Perempuan Tidak Bisa Jadi Montir?
"Cepat juga nih anaknya yang punya bengkel datang."
"Iya, dong. Ini 'kan hari pertama, harus rajin."
"Kita ada pegawai baru, bentar lagi kayaknya datang, tuh."
"Oke."
Manik cokelat gadis yang bernama Yuka itu memerhatikan peralatan-peralatan yang sudah dikelompokkan di rak-rak lemari besi.
Ini hari pertamanya sebagai satu-satunya montir perempuan di bengkel milik sang ayah. Mungkin ia akan diremehkan nantinya. Kata orang-orang ... perempuan itu tidak cocok bermain dengan pekerjaan mekanik.
Kita lihat saja nanti siapa yang benar.
"Gue kira lu bakal telat."
"Kagaklah, hari pertama ya kali telat."
Terdengar suara Beema—pegawai kepercayaan ayahnya—yang tengah berbicara dengan sosok baru. Suara orang itu belum pernah Yuka mendengarnya, yang menandakan dia pegawai baru. Sebelumnya Yuka pernah datang ke bengkel ini untuk mempraktekkan ilmu yang ia dapat dari sekolah. Kini ia telah lulus, waktunya ia benar-benar terjun.
Yuka keluar menuju para montir yang bekerja, hendak memeriksa kendaraan mana yang akan ia perbaiki. Ada yang memperbaiki mesin mobil, ada juga yang menambal ban. Mana bagian yang kosong, ya?
"Siapa nih cewek?" Yuka menoleh, ia dengar si pegawai baru bertanya sinis pada Beema.
"Anak yang punya bengkel, dia sekalian kerja di sini. Akur ya kalian berdua," jawab Beema menepuk bahu Yuka dan si laki-laki asing, kemudian masuk ke kolong sebuah mobil untuk diperbaiki.
"Gue Yuka Tirtani, salken," ucap Yuka memperkenalkan diri singkat dengan senyumnya. Ia sedikit merapikan kuciran rambut hitam kepirangannya.
"Emangnya cewek bisa benerin mesin? Yang ada lo jadi beban di sini, biarpun lo anak yang punya bengkel." Alih-alih balik memperkenalkan diri, pemuda di depan Yuka malah mengejeknya.
Anjir nih orang, gak ada sopan-sopannya.
"Ampun, Paduka Raja. Saya bersedia dipenggal bila menjadi beban." Yuka mengatupkan kedua tangan, ala-ala rakyat jelata di depan rajanya. Ia berlalu dengan senyum dan lirikan mengejeknya, ia abaikan kerutan marah di wajah si pemuda.
"Gue penggal beneran lo, mampus."
Dua orang gadis berhenti di depan bengkel dan memancing atensi Yuka.
"Kak, bisa perbaikin rantai?" Si pengemudi turun dan melepas helm, diikuti penumpangnya.
"Bisalah, gini-gini udah belajar." Senyum meyakinkan mengiringi gerak Yuka yang berjongkok di samping motor.
Yuka memiringkan kepala, motor yang distandarkan samping membuatnya sedikit sulit melihat rantai dengan jelas. "Kenapa tuh, Kak? Bisa cepat, gak? Bentar lagi kelas, nih," tanya si gadis pengemudi panik, ia mengecek jam yang membaluti pergelangan tangannya.
"Bentar doang, kok." Yuka masuk ke bagian dalam bengkel dan mengambil alat yang dibutuhkannya—dua kunci ring berukuran sedang dan satu yang kecil—dan kembali ke luar. Ia melihat pemuda yang mengejeknya tadi tengah mengisikan angin ban motor seorang supir ojek, untunglah pemuda itu tak lanjut mengejeknya.
(Kunci ring)
Standar motor diganti Yuka dengan standar tengah guna mempermudah pekerjaannya dan ia jongkok lagi. Bulatan kunci ring ia lekatkan pada mur as sisi kanan dan kiri roda belakang. Yuka mulai memutar dari mur kanan, sedang tangannya yang lain menahan agar mur kiri tak ikut terputar. Mur kanan kendur, lalu mur kiri yang ia putar dan menahan mur kanan.
(Memutar mur as.)
Dilanjutkan dengan memutar mur adjuster yang ada di ujung swing arm roda motor, yang juga terletak di kanan dan kiri roda. Ia memutarnya dua kali searah jarum jam demi tak terjadinya akibat fatal.
(Memutar mur adjuster.)
Roda diputar Yuka dan rantai ditekan ke atas, memastikan masih kendur atau tidak.
(Memastikan rantai masih kendur atau tidak.)
"Gimana, Kak?" tanya si gadis pengendara.
"Lo tenang aja, jangan takut gitu. Bu Susi belum masuk kata anak-anak kelas."
"Gue gak bisa tenang, tahu aja Bu Susi galaknya gimana."
"Masih kendur dikit." Satu putaran kembali Yuka lakukan pada dua mur dan kembali memastikan rantai sudah tidak kendur lagi. Barulah ia menyetel ulang mur baut.
Jari-jarinya diwarnai hitam dan cokelat tanah, kaus dongkernya pun sedikit dinodai. Yuka kembali berdiri dan mengangguk pada dua mahasiswi di belakangnya.
"Udah, tuh."
"Berapa, Kak?"
Yuka dan pelanggan pertamanya baik-baik saja, tapi tidak dengan salah satu rekan kerja yang seakan ingin menjatuhkan mentalnya. Ia takkan melapor pada ayah, biar ia sendiri yang menghadapi masalahnya. Dirinya bukan lagi bocah TK yang mengadu bila ada masalah, ia akan menyelesaikannya sendiri.
"Untuk kali ini lo boleh menang, lagian perbaikin rantai mah anak SMK juga bisa," ujar si pegawai baru, Yuka enggan mengetahui namanya sekarang. Salah pemuda itu tak menyebutkan nama, malahan ia mengejek di pertemuan pertama mereka.
"Aneh deh lo, sejak kapan kita tanding? Lagian gue emang lulusan SMK, masalah?"
Tuh 'kan kicep, diam juga lo. Emang bener kalau cowok julid tuh lebih dari cewek. Yuka memerhatikan kedua tangannya yang tak lagi bersih.
Cewek takut kotor? Gue sih nggak.
Walaupun pekerjaannya membuat pakaian dan tubuhnya kotor, setidaknya hasil yang ia dapatkan bersih. Tidak seperti orang-orang berbaju bersih yang uangnya didapat dengan cara kotor.
***
"Nggak lama 'kan, Pa?"
"Nggak, kok."
"Papa ngapain lupa ngisi udara ban segala? Kakak telat ujian ntar."
"Salah kamu mandinya kelamaan."
Tahan, Yuk, lo harus profesional. Yuka membatin sembari mengisikan udara pada ban depan motor yang dikendarai seorang ayah untuk mengantar anaknya sekolah. Terkadang ada saja kejadian lucu, ia harus menahan tawanya agar profesional.
"Berapa, Mbak?" Sang ayah bertanya pada Yuka setelah gadis bernetra cokelat gelap itu menekan ban yang anginnya sudah terisi.
"Dua ribu, Pak."
"Cewek gapapa kerja di sini?" Sang ayah menanyakan pertanyaan yang biasa Yuka dapatkan dari para pelanggannya, terkadang ada yang menolak jasanya hanya karena dia perempuan.
"Gapapa kok, Pak. Saya gak takut kotor."
"Makasih ya, Mbak."
"Sama-sama, Pak, hati-hati di jalan. Adeknya jangan cemberut mulu, semangat ujiannya." Yuka berucap, membuat si anak yang berseragam putih-biru semakin cemberut dan mengalihkan wajahnya ke arah jalan.
Sepasang ayah dan anak itu berlalu, memasuki jalan raya yang dilewati para pengendara. Yuka ingat masa SMP-nya yang selalu diantar jemput oleh sang ayah, ketika SMK baru ia diizinkan membawa motor sendiri. Ia juga pernah terlambat ujian karena bangun kesiangan, salah dia juga yang belajar dengan sistem kebut semalam.
Yuka berbalik ke arah mobil bekas tabrakan yang tengah diidentifikasi kerusakannya oleh Beema. "Mau coba perbaikin?"
"Boleh boleh aja, kapan tuh tabrakannya?" Yuka mengambil kotak perkakas di sebelah Beema.
"Semalem, dekat sini juga. Ada korban luka-luka katanya." Beema menjelaskan ada bagian yang agak penyok dan gores di bagian bagasi serta pintu supir, Yuka memilih memperbaiki bagasi.
Sebuah motor datang dan dipakirkan di bengkel, bukan pelanggan yang datang melainkan pegawai terakhir yang tiba, bertepatan Yuka yang mengambil kunci T dan mulai membuka bagasi mobil yang bermerek Avanza Veloz.
(Kunci T.)
(Membuka bagasi.)
Hadeh, Nenek Tapasha udah datang, batin Yuka. Cobaan datang bukan dari keraguan pelanggan saja, rekan yang suka mengganggunya pun turut merusak suasana hati Yuka. Tak jarang bengkel itu berisik karena perkelahian Yuka dan musuh bebuyutannya, Limo.
"Emangnya lu kuat tuh perbaikin plat bagasi?" ledek Limo.
"Bacot, masuk aja lu sana."
"Gue gak sabar liat lo nangis kesakitan."
"Diem, nggak malu apa yang lo bilang salah terus?"
"Gak, gue yakin pasti bakal bener juga nantinya, cewek mana sanggup kerja kek gini."
"MASUK LO SANA, NENEK TAPASHA!" pekik Yuka, hendak melempari Limo dengan kunci ring di tangannya.
Limo mencibir dan beralih ke sudut lain bengkel. "Lo sama Limo berantem mulu dah," komentar Beema tertawa kecil.
"Dianya ngeselin, biarin aja dah, Bang. Btw tabrakannya mobil sama motor? Atau gimana?" Yuka memindahkan alur percakapan, malas membicarakan sesuatu tak penting seperti tentang Limo.
"Mobil sama motor, motornya ngebut eh pas deket malah nggak ngerem, tabrakan deh. Si supir banting setir terus nyerempet trotoar, rusak dah tuh pintunya. Yang bawa motor luka-luka, udah dibawa ke rumah sakit. Supir mobilnya gapapa." Beema yang memperbaiki pintu supir menjelaskan kronologi tabrakan semalam.
"Wih, kalau gitu mah yang bawa motor yang salah."
"Ya iyalah, Yukacang."
"Kadang 'kan yang bawa mobil disalahin, soalnya mobil lebih gede dari motor. Biasalah, kadang dunia memihak pelaku daripada korbannya."
"Eaaa ... Yukacang tumben bijak."
"Serah, Bang." Usai menarik bagasi dari tempatnya, Yuka menaruhnya di atas tanah, saatnya mengembalikan bentuk bodi bagasi yang penyok kembali ke semula.
Yuka mulai memukul bodi bagian di bagian dalamnya dengan palu dan dolly—landasan pemukul. Ia menaruh dolly di bagian bodi yang cembung dan memukulkan palunya. Selesai di bagian dalam bodi, ia beralih ke bagian luar.
(Palu dan dolly.)
Megang palu gini gue serasa jadi Nobara.
Bodi bagasi sudah kembali ke bentuk semula dalam waktu sejam lebih, begitu pula pintu yang diperbaiki Beema. Tabrakan yang terjadi tak mengakibatkan kerusakan parah pada mobil.
Huh ... sekarang proses paling panjang ... pengecatan ulang.
Peralatan yang akan digunakan pun bertambah, Beema sudah menyiapkannya dekat dengan mobil yang diperbaiki.
Yuka mengaduk dempul—lapisan dasar pengisi bagian bodi mobil yang penyok—dan hardener menggunakan pisau dempul, barulah ia oleskan pada bagian tengah bagasi yang penyok dan merapikan bagian yang penyok.
(Pisau dempul dan dempul.)
"Yuk, ambilin cat silver di dalam, gue lupa bawa," suruh Beema yang masih mengoleskan dempul pada bodi pintu supir.
"Oke. Kirain dah lengkap semua."
"Biasalah, manusia suka khilaf."
"Iya dah." Yuka yang sudah selesai mendempul pun menaruh kaleng dempul di tanah dan membersihkan pisaunya—mencegah dempul kering dan mengakibatkan pisau yang tak rata, lalu masuk ke bagian dalam bengkel.
Rak cat mobil terletak di bagian tengah. Yuka mendongak, mencari cat yang akan dipakai dan sedikit berjinjit demi mencapai kaleng cat silver di paling atas. "Itu doang gak sampe, yakin lo bakal tahan di sini?" tanya Limo, sengaja memancing pertikaian lagi.
"Gue nggak selemah yang lo kira. Lagian gue gak pendek."
"Oh, ya? Gue yakin minggu depan lo udah angkat kaki dari bengkel ini."
"Iya, soalnya minggu depan bapak gue buka cabang bengkel di kota lain, gue yang ngurus di sana. Aamiin aja dah."
Yuka sengaja menggoyangkan kuciran rambutnya agar menampar wajah Limo, tak ia pedulikan si pemuda yang menggeram kesal. "Cewek kurang ajar."
Padahal tinggi gue 170 senti, gak pendek amat padahal.
Yuka menyerahkan kaleng cat silver pada Beema. "Nih."
"Thanks."
Tahap selanjutnya proses surfacer yang bertujuan untuk mengangkat kotoran selama proses dempul. Dilanjutkan menutupi bagian bodi mobil yang tak rusak agar tidak terkena semprotan cat.
(Penutupan bagian bodi mobil yang lain.)
Motor-motor yang sedang diperbaiki pun dijauhkan dari bagian yang digunakan untuk proses pengecatan. Tidak ada mobil lain yang diperbaiki selain mobil bekas tabrakan ini.
Yuka melakukan pengecatan tanpa Beema, ia mengenakan penutup mulut dan menyemprotkan cat pada bodi bagasi dan pintu supir. Beema hanya memasukkan cat kaleng yang diambil Yuka tadi ke alat penyemprot.
(Itu contoh proses pengecatan, aku nggak nemu pengecatan bagian bagasi makanya pakai gambar ini aja. Untuk proses pemanasan mirip ini juga, cuma benda yang dipakai hot air gun.)
Pengecatan dilakukan dua lapis, dengan jarak antara dua lapis adalah tiga menit. Agar cat tidak mudah luntur dan mengelupas, Yuka melapisi cat dengan proteksi furnish.
Karena tidak adanya oven car—untuk mengeringkan cat, Yuka menggunakan hot air gun ke seluruh bagian bagasi dan pintu supir masing-masing selama satu jam untuk proses pemanasan.
(Hot air gun.)
"Daicho wo fumishimete." Seorang rekan kerja Yuka melintas di belakangnya, hendak mengambil alat di kotak perkakas yang terletak satu meter dari Yuka.
"Kimi wa mezameteiku, tenshi no hohoemi de, tsuredashite!"
"Hadeh, hiatus stan nyahut aja."
"Bosan, Bang Adi. Lagian gue harus berdiri sejam buat ngeringin bagasi doang lho, terus baru pintu."
"Ganbare ganbare ya, eh lo liat kunci socket, gak?"
"Gak ada situ tadi."
"Ya udahlah, semangat ya kerjanya, hiatus stan." Lazuardi yang akrab dipanggil Adi itu bangkit dari jongkoknya dan lanjut mencari kunci socket.
"Iye iye, mudah-mudahan dengan gue rajin gini Togashi-sensei ikut rajin."
"Tetaplah bermimpi, wahai hiatus stan."
"Asyem, lu juga kali, Bang."
Selain Beema, Adi-lah yang akrab dengan Yuka sejak ia di bangku SMK. Mereka sama-sama suka anime dan manga, tak jarang berdebat tentang husbu, waifu, ship, atau teori. Setiap ada event jejepangan pun mereka pergi bersama.
***
Yuka menaruh hot air gun di ujung bengkel dan masuk ke bagian dalam untuk istirahat setelah dua jam terlewati. Cat belum kering sempurna setelah proses pemanasan, karena itu dibiarkan dulu sebelum tahap finishing. Di dalam sudah ada Adi yang duduk di bangku istirahat membaca manga online sambil mengisap rokoknya.
"Shindooooo¹." Yuka mengempaskan diri di sebelah Adi sambil meregangkan otot-ototnya. Lumayan lelah berdiri selama dua jam.
"Ciaelah, gaya lu kayak habis gelut sama duo Zoldyck aja," cibir Adi.
"Emang capek beneran, Bang."
Ekspresi mengejek Adi luntur seketika, digantikan manik cokelat terangnya yang melebar, disertai rokoknya yang sudah mati terlempar beberapa meter. "Oh, shiiiiit. Waifu gue mati. Anyiiiing."
Yuka pengin tertawa tapi ia takut nanti kena karma, mending baca AU di Twitter. "Hadeh, mulai lagi dah tuh."
"Masalahnya ya njir dia keliatan aman gitu, eh tahu-tahu mati gara-gara bapaknya. Untung tuh bapaknya mati juga, tapi gue tetap gak puas. Fak."
Yuka yang tak tahan mendengar umpatan Adi pun membelokkan alur percakapan. "Oh iya, Bang, lo ada beli kaus collab JJK sama UNIQLO, nggak?"
"Ada."
"Minta dong."
"Beli sendiri."
"Udah habis di tokonya, anjir."
Adi menerawang ke langit-langit, agaknya memikirkan sesuatu. "Aha! Ada pelanggan yang mobilnya gak bisa idup, lo pergi ke rumahnya dan gantiin gue perbaikin, gantinya lo dapetin kaus UNIQLO si Tahu Gejrot dah," usul Adi.
"Emangnya bisa ngegantiin?"
"Sabi."
"Kok lo gak mau?"
"Pelanggannya tuh bapak mantan gue."
"Cupu! But deal-lah! Eh tapi ntar siapa yang finishing mobil?"
"Gue aja gak apa-apa, cepat sana pergi. Lokasinya gue share ke WA lo."
"Iye iye."
Yuka melewati Limo yang sedang menambal ban, untung pemuda itu punya kesibukan sehingga tak mengganggunya. "Ke mana, Yuk?" tanya Beema yang memperbaiki lampu sepeda motor pelanggan.
"Ke tempat pelanggan, Bang, ngegantiin Bang Adi. Cupu tuh dia, nggak mau ketemu mantan."
"Kok ketemu mantan?"
"Pelanggan yang ini bapak dari mantan terindah Bang Adi."
"Miris astaga, pergi sono dah. Kerja kerja."
"Iya, Bang. Sarang ayam."
"Saranghaeyo, Yukacang!"
Sebelum memulai perjalanannya, Yuka menaruh kotak perkakas yang sudah ia ambil di lantai motor dan mengecek pesan yang masuk dari Adi.
"Oh, situ ... mantan terindah Bang Adi." Yuka menaruh ponsel di laci motor dan menembus jalan menuju lokasi yang dikirim Adi.
Adi berbeda dengan Yuka, ia masih membuka hati untuk perempuan nyata. Yuka tak pernah membicarakan laki-laki yang disukainya selain husbando-nya di anime, bukan karena ia beranggapan tokoh fiksi lebih menarik daripada manusia nyata, melainkan ia tidak ingin hatinya sakit lagi. Hatinya akan ia buka pada laki-laki yang mengikrarkan janji suci bersamanya hingga akhir hayat.
Ya ampun ... gue pengen punya rumah sebagus ini. Yuka membatin di kala ia melewati rumah-rumah mewah yang berpagar tinggi.
Jalan yang ia lewati sepi, memang kompleks perumahan mewah yang ia tahu jarang terlihat manusia yang keluar. Para orang tua mencari nafkah dari pagi buta hingga tengah malam, anak-anaknya pun enggan bersosialisasi karena dipisahkan pagar yang tinggi. Ada untungnya ia lahir di keluarga biasa-biasa saja, masa kecilnya berwarna menikmati permainan-permainan tradisional bersama teman-temannya.
Yuka berhenti sebentar dan mengecek ulang lokasi yang ia tuju.
Seratus meter di depan ada simpang tiga, lalu ia harus belok kanan sejauh lima puluh meter. Yuka kembali menggerakkan motornya sesuai petunjuk google maps. Tiba di lokasi, ia disambut rumah bertingkat dua minimalis. Tampak seorang pria berkaca mata yang menelepon di depan kap mobil yang terbuka.
"Mana orang yang Anda suruh?"
"Dia udah pergi, mungkin sebentar lagi sampai."
"Hadeh, lelet kali." Si pria tak menyadari Yuka yang memakirkan motor beberapa meter darinya, ia mematikan panggilan dan melongok ke kap mobil.
"Permisi, Pak, saya orang bengkel," ucap Yuka lembut, takut memancing amarah si pria paruh baya.
Pria itu menoleh, dengan alis mengernyit tak suka dan hidungnya yang menyangga kacamata mengembang. "Perempuan? Kenapa perempuan yang disuruh? Pantas saja telat datangnya!" bentak si pria.
"Maaf, Pak, saya tadi sedikit bingung dengan lokasinya."
Telat? Kok gue gak tahu? Bang Adi gak bilang apa-apa masalah jam.
"Ah, bodoh kamu! Cari lokasi saja gak pandai apalagi perbaiki mobil, saya ragu perempuan bisa jadi montir."
Sabar yuk sabar, yok bisa yok. Remember when Mbah Sukuna said, ganbare ganbare.
"Maaf, Pak, saya memang sulit mencari lokasi tapi Bapak jangan meragukan saya dulu."
Gue ngomong apa, sih? Astaga mulut.
"Saya gak bisa percaya kamu, perempuan gak ada yang ahli sama mesin. Saya maunya laki-laki!"
Homo ya, Pak?
Canda homo, ups. Gue kirain diomelin gara-gara telat kiranya karena gue cewek.
Bapak lucu, ih, kenapa gak jadi badut aja bareng Hisoka?
Motor lain datang dan terpakir di depan Yuka. Bukan Adi ataupun Beema yang datang, melainkan Limo.
"Maaf, Pak, saya yang ditugaskan senior ke sini. Dia mah main cabut aja," ucap Limo ke si pria paruh baya sambil menunjuk Yuka.
"Gue gak main cabut lho, ya. Lagian Bang Beema udah tahu gue datang ke sini." Yuka membela diri.
"Lo jangan bohong, deh! Lo tuh cuman beban di bengkel! Sering ngelakuin kesalahan pula. Bukannya benerin kendaraan yang ada tambah rusak sama lo! Lo juga tukang telat lagi gara-gara begadang nonton anime. Sadar diri gak sih kalau lo beb—"
Tamparan di pipi kanan menghentikan ucapan Limo. Si pemuda terlalu kaget untuk memproses apa yang terjadi, tangannya terangkat guna meraba pipi yang perih. "Gue harap lo dapat balasan, Limo."
"Wah, wah, dari perilaku kamu yang main cabut, didukung pernyataan teman kamu, dan sekarang kamu nampar dia udah keliatan kalau kamu bukan cewek bener. Saya gak mau mobil saya jadi tambah rusak! Pergi kamu sana!"
"Fine. Saya pamit dulu. Untuk teman saya yang terhormat, saya harap Anda mendapat balasan setimpal." Yuka bertolak dari rumah mewah itu, meninggalkan dua laki-laki itu. Melupakan eksistensi Yuka, mereka pun mengobrol perihal kerusakan yang dialami mobil milik sang pelanggan.
Yuka mengendarai motor dengan tatapan kosong, ia tak tahu ke mana arah motornya bergerak. Ia biarkan tangannya mengendalikan setang motor sedang pikirannya tertuju pada kejadian yang baru saja terjadi.
Limo selalu menghinanya dan berkata perempuan takkan bisa melampaui laki-laki. Selama ini Yuka masih bisa meladeni dan membalas ejekan pemuda itu dengan kalimat pedas. Yuka tak menyangka Limo akan memfitnah dan merendahkannya langsung di depan pelanggan.
Jika ia kesal biasa, ia akan mengomel atau mengumpat. Namun, yang ia rasakan lebih besar dari kesal. Ekspresi lenyap dari wajahnya, tatapannya pun tak bersinar.
Satu-satunya yang memandang remeh Yuka adalah Limo, rekan-rekannya yang lain menerima Yuka dengan baik. Mereka rela membimbing dan mengandalkannya, terutama Beema dan Adi yang sudah seperti kakak laki-lakinya sendiri.
Beema dan Adi sering menyuruh Yuka agar melaporkan Limo pada ayahnya hingga dipecat, tetapi Yuka tidak mau melakukannya. Limo dari keluarga yang sulit, ia anak yatim dan lima bersaudara, ibunya pun mencari nafkah sebagai penjual sayur keliling. Satu saudaranya memaksa kuliah, tiga yang lain masih bersekolah masing-masing kelas dua SMA, satu SMP, dan lima SD. Tidak mungkin 'kan Limo dan empat saudaranya menggantungkan hidup pada ibunya yang sudah renta?
Selagi Yuka mampu menahan, ia akan meladeni Limo dan mulut kotornya. Ia masih bersimpati pada keadaan pemuda tersebut.
Kali ini ... Limo benar-benar menghancurkan benteng kesabaran Yuka.
Ponselnya berbunyi, Yuka menepi di pinggir jalan dan mengangkat panggilan dari Adi.
"Apa, Bang?"
"Lo ketemu sama Limo?"
"Iya."
"Bangsat! Lo diapain sama dia?"
"Dia ngejelek-jelekin gue di depan pelanggan, terus gue tampar. Gue diusir dah tuh sama tuh pelanggan. Kelewatan banget dia hari ini."
"Anjiiiir, minta dipecat banget. Gue gak masalah sama cara kerjanya, cuma gue benci dia tuh ngeremehin lo banget. Apa dia buta? Dia gak liat kerja lo yang udah terhitung baik? Lo datang duluan terus pula buat bersih-bersih."
"Gak tahu lah, Bang."
"Di mana lo sekarang?"
"Ga tahu, gue nyasar."
"GUOBLOK."
"Cangkul dibilangin sendok."
"Kita lagi gak akting sinetron, Yuka Tirtani!"
"Maaf, Bang, gue ngelawak buat ilangin badmood. Udahlah, gue tutup, ya. Bilang ke Bang Beema gue izin bolos, ntar kalau ada apa-apa gue telepon, kok. Mood gue udah balik dengarin lo nge-toxic."
"Ya udah, hati-hati. Biar gue tendang pentolnya Limo."
"Nah gitu, dong. Jahat."
"Anjir, gak ngerti gue sama lu."
"Kaus Tahu Gejrot-nya jadi gak buat gue, Bang?"
"Jadi aja dah, gara-gara gue lu jadi direndahin Limo di depan pelanggan."
"Limo yang salah, bukan lu."
"Iya dah, iya. Tiati dan sampai babai."
Panggilan berakhir, Yuka melihat di google maps keberadaannya sekarang.
Yuka tak jauh dari jalan raya, baguslah. Ia tinggal lurus saja dan sudah keluar dari kompleks perumahan yang sepi. Suasana hatinya lumayan membaik setelah bertelepon dengan Adi.
Yuka disambut jalanan yang lumayan ramai, ia menghentikan mobilnya di depan mini kios container kebab dan bobba tea. Semoga makanan dan minuman favorit akan menghanguskan perasaan buruk yang bercokol di hatinya.
"Mas, kebab jumbo tambah mozzarella-nya satu sama bobba tea rasa matcha satu juga."
"Siap, Neng."
Duduk di satu-satunya bangku yang disediakan, Yuka mencolokkan kabel earphone pada ponsel dan melekatkan kedua ujungnya pada telinga. Ia bernyanyi lirih mengikuti lagu yang didengarnya.
"Nandemo kamawanai! Nanimokamo hoshīmono o, kanarazu te ni ireru, dake."
Semoga Bang Adi beneran nendang pentolnya Limo.
***
Pukul sebelas malam baru Yuka pulang dari bengkelnya, ayahnya mencemaskan sang anak gadis yang pulang malam sendirian. Yuka mengatakan tidak apa-apa, ia akan lewat jalan aman dan menelepon jika ada sesuatu. Lagi pula Yuka pemegang sabuk hitam karate.
Bukan tanpa alasan ia pulang telat, bengkel menerima mobil yang kerusakannya lumayan parah dan mengharuskannya bekerja seharian. Sudah sebulan sejak Limo menjatuhkannya habis-habisan, pemuda itu tak lagi mengejeknya. Yuka pun menganggap eksistensi Limo nihil di matanya. Adi juga langsung menendang kemaluan Limo di hari ia menghina Yuka habis-habisan, akibatnya pemuda itu libur tiga hari.
Untung Yuka berhasil menahan Beema dan Adi yang hendak melaporkan Limo pada ayahnya supaya dipecat. Yuka masih memikirkan kondisi keluarga Limo, terutama ibunya yang masih bekerja keras.
Jalan yang dilewati Yuka mulai sepi karena ia berada di kompleks perumahan yang kebanyakan penghuninya sudah tidur. Tak sengaja ia melihat seorang manusia yang terduduk dengan kepala menunduk di depan sebuah rumah kosong.
Orgil? Orang jahat? Lewatin gak, ya?
Sambil menjaga jarak, Yuka mengarahkan cahaya lampu motornya ke orang tersebut. Orang yang disoroti mengangkat kepalanya.
Limo.
"Ngegembel lo di sini? Udah gak punya rumah lagi? Mamam tuh karma," ucap Yuka pedas tanpa pikir, ia mendekatkan motornya pada Limo yang bermata sayu dan wajahnya yang pucat. Lampu motor ia arahkan kembali lurus ke jalan.
Limo tak menjawab dan menundukkan kepalanya. Yuka tahu Limo tinggal di sekitar sini—karena ia pernah melihat Limo keluar dari rumahnya saat akan pergi kerja-—tetapi ia agak heran pemuda itu terduduk putus asa di depan sebuah rumah kosong.
Hantu? Terus Limo asli udah beneran mati gitu? Astaga.
"Gue dibegal."
"Eh?" Yuka menurunkan standar motor dan menjejakkan kaki pada tanah, ia berjongkok di depan Limo.
"Tadi ada dua orang cewek gitu, lampu motornya kek rusak. Terus mereka kek minta tolong buat perbaikin, eh pas gue mau nolongin tahu-tahu nongol tiga laki-laki. Gue diancam kalau gak mau ngasih motor sama duit, nyawa gue bakal terancam, ya udah gue biarin aja. Mau minta tolong juga gak bisa soalnya gue gak bisa gerak, takut banget tadi."
Yuka terdiam, kemarahan dan keinginan mengejeknya pun ludes mendengar cerita Limo. Motor yang digunakan Limo adalah salah satu dari dua motor di rumahnya, satu lagi dipakai adiknya berkuliah. Cicilannya pun baru lunas sebulan yang lalu. Yuka mengetahui semuanya dari sang ayah.
"Ya udah, lo ke rumah gue baru kita lapor polisi." Yuka menarik ponsel dari laci motor dan menelepon ayahnya.
Limo menatap Yuka yang menceritakan ulang proses pembegalannya dengan serius. Selesai menelepon, Yuka menatap Limo lagi.
"Lo gak luka 'kan?" Pertanyaan Yuka ditanggapi gelengan oleh Limo.
"Kita tunggu di mana, ya? Di ujung sana ada simpang empat, ada pos ronda sana. Yuk dah ke sana daripada di sini ngeri, sepi pula lagi." Yuka berdiri dan menatap pos ronda yang berada di ujung jalan, agak tersembunyi di belokan kanan. Pantas saja tak ada satupun bapak-bapak ronda yang menyadari Limo dibegal.
Limo menatap Yuka. Padahal gadis itu sudah ia caci maki dan rendahkan, mengapa Yuka masih menolongnya? Mengapa Yuka enggan memecatnya? Bagi anak pemilik bengkel bukankah mudah bagi Yuka melaporkan perilaku buruknya?
"Napa bengong? Mau dibegal lagi lu?" tanya Yuka di atas motornya, menyadarkan Limo yang masih duduk di atas aspal.
"Ng-nggak." Limo menurut dan duduk di jok belakang dan berpegangan pada ekor motor. Yuka sedikit mengebut supaya ia cepat melewati jalan sepi yang lumayan mengerikan baginya.
Di pos ronda, ada beberapa pria yang duduk di sana. Ada yang tidur, main catur, ataupun menonton bola. Rokok, kopi hitam, dan pisang goreng pun menemani.
"Numpang di sini ya, Pak, lagi nunggu Ayah bentar. Takut ada orang jahat," ucap Yuka sopan.
"Oh nggak apa-apa, Neng Yuka. Eh ini pacarnya, ya?"
"Bukan, Pak, ini teman saya abis dibegal tuh di belakang."
"Kok kita gak tahu, Neng?"
"Dia takut tadi, Pak, gak sempat teriak."
Untung bapak-bapak ronda itu mempercayai apa yang ia ceritakan, toh mereka tahu Yuka Tirtani itu gadis yang enggan membawa laki-laki di tengah malam.
"Nggak lapor polisi, Neng?"
"Ntar pas di rumah aja, Pak. Sekalian biar dia tenang dulu."
Limo duduk di pinggir pos ronda, Yuka masih di motornya dan membaca AU di Twitter.
"Yuk."
"Hm?"
Limo menunduk, jari-jarinya bertautan. Kalimat yang akan ia ucapkan seakan tersangkut di tenggorokan. Hatinya diberatkan rasa malu, ia terlampau salah dan merasa tak pantas memohon maaf dari gadis yang selalu ia hina.
"Maaf."
"Buat apa?" Yuka mematikan ponsel dan menatap Limo.
"Gue ... selalu ngehina lo."
"Yah ... gapapa. Gue juga sering ngejek lo 'kan."
"Tapi yang waktu itu gue bener-bener keterlaluan, gue udah ngerendahin lo di depan pelanggan."
"Bagus lo udah sadar."
"Pecat aja gue gak apa-apa."
"Gak."
"Terus apa yang harus gue lakuin buat nembus kesalahan gue?"
"Gak ngelakuin kesalahan yang sama."
Limo berdiri di depan Yuka walau kepalanya tetap menunduk. Yuka sudah berbesar hati memaafkannya. "Makasih ... makasih udah maafin gue, udah bantu gue walaupun gue banyak salah sama lo."
"Yah ... gapapa. Maaf juga gue sering hina lo balik dan gue juga yang ngedukung Bang Adi nendang anu lo." Yuka tertawa kecil, ingat ia bersorak senang saat Adi menendang selangkangan Limo.
"Gapapa, gue emang pantes dihina balik. Udahlah miskin, anak yatim, belagu pula."
"Heh, lo gak boleh ngatain diri lo karena nasib lo sendiri. Nggak ada yang salah jadi miskin dan anak yatim, itu emang takdir lo dan jangan malu. Tapi masalah belagu itu lo sendiri yang ngatur, lo harus malu karena belagu."
"Sekali lagi ... makasih ya, Yuka Tirtani."
"Iya, sama-sama. Kenapa jadi cheesy gini dah suasananya?"
Limo mendongak, menatap tepat ke manik cokelat tua Yuka. "Gue ngerasa jahat banget, udah ngehina lo dan sekarang lo nolongin gue."
"Emang, lo jahat kayak Nenek Tapasha." Yuka tergelak.
"Sekarang damai 'kan?"
"Yeah."
"Kayak bocil aja gak sih tiba-tiba damai?"
"Lebih kayak bocil lagi kalau kita berantem gak maaf-maafan gini." Yuka menatap Limo lembut bersama senyum halusnya, pemuda itu jadi salah tingkah.
Limo takkan mengejek Yuka lagi, tapi bukan berarti cobaannya sebagai montir perempuan berakhir di situ saja. Pasti masih ada cobaan lain yang menunggunya. Jadi montir itu tidak mudah, terutama lagi perempuan. Ia akan diremehkan oleh pelanggan ataupun rekan kerja baru nantinya. Yuka harus siap, ia tak boleh terlihat lemah.
Para perempuan itu sebenarnya tidak lemah, mereka kuat.
Kuat dengan cara mereka sendiri.
THE END
Bobot kotor cerita: 4438 kata (cerita keseluruhan + penjelasan + pembatas ***)
Shindo¹: beratnya. Ini from HxH episode 53 sih hwhw, aku nyari-nyari terjemahannya di google gak ada yang valid ya udahlah ambil yang sesuai di HxH aja.
Maaf bila banyak kesalahan di book ini, mungkin aku bakal edit edit edit lagi sebelum deadline. Aku sengaja gak masukin terlalu banyak proses pekerjaan di bengkel, soalnya mau memperkecil banyak kesalahan.
Maaf juga bila ini melenceng dari tugas yang diinginkan kakak-kakak admin.
Aku lagi di fase writer's block dan untuk ngetik ini benar-benar aku paksain banget, semoga hasilnya gak terlalu mengecewakan. Sejak Januari aku mulai kehilangan interest sama wattpad. Puncaknya Juni sekarang, sejak selesai ujian aku download tiktok, pinterest, dan twitter. Ternyata baca au, lihat-lihat fanart di pinterest, scroll tiktok, dan ngedit video lebih menyenangkan dari menulis. Kayaknya untuk saat ini aku bakal tambah jarang on di wattpad.
Terima kasih sudah membaca, silakan tinggalkan kritik dan sarannya.
Untuk humor receh, joke hiatus stan, dan identitas Yuka sebagai vvibu sengaja aku masukin buat ngilangin stres selama nulis, aku emang mudah stres sih hehe. Bersyukur banget aku nggak sampe demam kayak dulu :").
Dan dialog Adi yang "nyahut aja hiatus stan" aku ambil dari salah satu tweet HXHFess xD
Picture hanya pemanis, anggap aja cuci mata abis membaca ribuan kata hehe. Orang sastra kok yang di bawah ini, dia suka banget baca buku 👍.
See you next time~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro