Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. That Danger is real

Hanif berjalan ke Black Room tergesa. Niko meminta mereka berkumpul. Hatinya berdenyut cemas, semoga tidak terjadi apapun dengan Faya. Dia sudah menemukan Arsyad, Niko dan Mahendra duduk di sana ketika dia masuk.

"Ada apa?" Dia berusaha menekan intonasi suara karena tidak mau terlihat terlalu khawatir. Orang-orang di ruangan ini belum tahu apa yang dia rasakan.

"Faya..."

Dia menahan nafasnya tanpa sadar. "Kenapa?"

"Faya berhasil memasang alat-alat Mahendra di dalam kantor Herman dan Aryo Kusuma." Niko berujar sambil tersenyum.

Kepalanya menggeleng perlahan berusaha mengusir bayangan atas apa yang Faya harus lakukan untuk mencapai hal besar itu.

"Good news, Nif. You taught her well." Arsyad kali ini.

Pernyataan Arsyad itu malah tambah mengiris hatinya. Dia seperti sedang menggadaikan organ itu saat ini demi keberlangsungan misi mereka.

"Duduk Nif. Lo harusnya seneng kan? Bukan pucat begitu." Niko menatapnya heran.

Dia menahan keras mulutnya bertanya 'bagaimana caranya?' dan malahan duduk perlahan di salah satu bangku. Memendam keinginannya untuk menghantam sesuatu dan memutuskan setelah ini dia akan menuju sasana.

"Hen, mulai aktifkan alatnya. Hitung dimana saja dan pastikan alat itu berfungsi baik. Gue harap kita bisa mulai tahu lebih dulu setelah ini." Arsyad berujar. "Niko, minta Faya untuk mengusahakan masuk ke dalam ruangan Herman. Dan mengakses data-data dari sana. Karena Mahendra pernah breaks-in ke system securitynya dan tidak menemukan apapun. Tapi otak manusia punya kapasitas dan gue yakin benar ada data-data yang disembunyikan entah dimana oleh Herman. Dia nggak mungkin mengingat semuanya. Minta Faya cari itu."

"Stop. Faya sudah melakukan tugasnya. Alat-alat itu akan memberikan banyak informasi pada kita. Minta Faya kembali."

"Nif, Faya bertugas dengan sangat baik. Kita butuh lebih banyak informasi." Arsyad menatap Hanif tajam.

"Faya ada di sarang singa. Dan kalian duduk di sini seolah semua baik-baik aja. Gila kalian!" Tubuh Hanif sudah berdiri. Nada suaranya mulai meninggi.

"Fayadisa adalah komandan tinggi ADS. Dia sangat bisa melindungi dirinya sendiri. Kita semua tahu kalau sistem keamanan kantor Herman sangat baik sampai sulit ditembus bahkan oleh Mahendra. Satu alarm berbunyi, maka seluruh akses keluar masuk otomatis tertutup. Jadi penyamaran Faya yang sempurna membuat semua misi ini menjadi mungkin dan berhasil. Tanpa korban jiwa. Ya Tuhan, Nif. Kenapa reaksi lo begini?" Arsyad juga berdiri heran menatap adiknya yang biasanya paling mengerti.

"Justru karena Faya komandan tinggi, karena itu dia berharga dan harus kita jaga. Bukan begitu? Dan Faya itu perempuan, dia itu perempuan Bang!!" Hanif sudah berteriak marah, menatap Arsyad sama tajamnya.

Hanif melanjutkan. "Aryo Kusuma incar dia Bang, Aryo Kusuma. Dia bukan tandingan Faya!!"

Niko juga sudah berdiri memegang bahu Hanif. Sedikitnya dia mengerti kekhawatiran Hanif. Aryo Kusuma memang tertarik benar dengan Nafa. Itu fakta. Ya, karena dia terus mengawasi Faya, sama seperti Hanif sendiri. Dia berusaha menenangkan Hanif yang sangat emosi.

"Gue setuju, Bang. Jangan membahayakan Fayadisa. Dia terlalu berharga dan lo belum punya penerusnya. Iya kan?" Suara Mareno datang dari arah pintu. Dia berjalan dan berdiri di sebelah Hanif. Kali ini, dia akan membela Hanif. Paham benar, kehilangan wanita yang dicinta itu berat rasanya.

"Bang, jangan minta Faya langsung menyusup ke ruangan Herman. Itu bisa bikin Aryo curiga. Biarkan dulu sejenak sementara kita cek info apa yang bisa kita dapat sementara waktu ini. Setelah analisa situasi terbaru ke luar. Baru minta Faya untuk melakukan itu jika memang masih dibutuhkan." Mahendra berusaha menemukan jalan tengah.

Rahang Arsyad mengeras. Auranya menguat tiba-tiba. Kelihatan benar bahwa Arsyad tidak suka dengan situasi ini. Matanya memindai wajah adik-adiknya yang seolah bersekongkol menentang keputusannya.

"Kita tanya Faya. Angel..." ujar Arsyad.

"Angel di sini. Apa yang anda butuhkan?" System itu menjawab.

"Dimana Faya?" Arsyad kembali duduk.

Hanif sendiri masih gelisah sekali. Dia berjalan mondar-mandir di ruangan. Berharap gadis itu sedang tidak bisa menerima panggilan. Ataupun jika bisa, dia berharap Faya menolak ide gila Arsyad.

"Fayadisa Sidharta, lokasi di Universitas..." Angel memberi tahu lokasi Faya.

"Hubungi dia, sekarang. Gunakan loudspeaker tanpa kamera."

Kemudian nada sambung itu terdengar panjang. Mereka semua diam, menunggu. Mareno dan Niko sudah duduk. Sementara Mahendra menghela nafas berat.

"Ya, saya di sini." Suara gadis itu di sana membuat tubuh Hanif berhenti. Faya mengangkat. Shit.

"Kamu di tempat aman?" tanya Arsyad.

"Ya, ada apa?" Fayadisa menjawab pendek-pendek dan tanpa menyebutkan nama apapun dan siapapun. Begitu prosedurnya.

"Terimakasih banyak karena sudah berhasil meletakkan paketnya. Saya ingin kamu lakukan satu hal lagi."

"Apa?"

"Masuk ke ruangan singa dan tandai dia. Kamu mengerti maksud saya?"

"Mengerti."

"Apa kamu bisa lakukan dalam waktu dekat ini?" tanya Arsyad langsung.

"Kamu nggak perlu bilang iya." Hanif memotong Arsyad cepat. "Kamu boleh menolak karena kami paham itu sangat berbahaya."

'Say No please, I'm begging you please. Come back, don't go there.' Dia memohon dalam hati.

"Apa jawabanmu? Apa kamu terima tugas ini?" Arsyad berujar lagi sambil menatap Hanif marah.

"Saya terima. I'm out." Hubungan disudahi.

'BRAAK!!' Hanif menggebrak meja.

"Lo keterlaluan, Bang." Matanya menatap Arsyad marah.

Tubuh Arsyad sudah berdiri lagi. "Gue nggak paham sama reaksi lo, Nif. Dulu, lo yang bantu dia kabur dari sini dan membahayakan hidupnya. Sekarang, Fayadisa sudah siap, dia selalu berhasil menjalankan misi-misinya selama ini. She-never-failed-me!!" Kepalan tangan Arsyad menghantam ke meja.

"Dulu gue nggak tahu kalau si bajingan Sandy bisa bikin dia celaka. Sekarang kita tahu kalau Aryo Kusuma itu berbahaya. Kita tahu tapi lo tetap kirim dia ke sana. Setelah dia menyelesaikan misinya, lo kasih dia misi lainnya yang jauh lebih berbahaya? Lo gila, Bang!!"

"Gue yang menentukan kapan misi itu dimulai dan selesai. Gue!!" balas Arsyad dengan nada sama tingginya.

Mareno berdiri lagi dan menahan tubuh Hanif yang sudah akan bergerak maju. Dia tidak pernah melihat Hanif murka seperti ini. Hanif selama ini yang paling tenang dan baik. Jarang sekali lepas kendali. Niko dan Mahendra juga sudah berdiri di antara mereka berdua. Paham benar keduanya bisa mulai menghantam kapan saja.

"Gue akan jemput dia dan hentikan semua ini!" Hanif beranjak keluar namun Arsyad sudah merangsek menarik bajunya.

"Jangan-pernah-berani-berani mengganggu misi yang sedang berjalan. Resikonya lebih besar. Lo paling tahu soal ini, Hanif." Mata Arsyad penuh dengan ancaman.

Matanya menatap Arsyad terluka dan kecewa atas keputusan abangnya kali ini. Apa yang Arsyad ucapkan benar, misi tidak boleh diganggu di tengah jalan. Atau bisa merusak segalanya dan justru malah mendatangkan bahaya yang sangat fatal. Penyamaran petugas lapangan bisa terbongkar dan membuat mereka ditangkap, disiksa dan dibunuh. Membuat Fayadisa mundur dan menarik ucapannya juga tidak mungkin. Wanita itu keras hati sekali dan sangat patuh pada Arsyad. Jadi tubuhnya sudah bergetar, menahan emosinya sendiri.

Mareno dan Niko sudah menarik tubuh Arsyad menjauh dari Hanif.

"Selama ini, gue selalu setuju dan dukung apapun keputusan lo, Bang. Tapi keputusan lo kali ini..." Kepalanya menggeleng keras. "...banyak berdoa. Semoga kita semua nggak menyesal nanti."

Hanif melangkah ke luar ruangan sementara Mareno menyusulnya. Adiknya itu diam saja hanya mengikuti dia yang mengarah ke sasana. Sesampainya di sana. Dia mulai menghantam samsak besar terdekat yang dia bisa temui. Melepaskan seluruh emosinya sendiri. Mareno meminta anggota lain yang sedang berlatih di sana untuk ke luar. Hingga menyisakan mereka berdua saja.

Mareno menghela nafas dalam. Kemudian duduk di bangku besi panjang terdekat. Menatap abangnya yang benar-benar tersiksa. Sedikitnya dia mengerti, apa yang Hanif rasa. Jadi dia membiarkan Hanif meluapkan emosi sampai tiga puluh menit berikutnya.

"Nif, duduk dulu. Kita bicara."

"Bagaimana kalau, Antania dipeluk dan dicium orang lain? Sementara lo terpaksa dan dipaksa diam, dan melihat itu semua. Apa rasanya, Ren?" Hanif mulai menghantam lagi. "Atau saat lo tahu Antania dalam bahaya, tapi lo nggak bisa tolong dia, karena dia masih ada dalam tugasnya."

"Gue ngerti, Bang. Gue ngerti, mangkanya gue di sini." Mareno menghirup nafas lagi. "Gue sudah tahu, bagaimana cara menemukan Tania dan menghukum Michelle."

"Bagus buat lo." Hanif masih terus menghantam.

"Lo nggak perlu turun tangan langsung soal dokter Fauzan. Sudahi penyamaran lo di desa itu. Gue akan pasang orang di sana. Jadi lo bisa kembali ke sini dan benar-benar jaga Faya."

Hanif menoleh menatap Mareno. Nafasnya sedikit terengah setelah hampir satu jam menghantam. Bajunya sudah basah dengan keringat.

"Gue mau dia balik, Ren. Aryo bukan tandingannya. Ya Tuhan."

"Apapun itu lo bisa segera ke tempat Faya kalau dia ada dalam bahaya, Bang. Saat ini bahaya itu masih asumsi. Maksudnya, Aryo memang berbahaya, tapi belum tentu dia membahayakan Faya." Mareno menatap Hanif yang mulai berhenti menghantam tapi masih berdiri menatapnya.

"Arsyad beneran keterlaluan." Hanif duduk di sebelah Mareno sambil mengusap wajahnya yang berpeluh.

"Abang itu memang pake kacamata kuda kalau soal tugas dan misi. Dia begitu juga sama dirinya selama ini. Makin berbahaya kayaknya dia makin seneng malahan. Emang aneh banget itu orang kadang-kadang." Mareno diam sejenak. "Tapi, gue yakin Abang nggak bermaksud buat Faya celaka, Nif. Lo tahu kalau dia sudah memutuskan sesuatu, itu selalu dipikirin masak-masak. Fayadisa itu anak didikannya langsung, anak emasnya. Nggak mungkin Abang kirim Faya ke suatu misi yang dia nggak sanggup jalaninnya."

"Perhitungan dan perencanaan itu bisa meleset, Ren. Apalagi kalau faktor resiko mendadak muncul. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mengecilkan resiko dan tarik Faya mundur. Bukan malah dorong Faya masuk ke dalam jurang begitu." Hanif langsung menyesali kalimatnya. "Sorry, Ren. Gue nggak maksud..."

Mareno mengangguk mengerti. "Ngerti gue. Tapi tarik Faya sekarang juga nggak mungkin, Nif. Akan terlalu aneh dan orang-orang di sekitarnya bisa ada dalam bahaya. Bisa jadi korban."

"Shit!!!" Dia berteriak kesal. Paham benar apa yang Mareno katakan benar.

Sedikitnya Mareno merasa prihatin juga dengan kondisi saat ini. Hanif jatuh cinta, jelas sekali. Karena Hanif selama ini tidak pernah menentang keputusan Arsyad atau murka seperti tadi. Tapi wanita yang Hanif suka sedang menjalankan salah satu misi yang paling berbahaya.

"Apa rencana lo, buat tracking Tania? Gue butuh pengalihan sekarang, karena satu-satunya hal yang pingin gue lakuin saat ini adalah pergi ke tempat Faya dan seret dia pulang."

Mareno menghirup nafas lagi. "Ke safe house? Kita bicara di sana. Tapi harusnya ini rencana bagus. Gue udah mulai pengintaian dan pengumpulan informasi dari dua minggu lalu."

Hanif mengangguk setuju, kemudian mereka berdiri dan mulai berjalan ke luar. Tanpa tahu bahwa sebelumnya pembicaraan mereka didengar oleh seseorang.

***

Padahal Hanif udah sabar lho. Tapi situasinya tambah lama tambah sulit buat lebih bersabar lagi. Jadi gimana, Nif?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro