8. Kompromi
Eshika merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menarik napas panjang berulang kali seraya memijat pelan kepalanya. Matanya menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Lalu, mendesah panjang.
"Nggak mungkin ada mimpi yang selama ini."
Mata Eshika terpejam. Menyadari bahwa mau dielak bagaimanapun juga, memang begitulah kenyataan yang terjadi.
Tapi, seketika otaknya berpikir dan menyadari sesuatu. Bukan hanya dirinya yang tertekan karena pernikahan itu. Terlihat jelas bagaimana Tama juga mengalami hal yang sama. Setidaknya itu yang Eshika tangkap dari raut wajah Tama seharian ini.
Ia dan Tama memang sering beradu mulut dan tidak pernah akur, tapi entah mau diakui atau tidak justru karena hal itulah Eshika kerap mengetahui beberapa sifat dan perilaku Tama. Terutama ketika cowok itu sedang kesal atau marah. Dan wajah Tama seharian ini seolah menyiratkan kebingungan tingkat tinggi.
Eshika memaklumi. Dengan keadaan mereka berdua, remaja mana yang tidak akan bingung? Ini bukan seperti cerita klise di komik-komik Jepang kan? Yang mana tokohnya masih SMA, tapi sudah menikah?
Ha ha ha.
Setidaknya, di komik-komik Jepang itu, tokoh cowoknya pasti ganteng dan mempesona. Tama?
Ha ha ha.
Benak Eshika tertawa mengejek.
Wajahnya mungkin boleh ganteng, tapi cowok itu sama sekali tidak memesona dengan predikat playboy yang Eshika berikan secara mutlak pada cowok itu.
Menyedihkan untuk Tama, tapi benar menurut Eshika.
Pikiran Eshika semakin melayang-layang. Benaknya terbuai oleh khayalannya sendiri. Beberapa saat kemudian gadis itu merasa lebih tenang. Rasa letih di tubuhnya lantas menjelma menjadi rasa kantuk dalam sekejap waktu. Ia menyerah dan terombang-ambing dalam alam bawah sadarnya.
"Tok! Tok! Tok!"
Satu ketukan keras di pintu kamar Eshika seketika membuat gadis itu membuka matanya.
"Esh!"
Eshika menggeram.
Ngapain lagi itu cowok?
"Keluar! We need to talk. Cepat, sebelum aku dobrak ini pintu buat nyeret kamu keluar."
Eshika berdecak. "Ckckckckck. Lihat lihat! Siapa ini yang nyoba main kekerasan di sini!" balas gadis itu seraya bangkit dari tidurnya. Berusaha mengabaikan rasa berputar-putar di kepalanya karena terbangun kaget. "Main kekerasan ... ehm, mau aku laporin sebagai kasus KDRT?" tanya Eshika seraya membuka pintu kamarnya. "Kenapa? Mau ngomong apa?"
Tama berdiri di hadapannya dengan wajah yang terlihat begitu kacau. Ia berkata. "Sepertinya kita harus saling kompromi."
Eshika menganga.
"Hah? Kompromi?"
Tama mengangguk. "Demi ketenteraman dunia."
*
Masuk ke lobi gedung apartemennya, Tama hanya tersenyum sekilas sekadar menghargai kesopanan Inayah, sang resepsionis. Ia mengacak rambutnya sekilas ketika menunggu lift turun dan membuka di hadapannya. Masuk dan menekan angka 25 yang merupakan lantai di mana unitnya berada.
Selama perjalanan lift itu naik, Tama yang berada seorang diri mau tak mau terpikirkan bagaimana hari itu ia lalui. Ia stres dan nyaris merasa akan gila sebentar lagi. Berulang kali ia mengira bahwa semua itu tak nyata, tapi nyatanya semua memang bukan sekadar fiksi drama yang sering Mawar tonton di sela-sela waktu luangnya.
Aku benar-benar udah nikah dengan Eshika, Tuhan.
Tama menghela napas panjang. Berusaha untuk menenangkan diri. Karena mau bagaimanapun, satu sisi di bagian otak Tama menyadari bahwa bukan hanya dirinya yang nyaris gila.
Kilasan wajah Eshika seharian ini membayang di benaknya. Dari yang dia bengong sewaktu upacara bendera, terlihat lesu ketika berjalan ke kantin padahal siomay kesukaannya menyiapkan porsi khusus untuk gadis itu, hingga tragedi sewaktu pulang sekolah yang melibatkan Tere di sana.
Ketika lift berhenti, Tama melangkah keluar dengan satu tangan yang ia masukkan ke dalam skau celananya. Ia menyadari, situasi antara dirinya dan Eshika tidak akan berubah. Maka hanya ada satu hal yang perlu mereka lakukan.
Tama meletakkan tasnya di sofa, terus berjalan melewati kamarnya. Berhenti di depan kamar Eshika. Mengetuk pintu itu dengan keras.
"Esh!" serunya kemudian.
Terdengar suara geraman Eshika dari dalam. Sedikit serak.
Tama kembali berkata. "Keluar! We need to talk. Cepat, sebelum aku dobrak ini pintu buat nyeret kamu keluar."
"Ckckckckck. Lihat lihat! Siapa ini yang nyoba main kekerasan di sini!" balas gadis itu dari dalam. "Main kekerasan ... ehm, mau aku laporin sebagai kasus KDRT?" tanya Eshika.
Tama mengerutkan dahi mendengar satu kata itu.
KDRT? Hah?
Detik selanjutnya, pintu itu terbuka. Menampilkan wajah Eshika dan rambutnya yang kusut. "Kenapa? Mau ngomong apa?"
Tama mengamati Eshika sekilas. Menyadari bahwa di balik wajah dan rambutnya yang kusut, gadis di depannya itu terlihat sama kacau dengan dirinya. Hingga kemudian Tama mengambil keputusan.
"Sepertinya kita harus saling kompromi," katanya
Eshika menganga. "Hah? Kompromi?" tanya gadis itu bingung.
Tama mengangguk. "Demi ketenteraman dunia."
Dahi Eshika seketika berkerut. Matanya berkedip-kedip seolah sedang mencerna perkataan Tama.
"Kompromi demi ketentraman dunia?
Tama mengangguk. "Kita harus membahas soal kehidupan kita, Esh. Mau nggak mau. Jujur aja, bukan cuma aku kan yang hampir gila di sini?"
Eshika mengerucutkan mulutnya. Jari telunjuknya mengusap pelan pelipisnya. Lalu tampak dengan berat hati, kali ini ia harus setuju dengan perkataan Tama.
"Nah, kalau gitu. Kita harus saling berkompromi. Ngebuat batasan dan hal-hal lainnya. Jangan sampai hubungan ini ngebuat dunia kita hancur."
Dada Eshika mengempis ketika menarik napas dalam-dalam. "Jadi, apa aja yang harus kita diskusikan?"
Mata Tama menatap Eshika. "Banyak."
Lima menit kemudian, Tama dan Eshika duduk berhadapan di meja makan. Entah mengapa mereka memilih meja makan. Mungkin karena posisinya yang terletak di dekat jendela? Hingga membuat meja itu terang dengan cahaya matahari yang menebus dari kaca tinggi jendela itu? Bisa jadi. Terutama karena siang telah beranjak sore, langit mulai menunjukkan segurat dua gurat warna kejinggaan. Terlihat seperti lukisan.
Selembar kertas dan pena berada di atas meja, di antara mereka.
"Yang pertama," kata Tama. "Kita harus tau batasan masing-masing. Jangan mentang-mentang kamu tinggal di unit aku, kamu jadi resek."
Eshika memutar-mutar bola matanya. "Yang seharusnya jangan resek itu kamu, Tam." Ia mencibir. Mengambil pena dan kertas itu. Lalu menulis judul di atasnya.
Yang Tidak Boleh Dilakukan.
1. Mencampuri urusan masing-masing.
Tama melirik. Ia mengangguk. "Kedua?"
"Menunjukkan kecurigaan apa pun pada orang-orang," kata Eshika seraya menuliskan itu di atas kertas. "Ketiga?"
"Mendadak suka," lanjut Tama.
Tangan Eshika menulis, tapi kemudian seolah baru menyadari sesuatu, seketika saja gerak tangan Eshika berhenti. Ia mengangkat wajah dan menatap Tama yang bertopang dagu di hadapannya.
"A-apa?"
Tama menatapnya. "Mendadak suka. Kenapa?"
"Justru itu yang mau aku tanyakan," kata Eshika. "Perlu ada peraturan itu?"
"Jaga-jaga biar aku tenang kalau kamu nggak bakal suka sama aku." Tama menyeringai. "Seperti yang kamu liat. Aku cakep, by the way."
Eshika geleng-geleng kepala seraya meringis.
"Dan aku nggak mau aja kamu mendadak suka aku one day ntar."
"Kenapa?"
Tama mendengus. "Kalau sampai kejadian, pasti dunia bakal jungkir balik."
Mata Eshika menyipit. "Lucky for you. Aku nggak kepikiran buak mendadak suka kamu, Tam."
Tama mengangkat bahunya sekilas. "Dan tenang aja. Aku juga nggak bakal mendadak suka sama kamu, Esh."
"Ya," sengit Eshika. "Dan itu membuat aku tenang lahir dan batin." Eshika mengatupkan mulutnya. "Bisa kita lanjut?"
"Dengan senang hati."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro