Bab 3
Kantin ramai oleh para murid yang sedang makan siang. Banyak dari mereka membentuk kelompok atau geng untuk makan semeja. Bisa jadi, rasanya akan sangat aneh kalau kedapatan makan sendirian. Akan dianggap cupu atau tidak punya teman.
Makan siang disediakan secara prasmanan, dengan beberapa petugas kantin membantu untuk mengambil nasi dan lauk. Antrian biasanya mengular di tiga puluh menit pertama jam istirahat.
Di meja dekat jendela, yang merupakan tempat favorite Quenara beserta teman-temannya, empat gadis cantik duduk dengan nampan makanan di depan mereka. Dari keempatnya, kecuali Quenara, tidak ada yang benar-benar makan nasi. Mereka mengaku sedang diet, dan makan siang cukup hanya berupa sayur, buah, beserta sebotol yogurt.
“Kalau gue makan siang kayak kalian, bisa mati lemes,” ucap Quenara menatap makanan teman-temannya.
Jeny mengerling, menjentikkan kuku-kukunya yang dimanikur rapi. “Lo itu aktif di cheerleader, makanya butuh tenaga banyak. Lagian, gue curiga biar pun makan tiga piring juga lo tetap langsing.”
Kedua temannya yang lain hanya mengerling setuju, sementara Quenara mengulum senyum. Ia mengibaskan rambut, menyantap makanan di atas piring plastik berupa nasi ayam dan sayur bayam. Ada sepotong apel di samping piring.
“Lo udah tahun terakhir di sekolah, napa masih jadi cheerleader, sih. Harusnya udah regenerasi.” Kali ini Ema yang bicara.
Quenara mengangkat bahu, mengunyah makanan di mulut. “Bentar lagi, mereka mau audisi anggota baru.”
“Jangan sampai si anak kelas dua itu, siapa namanya? Angelica, yang menang!” Jeny bicara sambil mengetuk meja. “Gue benci banget sama bocah sok kecakepan itu!”
“Setahuku dia memang cantik dan berbakat,” ucap Quenara membayangkan sosok Angelica yang berwajah layaknya boneka berbie. Terkenal di kalangan anak kelas XI karena kecantikannya.
“Hah, lo ngomong gitu karena nggak tahu kalau dia caper mlulu sama Delano. Bayangin, kalau penerus lo itu cewek sok cakep, centil pula!”
Quenara tidak menjawab ocehan Jeny. Karena bagaimana pun, bukan hak-nya untuk menerima atau menolak anggota. Cheerleader pun punya tim khusus untuk penerimaan anggota baru, meski tentu saja dirinya sebagai ketua pasti dilibatkan. Sejauh ini, ia sama sekali tidak ada masalah dengan Angelica. Kalau pun gadis itu terpilih, pasti karena pertimbangan bersama.
Dari arah pintu, masuk serombongan murid laki-laki. Kedatangan mereka membuat seluruh mata di kantin tertuju ke arah pintu, termasuk Quenara. Berjalan paling depan, ada Ettan dengan penampilan cueknya. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling dan matanya menemukan Quenara. Tanpa sadar Quenara menunduk, menghindari tatapan Ettan. Semenjak peristiwa di tangga waktu itu, ia selalu berharap tidak pernah bertemu dengan pemuda berambut gondrong itu.
“Eh, lo tahu nggak kalau seluruh sekolah penasaran sama lo dan si bad boy?” Jeny menunjuk Ettan dengan dagunya.
“Nggak, ada apa emangnya?” tanya Quenara.
“Ya ampun, Quen. Seluruh sekolah sekarang gibahin kalian berdua. Mereka dan kami sibuk nerka, kira-kira lo bakal putus sama Delano nggak? Terutama setelah lo kiss sama Ettan.”
“Hei, itu nggak sengaja!” sanggah Quenara ke arah Jeny.
“Lah, tetap saja kiss. Bibir nempel bibir.”
Quenara hanya menunduk, saat tiga sahabatnya terkikik. Harus diakui, peristiwa kiss yang tidak sengaja antara dirinya dan Ettan, telah menjadi gosip panas di sekolah. Ia berusaha mengabaikannya, meski tak urung merasa kesal.
Di meja dekat pintu, Ettan mengamati gadis berambut panjang yang duduk di dekat jendela. Entah kenapa ia tahu kalau para gadis yang duduk di meja itu sedang membicarakannya. Mungkin dilihat dari gelagat Quenara yang diam-diam memandang ke arahnya.
“Cantik, sexy, bini idaman banget.”
“Siapa? Emi atau Jeny?”
“Aduh, kalau mereka berempat mau sama gue. Rela gue poligami.”
Celetukan-celetukan ringan, keluar dari mulut teman-temannya setiap kali mereka melihat Quenara dan teman-temannya. Bukan rahasia lagi, kalau 4CC adalah idaman para jomlo dan semua pemuda di sekolah.
“Gue laper!” Ettan bangkit dari kursi, diikuti oleh tiga temannya. Mereka mengantri di meja prasamanan dan mengambil makan siang. Dari ujung matanya, Ettan melihat Delano datang menghampiri meja Quenara dan tak lama, pemain basket itu ikut mengantri makanan.
Dengan makanan di nampan, Ettan berniat kembali ke meja saat di tengah jalan, langkahnya dihadang oleh Delano. Ia terdiam, merasa terganggu dengan penghadangnya.
“Minggir lo!” pintanya dingin.
“Gimana kalau gue nggak mau?” Delani menjawab dengan dagu terangkat. “Lo bisa cari jalan muter!”
Ettan memaki dalam hati, merasa kalau si pemain basket memang sengaja cari gara-gara dengannya.
“Mau apa lo? Ngajak ribut di sini?”
Delano tersenyum kecil, menenteng nampan kosong di tangan kanan. “Gue cuma mau peringatin lo. Jauh-jauh dari Quenara kalau nggak mau hidup lo susah!”
Ettan berdecak dalam hati, tidak menyangka kalau tujuan penghadangan di kantin hanya karena cewek.
“Lo apanya dia? Bokapnya?” ucapnya dengan nada mengejek.
Terdengar umpatan, tak lama Delano mendesak maju. Untunglah tangan Ettan membawa nampan penuh makanan, kalau tidak bisa terjadi baku hantam karena Delano kini menunjuk mukanya.
“Lo jangan macem-macem sama gue! Lo bakalan tahu akibatnya! Dia cewek gue, nggak pantas sama lo!”
Ettan mengangkat bahu. “Ancaman lo bikin gue takut sampai mau kecing. Gimana, mau nampung kencing gue di tangan?”
“Brengsek! Sialan! Bosan hidup lo!”
Dua kelompok murid laki-laki, berdiri berhadap-hadapan di tengah kantin, di bawah pandangan para murid lain yang terlihat cemas. Ettan menolak untuk menyingkir karena tidak suka diintimidasi.
“Gue nggak peduli, apa hubungan lo sama cewek itu. Asal, jangan ganggu gue!” ucap Ettan dingin.
Teman-teman Ettan yang semula duduk di meja kini bangkit dan menghampirui mereka. Teman-teman Delano pun tak kalah banyak. Semua tegang, seperti menunggu waktu untuk terjadinya perkelahian.
Tak lama terdengar deheman feminin, berikut suara merdu yang menyibak kerumunan.
“Sorry, kalian ngalingin jalan. Bisa minggir? Gue bawa kuah sop panas. Nggak jamin kalau kecipratan!”
Para cowok itu serempak menoleh ke arah datangnya suara dan mereka menatap Quenara yang tersenyum cantik sambil mengedipkan mata dengan nampan di tangan.
“Please, kasih gue lewat. Tangan pegel bawa nampan.”
Seakan terhipnotis, kerumunan itu menyibak. Quenara sengaja lewat di depan Ettan dan Delano. Untuk sesaat, pandangan matanya bersirobok dengan Ettan dan ia buru-buru mengalihkan tatapan.
“Delano, yuk! Ada sesuatu yang penting mau gue bilang.”
Delano berdiri kaku, tercabik antara mengikuti sang pacar atau menghantap wajah Ettan dengan nampan di tangannya.
“Delano, ayuk!” Sekali lagi terdengar teriakan manja Quenara. Kali ini, Delano mengalah. Mengembuskan napas panjang ia melemparkan tatapan tajam ke arah Ettan.
“Urusan kita belum kelar!” Setelah ancaman terakhir, Delano meninggalkan Ettan dengan angkuh.
Ettan menatap kepergian Delano dan teman-temannya yang mengiringi langkah Quenara. Mereka mengenyakkan diri di meja dekat jendela. Ia berpikir, seandainya tidak ada Quenara, bisa jadi akan ada baku hantam di kantin. Lamunannya terhenti saat bahunya ditepuk pelan.
“Udah lama nggak lemesin tangan,” ucap temannya yang berbadan gempal.
“Sayang aja si Cantik datang,” celetuk yang lain.
Ettan mengangkat bahu. “Nggak ada gunanya berantem sama mereka.”
Mereka bertukar pandang dan nyengir jahil penuh pengertian. Delano dan kawan-kawan memang popular karena jago olah raga, tapi Ettan dan kelompoknya yang terbiasa bertarung tidak akan kalah oleh mereka.
“Ettan, kita-kita penasaran satu hal.” Si Gempal menatap Ettan serius.
“Apaan?” tanya Ettan mengalihkan pandangan dari meja Quenara ke temannya yang sekarang cengar- cengir di sampingnya.
“Gimana rasanya ciuman sama Quen.”
Tak lama terdengar batuk dan celetukan menggoda, Ettan terdiam sesaat. Memikirkan jawaban yang pas.
“Stawberry,” jawabnya singkat.
“Hah, maksud lo apa?”
“Itu dia, rasa bibirnya strawberry.”
Ia melangkah tenang menuju meja kosong dengan teman-temannya bergumam tentang ciuman rasa strawberry. Ettan berucap dalam hati, kalau dirinya tidak main-main. Memang, rasa bibir Quenara persis dengan selai kesukaannya, strawberry.
**
Setelah menyesali diri, memaki dunia dan seisinya, serta mencoba menerima kenyataan kalau Gala akan menjadi pimpinannya, Syera mencoba memfokuskan diri pada pekerjaannya. Berbeda dengan teman-temannya yang antusias saat tahu kalau pimpinan mereka seorang duda tampan dan kaya raya, ia mengutuki nasibnya. Jika bukan karena ulah sang adik yang menginginkannya mendapat jodoh di aplikasi, tentu semua tidak akan terjadi. Ia menenangkan diri sendiri, kalau dengan kedudukannya sekarang, tidak akan banyak bersinggungan dengan si Galak Gala, tentu pimpinan utama akan berinteraksi dengan sesama pimpinan. Itu yang membuatnya bisa tenang di situasi sekarang.
Sebenarnya, semua kekacauan di perusahaan mereka tidak akan terjadi jika pimpinan tidak salah berinvestasi. Sang direktur, atas izin pejabat keuangan, berinvestasi pada peralatan perkebunan, tapi hasilnya ternyata tidak sesuai. Kesalahan itu membuat mereka berutang pada bank, dan nyaris dinyatakan pailit. Untunglah, ada perusahaan Gala yang membantu.. Mereka sepakat untuk bekerja sama untuk menyelamatkan pabrik, perkebunan, dan produk teh mereka yang sudah lama beredar di pasaran.
Ketukan di pintu membuyarkan konsentrasi Syera. Ia mendongak, menatap Anjani, teman sekantornya.
“Syera, dipanggil sama Pak Cahyana tuh.”
“Eh, ada apa?”
Anjani mengangkat bahu, mengibaskan rambut kecoklatannya ke belakang. “Entah, ya. Kamu datang buruan ke kantornya.”
Syera bangkit dari kursi, mengikuti langkah Anjani. Wanita yang melangkah gemulai di depannya, adalah sekretaris pribadi sang direktur. Banyak rumor terdengar kalau keduanya menjalin kedekatan selain bawahan dan atasan, tapi semua orang menutup mulut. Tidak ingin menggunjingkan sesuatu tanpa bukti.
Sang direktu meminta keduanya masuk. Dengan tangan berada di saku, Cahyana menatap kedua anak buahnya.
“Saya mau mengatakan sesuatu yang penting. Demi kemajuan perusahaan, Tuan Gala akan bekerja di kantor ini seminggu tiga kali.”
Syera serta merta mengeluh dalam hati, mendengar berita yang menurutnya sangat buruk.
“Hal penting lainnya, beliau membutuhkan seorang asisten pribadi untuk membantunya dalam pekerjaan.”
Kali ini, Anjani tersenyum kecil dengan wajah berbinar. Sedangkan Syera menunduk, mencoba bersikap tidak mencolok.
“Saya mengajukan Anjani dan beliau … memilih Syera.”
“Apaa!” Baik Anjani maupun Syera bertanya bersamaan.
“Pak, apa nggak salah dengar. Kok bisa Syera yang terpilih?” protes Anjani.
Tanpa diminta Syera mengangguk kencang. “Nah itu, saya hanya staf biasa. Tahu apa tentang menjadi asisten seorang direktur.”
Saat Anjani membuka mulut untuk memprotes sekali lagi, Cahyana mengangkat tangan.
“Keputusan sudah dibuat, tidak dapat diganggu gugat. Syera, mulai besok kamu berada satu lantai dengan Tuan Gala. Lakukan pekerjaanmu sebaik mungkin, maka karirmu akan cemerlang.”
Bagi orang lain, peningkatan jabatan adalah sebuah anugrah, tapi bagi Syera adalah bencana. Setelah mencoba menyingkirkan kekuatiran dalam otaknya, kini perasaan itu muncul kembali. Siapa menduga, justru Gala sendiri yang mengingkan mereka bekerja sama.
“Senang kamu, bisa ngalahin aku.”
Gumaman dari Anjani membuat Syera tersadar. Mereka melangkah beriringanb menyusuri lorong, menuju tangga.
“Maksudmu apa?” tanya Syera heran.
“Halah, jangan pura-pura nggak tahu. Seluruh kantor tahu kalau kamu memang ingin jadi sekretaris. Entah apa yang dilihat Tuan Gala dari kamu, bisa-bisanya milih kamu dan bukan aku.”
Syera menghela napas, mengikuti langkah Anjani. Ia berpikir, akan dengan senang hati pindah tugas demi kenyamanan. Namun, perintah atasan tidak mungkin ia tolak. Ditambah dengan protes dari Anjani, membuat tekadnya untuk membuntikan diri sedikit naik.
“Aku harap, kamu tidak bersikap memalukan, Syera.”
Desisan penuh dengki yang diarahkan Anjani padanya, membuat Syera tersenyum. Ia tidak tahu, bagian mana dari dirinya yang tidak disukai oleh Anjani. Namun, seluruh kantor tahu kalau mereka terlibat perang dingin. Bersikap menantang, hanya demi membuat Anjani marah, Syera berucap dengan dagu terangkat.
“Nggak usah kuatir, aku tahu apa yang aku lakukan.”
Meninggalkan Anjani yang menatap marah ke arahnya, Syera berderap ke ruangannya. Ada banyak hal berputar di kepalanya dan seperti memukul perasaannya. Ia mencoba menerima kenyataan kalau menjadi asisten Gala adalah kenaikan jabatan, dan bukan jalan kehancuran.
Dua hari kemudian, Syera mengangkat barang-barangnya ke ruangan baru. Ia ditempatkan persis di depan pintu kantor Gala. Selain dia, ada satu laki-laki yang bertugas membantunya. Mulutnya tak lepas melantunkan doa, semoga bisa menjalani tugas barunya dengan baik, tanpa pertumpahan darah.
Di hari ketiga, Gala datang ke kantor. Syera otomatis bangkit dari kursi dan mengangguk sopan. “Selamat pagi, Tuan.”
Gala hanya melirik lalu mengucapkan perintah pelan. “Kopi, please.”
“Ba-baik, Tuan.”
Sepuluh menit kemudian, Syera membawa kopi hitam panas, berikut gula dalam wadah ke kantor Gala. Laki-laki itu sedang sibuk dengan dokumen di atas meja dan tidak mendongak saat Syera datang.
“Silakan, Tuan.”
Syera berbalik, hendak pergi saat terdengar teguran.
“Kamu bilang ini kopi? Atau memang kantor kalian terlalu pelit sampai harus menghemat?”
Tidak mengerti dengan ucapan Gala, Syera bertanya heran. “Ma-maksudnya, Tuan?”
Gala menatap tajam pada asisten barunya. “Kamu yang buat kopi ini?”
Syera mengangguk kecil.
“Rasakan, biar kamu tahu ini kopi atau air kopi. Masa, pekerjaan kecil begini kamu nggak becus.”
Rasanya ada sesuatu yang besar menusuk dada Syera. Ia mengangguk, menggumamkan permintaan maaf dan mengatakan akan mengganti kopi yang baru. Perlu empat kali percobaan, berikut banyak celaan dari Gala, sampai akhirnya laki-laki itu puas dengan kopi buatannya. Namun, hal itu tidak lantas membuat Syera tenang. Sepanjang hari, dirinya dibuat sibuk dengan permintaan Gala. Dari mulai menyiapkan dokumen, mengetik banyak surat, dan cara laki-laki itu yang memerintah tanpa mau dibantah, membuat Syera keteteran.
Pukul enam, saat Gala meninggalkan kantor, Syera merebahkan kepalanya ke atas meja dan merasakan kelelahan luar biasa. Baru hari pertama, ia merasa seperti kerja rodi. Entah bagaimana denga hari-hari selanjutnya. Syera cemas dengan isi pikirannya sendiri.
**
Next Selasa depan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro