Chapter 11
Tinggal selangkah lagi kaki Jani menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tepukan pelan mendarat di pundak, Jani menoleh mendapati sosok Mahen di belakangnya.
"Lu mau ketemu Naren?" tanya Mahen dengan suara berbisik.
Anggukan kepala dari Jani menjawab pertanyaan Mahen. Jani baru ingin membuka mulutnya untuk bertanya, tetapi Mahen memotongnya terlebih dahulu, "Kalau mau ngomong jangan keras-keras, bisik-bisik aja kayak gua."
"Memangnya kenapa?" tanya Jani ikut-ikutan berbisik.
"Ada Naren sama teman cewek di atas. Gua enggak pernah lihat dia di SMP kita dulu, kayaknya teman dia pas SMA."
Jani mengangguk-anggukan kepalanya, sedetik kemudian ia langsung tersadar dan bertanya-tanya siapa teman cewek yang dibawa Naren hari ini.
Saking ingin tahu sosok yang dibawa Naren ke rumah, Jani bertanya spontan, "Lu kenal enggak?"
Mahen berdecak kesal. "Boleh keluar dulu enggak?"
"Kenapa mesti keluar?"
Jani itu tipikal agak lemot. Lemah otak membuat Jani tak sadar akan kebodohannya sendiri dan dan tak menyadari perasaan Naren dan Mahen yang sejak lama terpendam.
"Keluar biar bisa nepok kepala lu. Tadi gua udah bilang bukan temannya dia pas SMP. Teman SMP dia aja gua enggak semuanya hafal, gimana teman SMA? Seharusnya gua yang tanya, itu siapa yang diajak Naren ke rumah?"
Dengan santai Jani mengedikkan kedua bahunya, tanda tak tahu. "Gua baru tahu dia deket sama cewek, biasanya di sekolah Naren kan anti banget sama makhluk berkelamin perempuan."
"Enggak usah cemburu gitu. Enggak mungkin Naren dalam sehari langsung pindah haluan."
"Maksudnya?" tanya Jani.
Mahen menepuk dahinya sendiri, susah ya berbicara sama cewek lemot, untung ia sayang. "Males gua jelasin, mau nunggu di sini atau ikut gua?"
"Ikut ke mana?"
"Enggak tahu juga, yang pasti enggak bengong di sini dan ketahuan sama temennya Naren kalau gua saudara kembarnya."
"Kalau enggak kenalan kan dia enggak tahu lu saudara kembarnya Naren."
Dengan gemas Mahen menyentil jidat Jani hingga cewek itu mengaduh. "Gua sama Naren kembar identik, Renjani!" Tanpa sadar Mahen berseru lebih keras. Dengan cepat ia menarik pergelangan tangan Jani dan membawa gadis itu ikut keluar rumah.
"Padahal bukan maling, kok kita kabur sih?"
"Males ah ngomong sama lu Jani. Otak lu kenapa jadi agak lama?" tanya Mahen.
Mereka sedang menyusuri jalan perumahan, mencari tempat yang cocok untuk menunggu teman Naren pulang.
"Capek gua, Hen. Jadwal gua padat udah kayak artis. Coba aja kunci rumah gua yang pegang, kita ke sana aja mending. Gua bisa tidur di rumah dengan aman dan damai."
Setiap ibu Jani kerja di luar kota, pasti Jani akan menginap di rumah Naren untuk menghindari terjadinya kebakaran di rumah.
"Emang kunci rumah lu sekarang siapa yang pegang?"
"Sama Naren."
"Rumah sama anaknya dititipkan di satu tempat. Kayaknya kalian udah dapat lampu hijau dari tante." Mahen tersenyum getir, sadar ia sudah kalah.
"Gua enggak paham topik pembicaraan lu ke mana. Ini kenapa tadi kita enggak pakai motor lu sih, Hen? Capek gua," keluh Jani menendang-nendang kerikil bak anak kecil. Perlahan badannya merosot, ia biarkan tubuhnya duduk sejenak di atas aspal tanpa alas.
"Takutnya suara motor gua bakalan kedengaran sama mereka. Mau gua gendong?" tanya Mahen membuat Jani menggeleng.
Saat ini kondisi Jani sedang tidak baik-baik saja. Tubuhnya terasa letih, hatinya terasa sesak karena kehadiran cewek lain di hidup Naren, dan otaknya penuh. Berbagai pikiran tentang Naren dan jadwalnya yang padat merayap.
"Lu mau di sini sampai kapan kalau gitu? Mending kita ke kafe depan perumahan deh, lu bisa ngisi perut juga, 'kan? Siapa tahu perasaan lu jadi lebih baik." Mahen mengulurkan tangannya untuk membantu Jani berdiri, gadis itu sudah kehilangan tenaga.
***
Croissant, Waffle, dan Croffle sudah siap disantap. Jani sengaja memesan dua menu, yaitu Croissant dan Croffle agar perasaannya membaik. Sedangkan Mahen hanya memesan Waffle untuk mengganjal perutnya.
Potongan croissant dengan isian salmon dan krim keju di dalamnya membuat Jani tergiur. Ia memotong menjadi beberapa bagian dan memasukkannya ke dalam mulut. Rasa gurih dan asin menyatu dalam mulutnya membuat kondisi Jani jauh lebih baik.
"Kayaknya enak banget, gua boleh coba enggak?" Mahen yang sedari tadi memperhatikan Jani ikut tergiur dengan croissant yang dipesan Jani.
"Mending pesan sendiri. Enggak rela gua kalau bagi-bagi."
"Pelit banget."
"Modal, dong. Masa mau minta?"
Perdebatan mereka berlangsung semakin sengit. Jani dan Mahen jika bertemu itu pasti ada saja hal yang diperdebatkan, karena memiliki sifat yang sama-sama tak ingin kalah.
"Ih lu mah bikin mood gua anjlok lagi kan!" Pipi Jani menggembung bak ikan balon, kedua tangannya menopang dagunya di atas meja.
"Gitu aja ngambek lagi," saut Mahen membuat Jani semakin sebal.
"Males ngomong sama orang nyebelin."
"Daripada lu, enggak mau ngalah."
Tatapan Jani berubah sengit, kedua tangannya ia lipat di dapan dada, dan bibirnya maju beberapa senti. Ia benar-benar kesal dengan Mahen, pantas saja Naren seringkali terpancing emosi, karena nyatanya Mahen suka sekali memancing keributan.
"Becanda Jani," ujar Mahen diselingi kekehan pelannya.
"Jangan kayak gitu! Orang udah kesal, dengan mudahnya bilang becanda. Kemarin juga lu kayak gitu, enggak asik sumpah!"
"Pendendam banget ah, kayak Naren."
"Jangan bikin anak orang emosi lagi, ya. Malesin banget."
"Iya iya. Untuk hari ini gua cukup sudah memancing keributan." Hari ini bagi Mahen sudah cukup untuk mengusili Jani, mungkin esok jika ada kesempatan dirinya akan kembali membuat Jani meluapkan kekesalannya.
Dengan santai tangan kanannya mendarat di atas kepala Jani, mengusapnya pelan. Jika dilihat dari posisi mereka saat ini, Jani terlihat mudah sekali Mahen gapai. Mahen lagi-lagi jadi beerharap jika saja Naren menghancurkan perasaan Jani, ia akan datang secara sukarela untuk menyembuhkan luka yang sudah ditabur dalam hati gadis di hadapannya saat ini.
"Kenapa sih? Kok tiba-tiba ngelus kepala?" tanya Jani bingung sendiri.
"Ada bangkai nyamuk tuh di kepala lu!"
"Apaan sih lu. Enggak jelas banget, Hen."
Melihat Jani risih dengan perlakuannya yang random, ia akhirnya menurunkan tangannya dari kepala Jani sembari terkekeh kecil.
Jani kembali melanjutkan menikmati makanannya dan Mahen sibuk dengan gejolak perasaanya tanpa menyadari kehadiran Naren.
Naren baru saja mengantar partner yang dipilih dari sekolah untuk mengikuti lomba hingga depan perumahan. Saat ingin memutar balik motor yang ia kendarai, sepasang matanya tak sengaja menemukan sosok Mahen dan Jani sedang asik bercanda gurau, bahkan pergerakan Mahen yang mengusap kepala Jani tak luput dari pandangannya.
Melihat kejadian itu semua, perasaan Naren kacau balau. Ia terbakar api cemburu dan ingin menghampiri tempat Mahen dan Jani saat itu juga, tetapi Naren tersadar sesaat bahwa dirinya dan Jani tak memiliki hubungan lebih dari sahabat. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah dengan hati luluh lantak.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro