Chapter 12
.....Dark Forest .....
"Ah, itu... Itu apa?"
Setelah hembusan angin menghilang, terlihat sesosok monster dengan tatapan garangnya. Tingginya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya ditutupi kulit keras yang mungkin mustahil ditembus pedang.
"Ini rintangan pertamanya!" seru Deaz seraya mengeluarkan sebilah pedang.
Monster itu meraung, suaranya yang memekakan telingan membuat burung-burung berterbangan, dedaunan berguguran, angin bertiup kencang.
"Tunggu..."
Vier memincingkan matanya, dilihatnya sosok yang berdiri di atas mahluk itu. Ia terlihat tengah tersenyum menatang, ia memberi sebuah isyarat pada Vier yang langsung dimengertinya.
"Kalian urus monster ini!" titah Vier pada anggota timnya, lalu bersiap untuk pergi. "Hey, Vier! Mau kemana!?" tanya Rezel setengah berteriak. "Aku akan mengurus sesuatu," ujar Vier. Perlahan tubuhnya menghilang tersapu angin.
"Dasar Vier..."
.
.
.
Vier terhenti di sebuah reruntuhan bangunan. Terdapat beberapa pilar yang masih kokoh berdiri. Ia kini berdiri di atas pualam bermotif rumit. Tatapannya tak berpaling dari seorang laki-laki berambut kelam, laki-laki itu mengenakan jubah hitam dengan tudung yang terbuka. Ia menyeringai lebar pada Vier seakan menantangnya bertarung.
"Lama tak bertemu, kawan," ujarnya diiringi seringaian penuh makna, mata rubynya menghunus tajam Vier yang berdiri tanpa emosi di depannya.
"Cih, seperti dulu. Kau selalu meremehkanku, tapi kuingatkan padamu Vier. Aku tak seperti yang dulu!" seru sosok itu yang hanya ditanggapi Vier dengan helaan nafas. "Aku tak ingin banyak bicara, Raven." kata Vier dingin. Seperti aktif ke mode battle, ia terlihat serius. Sorot matanya juga tajam, tatapan tajam yang tak biasa ia tunjukan saat marah pada Ren. Vier mengeluarkan sebilah pedang terhunus mengkilap yang merefleksikan bayangannya sendiri. "Oh, ayolah jangan terburu-buru!" kata Raven seraya mengibaskan tangannya. Ia tahu, itu tak ada gunanya. Bicara dengan Vier yang tengah serius seperti bicara pada setumpuk es. Vier terdiam, lalu menghanyutkan dirinya dalam hembusan angin, ia menghilang!
Secara tiba-tiba Vier muncul di belakang Raven dan siap menghunusnya, diluar dugaan dengan sigap Raven menangkisnya dengan pedang yang sarat akan kegelapan. "Trik murahan macam apa itu? Bahkan kau tak layak bila disebut blue phoenix," ejek Raven diiringi seringaian. Vier mundur ke belakang menghindari hempasan pedang Raven. Digenggamnya erat-erat pedang beraura biru safir itu.
Aura hitam menyembur dari tubuh Raven, sekatang aura hitam itu mengepul di belakang Raven. "Baiklah, ayo kita mulai pestanya!" serunya. Raven mengarahkan element miliknya yang berupa darkness kepada Vier. Aura hitam itu mengitari Vier, seketika aura hitam itu berubah menjadi jarum-jarum yang siap menusuk Vier. Raven mengangkat tangannya tegak lurus dengan badannya, lalu membuka telapak tangannya menghadap Vier. Vier belum bergerak, ia masih terdiam seakan tahu apa yang akan dilakukan Raven dan bagaimana cara mengatasinya. Raven menyeringai, dikepalkannya tangannya dengan mantap. Aura hitam yang mengitari Vier mengikuti gerak tangan Raven, dengan cepat menusuk Vier.
..... Di sisi lain.......
Monster bertubuh besar dengan tubuh sekeras baja itu meraung, suaranya memekakan telinga. Menghasilkan hembusan udara kencang menerbangkan dedaunan serta debu yang membutakan mata.
"Dia sangat berisik, ada yang tahu cara membuatnya terdiam?" Deaz tertoleh pada yang lain. Rezel tersenyum. "Tak ada cara lain kecuali membunuhnya."
"Ambil posisi masing-masing! Kita akan membuat monster ini terdiam, ayo mulai!" seru Rezel yang langsung dituruti oleh semua anggota tim. Deaz dan Agra berada di posisi depan dengan senjata mereka masing-masing. Selain informasinya yang aktual, Agra juga seorang petarung yang dapat diandalkan untuk maju di barisan depan. Lalu, di belakang mereka Yucie dan Arenda, dan tentu saja Rezel berada di posisi belakang.
Yucie menutup matanya lalu mengatakan sesuatu yang membuat tanah sedikit bergetar. Rangkaian rantai keluar dari dalam tanah, melilit tubuh sang monster. Bukan apa-apa baginya, rantai itu putus dengan sekali gerak. Deaz menghenatakkan tangannya ke tanah, muncul retakan-retakan—angin bertiup kencang, debu mengebul mengurangi jarak pandang.
Begitu debu menghilang, sesosok golem dengan besar hampir setara dengan monster itu muncul. Golem yang dipenuhi aura murni, dengan tatapan sarat akan kekuatan cahaya kebaikan.
"Serang!"
Seru Deaz pelan. Namun, bisa di dengar jelas oleh sang golem. Golem itu bagai mahluk hidup yang akan menurut dengan sang tuan, salah satu senjata terkuat dari the legend of sevent weapon. Golem itu menepukkan kedua tangan lebarnyan terbentuk sebuah penahan yang mengikat sang monster. Monster itu meraung semakin keras—memberontak dengan beringas. Hal itu tak membuat Deaz gentar, malahan membuatnya bersemangat untuk menghancurksn sang monster hingga berkeping-keping.
"Arenda!" kata Deaz pelan yang langsung dimengerti apa yang harus dilakukannya. Arenda mengangkat tangannya, tangannya dipenuhu kobaran api. Kobaran itu berubah menjadi sebuah busur. Ia bersiap menembakkan anak panahnya, dengan cepat anak panah itu meluncur ditelan kobaran api dan menjadi berlipat ganda saat mendekati monster. Namun, anak panah itu tak mempan di tubuh keras itu. Monster itu memberontak, menghancurkan penahan tanah milik sang golem.
Angin berhembus sangan kencang, membawa energi negatif dan menyebarnya ke seluruh penjuru. Energi itu membuat energi pemilik element melemah, seakan menyerapnya habis-habisan. Namun, meraka tetap berdiri kokoh di tempat mereka. Jika harus mengorbankan nyawa mereka sendiri untuk sebuah misi, mereka berani mengatakan IYA dengan lantang hingga menggema ke ujung cakrawala.
Butuh waktu lama untuk memulihkan energi, sementara itu monster di depan mereka semakin kuat. Walaupun Deaz adalah pemilik element dewa, ia juga punya batasan yang tidak bisa ia terobos. Rezel menutup matanya memikirkan apa cara yang tepat untuk situasi ini. Tepat saat membuka mata sebuah bulu jatuh dengan indahnya di depan matanya. Rezel menggapai bulu itu. "Biru?" Rezel menengadah, seklebat sosok berwarna biru terbang melewatinya menuju ujung cakrawala.
.
.
.
Dedaunan bergoyang diterpa angin ringan. Langit menampakkan gairahnya, membentang dengan warna biru bersih tanpa setitik awan. Ren terduduk dengan beberapa teman kelompok di sebuah meja bundar untuk mengerjakan tugas. Bukannya mengerjakan tugas, mereka sibuk mengobrol. Dengan terpaksa Ren mengerjakannya dengan Gray saja. Huh, dasar laki-laki, memerintah seenak dengkulnya sendiri, umpatnya kesal, diliriknya tiga orang laki-laki di depannya. Satu kata untuk mereka MENYEBALKAN.
"Ren kau tak apa?" tanya Gray yang mulai merasa aneh melihat Ren mendesah dan komat-kamit sendiri, tapi pertanyaan Gray tak dihiraukan olehnya. Terlalu sibuk mengerjakan tugas, atau mungkin sibuk mengomeli ketiga pemalas itu.
Memang, suasananya membuat mereka merasa sangat malas dan ingin tertidur. Alunan musik alam membuat mata mereka tersa berat untuk tetap terbuka. Sejenak Ren terhanyut dalam lamunannya, apa yang nanti akan dimintanya saat ia dan Vier sama-sama berhasil? Dan juga keraguannya yang semakin bergejolak, apa Vier akan selamat? Ah, ayolah! Lagi-lagi ia memikirkan hal konyol tentang Vier. Serasa Vier seperti memutari pikirannya dengan bisikan-bisikan menyebalkannya.
"Ren!?" Gray menepuk pundak Ren membuatnya terkejut. "A–apa?" Gray tertawa kecil. "Hey, jangan tertawa!" sentak Ren kesak. "Ah, maaf. Ayo lanjutkan!"
......Dark Forest......
Aura biru menyelubungi Vier, melindunginya dari tusukan duri-duri hitam itu. Duri-duri itu semakin pudar dan menghilang. Raven kembali melancarkan serangannya, kini tombak-tombak kegelapan melesat ke arah Vier. Namun, tanpa gerakan sedikir pun, angin menerjang tombak itu dan membalikannya pada Raven. Tombak itu melukai Raven hingga membuatnya terhempas, nampak beberapa luka menyebar di sekujur tubuhnya.
"Cih, payah!"
Seekor elang kegelapan melesat ke arah Vier, berusaha memecah pelindung yang menyelubungi Vier. Pelindung itu mulai retak, lalu terpecah menjadi pecahan-pecahan kecil. Sebelum elang itu berhasil menyentuh Vier, Vier berhasil menebasnya dengan pedang. Tiba-tiba sulur-sulur hitam melilit Vier hingga pedangnya terjatuh ke tanah.
"Nah, paduka, apa yang akan kau lakukan sekarang?" Raven menyeringai penuh kemenangan. Sulur-sulur itu tak hanya melilitnya, tapi juga menahan elementnya, jadi sekuat apa pun Vier memberontak, semakin banyak energi yang terkuras. Namun, Vier tak bergerak sama sekali, mungkin ia punya rencana lain.
"Jika kau bisa memilih, dengan cara apa kau ingin mati?" tanya Raven seraya mengambil pedang Vier yang terjatuh. "Apa pertanyaan itu yak terbalik?" Vier mulai angkat bicara. Raven berbalik lalu tersenyum. "Terbalik?" katanya dengan nada meremehkan. Aura biru menelan tubuh Vier, sulur-sulur yang mengikatnya merenggang. Cahaya biru menyilaukan memenuhi area tempat mereka bertarung. Raven menutup matanya silau, tanpa disadarinya Vier sudah di depannya dan melayangkan tinju ke arahnya. Semudah menginjak semut ia membuat Raven tumbang dan merenggut kembali pedangnya.
"Apanya yang berbeda? Kau sama saja!" keadaan sekarang berbalik. Raven berdiri sempoyongan, menatap bengis Vier yang tersenyum ke arahnya. Angin berhembus menerbangkan dedaunan serta debu, diikuti menghilangnya sesosok dengan aura kelam nan penuh kebencian. Vier menghela nafas lega. Ia terbatuk lalu mengusap darah yang mengalir dari bibirnya. "Sial, aku lupa masih dalam tahap pemulihan."
..... Area lain......
Monster itu mengerang lagi, debu yang berterbangan semakin tebal membuat siapa pun yang menghirupnya terbatuk. Angin berhenti berhembus, meninggalkan sebuah kehampaan yang menghadang.
"Menghilang lagi!" decak Deaz kesal.
"Hey, bukankah kita belum mulai!?"
To be continued...
====================
Jumpa lagi di Rabu Emejing!!!
Akhirnya saya berhasil menyelesaikannya, walaupun baru pulang tak apalah untuk kalian apa yang enggak , iya kalian!
Gak seru? Banyak typonya?
Saya tahu, soal itu MAAF. Saya buru-buru nyelesaiinnya. Karena dikejar timeline dan kebetulan saya belum nulis apa pun, beginilah jadinya...
Mau tanya-tanya? Silahkan!
♬♬Timeline ini... Membunuhku...♬♬
See you next chapter...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro