37. Memories
Mereka berada di halaman belakang pondok sederhana milik Tommy. Sedang mulai berlatih. Tubuh mereka bertelanjang dada hanya dengan celana panjang santai saja. Wajah Tommy terluka karena kena pukulannya tadi.
"Lo udah sehat. Udah bisa mukul gue begini," ujar Tommy menatapnya.
"Lo kebanyakan mikirin cewek lo, mangkanya kelolosan." Dia terkekeh menatap Tommy yang mendengkus kesal.
Mereka masih memasang kuda-kuda dan sudah mulai saling menghantam lagi. Tommy kuat, tapi kurang gesit. Kecepatan laki-laki itu kurang. Bahkan untuknya yang sedang terluka. Jika begini, Tommy bisa dilumpuhkan dengan mudah. Bahkan oleh Mahendra.
"Udah lama nggak pukul-pukulan?" tanyanya sambil terus menghindari serangan Tommy.
"Yang tukang pukul Bokap itu elo, bukan gue."
"Hah, alasan." Dia menyerang Tommy tiba-tiba. Lima gerakan, kemudian Tommy terkunci. "Nah, kan. Lihat? Pantesan bisa bonyok sama Mahendra."
"Brengsek!!" Tommy memaki kesal dan dia melepaskan tubuh Tommy. "Hey, nggak semuanya pakai otot kayak lo."
"Tetep aja alasan," ledeknya dan Tommy yang marah lalu mulai menyerangnya lagi.
"Lo terlalu emosi, Tom. Kendalikan emosi lo."
"Nama tengah gue emosi. Menurut lo nurun dari siapa?"
Dia terkekeh dan menggeleng lagi. "Udah cukup. Stamina gue belum pulih benar." Tubuhnya sudah tegak berdiri dan melangkah ke arah teras belakang.
"Hah, mau sombong lo sama gue. Pake bilang stamina belum pulih benar." Tommy menyusul dan berdiri di sebelahnya. Mereka menatap halaman belakang.
"Hey, salah satu strategi adalah untuk tahu saatnya berhenti," sahutnya sambil mengambil gelas berisi air dan meminumnya.
"Yo, thank you, buat Sharon." Tommy berujar tiba-tiba, matanya menerawang.
"Nggak ngerti," jawabnya singkat.
Tommy terkekeh. "Orang dalem di ADS itu orang lo, dan dia nggak bocorin ke bokap kalau Sharon ada di sana. Padahal gue tahu bokap cariin gue, besar kemungkinan akan bunuh gue dan Sharon dengan senang hati."
Dia minum lagi. "Arsyad nggak akan biarkan seseorang yang sudah dalam perlindungannya, masuk ke dalam bahaya. Kalau orang gue bergerak dan Arsyad tahu, semua malah makin kacau. Gue butuh dia di dalam." Alasan yang baik untuk menutupi alasan yang sebenarnya. Nurani.
"Ck...ahh...pokoknya gue makasih." Tommy diam sejenak. "Lo beneran udah nggak apa-apa?"
Maksud Tommy adalah luka-luka di setengah tubuhnya karena melindungi Doni ketika ledakan, juga luka pada wajahnya.
"Ini? Nantinya akan sembuh sendiri."
"Nggak mau balas mereka? Doni ada di ADS."
"Mereka hanya membalas mata dengan mata. Gue bikin Sabiya koma karena gue pakai nama tengah lo tadi. Apa namanya? Emosi?"
"Yah, itu ada benarnya. Jangan bawa-bawa wanita, Yo. Itu nggak gentleman." Tommy juga meminum airnya. Mereka masih berdiri menetralkan suhu tubuh mereka.
"Hah, nanti lo lihat gimana kalau lo tahu Sharon tidur sama orang lain. Gue pingin tahu lo masih waras atau nggak."
Tommy terkekeh. "Yeah, I will kill him for sure. Di tempat, nggak pakai ba-bi-bu lagi. Atau gue potong jarinya satu-satu dulu." Tommy memberi jeda dan menoleh ke arahnya. "Cewek lo sudah married, Yo."
Kepalanya menggeleng kuat. Mengusir bayangan lembut bibir Faya ketika itu. "Dan gue bener-bener pingin bunuh Hanif Daud. Serius."
"Gue yakin Hanif punya pendapat yang sama, setelah lo cium bininya. Sinting." Tommy tertawa. "Harusnya gue lihat muka Hanif yang murka."
Tawa Tommy dia hiraukan, kata-kata Faya kembali berputar.
Kalau lo terus begini, kalian berdua bisa benar-benar kehilangan gue. Benar-benar kehilangan gue dalam arti sebenarnya.
I cannot kill you, I just cannot. But if you kill him, you'll kill me too.
Apa dia siap, menanggung duka Faya? Atau membuat Faya hilang selama-lamanya? Setelah pertemuan terakhir mereka, dia banyak berpikir. Tentang mereka, tentang dirinya sendiri. Karena saat terluka begini, dia memiliki waktu untuk berhenti. Pertemuan itu juga membuat dia mengerti, bahwa dia ada, di dalam hati Faya. Entah sebagai apa, tapi dia sudah ada di sana.
Sekarang, dia harus lebih berhati-hati melangkah. Tuannya mengawasi, sementara dia berada dengan laki-laki yang selama ini Tuan-nya cari. Dan laki-laki ini, yang menyelamatkannya kemarin.
Hutang budi, dibawa mati.
***
Sabiya berjalan mondar-mandir di salah satu butik miliknya yang terletak di dalam satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Memeriksa pesanan dan juga mempersiapkan shownya yang akan datang sebentar lagi. Pekerjaannya menumpuk ketika dia sudah kembali beraktifitas. Ponselnya berdering. Ganesha.
"Halo."
"Hai." Ganesha seperti tersenyum di sana. "Aku sudah sampai."
"Oh, mmm. Oke. Aku bereskan dulu ini, habis itu aku ke sana."
"Butik kamu di lantai berapa?"
"Aku yang ke sana, oke."
Ganesha terkekeh. "Oke, I will be a good gentleman waiting for you here."
"Thanks."
Ponsel dia tutup lalu dia menatap ke arah luar etalase butik. Max tidak di luar. Kesempatan.
"Amy, aku harus ke luar sebentar."
"Kalau Max tanya?"
"Bilang aku lagi di dalam terima telpon. Cover me."
"Oke."
Lalu dia menyambar tas tangannya dan berjalan terburu-buru ke restoran di lantai atas. Nafasnya dia atur di dalam lift. Hubungannya dengan Ganesha sudah makin sulit untuk ditutupi. Si empat saudara sedang sibuk sekali dengan banyak hal, karenanya sampai saat ini mereka belum tahu.
Ini harusnya kabar gembira untuk mereka, kan? Apa ini kabar gembira untukmu Biya? Oh, sudahlah. Itu tidak penting lagi.
Tubuhnya sudah melangkah ke luar lift dan berjalan menuju ke arah salah satu restoran. Bolak-balik dia menghembus nafas agar lebih tenang.
Ganesha laki-laki yang baik, Bi. Sama baiknya seperti Hanif. Apalagi yang kamu cari? Wanita dewasa menghadapi masalah, Bi. Kamu tidak bisa selamanya berada bersama empat saudara dan merepotkan mereka. Mereka bahkan sudah memiliki pasangan mereka masing-masing sekarang. Ini sudah saatnya.
Dia masuk ke dalam restoran dan mencari. Sosok laki-laki yang merupakan anak dari salah satu sahabat ayahnya di sana. Ganesha Putra. Laki-laki itu berdiri di sana ketika melihat dia masuk. Tubuhnya tinggi, senyumnya hangat, selera berpakaiannya sangat baik. Sederhana, tidak berlebihan tapi tetap eksklusif.
Bi, kenapa langsung ngeliat bajunya sih? Kecintaannya pada dunia fashion memang terlalu melekat kuat.
"Hai, sorry. Kamu udah lama?" ujarnya ketika sudah tiba di meja.
"Belum. Anyway, kamu luar biasa."
Mereka saling menempelkan pipi. "Ini biasa aja, Gan. Hanya aku sehari-hari."
"Wow, aku yang beruntung kalau begitu."
"Kamu mulai berlebihan." Dia sudah duduk setelah sebelumnya Ganesha menggeser kursi untuknya.
"Maaf. Ini kali pertama kita bertemu. Sejujurnya, aku sedikit gugup," ujar Ganesha.
"Gugup? Bertemu denganku?" tanyanya.
Ganesha tertawa kecil. "Ya, aku gugup karena ingin bertemu wanita pertama yang dijodohkan oleh keluargaku dan aku setuju untuk mencoba bertemu. Ini aneh sekali. Apa kamu setuju soal itu?"
Dia tertawa. Pembawaan Ganesha yang santai, apa adanya, membuat dia nyaman. "Sangat setuju. Ini juga kali pertama untukku. Hey, aku nggak percaya kamu belum pernah dijodohkan sebelumnya."
"Kamu tahu ceritanya, Biya. Jangan pura-pura nggak tahu. Setelah pernikahan pertamaku gagal dan mantan istriku adalah wanita yang aku nikahi tanpa persetujuan keluarga, seluruh keluarga besarku langsung membombardirku dengan 'aku bilang apa. See what we told you.' Ya Tuhan, itu buruk sekali rasanya." Ganesha masih tertawa ringan.
Kepalanya mengangguk kecil sambil tersenyum. Ya, dia sudah mendengar cerita itu dari Ganesha saat mereka hanya berbicara dari ponsel saja.
"Ya, sepertinya itu buruk sekali." Dia tertawa kecil juga.
"Aku nggak tahu makanan di sini. Kamu aja yang pesan."
"Aku nggak tahu porsi kamu. Kamu alergi sesuatu?" Tangannya sudah membuka buku menu.
"Rasanya aku nggak mau makan. Mau mengobrol aja, Bi." Ganesha menatapnya.
"Kebetulan, aku pun nggak bisa terlalu lama. Aku pesan snack dan salad. Is it oke?"
"Aku nggak keberatan dengan makanannya, tapi keberatan karena kamu buru-buru. Banyak urusan?"
Dia menyebutkan pesanan cepat pada waiter yang menunggu di sebelah mereka. Lalu menjawab Ganesha. "Ya, I'm sorry."
"It's oke. Kita punya banyak waktu nantinya."
Saliva dia loloskan perlahan. Nantinya. Dia paham maksud dari 'nantinya' adalah 'selamanya'. Mata Ganesha terus menatapnya dan seperti tahu perubahan air wajahnya.
"Bi, jangan salah paham. Kalau kamu nggak nyaman, I'm fine. Aku nggak mau jadi laki-laki brengsek yang memanfaatkan keadaan. No, no. Aku bukan orang seperti itu." Ekspresi Ganesha jujur sekali, tulus. Dia bisa merasakan itu.
Sejak awal mereka berkenalan dengan video call, lalu telpon-telpon mereka karena Ganesha memang masih berada di negara yang sama dengan ayahnya, dia sudah merasakan bahwa Ganesha adalah laki-laki dewasa yang sopan, hangat, baik sekali, juga tulus. Bukan laki-laki ambisius, atau laki-laki aneh dan penuh misteri, atau angkuh dan sombong. Ganesha tidak seperti itu.
"Kalau kamu mau kita mengenal dulu, lebih lama dari enam bulan kita berhubungan jarak jauh kemarin, I'm fine. Bahkan jika setelah itu kamu merasa tidak cocok denganku...yah sekalipun aku akan sangat sedih sekali, but it's oke. Aku bukan pemaksa brengsek dan nggak pernah akan menjadi seperti itu."
Ya, dengan kepribadian dan fisik seperti Ganesha, wanita akan antri untuk bersama dengannya. Dia paham benar itu.
"Kamu over thinking. Aku malah jadi berpikir kamu yang ragu-ragu." Dia mencebik sebal.
"Aku? Ragu-ragu dengan kamu? No. Aku pernah gagal satu kali, Bi. Aku nggak mau gagal lagi. Menikah adalah komitmen seumur hidup. Jadi aku tidak pernah bermain-main perihal itu kalau diriku sendiri tidak yakin atas keputusanku. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan keluarga kita."
Dia tersenyum kecil. Ganesha adalah laki-laki yang tepat, Bi. Sudahi semuanya.
"Aku tidak ragu, Ganesh. Tapi ini pertemuan pertama kita, dan aku sama gugupnya. Aku pikir yang datang adalah laki-laki berpakaian norak dan bersikap kampungan," ledeknya pada Ganesha.
Ganesha tertawa. "Maaf, kalau mengecewakanmu." Ada jeda sejenak. "Jadi?"
"Jadi?" Dahinya mengernyit tidak mengerti sambil menatap Ganesha yang berwajah konyol tiba-tiba.
"Apa kita bisa majukan tanggalnya?" Alis Ganesha naik satu.
"Gaaanesssh...ya nggak secepat itu juga."
Tawa Ganesha tambah lebar. Dia paham benar Ganesha sedang meledeknya.
"Lagian, kamu harus bertemu dengan Damar."
"Ah, jagoan kecilmu. Kamu yakin aku belum pernah bertemu dia?"
"Kamu baru sampai dua hari yang lalu, Gan. Nggak mungkin kamu udah ketemu Damar. Bercanda aja."
"Ya, memang belum pernah bertemu langsung. Tapi Damar punya basis pertahanan yang kuat dan hero-hero yang keren."
Sejenak dia berusaha mencerna, lalu seperti mengerti. "Kalian main mobile legend bareng? Ya ampun. Apa Damar tahu?"
"Tahu lah, hero-hero ku sama kerennya."
"God." Dia tertawa. "Oke, aku benar-benar nggak paham soal game online apapun itu. Bagusnya aku less worry soal kamu dan Damar."
"Biya, anak kecil nggak pernah bohong. Kalau aku nggak bisa dekat dengan Damar, aku mundur. Gimana?"
Dia terkekeh sambil mengangguk setuju. "Oke. We'll see."
***
Laboratorium kantor ID Tech
Gambar itu ada di sana. Pada dinding yang memantulkan proyeksi gambar di hadapan tempat tidurnya. Lampu lab sudah mati, tapi area tempat tidurnya masih menyisakan cahaya temaram. Ya, dia tidak suka tidur terang. Satu lagi perbedaan mereka. Alexa takut gelap, dan hidup di dunia yang gemerlap. Sementara dia, sudah lama ada di balik bayang-bayang. Lebih nyaman ketika berada di bawah cahaya temaram.
Matanya terpaku pada mahakarya di hadapannya. Foto yang diteruskan oleh Janice ke ponselnya, berikut pesan dari Lidya. Bukan gambar yang diambil oleh fotografer kenamaan, atau dengan kamera kualitas tinggi. Tapi gambar ini sederhana, jujur. Ya, tidak ada satu orangpun yang bisa memalsukan ekspresi terluka sebaik ini. Jadi ini nyata. Perasaan Alexandra untuknya nyata, ada.
Tubuh Alexa dibalut celana pantalon hitam yang sama saat dia pulang bekerja dan terakhir mereka bertemu. Duduk sambil memeluk lututnya di atas sofa satu dudukan yang nyaman. Wajahnya menatap bulan di atas langit malam dari kaca jendela yang memenuhi seluruh dinding apartemennya. Ekspresi hancur, terluka, jelas sekali terlihat di sana. Ada dua air mata yang jatuh di pipinya, tapi yang membuat sempurna, adalah bagaimana bibir Alexa tertarik sedikit sekali ke atas. Membentuk senyuman seolah sedang mengingat sesuatu yang indah. Senyum yang kontras karena mata biru Alexa terluka dalam.
Setiap malam, dia akan memandangi gambar itu. Untuk menyakinkan dirinya sendiri, bahwa apa yang terjadi dengan mereka nyata. Senyata rasa sakit yang ada di dalam dadanya. Memang hanya dua minggu. Tapi dua minggu itu menghasilkan banyak kenangan, di setiap sudut safe house miliknya. Jadi saat ini dia tidak di sana, menghindari bayang-bayang mereka.
Kenapa dia membiarkan Alexa pergi? Jelas alasannya, dia benar-benar tidak ingin membuat Alexa berada dalam bahaya. Rasanya lebih logis membiarkan Alexa kembali ke dunianya. Lagi-lagi, dia tidak bisa menemani Alexa berada di semua sorotan lampu kamera. Itu bukan dia. Dia benar-benar berharap Alexa bertemu laki-laki lain yang baik untuknya. Bisa menerima seluruh manja, cengeng dan cerobohnya, bisa menjaga biru di matanya agar tidak berubah menjadi kelabu, seperti apa yang dia lihat saat ini pada foto itu.
"Ini sudah hampir pagi, sebaiknya anda beristirahat, Tuan." Angel di sana. Ya, ketika Alexa pergi, dia langsung kembali ke laboratorium ID Tech, menetap di sini.
"Terimakasih, Angel. Aku akan tidur ketika aku bisa tidur."
"Apa saya bisa membantu agar anda lebih tenang? Musik?"
Tanpa diminta Angel memutar lagu coldplay.
"Matikan."
"Baik. Apa anda ingin tahu keberadaan Nona Alexandra Walton? TD-5 nya masih berfungsi dengan baik, saya bisa menampilkan gambarnya."
Dia termenung sejenak. "Apa Alexa masih mengenakan gelang itu?"
"Menurut catatan denyut nadinya, Nona Alexa tidak pernah melepas TD-5. Apa anda ingin catatan kondisi kesehatannya?"
"Apa Alexa baik-baik saja?"
"Kadar endorphin Nona Alexa rendah berdasarkan catatan satu minggu ini. Hormon adrenokortikotropiknya tinggi, terutama menjelang malam atau pagi. Detak jantung Nona Alexa tidak stabil. Saat-saat tertentu jantungnya berdetak terlalu lambat, hanya 40 detak per menit. Atau bisa lebih dari 120 saat Nona Alexa sedang menangis. Kemudian..."
"Stop, sudah cukup. Matikan proyeksinya. Selamat malam, Angel."
Dia memejamkan matanya, ingin beristirahat. Namun, justru wajah Alexa muncul jelas di sana. Menatapnya sambil tersenyum, lalu tersipu malu dengan pipinya yang merona, kemudian mencebik kesal, dan selalu di akhiri dengan biru mata Alexa yang menggelap dan mengeluarkan banyak air mata. Dia paham benar, tidurnya tidak akan pernah sama lagi.
***
Malam berikutnya
"Kamu sedikit pucat, apa kamu baik-baik saja?" tangannya disentuh oleh William perlahan. Mereka sedang berada di salah satu restoran untuk makan malam.
"Aku baik, hanya sedikit lelah," senyum tipisnya terkembang.
"Lidya bilang jadwalmu padat sekali. Apa itu normal?"
"Sepertinya begitu."
"Administrasi dengan Caro sudah selesai? Caro tidak sabar ingin kamu segera bergabung, Lexa. Banyak perusahaan yang sudah akan antri untuk bekerja sama denganmu. Lidya pasti kewalahan."
"Aku masih harus ke New York untuk membereskan beberapa hal, Will. Juga berpamitan pada Josephine. Oh, dia akan membunuhku karena aku akan meninggalkannya. Entah, aku masih ragu."
"Ragu untuk?"
"Aku rasa aku ingin kembali ke New York saja."
"Alexa, kita akan menikah."
"William, aku belum memberi jawaban."
Laki-laki itu menghirup nafas perlahan lalu menatapnya. "Apa yang kamu tunggu, Sayang? Apa lagi-lagi karena Mahendra?"
"Ya Tuhan, Will. Jangan bicara tentang dia." Ya, karena dadanya sesak sekali ketika nama itu ada.
"Jadi apa? Aku mencintaimu, sungguh." Tangan William sudah terulur menggenggamnya lembut.
Dia diam saja. "Will, apa bisa antarkan aku pulang? Aku benar-benar lelah. Besok aku ada sesi pertama pemotretan."
"Oke, oke." William tidak menutupi kesalnya.
Sepanjang perjalanan mereka diam saja. Matanya sendiri menyusuri lampu-lampu kota. Dengan beberapa papan iklan besar atau layar besar yang bergerak menampilkan wajahnya sendiri. Apa ada yang melihat betapa kosong matanya?
Empat puluh menit kemudian mereka tiba di depan pintu apartemennya. Dia mengeluarkan kunci dari dalam tas dan membuat salah satu kertas yang dia lipat terjatuh. William mengambil kertas itu.
"Kenapa kamu menyimpan sampah?" tanya William.
Mereka sudah masuk ke dalam. Tangan William membuka kertas dan menemukan band aid iron man yang sudah terpakai di sana. Kemudian William membuang kertas dan isinya ke dalam tong sampah. Matanya menatap terpana. Untuk William benda itu memang sampah, tapi untuknya benda itu berharga. Juga gelang dari Mahendra, atau helm hitam yang tersimpan rapi di atas lemari. Benda-benda itu lebih berharga dari apapun yang dia miliki.
William merengkuhnya dari belakang perlahan, lalu mulai mencium lehernya lembut. Dia masih terpaku melihat kertas berisi band aid iron man itu di tempat sampah ketika bibir William mulai beranjak ke bahu.
"I love you," bisik William di telinganya mesra.
Aku mencintaimu, kenapa itu tidak cukup? Ingatannya sudah kembali ke sana.
Itu tidak cukup, Lexa. Di duniaku, itu tidak cukup.
Matanya terpejam erat, air matanya jatuh satu. Kepalanya menggeleng untuk menepis bayang-bayang itu. William masih terus mencium punggungnya perlahan. Kemudian dia melepaskan tubuhnya dari William.
"Maaf, Will. Ini sudah malam." Air matanya dia cepat-cepat hapus.
William mendesah perlahan, menahan kesal. Mereka sudah berdiri berhadapan.
"I'm sorry."
"Nggak apa-apa. Cepat atau lambat, kamu akan melupakan dia, dan kita akan menikah pada akhirnya, Alexa. Kamu akan jadi milikku."
William mencium pipinya, lalu pergi. Ketika pintu itu tertutup, dia melangkah buru-buru ke tong sampah tadi. Mengambil kertas terlipat yang di dalamnya ada kenangan mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro