum," lanjutnya setelah membelakangiku.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

Aku tersenyum menatap wanita yang berjalan membelakangiku. Jantung ini berdetak cekat. Astagfirullah, apa ini?

Ya Allah, wanita solehah hanya untuk lelaki soleh. Dan aku jauh dari kata soleh, menjaga pandangan saja aku tak bisa apalagi menjaga perasaan ini agar terhindar dari godaan setan.

Aku jadi ingat tentang hadis riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud yang di-hasan-kan oleh Al-Bani, "Wahai Ali, jangan kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya, karena yang pertama itu boleh (dimaafkan) sedangkan yang berikutnya tidak."

Tangan ini langsung mengelus dada, ya Allah maafkan aku. Hadis ini sangat menusukku, sudah berapa kali aku memandang Jihan hari ini? Bahkan tak jarang kami saling saling melempar pandangan. Apakah aku telah berzina? Seperti yang ada dalam Muttafaq'alaih, bahwa; "Dua mata itu berzina, dan zinanya adalah memandang."

Nauzubillah ....

Tundukkanlah padanganku dan jauhkanlah aku dari fitnah perempuan, ya Allah.

☔️☔️☔️

            Setelah melaksanakan salat asar di ruang salat utama yang terpisah dari ruang dalam bagian depan. Di antara kedua ruangan tersebut dihubungkan dengan jembatan yang sekarang kulintasi, yang di bawahnya terdapat ruang wudu utama.

Sebelumnya aku masuk lewat bawah oleh karena harus wudu terlebih dulu, dan keluar melalui ruang dalam bagian depan yang cukup luas ini. Mataku mendongak ke atas, tulisan kaligrafi ayat-ayat Al-Qur'an sebagian memenuhi langit-langit masjid. Interior bangunan ini juga terlihat dirancang ornamen ukiran islami dengan lebih mengutamakan seni budaya islami tatar sunda. Pada bagian dinding masjid ini juga terbuat dari batu alam, sepertinya berkualitas tinggi.

Maha kuasa Allah yang menciptakan bangunan megah ini melalui tangan-tangan manusia. Patut bersyukurlah perancangnya, warga Bandung, wisatawan, dan termasuk aku si anak rantau.

Setelah berada di luar masjid, aku langsung menuju alun-alun untuk menghampiri Jihan yang sedang menungguku. Dari arah masjid, bisa kulihat ia sedang duduk anggun di atas tembok beton yang lumayan pendek, ditemani oleh seorang ibu pedagang kaki lima yang entah menjual apa.

"Assalamualaikum," sapaku pada Jihan.

Jihan menoleh padaku. "Waalaikumsalam. Sini, Lan. Aku punya sesuatu untukmu."

Setelah memberiku ruang untuk duduk, Jihan meraih segelas minuman dari ibu paruh baya lalu disodorkannya ke aku.

"Dicoba, Lan. Spesial dari aku."

"Ini apa, Jihan?" kutanya Jihan tanpa menatap wajahnya, aku yakin wajahnya saat ini sedang tersenyum indah. Itu akan melemahkan imanku.

"Secangkir kopi untukmu, Alan."

"Hah, kopi?" Aku menelan air liurku sendiri.

"Iya. Kopi Kapal Selam. Kopi bubuk asli dan tertua di Bandung."

Sejak kapan aku menyukai dan minum kopi? Di rumah, Umi selalu membuatkan teh di pagi hari dan susu di malam hari. Pada Abi juga, bahkan kami sekeluarga tidak pernah terlihat meminum kopi hitam pekat seperti ini.

"Ayo diminum, itu sudah dingin, kok. Aku sendiri loh yang buat. He he."

Kali ini aku menoleh ke Jihan. "Serius?!"

Jihan mengangguk dan aku menggaruk-garuk kepala. "Wah, jadi nggak enak. Syukran Jaziilan." Wajahku mulai memerah, tapi aku tidak boleh kegeeran, ini hanya secangkir kopi yang Jihan pesan melalui penjual kopi jalanan dan kebetulan Jihan lagi kepingin menjamu tamunya yang berasal dari pulau sulawesi.

"Afwan. Anggap saja ini ucapan selamat datang di Kota Kembang dariku."

Aku tersenyum menatap Jihan. "Aku minum, yah." Segera kutundukkan kembali pandanganku.

"Tafaddal."

"Bismillah." Sejak aku bertemu dengan wanita ini, ucapanku selalu saja menyerupainya, ketimur-timuran. Dan itu membuatku teduh, bahkan hati merasa tentram. Padahal Bahasa arabku masih berada di level terendah, tidak tahu ucapanku benar semua atau ada yang keliru, Jihan juga tidak menggubrisnya. Jika ada kekeliruan, harap maklum, pengetahuanku hanya bersumber dari Abi, juga dari sekolah dasar hingga menengah yang sangat terbatas, sebab aku tidak mendalaminya.

Aku menyesap kopi ini hingga terasa di lidahku. Awalnya pahit, tapi setelah dua hingga tiga kali teguk, manisnya perlahan-lahan terasa. Untuk pertama kalinya aku meminum secangkir kopi tanpa ada penolakan sedikitpun.

"Gimana rasanya?" Jihan bertanya sedikit penasaran setelah cangkir bening itu kuletakkan di atas meja yang masih setengah lagi terisi kopi. "Ada pahit manisnya, kan?"

Aku mengangguk dan masih mengatup-ngatupkan mulut. "Sama seperti hidup, nggak semuanya manis. Pasti ada pahitnya. Bahkan salah satunya ada yang mendominasi," tambahnya.

Dan terjadi lagi, aku kehabisan kata-kata di hadapan Jihan. Tak ada jawaban kecuali kepala yang tertunduk diam. Jihan pun mengizinkanku menghabiskan kopi buatannya. Harus benar-benar habis katanya.

Aku tidak keberatan. Sekarang yang membuatku tertunduk diam adalah wanita yang umurnya lebih tua dariku menunjukkan sikap kedewasaannya, dan sebelum kehadirannya aku lebih cenderung berkeluh kesah. Apa mungkin faktor usia yang berbeda?

Ku pikir tidak. Kedewasaan tidak diukur dari seberapa tuanya usia, tetapi pola berpikir yang harus bertuah. Melihat Jihan, aku semakin yakin Allah sedang mengujiku tidak hanya persoalan pekerjaan semata, tapi juga perihal rasa.

Ya Allah, hanya kepadaMu aku memohon petunjuk juga perlindungan.

☔️☔️☔️

Tinggalkan vote dan komentar kalian di sini, yah. Yang mau kepoin Alan dan juga Jihan, aku menyediakan akun instagram untuk lebih memudahkan kalian menyapa mereka—-> sila follow official IG: (@)wattpad.wahyudipratama
Kita seru-seruan bareng di sana ;)

Find me here:
IG: yudiiipratama
Wattpad: yudiiipratama

Published: Friday, 07 June, 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro