27. He's Coming
Tolong sambut mas-nya dengan penuh suka cita. Kalau perlu gelar karpet merah sekalian. Mas-nya jadi special guest yang sama sekali tidak pernah terpikirkan 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Absen dulu dong yang mau ketemu SK dan yang mulai suudzon sama anak pesantren kesayangan 👉👈
Happy reading ~
Jawaban sang profiler sangat menyakiti Lalisa. Gadis itu baru saja kehilangan kepercayaan pada sang profiler yang dibangun susah payah di atas air mata. Namun, bagaimana mungkin dia dikhianati setelah perjuangan keras yang dilakukannya?
"Apa tujuanmu?" Lalisa bertanya dengan nada getir, tapi sebisa mungkin tidak menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
Gadis itu tidak akan membiarkan satu orang pun melihat kehancurannya, apalagi sosok yang telah mengkhianatinya.
Senyum Alexon masih terpartri ketika dia melipat tangan di depan dada dan mengawasi lawan bicaranya dengan intens, tapi juga geli di saat yang sama. "Kau tahu apa tujuanku selama ini, Lalisa," bisiknya. Alexon menggeleng kecil untuk pernyataan selanjutnya. "Hanya saja kau selalu menolak untuk menyadarinya."
Lalisa mendecih sinis. Tatapannya tidak terlihat kecewa, meski hatinya menjerit karena pengkhiatan sang profiler. Gadis itu sedang menunjukkan keangkuhan yang dulu sering kali diperlihatkan.
"Sekarang aku tahu kenapa kau mengizinkanku untuk memanfaatmu." Lalisa tersenyum mengejek. "Karena kau lebih dulu memanfaatkanku."
Alexon mengangguk dengan tatapan yang begitu bangga. "Cara berpikirmu memang tidak pernah mengecewakan. Itulah kenapa aku menyukaimu."
Menyukai? Cih, Alexon tidak lebih dari sekadar memanfaatkannya saja dan Lalisa tidak percaya pada perasaan yang dibangun di atas kebohongan.
Sungguh, Alexon baru saja menghancurkan perasaan Lalisa dengan begitu kejam, hingga gadis itu tidak ingin menangis dan justru malah bersikap menantang balik—seolah-olah yang terjadi sekarang tidak berpengaruh apa pun untuknya.
"Mari hentikan semuanya sampai di sini," kata Lalisa. Nada suaranya terdengar datar, tatapannya juga tampak tidak merasakan apa pun. "Aku tidak ingin terlibat urusan apa pun denganmu lagi."
Alexon menggeleng dengan senyum kecil. "Sayangnya, semua ini baru saja dimulai," bisiknya.
Lalisa menatap sengit. Laki-laki di hadapannya tampak seperti orang asing. Jadi, gadis itu tidak memiliki alasan untuk bersikap baik dan penuh sopan santun.
"Pergi dan lakukan apa pun yang kau inginkan," kata Lalisa dengan angkuh, "Aku tidak sudi dijadikan jembatan untuk mencapai tujuanmu."
Alexon mengusap kepala Lalisa dengan lembut. "Kau selalu melebihi ekspektasiku," katanya dengan tawa geli. "Maaf karena membuatmu terkejut."
Lalisa menepis kasar tangan Alexon dan tetap mempertahankan keangkuhannya. "Apa maksudmu?"
"Maaf, tapi aku baru saja mengujimu," sesal Alexon sekali lagi. Tawa kecilnya masih terdengar samar. "Aku hanya ingin tahu sejauh apa kau bisa mengontrol perasaanmu."
Lalisa menatap setengah kosong. Dia mencoba untuk mencerna apa yang baru saja terjadi dan tawa kecil sang profiler dirasa sangat mengganggu, hingga Lalisa mengambil sikap tegas dengan berdiri dan dan menjauhi Alexon.
"Apa kau pikir aku ini mainan?" tukasnya.
Alexon menelan tawanya saat Lalisa menunjukkan kemarahannya. Laki-laki itu sadar kalau tindakannya tadi agak keterlaluan dan ikut berdiri untuk memberikan penjelasan.
"Maaf, aku tidak bermaksud untuk mempermainkanmu," sesal Alexon sungguh-sungguh. Tangannya meraih pergelangan kanan Lalisa, tapi gadis itu menepis dengan kasar seperti yang sudah-sudah. "Aku hanya ingin—"
"Hanya ingin apa?!" Lalisa memotong dengan pekikan kemarahan karena merasa dipermainkan.
Alexon meringis karena respons keras Lalisa, tapi tidak membuatnya kehilangan nyali untuk menjelaskan. "Kau sudah terlanjur memasuki lingkungan kerjaku dan seperti yang kau katakan semalam, pekerjaanku memang berbahaya, juga tidak menutup kemungkinan kamilah yang dipermainkan. Sadar atau tidak, tapi kau sudah menjadi target SK dan aku tidak ingin kau salah langkah, seperti saat kau menghadapi Sungjae."
Lalisa diam dan mendengarkan dengan saksama tanpa melewatkan apa pun. Pandangannya tidak pernah meninggalkan sang profiler dan berusaha keras mencari kebohongan, tapi dia tidak mendapatkan apa pun.
"Saat kau berhadapan dengan seseorang, kau tidak boleh menunjukkan perasaanmu yang sesungguhnya. Tidak ketakutan, tidak juga kekecewaan. Itulah yang baru saja kuajarkan padamu," jelas Alexon lagi saat Lalisa masih tidak memberikan respons, "Aku tahu kalau ingin memukulku dengan kepalan tanganmu, tapi kau menahannya. Karena jika kau memukulku, kau mengakui kekecewaanmu dan kau tidak ingin menunjukkannya padaku."
Alexon jelas baru saja membuat profil terhadap Lalisa saat ini.
"Kau bohong!" tukas Lalisa, "Kau jelas baru saja mempermainkanku."
Alexon mengangguk tanpa ragu. "Aku memang baru saja mempermainkanmu, tapi aku melakukannya untuk melatihmu mengatur emosi, bukan untuk kesenanganku," jelasnya sungguh-sungguh.
Lalisa menggeleng. Dia tidak ingin percaya semudah ini setelah pembicaraan beberapa menit lalu. "Kau menghancurkan kepercayaanku dan aku tidak bisa lagi percaya padamu."
"Memangnya kapan aku memintamu untuk percaya padaku?" tantang Alexon. Kepalanya menggeleng kecil untuk membantah pernyataan Lalisa sebelumnya. "Aku tidak pernah meminta hal seperti itu, yang kuminta adalah kau harus memercayai dirimu sendiri—sebelum kau memercayai seseorang nantinya."
Itu benar. Selama ini Alexon tidak pernah meminta kepercayaan Lalisa untuknya, tapi justru malah sebaliknya. Sang profiler terus mendesak Lalisa untuk lebih percaya dan yakin pada dirinya sendiri. Namun, Lalisa tidak bisa mengabaikan keseriusan Alexon yang terasa sangat nyata.
Bagaimana jika yang Alexon katakan tadi adalah benar dan yang dikatakan sekarang hanyalah sebuah sandiwara belaka?
"Saat kau mengatakan memiliki tujuan mendekatiku ..." Lalisa memberanikan diri untuk membeberkan lebih banyak dan menekan rasa gugupnya. "... aku tahu kalau kau tidak berbohong," bisiknya.
"Memang tidak," balas Alexon ringan. Sudut bibirnya tersenyum dengan lembut. "Dan seperti yang aku katakan tadi, aku hampir mencapai tujuanku."
Lalisa tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Alexon sekarang. Laki-laki itu memberikan penjelasan dengan samar, membuat putri Walikota Jung itu harus memutar keras otaknya.
"Jadi, apa tujuanmu?" tanya Lalisa sekali lagi. Gadis itu akan mengambil tindakan tegas setelah mendapatkan penjelasan yang diinginkan.
"Aku mengatakannya dipertemuan kedua kita. Kau ingat?"
Jelas Lalisa tidak ingat! Ada begitu banyak kata Alexon yang sudah bersarang di dalam benaknya, membuat gadis itu tidak yakin dengan perkataan yang dimaksud sekarang.
"Alasan kenapa aku selalu menjadikanmu nomor satu dalam setiap kasusku," tambah Alexon saat Lalisa terlihat kesulitan untuk mengingat.
"Karena ada banyak hal yang ingin aku ketahui tentangmu. Itulah sebabnya kau akan selalu berada di urutan pertama."
Lalisa mengingatnya sesaat setelah diingatkan. Suara sang profiler masih terekam jelas di dalam ingatan, membuat gadis itu sedikit tertarik ke masa lalunya dan saat Alexon mengatakan sudah hampir mencapai tujuannya, yang laki-laki itu maksud adalah dia hampir mengenal Lalisa dan segala rahasia yang disembunyikan gadis itu.
"Aku masih menjadi urutan pertama untukmu?" Lalisa bertanya dengan penuh keraguan. Rasanya sulit sekali untuk percaya setelah Alexon membuatnya hilang kepercayaan.
"Percaya atau tidak, tapi kau adalah prioritas utamaku saat ini," balas Alexon dengan bahu terangkat ringan.
Lalisa bergeming, menatap dalam diam, dan berharap ada keyakinan yang datang padanya. Pekerjaan sang profiler membuat Lalisa menjadi lebih berhati-hati dalam menilai, tapi gadis itu menyerah menganalisis Alexon dan melemparkan tubuh ke sofa.
"Kau membuatku takut," Lalisa berbisik lirih. Sorot matanya menatap dengan sangat sendu. "Hal yang paling aku takutkan adalah menyakiti orang terdekatku dan dikhianati lewat kepercayaan."
Lalisa sudah berusaha keras untuk tidak menangis, tapi air matanya jatuh juga saat pandangannya bertemu dengan sang profiler. "Dan kau baru saja menghilangkan kepercayaanku padamu menjadi 0%, padahal kau tahu kalau sulit bagiku untuk memercayai seseorang."
"Tidak masalah jika kau tidak percaya padaku," sahut Alexon ringan. Laki-laki itu tampak tidak peduli dengan pandangan Lalisa padanya, karena yang dipedulikannya hanyalah gadis itu sendiri. "Kau tahu kalau aku tidak pernah mengharapkan apa pun darimu."
"Sungguh kau tidak pernah berharap padaku?" Lalisa melemparkan pertanyaan sedetik setelah pernyataan sang profiler.
"Aku selalu berharap untuk kebaikanmu," balas Alexon apa adanya, "Dan sesekali berharap kalau kau akan melunak padaku."
"Apa kau sungguh bisa dipercaya?" tanya Lalisa skeptis. Dia masih tidak ingin menurunkan kewaspadaannya.
Alexon menggeleng kecil. "Aku tidak akan memintamu untuk percaya padaku. Kau berhak untuk percaya atau tidak, tanpa paksaan."
Lalisa mengembuskan napas kasar dan menepuk sisi kosong di sampingnya. Gadis itu baru saja menolak untuk memikirkan pembicaraan apa yang baru saja mereka melewati.
"Duduklah. Lukamu juga perlu diobati," katanya mengalah.
Alexon menurut pada titah Lalisa, dengan mengambil duduk di samping gadis itu seperti yang diminta dan membiarkan lukanya dibersihkan.
Laki-laki itu pikir dia menyukai bagaimana hubungannya dan Lalisa bergerak selama ini. Keduanya memang tidak berbagi perasaan dengan saling menyentuh, tapi keduanya jelas berbagi perasaan lewat kepedulian kecil dan Alexon pikir itu jauh lebih manis.
"Biasanya akan lebih mudah menutupi perasaan pada sosok yang tidak kau kenal karena dia juga tidak mengenalmu." Alexon kembali berceloteh. Dia perlu memberikan pelajaran tambahan untuk Lalisa agar gadis itu bisa lebih berhati-hati lagi. "Tapi lain cerita jika kau berhadapan dengan sosok yang sudah mengintaimu sejak lama."
Kalimat terakhir Alexon agaknya membuat Lalisa terganggu, hingga dia berhenti mengoleskan obat merah di luka sang profiler, kemudian mengangkat pandangan, tapi tidak mengatakan apa pun.
"Kau ingat ketika berhadapan dengan Sungjae saat itu?" Lagi-lagi Alexon membuka topik pembicaraan yang sebenarnya tidak ingin Lalisa ingat lagi. "Dia mengenali rasa takutmu karena sudah mengwasimu lebih dulu. Dia tahu kapan kau bersikap penuh percaya diri dan kapan kau merasa ketakutan. Dia memanfaatkan hal itu untuk kesenangannya."
Lalisa mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak ada satu pun kata yang terlewatkan. Semuanya Lalisa serap dengan sangat baik.
"Jadi, jangan sekali-kali menunjukkan rasa takutmu pada lawan bicaramu atau kau akan kalah," tambah Alexon dengan setengah bisikan.
"Bagaimana jika malam itu terulang lagi? Apa aku harus diam saja dan membiarkan tubuhku dijamah?" Lalisa mulai bersikap sarkastis lagi, tapi tatapannya tidak terlihat memojokkan sang profiler.
Alexon terdiam beberapa saat. Menatap jauh ke dalam mata lawan bicaranya dan merasakan kembali ketakutan Lalisa malam itu. Sekarang Alexon menyesali pertemuannya dengan Lalisa. Laki-laki itu menyatukan keningnya dan si gadis pujaan dengan sangat lembut.
Lalisa terkejut. Jantungnya terasa sangat berdebar ketika napas Alexon menerpa permukaan kulitnya. Gadis itu bahkan harus menahan napas beberapa saat untuk menekan rasa gugupnya.
"Maaf karena melibatkanmu dalam pekerjaanku yang berbahaya," sesal Alexon dalam bisikannya, "Aku tidak pernah berharap untuk membuatmu berada dalam bahaya."
"Alexon, mungkin kau melibatkanku dalam bahaya sekarang, tapi kau juga pernah menyelamatkanku dari bahaya," balas Lalisa berbisik. Sekujur tubuhnya terasa sangat kaku karena kedekatan tanpa jarak saat ini. "Ini bukan salahmu."
Lalisa benar. Ini memang bukan salah Alexon jika Sweetest Killer mengubah target yang semula ditujukan untuk sang profiler, kini malah dibelokkan untuk gadis yang tengah dekat dengan laki-laki itu.
"Aku tidak akan terlibat dalam bahaya sekarang, tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi saat itu, jika kau tidak datang untukku?" Lalisa menambahkan saat gadis itu merasakan remasan lembut di balik rambutnya. "Kupikir lebih baik terlibat bahaya bersamamu saat ini, ketimbang harus melewati malam itu sendirian."
Ini adalah kali pertama Lalisa memupuk kepercayaan diri Alexon yang sebelumnya tidak pernah hilang. Laki-laki itu seakan perlu diyakinkan kalau Lalisa tidak akan berada dalam bahaya karenanya.
"Sekarang aku tahu bagaimana perasaanmu yang takut menyakitiku." Alexon mengusap pipi Lalisa dan menatap gadis itu tanpa memisahkan kening mereka. "Karena aku pun merasa takut kalau kau terluka karenaku."
Untuk kali pertama, Lalisa memberanikan diri untuk membalas sentuhan Alexon. Diusapnya pipi sang profiler yang ternyata basah karena air mata. "Maka kau harus mengajariku untuk beradaptasi di lingkungan kerjamu."
Alexon memisahkan kening yang sempat menyatu beberapa saat tadi, tapi tidak mengambil jarak yang begitu jauh. "Tapi berjanjilah untuk tidak melibatkan diri dalam bahaya seperti tadi," pintanya dengan penuh permohonan. Alexon menggeleng putus asa. "Aku tidak ingin kau terluka, apalagi jika itu di depan mataku."
Lalisa mengangguk kecil. "Aku akan berusaha untuk tidak membuatmu khawatir lagi."
Alexon membiarkan pernyataan Lalisa menggantung di udara, tapi kedua tangannya merengkuh bahu gadis itu agar merapat padanya.
Lalisa adalah ketakutan terbesar dan juga kelemahan Alexon.
📍📍📍
"Bagaimana keadaan bayinya?" Alexon bertanya melalui sambungan telepon yang disambungkan dengan perangkat di mobilnya. "Dia bisa diselamatkan, 'kan?" Nada suaranya terdengar agak cemas.
"Tadi sempat kritis karena dadanya terinjak dan sempat kesulitan bernapas, tapi sekarang sudah sedikit membaik. Namun, masih dalam pengawasan ekstra." Ji Hoon membalas dari seberang sana. "Kau bisa datang ke Rumah Sakit Hannam untuk menjaganya sebentar? Aku harus ke kantor untuk mengurus ibunya."
Alexon melirik arlojinya sekilas. "Aku akan sampai dalam lima menit," balasnya menyanggupi.
Sambungan terputus setelah tidak ada lagi persoalan yang dibicarakan. Alexon kembali fokus pada jalanan di depan, sementara gadis di sampingnya menatap intens.
"Apa kau selalu menghabiskan hari dengan pergi dari satu tempat ke tempat lain?" Lalisa bertanya dengan rasa penasaran yang kental.
"Tidak selalu," balas Alexon ringan. Dia menoleh singkat dengan senyum tipis di wajahnya. "Kadang aku hanya berada di kantor saja seharian, tapi benar-benar akan sangat sibuk jika ada kasus seperti hari ini."
Lalisa mengangguk paham. Dia pikir pekerjaan sang profiler cukup berat karena sering kali melihat wajah lelah di paras tampan itu, tapi tidak mengurangi pesonanya sedikit pun.
"Ingat saat kita bertemu di Itaewon ketika aku mengejar SK?" Alexon mengangkat topik pembicaraan lama untuk sekadar memberitahu Lalisa mengenai pekerjaannya. "Hari itu jadwal pembunuhan keenam SK dan selama seharian kami mencari calon korban satu per satu dan kau tahu kebodohan apa yang kulakukan saat itu?" Alexon menoleh dengan memperlihatkan sedikit tawa gelinya.
"Apa?" tanya Lalisa penasaran.
"Aku melewatkan petunjuk penting sore itu karena sibuk berkirim pesan denganmu," jawab Alexon dengan tawa ringan yang dibiarkan terdengar sampai ke telinga Lalisa. "Tapi beruntung aku segera menyadarinya dan kami berhasil menggagalkan rencana pembunuhan keenam SK."
Biasanya Jinyoung-lah yang akan mengatakan seberapa besar pengaruh Lalisa untuk Alexon, tapi kali ini laki-laki itu mengatakannya sendiri dengan kesadaran penuh.
Lalisa baru tahu kalau sejak awal dia sudah memberikan pengaruh besar pada Alexon dan laki-laki itu sama sekali tidak terlihat terganggu dengan kehadirannya—yang bisa dibilang sangat merepotkan.
"Apa kalian harus benar-benar mengejar SK?"
"Tentu saja!" sahut Alexon berapi-api, "Bajingan yang sudah menghilangkan nyawa wanita tidak berdosa seperti SK, harus merasakan dinginnya jeruji besi untuk sisa hidupnya. Laki-laki sepertinya tidak pantas berkeliaran bebas di luar sana."
Sang profiler terdengar begitu geram dengan bara api yang berkobar di matanya. Laki-laki itu jelas akan menangkap sosok Sweetest Killer, bahkan jika harus menggali lubang semut di seluruh dunia.
Lalisa hanya mengangguk tanpa membalas kegeraman sang profiler dengan sebuah kata dan ikut memandang ke jalanan depan.
"Berhati-hatilah saat berada di luar. Jangan sampai terluka." Tiba-tiba saja Lalisa membuka suara lagi, tapi kali ini hanya berupa bisikan yang begitu pelan tanpa memandang Alexon.
Namun faktanya, Alexon mendengar apa yang Lalisa katakan dan langsung mengusap gemas kepala gadis itu. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun melukaiku. Jadi, jangan khawatir."
Lalisa tidak membalas. Dia hanya diam dan menatap ke luar dengan kepala yang ditempelkan pada jendela. Diam-diam gadis itu mencemaskan keselamatan Alexon.
Sebenarnya, bayi Ha-na tidak perlu dijaga oleh Alexon ataupun Ji Hoon karena sudah ditempatkan pada ruangan khusus bayi yang dimonitori secara langsung. Namun, semuanya seakan ingin menjaga bayi itu, termasuk Lalisa yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangan dan menatap dari balik kaca.
"Ayo, obati lukamu dulu." Alexon menggenggam lembut tangan Lalisa untuk menarik perhatian gadis itu.
"Tapi kau sudah mengobatinya tadi." Lalisa jelas menolak untuk diobati kedua kali dalam waktu satu jam terakhir.
"Aku bukan paramedis. Jadi, aku pasti tidak mengobatimu dengan baik. Mungkin saja aku justru malah memperparah lukamu," balas Alexon mendramatisir kalimatnya.
Lalisa mengembuskan napas dan setuju untuk ikut ke UGD guna mendapatkan pengobatan yang sesungguhnya. Hal yang sama dilakukan juga oleh Alexon, setelah Lalisa melemparkan kata yang sama.
"Kau mau ke mana?" Alexon menahan tangan Lalisa, saat gadis itu beranjak dari duduk di sampingnya.
"Hanya ingin membeli minuman."
"Kita pergi bersama setelah selesai dengan tanganku." Alexon jelas tidak ingin Lalisa pergi sendiri untuk membeli minuman.
Namun, Lalisa tidak ingin menunggu lama. Jadilah dia menggeleng dan bersikeras untuk pergi membeli sendiri.
"Aku hanya akan membeli minum. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Lalisa berusaha untuk mengurangi kekhawatiran sang profiler dan langsung melarikan diri sebelum dicegah lagi kepergiannya.
Tidak ada yang bisa Alexon lakukan selain menunggu sang perawat selesai mengobatinya.
Sementara itu, Lalisa baru saja melangkah masuk ke lift. Rupanya gadis itu baru saja membohongi sang profiler dengan dalih ingin membeli minuman. Kantin jelas berada di lantai yang sama dengan UGD, tapi faktanya gadis itu malah naik ke lantai tiga.
Lalisa menunggu pintu untuk menutup dan tepat sebelum benar-benar tertutup, ada sebelah tangan yang menahan. Pergelangan tangan kanan yang terjepit pintu menarik perhatian Lalisa karena ada goresan tinta hitam di sana.
Lift kembali terbuka lebar dan memperlihatkan sosoknya yang menahan dengan tangan. Laki-laki berusia awal tiga puluhan dengan jas merah, yang membuatnya tampak sangat menawan masuk ke lift dan bergabung dengan Lalisa, setelah sebelumnya memberikan senyum ramah dan anggukan permintaan maaf karena menahan pintu dengan tidak sopan.
Lalisa menahan napasnya saat laki-laki itu masuk dan berdiri di belakangnya. Jelas tato yang dilihatnya barusan adalah tato yang dilihatnya semalam.
Jantung Lalisa berdetak tidak karuan. Rasa paniknya melompat ke ubun-ubun dan menyentuh titik ketakutan tertingginya. Gadis itu tidak ingin berpikir kalau laki-laki yang sedang bersamanya adalah sosok yang selama ini dicari oleh Alexon, tapi goresan tato itu terekam sangat jelas di dalam kepalanya.
"Oh, aku sudah melihatnya."
Lalisa membeku di atas kakinya. Suara di belakang terdengar sangat mirip dengan laki-laki yang mengantar pesanan semalam.
Maka itu artinya, Lalisa sedang bersama dengan Sweetest Killer saat ini.
"Dia benar-benar sangat cantik." Laki-laki itu menatap punggung Lalisa dengan sedikit geli, setelah menjawab pertanyaan yang dilontarkan dari lawan bicaranya. "Bagaimana aku harus mendekatinya?"
Laki-laki itu bergumam dan masih menatap Lalisa dengan penuh pertimbangan. "Kupikir ini tidak akan mudah. Bahkan hanya dengan melihatnya saja, aku tahu kalau dia sulit untuk dijangkau."
Mati-matian Lalisa menahan diri untuk menjerit dan berdiri tegak di atas kakinya, tanpa terlihat terganggu dengan apa yang didengarnya sekarang. Gadis itu mengingat jelas apa yang sang profiler katakan satu jam sebelumnya.
Lalisa tidak boleh terlihat gugup, apalagi takut atau dia akan kalah.
Gadis itu menarik napas dengan hati-hati, sambil mencoba untuk menenangkan diri dan meyakini kalau dia akan baik-baik saja. Toh, ada CCTV tepat di sudut ruangan. Kalaupun ada sesuatu yang buruk terjadi padanya, maka mudah untuk mencari laki-laki yang bersamanya saat ini.
"Tapi mungkin seseorang akan marah jika aku mendekati gadisnya. Dia bisa saja membunuhku di tempat jika aku menyentuh miliknya." Laki-laki itu tertawa dengan geli sambil memandang CCTV di atasnya, seolah sedang mengejek siapa saja yang tengah melihatnya.
Di tempatnya berdiri, Lalisa bisa melihat laki-laki di belakangnya melalui pantulan dinding, di mana laki-laki itu sedang balas menatapnya—dengan senyum—membuat Lalisa terkejut dan ingin segera keluar dari lift. Rasanya sepuluh kali lebih menakutkan dari saat Sungjae mengikutinya tempo hari, tapi Lalisa mampu menahan ketakutannya seperti yang diharapkan sang profiler.
Gadis itu menyembunyikan kedua tangannya yang bergetar di depan perut dan mengatur napas sebaik mungkin tanpa terdengar panik berlebihan. Diam-diam dia merapalkan nama Alexon dalam hati untuk sekadar membuatnya tenang.
"Tapi aku pasti akan menemukan cara untuk mendapatkannya. Ini semua hanya tentang waktu." Laki-laki itu tersenyum begitu senang tanpa ingin melepaskan pandangannya dari punggung Lalisa. "Aku akan menelepon lagi nanti. Sekarang aku harus memastikan wajahnya sekali lagi sebelum berpisah."
Tampaknya si tampan menelepon itu memang sedang membicarakan Lalisa dengan lawan bicaranya di seberang sana, membuat putri sang walikota menahan napasnya saat pintu terbuka.
Lalisa bergeming. Dia yang seharusnya keluar dari lift dan melanjutkan perjalanan, justru malah diam membeku dan membiarkan laki-laki itu melewatinya lagi.
Seperti yang dikatakan, laki-laki itu melihat Lalisa sebelum pintu tertutup kembali. Dia memberikan senyum miring yang sarat akan makna tidak menyenangkan, hingga membuat Lalisa menelan saliva dan menunjukkan kegugupannya tanpa sadar.
Keduanya saling melemparkan pandangan tanpa mengatakan apa pun, tapi dengan perasaan yang bertolak belakang. Lalu, pintu tertutup rapat.
Alexon yang sudah selesai dengan pengobatannya memutuskan untuk menyusul Lalisa ke kantin, tapi alih-alih keluar dari kantin, dia justru malah mendapati si gadis berponi yang keluar dari lift dengan tergesa dan sesekali melihat ke belakang.
Jelas kalau Lalisa sedang memeriksa apakah laki-laki itu mengikutinya atau tidak. Saking sibuknya mencari laki-laki berjas merah itu, dia sampai tidak memiliki waktu untuk melihat ke depan dan menabrak Alexon yang memang sedang menghampirinya.
Lalisa berteriak histeris saat kedua bahunya ditangkap dari depan, hampir saja dia memukul dengan brutal jika tidak mendengar suara Alexon lebih dulu.
"Hei, Lalisa. Ini aku."
Lalisa bernapas lega dan menjatuhkan kening di bahu sang profiler, sambil berusaha mengatur napas dan mengabaikan beberapa pasang mata yang melihat ke arahnya karena baru saja berteriak, seolah ada yang ingin berbuat jahat padanya.
"Lalisa, ada apa?"Alexon bertanya dengan nada khawatir. Kedua tangannya masih membungkus bahu Lalisa yang agak bergetar.
"Aku melihatnya." Lalisa berbisik lirih dan menjatuhkan seluruh beban tubuhnya pada Alexon.
Setelah menahan ketakutannya beberapa saat dan melarikan diri, kini Lalisa merasa agak lega karena sudah bertemu dengan sosok yang sejak tadi dia pikirkan.
"Siapa?" Alexon bertanya dengan bingung. "Siapa yang kau lihat? Ji Hoon?"
Lalisa mengangkat kepala dan memperlihatkan wajah pucatnya pada Alexon. Bibir gadis itu tampak agak bergetar, dengan sorot mata yang menunjukkan ketakutan.
"Lalisa, ada apa? Siapa yang kau lihat?" Alexon bertanya lagi, tapi suaranya nyaris terdengar seperti rengekan.
"Laki-laki yang mengantar pesanan makanan semalam."
Mata Alexon melompat keluar karena terkejut. Cengkeraman tangannya di bahu Lalisa mengencang seketika. "Bagaimana kau tahu kalau dia yang kau lihat tadi?" Nada suaranya terdengar menuntut.
"Aku melihat tato di tangan kanannya dan aku masih mengingat suaranya dengan jelas," tutur Lalisa.
"Tapi kau tidak terluka, 'kan? Dia tidak menyentuhmu, 'kan?" Alexon bertanya dengan berapi-api. Tatapannya terlihat marah saat matanya menjelajahi tubuh Lalisa untuk mencari lecet di tubuh gadis itu.
Lalisa menggeleng pelan. "Dia tidak menyentuhku sama sekali."
Alexon bernapas lepas. Tangan yang tadinya berada di bahu, kini turun untuk menggenggam tangan Lalisa dengan penuh syukur.
Tanpa gadis itu ketahui, jantung Alexon sedang berdebar dengan begitu kencang, hingga rasanya ingin pecah karena mengkhawatirkan Lalisa. Laki-laki itu berusaha keras untuk meneteralkan detak jantungnya dan mulai memfokuskan diri pada sosok yang sudah sangat mengganggunya.
"Jadi, bagaimana ciri-cirinya?"
Bukannya menjawab, Lalisa justru malah menarik Alexon untuk belari kecil dengannya tanpa mengatakan apa pun dan sang profiler pun tidak mempertanyakan tindakan putri sang walikota saat ini.
Alexon agak terkejut karena Lalisa membawanya ke ruang keamanan dan bertindak jauh di luar dugaan, hingga mampu membuat sang profiler setengah menganga.
"Kami dari kepolisian dan ingin melihat rekaman CCTV di lift tiga di lantai dasar," kata Lalisa seolah dia memang dari kepolisian, alih-alih hanya seorang pelajar yang sedang menikmati liburan musim dinginnya.
Sang petugas keamanan jelas terkejut karena Lalisa datang dan langsung menerobos, tapi laki-laki yang sedikit lebih muda dari ayahnya bersikap kooperatif.
"Boleh aku melihat tanda pengenal kalian?" tanyanya dengan sopan.
Lalisa menoleh pada Alexon. "Berikan tanda pengenal kepolisianmu," bisiknya.
Alexon mendesah pendek sambil merogoh beberapa sakunya untuk mencari apa yang diminta Lalisa, meski sebenarnya tahu kalau dia memang tidak membawanya sekarang.
"Sepertinya aku meninggalkannya di mobil," ringis Alexon seraya menggaruk tengkuknya.
Lalisa berdecak jengkel dengan tatapan yang begitu kesal.
"Kau bisa mengambilnya dulu. Aku akan menunggu di sini," kata petugas keamanan itu dengan sopan.
Alexon mengangguk kaku dan bersiap untuk mengambil kartu pengenalnya, tapi tangannya ditahan oleh tangan mungil Lalisa.
"Terlalu lama kalau harus mengambilnya. Kita mungkin akan kehilangan dia," kata Lalisa tanpa melihat Alexon. Dia sibuk dengan ponsel di tangan, sebelum mengangkat kepala untuk menatap petugas keamanan di depannya. "Tunggu sebentar."
Alexon sedang menerka-nerka siapa yang Lalisa telepon, hingga gadis itu terlihat agak gugup.
"Aku perlu memeriksa rekaman CCTV di rumah sakit, tapi petugas tidak mengizinkan karena aku tidak memiliki wewenang. Kau bisa membantuku?" Lalisa bertanya dengan harap-harap cemas, seraya menggigit kecil ujung bibirnya.
Lalisa memberikan ponselnya pada petugas keamanan setelah mendapatkan jawaban dari sosok di seberang sana. "Ada yang ingin berbicara denganmu."
Petugas keamanan itu terlihat bingung, tapi mengambil ponsel Lalisa. Laki-lak itu menjawab hormat hanya dengan beberapa kata-kata. Lalu, mengembalikan ponsel Lalisa dengan sopan dan segera beralih ke layar komputernya.
"Lift tiga di lantai dasar, 'kan?" tanya petugas itu memastikan.
Lalisa mengangguk kuat.
"Kau menelepon ayahmu?" bisik Alexon saat si petugas sibuk mencari rekaman yang diminta.
"Ini adalah kali pertama aku meminta bantuannya setelah bertahun-tahun lamanya," balas Lalisa berbisik.
Alexon tersenyum kecil. Entah kenapa dia merasa kalau Lalisa sangat berapi-api sekarang, bahkan sampai tidak sadar dengan tangan yang masih bertautan.
"Dia orangnya! Aku melihat tato itu di tangannya."
Lalisa berseru heboh, membuat berapa petugas keamanan melihat ke arahnya, tapi yang dijadikan objek tidak peduli dan asyik menunjuk layar di depannya.
Alexon menatap layar di depannya dan melihat apa yang laki-laki berjas merah itu lakukan di belakang Lalisa. Dilihat dari ekspresinya, laki-laki jelas terlihat seperti menggoda karena beberapa kali menunjukkan senyumnya, sebelum menunjukkan wajah CCTV di sudut ruangan.
Sang profiler mendecih saat laki-laki di dalam layar terlihat seperti sedang mengejeknya, tapi di saat yang sama merasa bangga karena Lalisa bisa menekan rasa takutnya dengan baik.
Alexon mengusap kepala Lalisa dan menoleh dengan senyum penuh kebanggaan. "Kau belajar dengan sangat cepat," pujinya. Lalu, memberikan ponselnya pada petugas keamanan di depannya. "Tolong salinkan rekamannya untukku."
Lagi-lagi Lalisa memberikan informasi untuk kasus Alexon.
Seteleh meminta salinan rekaman, Alexon meminta untuk dicarikan sosok itu di sekitaran rumah sakit. Setidaknya, dia harus memastikannya sendiri. Namun naas, laki-laki berjas merah terlihat berada di basement dan baru saja masuk ke mobil. Jadi, Alexon hanya mendapatkan pelat mobilnya saja.
"Tae-il, tolong carikan aku pelat mobil 36-K-1242. Aku perlu bertemu dengan laki-laki yang membawa mobil itu sekarang." Alexon berbicara melalui ear piece-nya saat sedang mengitari mobil, diikuti oleh Lalisa di sampingnya. "Lalisa bilang, laki-laki itu adalah laki-laki yang mengantar pesanan semalam. Dia bahkan melihat tato di tangan kanan laki-laki itu, juga masih mengenali suaranya."
"Tidak, tidak!" Alexon menggeleng sambil menarik kasar sabuk pengamannya. Lalu, mulai menggerakkan tuas dengan cepat dan segera menginjak pedal gasnya. "Aku akan menanganinya sendiri karena kita belum bisa memastikan kalau dia adalah SK. Carikan saja data pribadi laki-laki itu."
Alexon menambah kecepatan saat jalanan dirasa terlalu lengang. Pandangannya fokus ke depan seolah tidak melihat Lalisa di sampingnya.
"Tae-il sudah bekerja lagi?" Lalisa bertanya untuk memecah keheningan.
"Tidak ada alasan untuk tidak bekerja saat SK dengan terang-terangan menampakkan diri," balas Alexon tanpa melihat ke arah Lalisa.
Ada satu hal yang baru Lalisa sadari hari ini, Alexon tidak akan memberikan atensi padanya saat sedang mengemudi. Laki-laki itu cenderung fokus dengan jalanan di depan, padahal sang profiler terbiasa membagi fokusnya untuk jalanan dan Lalisa.
"Lalisa, kencangkan sabuk pengamanmu," titah Alexon.
Lalisa menurut dan Alexon langsung menambah kecepatan mobilnya, setelah mendapatkan informasi mengenai keberadaan mobil yang dicarinya.
Alexon menutup pintu mobilnya dan memperhatikan rumah berpagar yang cukup mewah di depannya. Menurut kabar dari Tae-il, mobil itu terakhir kali terlihat di kawasan Daechi-dong dan dari data pribadi yang didapatkan, laki-laki berjas merah itu memang tinggal dalam rumah yang sedang Alexon jadikan objek.
Sang profiler menghampiri Lalisa dan mengambil tangan gadis itu untuk digenggam. "Jangan takut. Dia tidak akan menyakitimu."
Lalisa menggeleng ringan. "Kau ada bersamaku. Jadi, apa yang harus aku takutkan?"
Tampaknya Lalisa kembali menaruh kepercayaan pada sang profiler, meski beberapa jam yang lalu mengaku telah kehilangan kepercayaannya.
Alexon mengangguk dengan senyum kecil, kemudian mendorong gerbang untuk terbuka tanpa mau repot-repot meminta izin. Barulah saat sampai di depan pintu, sang profiler menekan tombol di layar interkom.
Pintu terbuka setelah keduanya menunggu selama sepuluh detik. Sosok yang Alexon lihat dari kamera CCTV, kini berdiri tepat di hadapannya dengan senyum mengembang.
"Oh, kau yang bersamaku di lift tadi, 'kan?" Laki-laki itu terlihat terkejut saat melihat Lalisa datang bersama Alexon. "Apa yang membuatmu datang sejauh ini untuk menemuiku?" Nada suaranya terdengar geli, dengan sorot mata yang memperlihatkan ketertarikan lebih pada Lalisa.
Sementara Alexon menatap dalam diam dan memperhatikannya dengan lekat. Laki-laki itu sedang mengingat kembali postur tubuh yang dilihatnya malam itu.
"Lee Rang~ssi." Alexon membuka suara setelah membiarkan Lalisa dijadikan objek dari laki-laki berjas merah di depannya. "Akulah yang ingin bertemu denganmu."
Lee Rang terpaksa mengalihkan pandangan pada Alexon saat laki-laki itulah yang mengajaknya bicara. "Ah, kau ingin bertemu denganku?" tanyanya setengah terkejut, tapi diam-diam tertawa geli.
Alexon mengangguk dan mengeluarkan tanda pengenalnya untuk ditunjukkan pada Lee Rang. Sang profiler harus menunjukkan profesinya sebelum bertanya lebih lanjut.
"Alexon Black," Lee Rang bergumam dalam anggukan kecil saat menunjukkan tanda pengenalnya. "Masuklah," ajaknya.
Alexon menoleh pada Lalisa, sebelum akhirnya melangkah ke rumah Lee Rang dan langsung saja mengedarkan pandangan untuk melakukan profiling seperti biasa.
"Aku dari kepolisian dan sedang menyelidiki sebuah kasus." Alexon menjelaskan dan menunjukkan ponselnya pada Lee Rang, yang memperlihatkan tato yang dicurigai adalah sosok Sweetest Killer. "Kami mencari laki-laki yang memiliki tato seperti ini dan kudengar kau memilikinya."
Lee Rang memperhatikan ponsel Alexon dengan lamat, hingga alisnya berkerut. Lalu, menarik lengan jasnya yang menutupi pergelangan tangan kananya. "Maksudmu ini?" tanyanya dengan nada geli.
Alexon terpaku sesaat. Setengah polanya terlihat sama persis dengan yang tetangkap kamera dan sang profiler melihat gelang yang sama persis dengan yang dia temukan di hutan kemarin.
"Aku dan beberapa temanku yang tergabung dengan kelompok pecinta motor tua memiliki tato yang sama. Kami menyebutnya tato solidaritas." Lee Rang menjelaskan saat Alexon masih menatap tatonya.
Alexon mengangkat pandangan untuk menatap Lee Rang. "Ah, benarkah?" tanyanya dengan nada penasaran yang dibuat-buat dan mengedarkan pandangan dengan terang-terangan tanpa rasa malu. "Tapi kau tidak terlihat seperti seseorang yang menyukai gaya vintage, retro ataupun klasik. Rumahmu bahkan bergaya modern, tidak ada unsur tuanya sama sekali. Begitu juga dengan penampilanmu."
Setelan mahal, parfum yang menguar dari jarak sepuluh meter, sepatu mengkilap, serta jam tangan berkilau dan mobil sport yang terparkir di halaman mencerminkan betapa Lee Rang mencintai penampilan trendi.
Lee Rang mengangguk membenarkan. "Menyukai sesuatu yang tua bukan berarti aku harus terlihat tua, 'kan?" tanyanya dengan nada menantang dan senyum mengejek.
Alexon balas membenarkan dengan anggukan singkat. "Itu benar. Jadi, apa yang kau lakukan pada tanggal 7 Desember?"
Langsung saja Alexon melemparkan pertanyaannya tanpa ingin berbasa-basi lebih banyak lagi. Dia menatap datar seolah tidak merasa mengganggu Lee Rang dengan pertanyaan tidak sopannya.
Lee Rang menoleh pada Lalisa dan menahan tawa gelinya. "Kira-kira apa yang kulakukan pada hari itu?" tanyanya seolah Lalisa ada bersamanya pada hari itu. Lalu, mengembalikan pandangan pada Alexon saat Lalisa diam tidak memberikan respons. "Aku bahkan tidak ingat dengan apa yang kulakukan semalam. Jadi, bagaimana aku bisa mengingat kegiatanku yang nyaris satu bulan berlalu?"
Alibi yang sangat membosankan, pikir Alexon dengan senyum miris.
Alexon tersenyum dalam anggukannya. "Terima kasih karena sudah meluangkan waktumu untuk bicara denganku."
"Silakan datang lagi jika kau masih memerlukan kesaksian." Lee Rang membalas dengan senyum yang begitu menawan. "Atau kau ingin kupanggilkan teman-temanku yang memiliki tato sepertiku?" tawarnya dalam tawa kecil yang mengandung sarkasme.
"Aku bisa mencarinya sendiri," balas Alexon angkuh. Dia mencoba untuk meladeni Lee Rang dengan santai dan ringan. "Tidak ada yang tidak bisa kutemukan saat aku memutuskan untuk mencari."
Alexon dan Lee Rang saling melemparkan tatapan. Keduanya jelas sedang berbicara melalui tatapan yang hanya mereka yang tahu. Sementara Lalisa menatap bergantian dengan penuh tanda tanya, tapi kebanyakan fokusnya diberikan pada sang profiler.
"Semoga kau mendapatkan sosok yang kau cari." Lee Rang mendoakan dengan penuh senyum—yang bermakna ganda.
Alexon membalas dengan anggukan singkat dan berpamitan dengan sopan saat dirasa cukup mendapatkan informasi.
"Ah, hati-hati. Jangan sampai terluka." Lee Rang menambahkan saat Alexon sudah mengambil beberapa langkah. Senyumnya semakin terlihat mencurigakan.
Alexon tersenyum sinis dalam gelengan kecilnya. Dia mengenali ejekan yang baru saja dilemparkan, tapi tidak membuatnya terpancing. Namun, tetap berbalik untuk menghadap Lee Rang.
"Kau juga harus berhati-hati, Lee Rang~ssi." Alexon balas mengingatkan. Senyum di wajahnya tampak angkuh.
Lalisa mengekori Alexon tanpa kata. Semakin lama berdiri di samping sang profiler, semakin mengerti pula dia dengan pekerjaan yang laki-laki itu tekuni dan jelas itu bukan pekerjaan yang mudah.
"Ahgassi."
Panggilan itu membuat Lalisa dan Alexon yang sudah berada di halaman menoleh ke belakang dan mendapati Lee Rang yang sedang mengangkat ponsel di tangannya.
"Kau meninggalkan ponselmu," kata Lee Rang memberitahu.
Namun, alih-alih menghampiri Lalisa untuk memberikannya, Lee Rang malah menunggu Lalisa untuk datang padanya dan mengambilnya sendiri.
Lalisa menoleh pada Alexon seolah meminta pendapat, yang kemudian diberikan anggukan singkat dari sang profiler. Dengan langkah yang begitu hati-hati, Lalisa melangkah menghampiri Lee Rang.
Saat mengembalikan ponsel Lalisa, tangan Lee Rang bertindak tidak sopan karena mencoba untuk mengusap tangan gadis itu. Beruntung Lalisa bisa mengatasinya dengan baik dan hanya menarik tangannya tanpa terlihat terganggu.
"Terima kasih. Ponsel ini sangat berarti untukku," kata Lalisa dengan tulus.
Lee Rang mengangguk dengan setengah keangkuhannya. Tatapannya jelas menunjukkan ketertarikan pada Lalisa, bahkan punggung gadis itu saja mampu membuatnya tersenyum.
Lee Rang merogoh saku jasnya untuk mengambil ponsel, kemudian menelepon seseorang. "Sepertinya aku ingin mengubah rencana awal kita." Sudut bibirnya terangkat untuk menunjukkan senyum miring penuh kelicikan.
Sementara Alexon dan Lalisa sibuk bertos ria di dalam mobil. Tampaknya mereka sudah merencanakan sesuatu sebelum bertemu dengan Lee Rang dan terlihat seperti keberhasilan sudah di tangan.
"Aku mendapatkan sidik jarinya," kata Alexon dengan senyum penuh kemenangan setelah mengaktifkan ear piece-nya.
📍📍📍
TADAAAAA~ SELAMAT MENEMANI AING MEMBUCHEN LEE RANG~NIM 💃💃💃💃
Tenang gaes, pak Alek akan tetap jadi anak pesantren kesayangan kalian. Gak tega aing tuh mau bikin dia jadi antagonis yang bengis—ya, meskipun aing udah ada planing untuk masa mendatang 😈😈😈😈😈😈😈😈
Btw, ini udah mau masuk klimaks. Wujudnya SK semakin terdepan. Aing sebenarnya takut kalau ekspektasi kalian terlalu tinggi di sini, terus malah jatuh pas liat ending 😭😭😭😭😭
Jadi, jangan ngarepin plot twist macam TMWYS atau Voice atau Flower of Evil dan kawan-kawannya. Skill menulis aing tidak seepic itu. Jadi, ekspektasinya yang sedang-sedang saja. Oke?
31 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro