Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

Udara pagi hari setelah hujan terasa lebih sejuk dan segar dari biasanya. Suara kicauan burung menambah kesan damai pada pagi hari itu, di barengi terbitnya sang surya  dengan cahaya keemasannya yang merambat menyinari setiap tetes embun pada dedaunan.

Sepasang kelopak mata yang sebelumnya terpejam perlahan terbuka, si pemilik mata indah itu menguap sebelum benar-benar bangun dari tidurnya.

Ia melangkah gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah beberapa menit berlalu, pemuda bernama Zevano itu sudah siap dengan pakaiannya. Ia mendudukan tubuh di tepian tempat tidur, menatap setiap sudut kamarnya dengan tatapan sendu.

Pagi ini ia akan pindah. Meninggalkan rumah sederhana milik sang nenek yang sudah merawatnya sejak kecil. Maklum, Zevan memiliki keluarga yang rumit. Ia sendiri tidak sepenuhnya mengerti tentang seluk-beluk keluarganya.

Ia hanya mengingat sekilas bayangan masa lalu ketika ibunya masih hidup. Saat itu Zevan masih kecil, ia tak begitu mengerti. Zevan bahkan tak begitu mengingat bagaimana rupa sang ayah karena sejak kecil ia hanya bersama ibu dan nenek saja. Jadi, ketika sang ibu meninggal hanya sang nenek yang ia punya.

Beberapa hari yang lalu ketika ia pulang sekolah, seseorang datang kerumahnya. Sosok pria usia awal empat puluhan dengan pakaian rapi datang mengaku sebagai ayahnya.

Saat itu ia melihat sorot kemarahan yang disembunyikan dibalik raut datar sang nenek. Setelah perbincangan yang cukup alot dengan beberapa perjanjian yang terucap akhirnya sang nenek membiarkan pria itu membawa Zevano untuk tinggal bersama.

"Kalau Zevan pergi nanti nenek sama siapa?" Ucapnya kala itu. Ia tidak ingin meninggalkan neneknya meski sebagian dari dirinya ingin merasakan tinggal bersama sang ayah.

"Nenek nggak apa-apa. Bukannya dari dulu kamu pengin kenal ayahmu? Nenek rasa sekarang udah waktunya," jawab sang nenek dengan senyum menenangkan.

Akhirnya, dengan ragu Zevano bersedia untuk tinggal bersama ayahnya. Meski dalam benaknya ia bertanya-tanya, kenapa sang ayah baru muncul sekarang setelah ibunya tiada?

"Zevan, cepetan. Ayahmu udah nunggu di depan," ucap sang nenek membuyarkan lamunannya.

Tanpa menjawab ia segera membawa koper, ransel, dan sebuah kardus berisi beberapa barang yang akan ia bawa menuju halaman depan rumah dimana sang ayah memarkir mobilnya.

"Biar saya bantu," ucap seseorang yang Zevan tebak adalah seorang supir.

Setelah selesai dengan barang-barangnya ia menghampiri sang nenek, memeluknya erat sebagai tanda perpisahan, "Zevan pergi ya nek. Nenek harus baik-baik aja, Zevan janji bakal sering hubungin nenek."


"Iya, kamu harus jadi anak penurut. Jaga kesehatan dan harus rajin belajar." Sang nenek berucap setelah melepas pelukan mereka. Memandangi wajah Zevan dengan penuh haru, anak yang dulu ia perjuangkan kehidupannya kini sudah tumbuh menjadi remaja yang pintar dan tampan. Zevan bahkan memiliki mata indah seperti mendiang anaknya, ibu kandung Zevan.

Zevan menghembuskan napas gusar, memandang sekali lagi pada rumah milik sang nenek yang juga menjadi rumahnya selama tujuh belas tahun ini.

"Ayo Zevan," ajak sang ayah. Tanpa menjawab Zevan mengikuti langkah ayahnya memasuki mobil.

Dari tempatnya, Ningrum—nenek Zevan— menatap nanar kepergian sang cucu. Meski sangat berat membiarkannya pergi, tapi bagaimanapun juga ayahnya berhak atas Zevan. Anak itu juga harus merebut kembali tempat yang seharusnya menjadi miliknya.

"Semoga kamu sudah benar-benar berubah Rendra."


🍃🍃🍃

Setelah hampir dua jam perjalanan dari Bogor ke Jakarta, akhirnya mobil yang ditumpangi Zevan tiba di halaman depan sebuah rumah mewah disalah satu komplek perumahan elit.

Sepertinya sang ayah merupakan orang kaya, Zevan sempat terbengong disamping mobil sambil memegang kardus barang karena ransel dan kopernya sudah dibawa masuk oleh supir.

"Ayo."

Zevan mengerjap, mengembalikan kesadarannya kemudian mengikuti langkah Rendra memasuki rumah dua lantai tersebut.

Ketika sudah memasuki pintu utama, pandangannya disambut oleh barang-barang mewah yang tersusun rapi diruang tamu, Rendra masih memintanya untuk mengikuti sambil memberitahu ruang apa saja yang barusan mereka lewati.

Tibalah di lantai dua, Rendra menunjuk sebuah pintu kayu berwarna hitam sebagai kamarnya. Zevan sekilas melirik kearah pintu lain didepan kamarnya, namun karena sang ayah sudah membukakan pintu akhirnya ia memilih untuk segera masuk.

Kamar ini luas, lebih luas dari kamarnya dirumah nenek. Kemudian ia menoleh kearah jendela, sesaat kemudian suara sang ayah mengalihkan perhatiannya.

"Saya harus pergi, segera rapikan kamar kamu. Kalau perlu sesuatu minta aja ke bibi di bawah." Setelahnya ia pergi begitu saja.

"Apa dia gak punya ekspresi lain?" Zevan bergumam ketika sang ayah telah benar-benar pergi sambil bergegas membereskan barang bawaannya sesuai perintah sang ayah.

🍃🍃🍃

"Puas kamu?!"

Wanita itu berkacak pinggang dengan emosi yang sedang berusaha ditahannya.

Bukannya menyambut kepulangan suami yang terlihat lelah dengan ramah, justru nada ketusnya membuat pria itu semakin merasa malas serta kepalanya yang seolah mau pecah.

"Apa, sih? Aku capek kamu gak usah tiba-tiba marah gitu." Ia memijit pelipisnya dan berjalan melewati sang Istri begitu saja.

Hal itu semakin menyulut emosi sang istri, "ya kamu sih, kamu tuh mau bunuh diri apa gimana segala bawa anak itu kesini?!" Ia berbalik dan membuat pria itu menghentikan langkahnya di ambang pintu kamar, batal memasuki kamarnya lebih jauh untuk sekadar duduk melepas penat.

"Tolong hargai keputusanku." Rendra berucap dengan nada lelah.

"Tapi gak harus dirumah ini juga dong, mas!" Ia menarik lelakinya hingga mereka saling
berhadapan.

"Anak itu cuma bakal jadi ancaman buat kamu dan karir kamu."

"Denger ya, dia anak aku! Aku juga paham resiko bawa dia kesini gimana, kamu gak usah ngatur. Udah cukup selama ini aku abai sama dia, kamu gak akan ngerti posisiku gimana jadi kamu mending diem aja!"

"Aku tuh gak habis pikir, mas." Rani berucap sambil menggeleng pelan, tak percaya dengan apa yang sudah suaminya perbuat.

"Yaudah gak usah kamu pikirin, aku gak butuh campur tangan kamu. Cukup ya aku capek!" Pria itu menghempaskan cengkraman
istrinya yang mulai melunak kemudian melanjutkan langkahnya yang tertahan.

Gustika Maharani, wanita itu mengejar suaminya masuk kedalam kamar. Ia tentu tak ingin
perdebatan yang teramat penting ini berlalu begitu saja. Ia tak mau kalah, tidak terima, tidak
suka dan sangat marah dengan keputusan yang diambil sepihak tanpa sepengetahuannya itu.

"Tapi aku gak terima!"

"Sayang, please ... udah ya? Untuk sekarang kamu diem dulu biarin aku yang mikirin gimana kedepannya. Yang harus kamu inget Zevan anak aku, kamu gak mau ngakuin dia? Oke gak masalah, tapi sekarang biarin dia tinggal sama kita dulu, ya?" Kini Rendra yang menggenggam kedua tangan istrinya, berusaha meyakinkan dan memohon agar Rani tidak lagi mendebatnya.

"Terserah deh, tapi aku gak bisa kalo kamu nyuruh aku bersikap baik sama anak itu."

Rendra beralih mendudukkan dirinya dikasur. Ia meraih tas kerja yang sebelumnya ia lempar ke atas tempat tidur dan mengeluarkan sebuah dokumen.

"Inget perjanjian ini? Mending kamu baca ulang biar kamu bisa nentuin bakal bersikap kayak gimana ke Zevan." Ia menyodorkan amplop coklat itu pada istrinya.

Rani perlahan membuka amplop itu, membaca setiap paragraf dalam selembar kertas yang ia ambil di dalamnya hingga membuat darahnya mendidih seketika setelah membaca isinya.

Ingin rasanya ia remas dan merobek kertas itu menjadi kepingan-kepingan kecil di hadapan wajah Rendra.

"Pejanjian kita 12 tahun yang lalu. Kamu lupa?" Rendra tersenyum menang.

"Cih," decaknya. Rani memalingkan wajahnya dan berusaha untuk bersikap tenang. Kertas itu kembali ia masukkan kedalam amplop lalu ia berikan pada Rendra, "yaudah." Rani masih menatap tajam suaminya, "tapi jangan harap aku akan bersikap baik ke anak itu. Dia gak akan tinggal di rumah ini secara gratis, harus ada harga yang dia bayar." Rani melengos pergi setelah menyelesaikan ucapannya dengan langkah yang menghentak. Ia masih marah dan merasa tidak terima dengan keputusan suaminya.

Rendra menghembuskan napas lelah sembari memandang kepergian istrinya. Ia tidak tahu akan seperti ini jadinya.

Ia menyesal, tapi apa dengan menyesal ia bisa memperbaiki keadaan seperti semula? Jelas tidak.

"Semoga semua akan baik-baikaja," gumamnya.





[Tbc]

Terimakasih sudah menyempatkan baca ceritaku. Cerita ini pernah aku publish sekitar tahun 2019-2020 tapi aku on hold karena banyak alasan. Sekarang aku mau coba revisi dan publish ulang
Semoga kalian suka dan semoga aku bisa bikin cerita ini sampe akhir:')
Tolong kritik dan sarannya juga ya teman-teman.



Revisi: 6 Juni, 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro