
#4 THE GHOST
*** Previous chapter ***
"Gue, sih, sebenarnya nggak peduli lo beneran Briska atau bohongan. Ya, katakanlah lo beneran Briska, deh. Tapi, gue mesti tegasin, gue nggak seperti yang lo kira tadi, bisa lihat arwah atau hantu. Lo salah."
Berlin tidak menjawab. Cewek itu menatap Kairo dengan mata berkaca-kaca, membuat Kairo semakin salah tingkah. Kalau kelamaan di sini, dia pasti akan luluh.
"Sorry, gue nggak bisa bantu lo. Udah ya, gue mau ke kelas," ucap Kairo sebelum Berlin membujuknya lagi. Cowok itu akhirnya meninggalkan Berlin sendirian di lorong persembunyian.
***
CHAPTER #4 THE GHOST
Ini beneran nggak, sih?
Berlin mendelik saat melihat caption dari sebuah akun gosip yang menandai Instagram @bybriska. Masalahnya, caption itu berasal dari @NoonaGibah, akun gosip terkenal dan paling berpengaruh di media sosial belakangan ini.
@NoonaGibah mengunggah potongan rekaman Podcase-nya yang viral. Mata Berlin langsung berkunang-kunang melihat jumlah komentar di posting-an tersebut.
"Dua ribu tujuh ratus lima puluh dua komentar?!"
Gila!
Cewek itu semakin berkeringat dingin. Tangannya gemetaran. Berlin mengira, dengan mengarsipkan rekaman Podcase yang viral dari kanal dan mengubah privasi akun Instagram, semua masalah akan selesai. Namun, ternyata ada yang lebih meresahkan. Sudah ada akun gosip yang mengunduh rekaman podcast-nya lebih dulu sebelum diarsipkan, sehingga masih banyak orang yang baru mendengarnya. Cewek itu juga terlambat menghapus alamat surel yang tercantum di bio Instagram. Kini, surelnya turut menjadi sasaran haters.
Memang, tidak semua orang melempar kebencian kepadanya. Ada pendengar setia yang tetap mendukung dan memberinya semangat untuk tetap berkarya. Bahkan, ada banyak surel berisi undangan dari podcaster-podcaster terkenal yang mengajaknya berkolaborasi untuk membahas Hantu Sofia yang viral.
Tidak, Berlin tidak akan menerima ajakan-ajakan kolaborasi dari siapa pun. Dia tidak ingin mereka memanfaatkan keviralannya ini. Mereka bahkan tidak mengenalnya sebelum ada kasus ini, kan? Lagi pula, jika menyetujui ajakan kolaborasi, itu tandanya Berlin harus siap membuka identitas aslinya kepada orang lain. Sedangkan dirinya belum siap. Biarkan saja mereka meributkannya sebagai Briska. Dia masih butuh waktu untuk membuka identitas dirinya.
Semua keributan itu menginginkan satu hal dari Berlin. Klarifikasi.
Klarifikasi apa? Bahwa konten itu bukan setting-an? Ya memang bukan!
Kepala Berlin berdenyut-denyut ketika nekat mengintip notifikasi DM Instagram lagi. Ada satu DM yang tidak sengaja terbaca.
DM dari akun random itu berkata, "Lo anak LV, ya? Gue juga. Kalau lo nggak segera klarifikasi dan cuma pengin bikin nama sekolah jelek, gue bakalan cari dan bongkar identitas lo!"
Ancaman itu membuat Berlin gemetaran. Keringat dingin muncul di permukaan pori-pori kulitnya. Karena matanya semakin berkunang-kunang, cewek itu segera mematikan ponselnya, kemudian memasukkannya ke tas.
"Huhhh!" Tanpa sadar Berlin mengeluarkan suara mengeluh agak keras, hingga beberapa pasang mata dari bangku depan menoleh ke arahnya.
"Kamu!" panggil seseorang.
Berlin terkesiap. Dia baru sadar kalau pelajaran masih berlangsung.
"Iya, kamu. Siapa namamu, yang di sebelah Mutia. Ngapain kamu?" tegur Bima, guru Bahasa Indonesia yang sedari tadi sedang menerangkan ketika Berlin bermain ponsel.
"Ber," senggol Mutia karena Berlin malah bengong.
Cewek itu gelagapan. "Saya B-Berliana, Pak," jawab Berlin gugup.
"Berliana! Kamu mainan ponsel? Bawa sini ponselnya," perintah Bima.
Guru muda berlesung pipi itu menegurnya dengan halus, tetapi tetap saja terdengar mengerikan di telinga Berlin. Cewek itu duduk di bangku deretan kedua dari belakang, tetapi rupanya mata Bima cukup jeli menangkap basah dirinya bermain ponsel.
Mati gue!
Berlin melirik Mutia di sampingnya. Mutia hanya mengangkat bahu.
"Ada lagi yang sedang main ponsel selain Berliana?" tanya Bima kepada seluruh kelas.
Semuanya menunduk. Takut ponselnya disita Bima seperti Berlin.
"Begini, Anak-Anak. Di sekolah kita memang tidak ada larangan membawa ponsel. Tapi, bukan berarti boleh main ponsel kalau pelajaran sedang berlangsung," jelas Bima.
Guru muda itu memindai seluruh penjuru kelas. "Saya tahu, di antara kalian ada yang mainan ponsel karena kepo dengan kabar viral yang sedang disangkutpautkan dengan kejadian lama yang menjadi aib sekolah kita. Saya harap kalian tidak terpancing dan ikut komentar yang tidak penting. Mengerti?"
Seluruh kelas menjawab dengan serempak. "Mengerti, Pak!"
"Berliana, mana, sini ponsel kamu." Bima kembali memanggil Berlin.
Sebelum dirinya semakin menjadi tontonan, Berlin segera bangkit dan berjalan menuju meja guru dengan kepala menunduk. Rasanya pipinya seperti terbakar. Malu bukan main ditegur seperti itu di depan banyak orang.
"Ambil nanti setelah pulang sekolah di kantor saya," tukas Bima kepada Berlin setelah cewek itu meletakkan ponselnya di meja guru.
Berlin mengangguk pelan.
"Kamu sakit?" tanya Bima. Laki-laki berusia pertengahan dua puluh itu mengamati wajah Berlin yang pucat. Poninya yang lebat pun sedikit basah karena keringat.
"Tidak, Pak," jawab Berlin singkat.
"Kalau sakit ke UKS saja," saran Bima.
Berlin hanya menjawab dengan anggukan, kemudian berbalik untuk kembali ke bangkunya. Saat melewati bangku Kairo yang berada di baris kedua di depan meja guru, cewek itu melirik sedikit. Lalu, dia segera mengalihkan pandangan begitu tahu bahwa Kairo juga sedang menatapnya. Berlin belum siap menghadapi Kairo lagi. Tidak setelah aksi nekatnya mengancam Kairo kemarin.
***
Pulang sekolah, Kairo celingak-celinguk di koridor dekat kantor guru. Cowok itu menunggu Berlin yang sedang menemui Bima untuk mengambil ponsel. Kairo masih merasa tidak enak setelah pergi begitu saja dan mengabaikan Berlin kemarin.
Selain itu, Kairo juga harus memastikan bahwa Berlin benar-benar tidak akan menyebarkan video kemarin. Gawat kalau cewek itu ternyata serius dengan ucapannya. Rahasianya selama ini bisa terbongkar.
Beberapa menit berselang, yang ditunggu akhirnya keluar dari Ruang Guru. Kairo yang sedari tadi bersandar di tembok, menegakkan punggungnya. Berlin menyadari kehadiran Kairo. Cewek itu tampak kikuk.
Ketika Berlin mendekat, Kairo menyapa cewek itu lebih dulu. "Ber," panggilnya.
"Ya," jawab Berlin singkat.
Kecanggungan di antara Berlin dan Kairo terlalu kentara. Berlin memutuskan lebih dulu memecah suasana tidak enak itu.
"Lupain aja kejadian kemarin, Kai. Nggak usah khawatir, gue udah hapus video lo kok. Aman," tukas Berlin.
Kairo mengangguk. Dia lega karena Berlin ternyata tidak serius dengan ucapannya kemarin. Dari jarak sedekat ini, cowok itu bisa melihat dengan jelas wajah Berlin yang pucat dan lesu. Ada perasaan mengganjal di hati Kairo. Cowok itu tergerak untuk membantu seperti yang Berlin minta kemarin, tetapi sangat sulit sekali diungkapkan karena canggung.
"Gue cabut dulu," pamit Berlin. Cewek itu bergegas pergi tanpa menunggu jawaban Kairo.
Saat Berlin berbalik, Kairo baru menyadari satu hal. Cowok itu berdecak. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi harus menunggu hingga Berlin menjauh terlebih dahulu. Selama itu, mata Kairo tak lepas dari punggung Berlin.
"Ssst! Hei, sini!" panggil Kairo dengan intonasi agak keras saat Berlin sudah jauh beberapa langkah darinya.
Berlin berhenti, kemudian menoleh. "Apa?"
Kairo terkesiap. "Eh, sorry. Gue bukan manggil lo," jawab Kairo.
Berlin merengut. Sambil menggerutu, cewek itu segera pergi dari sana dengan langkah cepat.
Ketika Berlin sudah tak terlihat, barulah Kairo bertindak. Cowok itu memasang tampang galak kepada sosok yang kini berdiri di hadapannya. Makhluk itu bersedekap di depan Kairo, sembari menunjukkan wajah kesal.
"Jangan nempelin cewek itu lagi, ngerti?" perintah Kairo kepada Sofia, sosok hantu di depannya.
Sejak di kelas tadi, Kairo sudah melihat Sofia menempel terus pada Berlin. Hantu itu berdiri di sebelah bangku Berlin sambil menopangkan tangannya ke pundak cewek itu. Sesekali dia mencoba masuk ke tubuh Berlin, tetapi gagal. Berlin terlihat pucat dan lemas sepanjang pelajaran, Kairo jadi merasa kasihan.
"Kenapa? Kan, gue udah nggak ngikutin lo lagi. Suka-suka gue sekarang mau nempelin siapa!" jawab Sofia tanpa rasa takut kepada Kairo.
Kairo diam sejenak. Dia menahan diri untuk tidak keceplosan bicara dengan suara keras. Jangan sampai ada lagi orang lain yang melihat, kemudian merekamnya sedang berbicara sendiri seperti Berlin kemarin.
"Susah banget dibilangin. Dia bisa sakit kalau lo tempelin terus. Lo nggak lihat dia pucat gitu? Jalannya aja udah sempoyongan." Berbicara pelan sambil menahan emosi rupanya sangat sulit. Suara Kairo terdengar seperti menggeram.
Sebaliknya, Sofia membalasnya dengan suara yang lantang dan cempreng. Karena hantu cewek itu tidak perlu khawatir suaranya terdengar manusia lain.
"Ya, kan, bagus! Semakin dia lemah, semakin gampang gue masuk ke badannya. Gue bisa pinjam badan dia, bisa makan, bisa jalan-jalan," jawabnya sambil mengibaskan rambut panjangnya.
"Wah bener-bener lo, ya!" seru Kairo kehabisan kesabaran.
"Kenapa? Lo mau doa-doain gue lagi?" tantang Sofia. "Nggak takut!"
Kairo baru akan membalas Sofia, tetapi terhenti karena Bima tiba-tiba saja keluar dari Ruang Guru.
"Eh, Pak Bima," sapa Kairo gelagapan.
"Ya? Kamu ada perlu dengan Pak atau Bu siapa?" tanya Bima. Guru muda itu mengenakan jaket kulit hitam sambil memain-mainkan kunci motor, sepertinya sudah siap untuk pulang.
Kairo berdeham. "Nggak, Pak. Lagi nunggu teman," jawabnya bohong.
Bima mengernyitkan dahi, tetapi dia memilih untuk tidak bertanya lagi. "Oke, saya duluan ya," pamit Bima sambil berlalu dari hadapan Kairo.
Kairo membalasnya dengan anggukan.
Saat Bima melewati Sofia, hantu cewek itu memandang Bima dengan tatapan aneh.
Kairo mendesis. "Sst, ngapain?" tegur Kairo.
"Eh ...." Sofia gelagapan. "Nggak ngapa-ngapain. Cuma aneh," jawabnya.
Kairo mengernyit. "Aneh apanya?"
"Susah jelasinnya," jawab Sofia.
Kairo memperhatikan punggung Bima yang menjauh.
Setelah Bima menghilang dari pandangan, Kairo mengajak Sofia pergi. "Lo ikut gue sekarang!"
Cowok itu menggiring Sofia menuju lorong buntu agar bisa leluasa berbicara. Sofia mengikuti langkah Kairo sambil menggerutu. "Kemarin disuruh pergi, sekarang disuruh ikut. Cowok plinplan."
Sesampainya di sana, tanpa basa-basi cowok itu langsung menodong pertanyaan serius. Raut wajahnya pun terlihat menakutkan, membuat Sofia tak berani bertingkah cengengesan.
"Lo sadar nggak, udah bikin keributan di dunia manusia?" tanya Kairo langsung.
"Keributan apa?" jawab Sofia polos.
"Lo udah munculin suara lo di podcast orang. Itu benar suara lo, kan?" desak Kairo.
"Podcast itu apa? Suara apaan?"
Kairo menghela napas panjang. Cowok itu gemas karena ngobrol dengan hantu yang satu ini susah sekali nyambungnya. Membuang-buang waktunya saja.
"Begini, ada orang lagi rekaman, dia bercerita tentang Hantu Sofia yang suka gentayangan di sekolah ini. Lalu, di rekamannya itu tiba-tiba ada suara cewek minta tolong. Itu suara lo, kan?" jelas Kairo dengan intonasi yang dibuatnya terdengar sesabar mungkin.
"Oh, podcast itu rekaman. Eh? Rekaman? Jadi, suara gue masuk ke rekaman cewek itu?" Mata Sofia membelalak lebar.
"Udah ngerti, kan, lo sekarang?" desak Kairo.
"Kai, lo kenal cewek yang tadi gue tempelin, kan?" Sofia tak menjawab Kairo, dia malah bertanya balik dengan menggebu-gebu.
"Ya, kenal. Dia teman sekelas gue," jawab Kairo.
"Kai, bantuin gue! Please, gue bener-bener butuh bantuan lo buat komunikasi sama dia. Gue butuh kalian berdua!" Sofia hendak meraih tangan Kairo, tetapi cowok itu mundur selangkah karena terkejut dengan pergerakan Sofia yang mendadak.
Selain itu, di luar lorong, tiba-tiba ada segerombolan siswa yang lewat. Kairo membalik badan dan berpura-pura sedang mengamati sesuatu di tembok. Cowok itu berharap anak-anak tadi tidak mendengarnya bicara sendiri.
Kairo memutar kembali badannya menghadap Sofia setelah yakin anak-anak tadi sudah menjauh dari lorong.
"Maksud lo apaan, sih?" tanya Kairo kepada Sofia yang masih panik. Cowok itu bingung mengapa Sofia meminta bantuan kepadanya agar bisa berkomunikasi dengan Berlin.
Sofia mendesah panjang. "Lo bilang suara gue masuk ke rekaman orang, kan?"
Kairo mengangguk.
"Orang itu dia. Cewek yang rekaman itu teman lo itu, Kai!" jelas Sofia. "Gue nggak sengaja ngikutin dia sore itu, waktu dia masuk ke ruangan di belakang masjid!"
"Ruang Multimedia?" Kairo mengoreksi.
Sofia mengangguk. "Aura cewek itu sama kayak lo, ungu. Dan energi cewek itu kayak narik gue buat ngikutin dia. Gue lihat dia lagi ngomong sendiri kayak siaran radio. Waktu cewek itu bicara, apa yang diceritakan cewek itu membuat ingatan gue yang hilang balik, Kai! Ingatan gue balik! Ingatan tentang kematian gue!"
Kairo terdiam, mencoba mencerna penjelasan Sofia yang tiba-tiba menjadi serius.
"Cewek bunuh diri yang dia bicarakan di rekaman itu adalah gue. Jadi, gue mencoba untuk memanggil cewek itu buat minta tolong. Mana gue tahu kalau ternyata suara gue bisa masuk!" Sofia menjelaskan dengan emosional.
"Cewek yang siaran itu Berlin? Berlin teman gue yang tadi?" Kairo memastikannya sekali lagi kepada Sofia.
Sofia mengangguk-angguk.
Kairo tercenung sesaat. Cowok itu teringat kata-kata Berlin saat mendatanginya kemarin, dan mengaku sebagai Briska, penyiar Podcase.
Jadi, benar apa yang dia bilang ....
"Kai, cewek itu tahu tentang kematian gue. Bantuin gue ngobrol sama dia. Gue harus tahu, gue mati kenapa? Gue nggak mau gentayangan kayak gini selamanya!" seru Sofia.
Saat mengatakan kalimat terakhir, nada suara Sofia berubah menjadi geraman. Emosi dan amarah menguasai sosok hantu tersebut. Wujudnya pun berubah, dari sosok cewek SMA berseragam yang cantik, menjadi sosok wanita menyeramkan. Tubuh Sofia meninggi, kulit wajahnya yang pucat mengeriput, dan matanya merah menyala.
Kairo terbelalak. Mulutnya menganga, tak bisa mengeluarkan suara. Cowok itu terseok-seok mundur hingga menabrak dinding di belakangnya.
Sofia yang sadar sudah membuat Kairo takut, perlahan-lahan kembali ke sosoknya semula. Hantu cewek itu mendekati Kairo yang gemetaran.
"Sorry, gue nggak bermaksud nakut-nakutin lo, Kai," ucap Sofia. "Please, Kai. Bantuin gue. Cuma lo sama dia yang bisa bantuin gue," mohonnya kepada Kairo.
Kairo tetap bergeming. Masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat di hadapannya.
*** to be continue ***
Lia Speaking~
Annyeong, Caser-deul kesayanganku....
Apa kabar kalian? Lagi ngapain nih?
Ketemu lagi sama aku di hari Rabu. Siapa yang udah nungguin dari kemarin-kemarin?
Gimana nih menurut pendapat kalian chapter Podcase hari ini.
Sofia serem juga ternyata kalo marah. Nggak berani ngebayanginnya :(
Oh, ya Caser. Udah ketemu sama guru Kairo dan Berlin yang namanya Pak Bima kan?
Mau tahu visualnya nggak?
Jeng jeng~ ini dia Pak Bima, yang tadi nyita hp Berlin.
Di sekolah kalian ada nggak guru yang suka nyita barang murid kayak Pak Bima?
Kalau ada mah, kalau seganteng Pak Bima, keknya aku juga ikhlas-ikhlas aja hpku disita ehehe
Nah, untuk hari ini, segini dulu, ya Caser. Kita ketemu lagi lusa di hari Jumat.
Sekali lagi, nggak bosan-bosannya aku mau ngucapin makasih buat yang baru baca Podcase, ataupun yang baca ulang. Makasih yaaa ^^
Terima kasih juga buat yang sering ninggalin komentar, seru banget bisa komunikasi langsung sama kalian.
Jangan lupa vote, komen, dan share ke temen-temen kamu kalau kamu suka sama ceritanya ^^
Kasih cinta banyak-banyak buat Kairo, Berlin dan Sofia. Terima kasih.
See yaaa...
Jangan lupa jaga kesehatan.
Sayang kalian semua :*
Love you to the bone,
Lia Nurida
IG Penulis: lianurida
Wattapad Penulis: lianurida
Karena hari ini chapternya kedatangan karakter baru bernama Pak Bima. Sound of The Day hari ini kita tampilkan Pak Bima juga wkwkw
https://youtu.be/xEKlhTV2HYI
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro