Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 02: Bumi Pasundan

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]
☔️☔️☔️

"Katanya Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum. Dan aku sendiri terlahir ketika Umi sedang menangis menahan sakit."
- Alan -
☔️☔️☔️

Menuruni anak tangga, menuju tenpat pengambilan barang, hati ini seperti bermekaran. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota kembang dan perasaanku sungguh riang. Meski di luar sedang gerimis, tapi semangatku menyambut keramahan Bandung tidak goyah.

Setelah mengambil koper di tempat pengambilan barang, aku langsung menuju pintu kedatangan. Sebelum mengambil handphone untuk mengorder grab car, aku memilih duduk di serambi dekat pintu kedatangan.

Mataku sekarang tertuju pada layar HP tanpa memedulikan siapa yang duduk di sebelahku. Setelah alamat tujuan kuketik, lalu mengorder grab, aku merasa seseorang sedang menyentuh pundak bagian kiriku.

Perlahan aku menoleh ke kiri, terlihat tangan kecil menarik-narik bajuku. Alisku mengernyit ketika kudapati wajah dari tangan anak itu. Kecil, mungil, dengan rambut cepak menandakan ia laki-laki.

Anak itu berada di pangkuan seorang perempuan hijab yang wajahnya sedang berlawanan arah denganku. Lalu aku tertuju pada anak ini, ia sedang memainkan bajuku sambil berulangkali memandangku dari atas hingga ke bawah.

Sembari menunggu grab, aku mencoba mengajak anak itu bermain. Ya, aku memang tidak memiliki saudara kandung, tapi, menjadi anak tunggal bukan berarti tidak suka anak kecil. Dulu aku pernah beberapa kali meminta ke Umi dan Abi agar memberiku seorang adik. Mereka mengamininya, namun tidak dengan Allah. Kendati aku dan keluarga kecilku telah berencana, Allah justru berkehendak lain. That's life.

Melihat anak kecil ini aku jadi teringat Umi dulu, bagaimana ia berusaha keras agar mewujudkan keinginan terbesarku itu. Bolak balik rumah sakit, minum obat herbal, dan tetap saja nihil. Dan ternyata, rezeki Umi dan Abi ada padaku, anak semata wayang.

Aku terus mengacak-acak rambut anak itu, menunjukkan wajah konyol ini padanya hingga suara menyerupai bebek spontan keluar. Namun sayang, wajah anak itu tetap saja datar dan matanya tidak pernah berpapasan denganku. Beberapa kali aku berusaha melaraskan kedua bola matanya dengan bola mataku, tapi selalu saja ditolaknya. Anak ini tidak ada antusiasnya sama sekali terhadapku. Apa yang salah denganku?

Karena merasa tak diindahkan, aku mulai gemas. Baru saja aku ingin mencubit pipinya, perempuan yang menggendongnya sontak menoleh ke arahku. Aku pun langsung menghadap ke depan, berpura-pura bermain handphone.

Jelang beberapa detik, entah kenapa aku merasakan perempuan itu sedang menatapku. Karena penasaran, aku pun kembali menoleh ke kiri.

Dan yang kulihat adalah ...

Wajah menawan yang kutemui dua jam lalu di Bandara Sultan Hasanuddin.

Aku hampir terperanjat, aku tidak bisa berkutik selain mata yang membelalak. Sedangkan perempuan itu terus-terus saja menatapku dengan wajah berseri, senyumnya merekah seperti bahagia melihat kehadiranku.

Lantas, kenapa harus jantungku yang berdebar?

Ia, si perempuan yang menggendong anak itu pun berkata, "Adikku namanya Adit Prayoga. Dan ia menderita autism spectrum disorder."

Ini serius? Lagi-lagi ia yang memulai percakapan. Dan aku hanya bisa terdiam seperti orang kebingungan. Dari beberapa yang kutemui, mungkin dia salah satu dari dua, tiga perempuan cantik dan berjilbab syar'i yang berhasil membuatku menjadi lelaki kaku.

"Seperti yang kamu lihat, autisme dapat mempengaruhi anak dalam berinteraksi, komunikasi verbal dan non verbal, juga berperilaku," lugasnya lagi seperti memahami betul apa yang adiknya alami sekarang.

Astagfirullah, aku dari tadi menatapnya tanpa berkedip. Oleh karena khilaf, aku langsung memalingkan pandanganku ke depan sembari mengangguk-angguk setuju.

"Oh, iya, aku Jihan. Jihan Astrid Savira," ucapnya lagi.

Aku tidak melihat ia menyodorkan tangannya padaku. Namun karena aku yang kikuk, tangan kananku secara auto terangkat untuk membalas perkenalannya. "Mohammad Alan Alghiffari."

Kembali kutatap wajahnya itu. Bisa terlihat ia sedikit tertawa di sampingku. "Na'am," dijawabnya dengan penuh khidmat.

Tunggu sebentar ...

Ia tertawa barusan. Apa ada yang lucu?

Karena jabat tanganku tak dibalasnya, aku langsung mengangkat tangan kananku ini ke belakang sembari menggaruk-garuk kepala. "Kenapa kamu tertawa? Ada yang salah?" kutanya perempuan yang memiliki nama Jihan­—namanya indah sesuai wajahnya. Dan sepertinya aku terlalu banyak memujinya dalam diam.

"Karena aku sudah tahu namamu."

Aku sediki terperanjat. "Kok bisa?"

"Dari KTP-mu."

Aku mengernyit, "Maksudnya?"

"Aku yang menemukan KTP-mu tercecer pada saat boording."

Aku sedikit menarik napas, dan mengingat kejadian beberapa jam lalu. Kemudian aku pun tersadar, menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

"Ohhh .... kamu. Terima kasih, yah, Ji—Jihan," jawabku sedikit terbata-bata.

Sejatinya aku sedikit malu, ia mengenaliku dari KTP dan di sana tertera foto diriku yang kumal. Pasti ia juga tertawa oleh karena melihat perbandingan diriku yang dulu dan sekarang. Ya, kalau sekarang sudah jauh lebih tampan tentunya.

Ah, lupakan!

Sekarang kami berdua saling melempar senyum, aku merasa bahwa sosok perempuan ini tiba-tiba ramah padaku. Sebelumnya, saat di bandara Sultan Hasanuddin, ia terlihat lain. Seperti memiliki dua sisi yang berbeda.

Percakapanku berlanjut hingga menceritakan soal Adit yang terkena gangguang autis. Aku juga menanyakan tentang asal usul keluarga Jihan yang notabene adalah keluarga rantau. Ternyata, kedua orang tua Jihan menjalankan bisnis di kota Makassar, sedangkan ia dan adik bungsunya harus bolak balik Bandung-Makassar. Dan Jihan sendiri bekerja sebagai Psikolog di salah satu rumah sakit swasta di Bandung. Jadi ketika waktu kerja, Adit dititipkan pada kerabat dekat, tante, atau sepupunya di rumah.

Oleh karena berbincang banyak dengan perempuan ini, aku pun membatalkan orderan grab dan lebih memilih berbincang dengannya sembari menemaninya menunggu seseorang.

"Oh, ya. Kenalin, Lan ... ini sepupu aku," kata Jihan memperkenalkan aku pada seorang perempuan yang bersamanya kembali dari tanah bugis.

"Sri Muliana." Ia memperkenalkan diri sembari menjabat kedua tangannya sendiri di depan dada. Aku pun melakukan hal yang sama. Aku paham sekarang, mereka dari keluarga yang menjunjung tinggi arti dari 'bukan mahramnya'.

"Alan," kujawab tersenyum.

Setelah itu, mereka pamit untuk berpisah lebih awal. Begitu cepat dari yang kuduga. Hingga perpisahan itu membuatku tak banyak berkutik. Seperti meminta nomor telepon atau pun menanyakan alamat rumahnya. Aku dan Jihan hanya sebatas bertemu, lalu berpisah tanpa meninggalkan jejak.

Tapi paling tidak, Bandung sudah ramah menyambut kehadiranku melalui perempuan yang kuharap bisa kembali bertemunya lagi di kesempatan lain. Juga mengajaknya berbincang bagaimana Bandung saat ramai, sepi, siang, dan malam.

Melihat Adit, adik Jihan, mengingatkan aku waktu kecil dulu. Betapa susahnya Umi mengurusku yang nakalnya minta ampun.

Katanya Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum. Dan aku sendiri terlahir ketika Umi sedang menangis menahan sakit.

Karena Bandung sedang tersenyum di tengah gerimis. Aku juga harus ikut tersenyum meski Umi sedang terisak menahan tangis di tanah Bugis.

☔️☔️☔️

TBC

Selamat menjalankan ibadah shalat tarwih, semoga puasa kedelapan esok hari, berjalam sesuai kehendak ilahi. Amin allahumma amin
Afwan, updated-nya kemalaman.

Find me here:
IG: yudiiipratama
Wattpad: yudiiipratama

Published: Tuesday, 14 May, 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro