BAB 04: Garis Tangan Tuhan
[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
"Sebesar apa pun usaha, jika Tuhan tidak menakdirkannya untukmu, maka mustahil akan terwujud. Bersabarlah, garis tangan-Nya tidak pernah salah."
☔️☔️☔️
Langkahku tiba-tiba terhenti saat memasuki sebuah gedung putih di kantor Kejaksaan Negeri Bandung, seorang petugas berseragam hitam menghalangiku di depan pintu ketika ingin masuk. Aku sangat terburu-buru sehingga tak lagi melihat yang ada di depanku, pasalnya sekarang sudah pukul sepuluh dan aku telat sejam untuk menghadiri interview terakhir.
Oleh karena kelelahan, aku jadi telat bangun, semalam juga lupa memasang alarm. Ditambah lagi ini hari senin, jadi otomatis kena macet sewaktu di jalan. Lengkap sudah jawaban ketika ditanya kenapa datang telat.
Saat ini napasku sedikit terengah-engah, dan petugas itu menatapku seraya bertanya, "Ada apa, Pak? Kenapa tergesa-gesa?"
"Saya ada interview, Pak," kujawab sembari melihat jam tangan hitam rip curl yang melingkar di pergelangan tangan kananku. "Dan ini sudah telat sejam, makanya terburu-buru."
"Oh, interview calon jaksa, ya, Pak?"
Aku mengangguk.
"Ya, sudah. Silakan naik ke lantai dua, Pak," dijawabnya ramah. Memang betul, tak salah aku memilih Bandung sebagai tempat memupuk kesuksesan.
Tanpa berlama-lama, aku langsung beranjak ke lantai dua. Ketika sudah berada di depan ruang interview, kulihat masih ada sepulu orang lebih yang juga memakai seragam hitam putih sepertiku, mereka ikut antri untuk menghadiri wawancara.
Jantungku seketika berdetak cepat, ada rasa cemas di dalam diri. Aku mencoba mengatur napas, dan perlahan berjalan ke kursi kosong untuk bergabung dengan mereka. Entahlah kenapa aku gugup. Ini baru mereka yang aku hadapi, belum lagi pewawancara di dalam ruang yang akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan sulit.
Untuk menghilangkan rasa gugup aku harus melakukan sesuatu, paling tidak untuk membuatku terlihat baik-baik saja di hadapan para competitor-ku. Aku melirik mereka yang aku bisa lirik, sekaligus melempar mimik wajah yang tadinya datar, tiba-tiba tersenyum merekah.
Selang beberapa detik, tepat di sebelahku seorang laki-laki yang belum aku kenal bertanya, "telat datang, yah?"
"Iya." Aku masih tersenyum.
Ia terkekeh. "Bandung teh sudah ikut-ikutan macet, terkontaminasi sama Jakarta. He he."
Aku ikut tertawa, tapi terpaksa. Ia tidak tahu saja kalau tidak hanya kemacetan kota ini yang membuatku terlambat.
"Oh, iya, namaku Yudistira. Panggil aja Yudis."
"Alan." Kami berjabat tangan.
Kemudian di sebelah laki-laki berambut cepak sedikit ikal itu, seseorang memperlihatkan sekaligus memperkenalkan dirinya. "Aku Sani. Sani Oktavia," sebutnya sambil mengulurkan tangan padaku.
Kubalas spontan jabat tangan si perempuan sipit berambut sedikit pirang itu. Untuk pertama kali lagi aku bersentuhan dengan perempuan setelah terakhir bersama Umi, kemarin hampir sih di bandara dengan perempuan pemilik nama indah. Iya, Jihan. Aku masih bisa mengingat nama yang telah menolak untuk bersalaman denganku.
Tunggu, kenapa pikiranku ke Jihan? Sedangkan sekarang ini, aku sedangan menatap dan tidak sadar, entah kenapa tiba-tiba saja mata ini terpanah dengan senyum dan juga tatapannya. Mataku tak berkedip sama sekali. "Masya Allah," sambarku kemudian.
"Hah, kenapa?" tanya perempuan itu heran.
Setelah mendengar suaranya, akhirnya aku mengedipkan mata dan langsung menurunkan pandangan juga tanganku darinya. "Astagfirullah," lirihku. Ya Allah, aku khilaf.
Laki-laki yang ada di antara kami tertawa kecil, lebih tepatnya ia menertawakanku. "Kau ini, seperti baru melihat bidadari saja jatuh dari langit," oloknya. "Pasti kau kira Sani ini ada keturunan Jepangnya, soalnya wajahnya mirip Sakura, kan?" Yudis tertawa keras kali ini.
Sani memukul pundak Yudis. "Apa, sih, Yud? Aku Bandung asli, woy. Enggak ada keturunan jepangnya sama sekali."
"Sakit, San." Yudis meringis. "Tapi di kampus, kamu emang dicap sebagai cewek jepang, kan?"
"Di kampus?" sambarku.
Keduanya menoleh ke aku. "Iya, kami dari fakultas yang sama. Hukum Unpad," celetuk Yudis. Cowok ini begitu agresif menjawab.
Aku mengangguk. "Aku Hukum Unhas."
Kulihat alis Yudis mengernyit. "Emang ada yang nanya?"
Aku tertohok, laki-laki ini sungguh luar biasa. Iya, luar biasa tidak memiliki etika. Maksudku, kami baru saja kenalan, tapi sikapnya padaku sudah menyerupai kawan.
Sani Oktavia, Yudistira Anhar, dan Rendi Yusa Ali.
Baru saja aku ingin angkat bicara, ketiga nama tiba-tiba dipanggil seorang perempuan dari balik pintu agar masuk ke dalam ruangan untuk diwawancarai. Dua nama diantaranya adalah mereka yang baru saja mengajakku kenalan.
"Sok atuh, Sani. Kita duluan, ya, Lan. Kalau mau kepoin aku sama si Sani, monggo, tapi nanti." Yudis terkekeh. "Maaf, tadi abdi teh bercanda. Senang berkenalan."
Yudis meyapu pundakku lalu bergegas masuk ke ruang interview. Sani hanya melempar senyum padaku tanpa berkata apa-apa. Sepertinya, mereka berdua ini sahabat baik.
Aku menarik napas sembari memperbaiki posisi dudukku. Raut wajahku sedikit tertawa kali ini. Jika dipikir-pikir, tingkah Yudis tadi terhadapku, lumayan lucu. Rasa gugup sedikit hilang.
Kini aku kembali diam, mencoba untuk tenang. Setelah beberapa menit tak ada yang ajak bicara, aku kembali merasakan gugup.
Sepertinya aku perlu menelepon keluarga di rumah untuk mengatasi gugup sembari menunggu giliran. Aku harus menelepon Abi, semalam aku tidak balik meneleponnya lantaran kelelahan, jadi kelupaan.
Kira-kira Umi masih ngambek enggak, ya?
☔️☔️☔️
Memasuki pertengahan Oktober, dari pagi tadi hingga sekarang, Bandung tengah diguyur hujan. Sepanjang jalan pasti tergenang air dan itu membuatku seperti enggan untuk beranjak dari kamar. Tapi, hari ini aku harus ikut Yudis ke cafe demi sebuah wifi.
Sebulan setelah seleksi tahap akhir penerimaan Calon Jaksa, tibalah sore ini hasil pengumuman seleksi jaksa yang akan diumumkan langsung via online.
Setelah perkenalanku dengan Yudis hari itu, ia meminta nomorku dan selalu memberi informasi seputar calon jaksa melalui whats app. Tak hanya itu, kami banyak berdialog dan sesekali ia ajak aku bersua, menjemputku menyusuri sebagian wilayah Bandung. Dan sialnya kami selalu disambut oleh hujan yang tak tanggung-tanggung membasahi bumi pertiwi.
Karena aku baru di Bandung, aku menerima tawaran Yudis tadi untuk sama-sama membuka pengumuman di cafe. Seharusnya ia bersama temannya si Sani, tapi karena berhalangan, jadinya aku sebagai ultimum remedium—pilihan terakhir.
Kali ini ia menjemputku dengan mobil honda jazz putihnya dikarenakan hujan belum juga berdamai dengan bumi. Yudis memang dari keluarga kalangan atas, tapi sikap dan tingkahnya pada setiap orang setara. Buktinya saja, sekarang ia sudah menjadi kawanku. Bahkan sejak kami bertemu pertama kali di kantor kejaksaan ia sudah bersikap friendly.
Menuju sebuah cafe di Jl. Asia Afrika. Sebuah cafe yang tidak cukup besar dan lumayan sepi dari pengunjung, mungkin karena hujan. Iconik Cafe Bandung adalah sebuah pilihan yang tepat untuk sekadar duduk, buka laptop dan menikmati wifi gratis.
Akan tetapi bukan itu tujuan aku dan Yudis datang ke sini. Kami datang untuk menjemput nasib. "Bismillah, yah, Lan." Yudis sudah mulai was-was menyalakan laptopnya.
"Insya Allah, kita lulus, kok." Aku tetap optimis.
"Masih beberapa menit lagi pengumumannya, Lan. Kita makan dulu aja, yah."
"Kamu aja, Yud. Aku masih kenyang."
"Ah, anak kos mana ada kenyangnya sih, Lan? Ha ha. Sants, aku yang traktir."
Aku sedikit tertawa sembari menggaruk-garuk kepala. Yudis selalu tahu kondisi keuanganku yang berbanding terbalik dengannya. Ke mana pun itu, selalu saja ia mentraktirku. Sebenarnya aku masih canggung dengannya, bahkan aku lebih banyak diam dan berbicara ketika hanya ditanya.
Setelah kami selesai memesan makanan, Yudis kembali bertanya. "Oh, iya ... gimana kabar Umi-mu? Sudah sehat?
"Alhamdulillah, tadi pagi Abi-ku nelepon, katanya Umi sudah baikan. Mereka juga sedang menunggu pengumuman."
Yudis mengangguk. "Kau pasti bangga, ya, punya orang tua seperti mereka?"
Aku hanya tersenyum. Tidak kujawab pertanyaannya itu. Perkataan Yudis memang benar, aku selalu bangga dengan Abi Umi, yah meskipun terkadang menyebalkan.
Aku kembali menatap layar laptopku, kulihat halaman web pengumuman sudah bisa diakses. "Yud, ini link-nya sudah bisa diakses."
"Oh, ya? Ya udah cek, atuh."
"Iya, ini sementara aku unduh form pengumumannya."
Beberapa menit, setelah form pengumuman seleksi jaksa selesai terunduh aku langsung membuka file-nya dan mencari namaku. Mata ini harus jeli, bismillah.
Sudah di lembaran ketiga, aku belum juga menemukan namaku di list pengumuman kelulusan. Begitu juga Yudis. Harusnya nama kami sudah ketemu. Dan sampai di lembar terakhir, mata ini semakin tajam menilik dan perasaanku sudah semakin cemas. Beberapa kali aku menyebut nama Allah, memohon namaku ada di layar ini.
Ya Allah ...
Ya Allah ...
Umiiiiii
Mataku sudah berkaca-kaca, sementara Yudis yang juga tidak menemukan namanya di portal pengumuman justru terkekeh. "Sudah kuduga, aku enggak lulus," ucapnya santai. "Gimana, Lan? Lulus nggak?"
Ia bertanya padaku, namun wajah ini tetap bersembunyi di balik laptop. Ingin rasanya aku berteriak, tapi kutahan. Aku hanya bisa menekan dada dan menyeringai.
Yudis melonjongkan kepalanya ke layar laptopku, kemudian menoleh pada wajahku yang penuh dengan rasa kekecewaan. Aku hanya terdiam ketika ditanya, "Enggak lulus juga, Lan?"
Aku mendengkus kasar. "Umi ...," keluhku sambil memejamkan mata. "Maafin Alan, Umi, Abi!"
Kepalaku langsung kurebahkan ke atas meja.
"Sudah, Lan, sabarrr. Belum rejeki tahun ini ... dicoba lagi tahun depan." Bisa kurasakan Yudis menyapu bahuku.
Di saat hati ini tercabik-cabik menghadapi kenyataan yang pahit, Yudis justru santai dengan hasil yang diperolehnya. Raut wajah maupun sikapnya tidak menunjukkan kalau ia ada rasa kekecewaan dalam dirinya oleh karena kegagalan.
Mungkin bagi orang tua Yudis, ini adalah perkara biasa. Tapi bagiku, Umi dan Abi pasti akan merasa kecewa. Ahhh!
Garis tangan Tuhan sungguh sadis!
☔️☔️☔️
TBC
Aku ingin minta pendapat kalian dari part awal hingga di part ini hehe. Gimana menurutmu jalan cerita ini? Jawab di sini, yah. Syukran🙏😇
Selamat, hari ini, aku bakal double up kembali; BAB 05 tayang di pukul lima sore dan BAB 06 insya Allah tayang di pukul sebelas malam😇
Gimana? Nggak sabar baca? Ikutin infonya Alan dan Jihan selalu di official instagram saya langsung🙏🖤
Find me here:
IG: yudiiipratama
Wattpad: yudiiipratama
Published: Friday, 31 May, 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro