Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sewelas - Masih Berat


Hani mengempaskan tubuhnya di kasur berukuran single. Matanya lurus menatap langit-langit kamarnya. Kejadian demi kejadian yang terekam beberapa hari ini kembali terbayang di sana. Dimulai dengan kedatangan Dika beserta ibunya ke panti dua hari setelah Dika mengatakan bersedia menikahinya. Di sana Dika meminta izin kepada Rumanah, ibu panti. Tentu saja hal itu mengejutkan Rumanah. Setelah Dika dan Hasanah pulang, Rumanah mengajak Hani bicara empat mata.

"Kamu beneran mau nikah?"

Hani mengangguk sebagai jawaban.

"Ada apa? Ibu tahu pacarmu bukan dia, tapi kenapa kamu malah nikah sama dia?"

Hani menelan ludah. Kemudian cerita tentang Pram mengalir meskipun rasanya masih berat menceritakan kenyataan pahit yang baru saja dialami. Rumanah menyimak sembari mengusap punggung anak asuhnya itu.

"Kalau tahu ceritanya seperti ini, tadi Ibu tolak saja lamaran itu."

Mata Hani terbelalak. Memang sudah tepat membeberkan semuanya di saat Dika pulang. Rumanah pasti tidak setuju dengan idenya.

"Kalau nggak sama dia, sama siapa lagi, Bu? Aku malas kalau harus kenalan sama orang baru, terus akhirnya seperti ini."

"Hani, menikah itu tidak menyelesaikan masalah, justru kamu sedang menambah masalah baru. Nggak ada pernikahan yang seratus persen bahagia. Pasti nanti akan ketemu dengan masalah. Apalagi niatmu di awal sudah nggak bagus. Ya, untung Dika yang datang, kalau laki-laki lain, mungkin sekarang Ibu akan telepon dan membatalkan rencana pernikahan ini. Untung Ibu sudah kenal sama dia."

Benar, saat SMA, Dika kerap datang ke panti. Tidak hanya bertemu Hani, Dika juga sering mengajak main anak-anak panti yang lain. Kalau ingin mengajak Hani pergi, Dika tidak lupa meminta izin pada Rumanah.

"Ya, makanya aku berani nikah karena sama dia, Bu."

Rumanah tersenyum tipis. "Yo, wis, kalau kalian sudah maunya begitu, Ibu cuma mau titip pesan, jaga pernikahan itu baik-baik, ya. Berusahalah untuk mencintai suamimu nanti, perlakukan dia dengan baik. Kalau ada apa-apa langsung ngomong sama dia, jangan dipendam sendiri atau ngumpet di belakang. Pernikahan itu ibarat kerja sama tim. Kalau salah satu anggotanya ngawur, ya, hancur."

"Iya, Bu. Aku akan selalu ingat nasihat Ibu."

Setelah acara lamaran dadakan itu, Hani dan Dika mendaftarkan pernikahan ke KUA. Begitu sudah dapat tanggal pernikahan, keesokan harinya Hani minta izin kepada Pak Rudi, atasannya.

"Kamu mau nikah?" seru laki-laki berkumis itu. Lengkap dengan bola mata yang membulat sempurna. Bagaimana tidak terkejut, tiba-tiba Hani datang dan minta izin libur satu hari karena ingin menikah.

Di tempat duduknya, Hani tersenyum kikuk, kemudian mendongak. "Iya, Pak. Boleh, kan?"

"Ya, boleh. Masa karyawan mau nikah saya larang. Saya cuma heran kenapa mendadak, Hani? Kamu nggak kena MBA, kan?"

"Nggak, Pak," jawab Hani cepat. "Ini murni datang dari hati, Pak. Nggak ada kecelakaan sama sekali."

"Kamu nikah nggak lama setelah Pram menikah. Ini kamu nggak lagi ajang balapan, kan, sama dia?"

Hani menggeleng. "Pak Pram nggak ada hubungannya sama ini, Pak. Kebetulan aja," jawab Hani dusta. Jelas niatan menikah ini datang setelah menyaksikan sang mantan bahagia di pelaminan.

"Ada hubungannya nggak apa-apa, lho. Artinya kamu udah berhasil move on. Lagian pacaran bertahun-tahun itu nggak enak. Saya heran sama Pram, kenapa malah mutusin kamu, terus nikah sama Kirana. Apa yang dilihat dari perempuan itu? Mata Pram lagi buram kayaknya."

Hani tersenyum kikuk. Tidak salah Pak Rudi berkata seperti itu. Hubungannya dengan Pram memang sudah diketahui seantero kantor ini. Sangat wajar kala mereka berpisah, ada saja omongan yang Hani dengar. Ditambah sekarang Pram menikah dengan Kirana, makin jadi gosipnya. Terutama di divisi tempat Hani bekerja. Hani yakin, pernikahannya dengan Dika pun akan menggemparkan Kantor ini. Kalau saja tidak ingat divisi itu yang tidak berinteraksi langsung dengan klien, Hani sudah memilih resign sejak menerima undangan laknat dari Pram.

"Kamu nikah nggak mau undang saya?" tanya Pak Rudi seraya mengetik surat izin untuk Hani.

"Rencananya cuma akad aja, Pak. Mungkin nanti kalau ada resepsi, baru undang orang kantor."

"Oh. Kalau begitu saya tunggu undangan walimah dari kamu."

Usai mendapatkan surat yang diinginkan, Hani mengucapkan terima kasih, lalu keluar. Dika sudah menunggu lama. Hani kira setelah ini ia bisa langsung istirahat. Namun, laki-laki itu justru mengajaknya pergi ke rumahnya. Hasanah ingin membuatkan kebaya. Bagi Hani, beli, sewa, atau mengenakan pakaian biasa tidak masalah. Yang penting rapi dan layak pakai. Akan tetapi, Hani tidak mau mengecewakan ibunya Dika yang sudah memiliki niat baik. Setidaknya saat akad nikah nanti, Hani bisa tampil beda dari biasanya.

Sampai di rumah laki-laki itu, Hasanah memang benar-benar mengukur tubuh Hani, tetapi sembari mengobrol, tanpa Dika di sana.

"Kamu sudah yakin mau menikah, Hani?" tanya Hasanah. "Kamu tahu, sekarang masih bisa dibatalkan kalau kamu berubah pikiran."

Mendengar itu, tentu saja jantung Hani langsung berdetak tak karuan. Entah kenapa Hani jadi teringat ibunya Pram. "Ibuk nggak suka kalau aku nikah sama Dika?"

"Bukan begitu, Cah Ayu. Ibuk sekarang malah lagi seneng banget, sampai mau buatkan kebaya biar kamu bisa tampil cantik. Cuma kamu harus tahu, menikah itu PR seumur hidup. Kelak akan banyak hal baru yang kalian dapat, entah itu nantinya kamu akan bersyukur atau menyesal. Hani, Ibuk punya satu permintaan, boleh?"

"Apa itu, Buk?"

Hasanah meletakkan meteran pengukur badan di meja. Tersenyum memandang Hani. "Perlakukan Dika dengan baik, ya. Walaupun kamu belum cinta sama dia, tapi surga dan nerakamu tergantung bagaimana kamu memperlakukan dia. Di sini Ibuk hanya bisa mendoakan agar pernikahan kalian selalu dilindungi sama Gusti Allah. Jangan sungkan sama Ibuk, ya. Kalau Dika nakal, telepon Ibuk aja. Nanti biar Ibuk yang hukum dia."

Hani mengiakan saat itu. Namun, yang terjadi justru Hani mengajukan syarat yang berat pada Dika. Syarat yang Hani sendiri tidak yakin apa bisa berjalan mulus. Belum menikah saja, Hani sudah berniat dosa karena tidak menyerahkan hak Dika, bagaimana nanti kalau sudah tinggal satu atap?

Hani tidak bisa lari lagi. Percuma menarik kata-kata yang sudah terucap. Seminggu lagi hidupnya akan berubah. Ia akan berusaha menumbuhkan rasa agar tidak lama-lama menyiksa laki-laki itu. Lagi pula, Dika pria yang baik, sangat menyayangi ibunya. Hani yakin kelak Dika juga akan menyayanginya.

Ponsel di tangan menarik perhatian perempuan itu. Hani membuka akun Instagram dan unggahan dari Pram yang terlihat di beranda. Di foto tersebut, Pram mengenakan jas hitam dengan setangkai mawar di bagian sakunya. Tangannya menggandeng Kirana yang memakai gaun berwarna senada dengan jas lelaki itu.

Mereka bisa tersenyum lepas hingga tidak sadar di sini ada hati yang lukanya kembali mengelupas.

Cairan bening itu datang tanpa diundang. Hani ingat betul konsep di pernikahan Pram berasal dari kepalanya. Kenapa Pram begitu tega menggunakan ide Hani untuk menikahi perempuan lain? Apa otaknya tidak cukup untuk berpikir konsep yang lain? Oh, Hani lupa. Otak Pram, kan, sudah digunakan untuk menyusun rencana meruntuhkan Hani. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal penting seperti persiapan pernikahannya.

Buru-buru Hani menghapus air matanya. Kemudian jarinya beralih ke profil Pram, menekan pilihan 'berhenti mengikuti' tanpa berpikir panjang. Kata Ayu dengan meninggalkan jejak laki-laki itu, perlahan Hani bisa melupakannya. Hani akan mencoba melakukan itu. Pertama, tidak ada ikatan pertemanan di media sosial. Kedua, Hani menghapus satu per satu foto kebersamaannya dengan Pram. Masih berat, Hani hanya menghapus sebagian.

Seminggu lagi Hani akan berubah status dengan laki-laki yang sudah mengenalnya belasan tahun. Hani akan mencoba mengemban peran itu dengan baik meskipun di hatinya masih tersisa nama Pram.


Oh, ternyata besok kondangannya 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro