Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Rindu

Hayyyy semuaa.. baru bisa update hihi abis UTS dan Alhamdulillah lancar..

Langsung aja deh yaa happy reading guyss..

Ini udah 5000 kata lohh Asli deh.. :D ^^

Maaf karena tadi wpku error hehe

**********

Author POV

Fian menatap makanannya tanpa minat, padahal biasanya ia selalu semangat setiap makan. Tapi saat ini yang diinginkannya hanya bergulung di bawah selimut hangat dan mungkin ditemani musik klasik yang bisa membuatnya nyaman.

"Makanlah sedikit, kamu ingin pulang kan? kondisimu harus lebih baik," Karel menatap khawatir Fian yang sejak pagi belum makan apapun.

Fian menggeleng lemah, "aku ingin pulang," gumamnya lebih untuk dirinya sendiri.

"Hah kamu bisa sekacau ini karena aku memukul Gavyn? sulit dipercaya,"

Reflek Fian menatap sinis Karel, udah enggak peka pake nyalahin orang lagi, batin Fian. "Aku ingin pulang," hanya itu kata-kata yang keluar dari bibir pucat Fian sejak tadi.

Karel bangkit dan langsung membopong Fian menuju ranjang. Mata Fian melebar dan reflek merangkul leher Karel.

Fian dibaringkan di ranjang dengan hati-hati setelah itu Karel ikut berbaring di sampingnya.

"Kalau tidak ingin makan, tidurlah," Karel menarik selimut untuk dirinya dan Fian. Lengannya terus mengusap kepala Fian hingga gadis itu tertidur pulas. Perlahan Karel mengusap pipi Fian yang lebam karena ulahnya, "maaf," lirihnya.

Ketukan pintu membuat Karel terpaksa beranjak meski malas. Setelah membuka pintu Karel disambut wajah cemas Fatar yang datang dengan Rain.

"Gimana kondisi Fian?" tanya Fatar to the point.

Karel menghela nafas, "demamnya sudah sedikit turun, tapi sejak pagi Fian susah makan," jawab Karel dengan lesu. Ia mempersilahkan mereka masuk dan duduk di sofa. Pagi ini Karel memang mengabari bahwa Fian sakit dan tidak bisa ikut pergi ke restoran milik Fatar.

Fatar dan Rain duduk di sofa sedangkan Karel duduk di ranjang sembari mengusap kepala Fian yang kembali gelisah dalam tidur. Karel mengambil kompres dan meletakkannya di kening Fian yang masih demam.

"Karel.." gumam Fian.

"Ssttt iya aku disini," bisik Karel.

Fian membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa nyeri dan kepalanya pusing. Perlahan matanya memburam dan semua gelap. Fian ingin membuka mata saat panggilan Karel untuknya terdengar panik tapi ia tidak bisa.

"Fian.. fi.." Karel menepuk pelan pipi Fian tapi tidak ada jawaban. "Tolong telfon dokter!" seru Karel.

Fatar segera menelfon dokter keluarganya sedangkan Rain langsung membantu Karel membangunkan Fian.

"Wajah Fian sangat pucat Karel," ucap Rain.

Karel mengangguk, "tolong ambilkan air kompres yang baru Rain," melihat Rain berbalik Karel segera menambahkan, "dan emm tolong buatkan teh hangat untuknya," suruhnya dengan lembut. Rain terdiam lalu mengangguk dan segera meninggalkan Karel dan Fian.

Setengah jam kemudian dokter datang dan langsung memeriksa Fian yang masih belum sadar. Karel terus duduk di samping Fian hingga dokter selesai melakukan pekerjaannya.

"Tidak perlu khawatir, istri Anda hanya kelelahan dan flu biasa,"

Karel menghembuskan nafas lega, gadis ini kenapa jika sakit mengerikan, batin Karel kesal. "Terima kasih dok,"

Dokter berparas cantik itu tersenyum salah tingkah dan Karel bisa dengan jelas membaca itu semua. "Emm yahh ohh boleh saya tau kenapa istri Anda lebam?"

Karel terdiam, membuang pandangannya kearah lain. "Semua karena saya," jawabnya tanpa ada niat untuk mencari alasan.

Mata dokter bernama Laura itu terbelalak. Ia tau pasti lebam itu bekas pukulan tapi yang tidak ia sangka ternyata pelakunya adalah suami sendiri. Padahal sejak tadi dirinya melihat Karel adalah sosok pria yang sangat sayang istri.

"Maaf, saya tidak seharusnya ikut campur.. tapi tolong, jangan buat bu Fian stres untuk mempercepat kesembuhannya," ucap Laura. Ia merapikan peralatannya dan menyerahkan resep obat Fian sebelum pamit untuk pulang.

Setelah dokter Laura pergi Fatar segera menghampiri Karel. "Maksud lo apa? apa yang lo perbuat sama Fian?" tanya Fatar dengan tajam. Sejak tadi ia sudah gatal ingin bertanya pada Karel.

"Mas.. sabar, kamu jangan emosi, kasian Fian butuh ketenangan," Rain segera menarik Fatar mundur dari Karel.

"Kamu dengar sendiri kan Rain?

"Iya tapi kamu tau Karel, dia enggak mungkin melakukan itu," jawab Rain.

Fatar menarik nafas dalam untuk menetralkan emosinya. "Jelaskan semua,"

Karel menundukkan kepala, "Fian melindungi Gavyn saat aku akan memukul pria itu,"

Fatar ternganga, dia bahkan tidak tau kalau kakak iparnya itu sedang berada di Bali sama seperti mereka. "Rain, sejak kapan kakakmu disini?"

Rain mengangkat bahunya, "kamu tau dia selalu melakukan hal yang tidak terduga," pasrah dengan sikap kakaknya yang masa bodoh dengan sekitar. "Yaudah, lebih baik kita pergi mas, biarkan Fian istirahat," Rain merapikan nakas di dekat Fian dan meletakkan teh hangat yang tadi ia buat.

Fatar merangkul pinggang Rain seperti biasa. "Kami pergi," ucap Fatar.

"Salam untuk Fian yaa bilang padanya untuk cepat sembuh," lanjut Rain.

Karel mengangguk dan tersenyum, "hari ini juga aku harus kembali ke Jakarta.. kalian nikmati saja liburan di sini." Kali ini Rain yang kaget dengan keputusan Karel. Ia ingin bertanya kenapa tapi ada Fatar disampingnya, jadi yang ia lakukan hanya diam dan mengangguk.

--------

Fian membuka matanya perlahan, mencoba beradaptasi degan cahaya di sekitarnya. Buram ia melihat Karel tertidur di sampingnya.

"Auu perut gue.." keluh Fian. Ia melihat sekarang sudah hampir jam dua siang. Sejak pagi perutnya belum terisi apapun. Ingin bangun tapi tubuhnya terasa lemas dan sulit untuk bergerak.

Fian bingung, sepertinya dirinya tidak pernah sakit sampai begini. Ia bukan orang yang suka mengeluh, saat SMA saja meski sedang gejala tipes ia tetap masuk sekolah bahkan mengikuti kegiatan osis hingga malam meski badannya terasa tidak karuan.

"Syukurlah kamu bangun," ucapan itu membuat Fian mengerjap kaget. Karel sudah bangun dan sekarang duduk menghadapnya. "Waktunya makan, aku janji nanti malam kita pulang, jadi sekarang turuti aku,"

Menurut Fian hari ini Karel sangat cerewet tidak seperti biasa yang irit bicara. "Rasa makanan pahit, aku tidak suka," ucap Fian dengan lesu.

"Suka atau tidak kamu harus tetap makan, aku sudah memesan bubur." Karel dengan telaten menyuapi Fian bubur meski gadis itu terus menolak setiap sendok yang sudah berada tepat di depan mulutnya.

---------

Malam ini mereka kembali ke Jakarta, Fian merasa senang karena akhirnya bisa kembali ke rutinitas semula. "Karel kita akan pulang ke rumah mama?" tanya Fian.

Karel menggelengkan kepala, "aku sudah menyiapkan rumah untuk kita dan sekarang kita akan pulang kesana."

Fian ingat dengan keinginannya untuk menjauh dari Karel dan inilah kesempatan yang tepat. "Aku ingin pulang ke rumah mama, bolehkan?"

Karel segera menoleh sekilas sebelun kembali fokus pada jalan. Tadi Karel memilih membawa mobil sendiri dan menyuruh orang kepercayaannya untuk kembali ke kantor dengan taxi.

"Kenapa?"

Fian menghela nafas dan membuang muka, menatap jalanan yang tidak pernah lengang. "Aku sedang sakit, sepertinya tidak mungkin ke kantor beberapa hari dan kalau aku di rumah baru pasti akan kesepian. Kalau di rumah mama aku bisa memiliki teman,"

"Oke kita pulang ke rumah mama,"

Fian segera menggeleng, "kamu pulang saja ke rumah baru itu sekaligus untuk beradaptasi. Aku akan tinggal dengan mama.. hanya seminggu Karel.. setelah itu aku akan menyusulmu," melihat wajah Karel yang ragu dan ada tanda-tanda penolakan Fian segera memasang wajah memelasnya. "Ayoolah.. aku akan cepat sembuh karena mama pasti mengurusku," bujuknya. Karel menghela nafas dan meluluskan permintaan Fian seperti biasa.

Setibanya di rumah Mariska heran karena anaknya sudah kembali dari bulan madu. Ia semakin heran saat melihat wajah menantunya yang pucat dan pipinya yang kebiruan.

"Kamu kenapa sayang?" Mariska duduk di samping Fian dan mengelus kepala menantunya dengan penuh rasa sayang.

"Enggak ma.. aku cuma sakit jadi harus ngajak Karel pulang,"

"Terus kenapa sama pipi kamu?"

Fian tersenyum dan menggelengkan kepala, "jatuh ma.. biasalah aku kadang ceroboh," tidak mungkin bicara jujur tentang penyebab semua ini. Kalau ibu mertuanya tau pastilah Karel dicincang habis.

Karel segera pamit karena sudah larut dan Mariska meninggalkan pasangan itu untuk memberikan privasi.

"Aku akan berkunjung nanti,"

"Tidak usah.." jawab Fian dengan cepat. Otaknya berpikir cepat mencari alasan, "kamu harus fokus pada kerjaan dan aku juga harus fokus istirahat, yaa kan? ohh sudah malam.. pulanglah kamu harus istirahat," Fian mendorong pelan Karel menuju mobil dan berdada ria saat mobil itu pergi.

Sekarang Fian bisa mengambil nafas lega, yahh setidaknya ia berhasil mencari alasan yang logis.

Fian mendapatkan perhatian dari seluruh anggota keluarga Karel termasuk ayah mertuanya seperti pagi ini. Danu mengajak Fian untuk duduk di taman belakang sembari menikmati secangkir teh. Fian sudah tiga hari tinggal disini dan kesahatannya sudah kembali pulih.

"Papa senang duduk santai di sini, udaranya segar," ujar Danu sembari tersenyum memandang kolam ikan yang berada di dekatnya. "Kamu dan Karel juga harus bersantai ditengah kesibukan kalian nanti nak,"

Fian tersenyum dan mengesap tehnya, "iyaa.. pasti Pa, terima kasih yaa Papa baik sekali sama Fian."

Danu tertawa renyah dan mengusap kepala Fian. "Untukku kamu bukan hanya menantu, sejak ijab kabul saat itu kamu adalah anakku.. jadi jangan sungkan jika suatu saat nanti kamu sedang memiliki masalah ceritalah pada Papa, mengerti?"

Mata Fian berkaca-kaca menahan haru, kepalanya mengangguk patuh. Ia sangat menyayangi keluarga Karel dan tidak tau bagaimana kalau suatu saat nanti semua tau tentang pernikahan ini hanya permainan.

-------

Karel berjalan cepat menuju ruangannya, beberapa orang menyapanya dengan hormat. Sudah empat hari ia kembali ke rutinitas dan sudah tenggelam dalam kesibukan.

Saat akan memasuki ruangannya ia melihat meja Fian yang kosong. Biasanya setiap pagi saat ia datang Fian akan menyambutnya dengan senyum cerah dan menawarinya berbagai minuman.

"Pagi pak.." Fian tersenyum cerah seperti biasa.

Karel mengangguk acuh dan lanjut berjalan namun teringat sesuatu. Ia berbalik dan mendapati Fian sudah tenggelam dalam dokumen-dokumen dan laptop didekatnya.

"Fian ikut aku masuk dan bawa berkas rapat kemarin," baru akan berbalik Karel terdiam menatap sepatu Fian yang baru dilihatnya.

Keningnya berkerut bingung, "sepatu kets?"

Fian menoleh dan kepalanya tertunduk melihat kakinya, "ohh hehe maaf pak sepatu saya abis, jadi pakai yang ada," ringisnya dengan wajah memerah.

Karel membuka mulut namun menutupnya kembali. Sekretarisnya ini kadang memang ajaib dengan beberapa tingkahnya yang tidak terduga.

Karel tersenyum mengingat kejadian itu, kalau tidak salah saat itu dirinya harus memaksa Fian mencari sepatu karena ada rapat dadakan dan tidak mungkin dia berpenampilan begitu.

"Lohh bapak kenapa tidak masuk? ruangan bapak sudah dibuka kuncinya sejak tadi," sapa Yuki sekretaris pengganti selama Fian sakit. Karel mengerjap, ia baru sadar kalau sejak tadi hanya memandang meja kosong Fian.

Yuki tersenyum maklum melihat tingkah bosnya. "Kalau bos kangen Fian, kenapa tidak menelfonnya saja?" Yuki tau kalau Fian sedang sakit dan tinggal di rumah orang tua bosnya itu. Karel terdiam dan langsung masuk tanpa menjawab pertanyaan Yuki yang notabennya berstatus sebagai sepupunya. Baginya ini bukan rindu tapi hanya belum terbiasa tanpa Fian disetiap paginya.

Kondisi Fian tidak jauh dari Karel, Fian termenung menatap lemari besar yang menyimpan pakaian Karel. Ia mengambil satu kemeja Karel dan memeluknya, mencium aroma Karel yang menenangkan.

Sial sekali dirinya, kenapa ia sangat rindu dengan suami menyebalkannya itu padahal inikan kemauannya. Menjauh dan belajar mengontrol perasaan.

Sore ini Fian sudah rapi dengan dress bermotif bunga-bunga sepanjang lutut. Ia akan jalan-jalan ke taman sendirian menikmati waktunya.

"Kamu yakin nggak mau ditemani?" tanya Mariska dengan ragu.

Fian terkekeh dan mencium pipi Mariska. "Yakin, aku cuma mau jalan sebentar.."

"Huhh Karel itu gimana sihh, baru menikah istri ditinggal kerja terus,"

"Haha Karel kerja untuk aku Ma.. yaudah aku berangkat yaa, sebelum magrib aku pulang,"

Fian berjalan santai karena taman memang tidak terlalu jauh dari rumah. Ia bersenandung riang, rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja tanpa hiasan apapun.

Kursi yang menghadap kolam kecil menjadi pilihan Fian. Di belakang kursi itu ada pohon besar yang membuat sekitanya terlindungi dari matahari.

Mata Fian menerawang, memikirkan apa yang saat ini sedang dilakukan Karel, sudah makankah dia, apa istirahatnya cukup dan hal-hal lain yang sebenarnya tidak penting.

Sesuatu yang dingin menyentuh pipi Fian hingga ia hampir terjungkal kaget. "Gavyn!!!" jerit Fian reflek karena kekagetannya.

Gavyn menutup telinganya dengan tangan meski tangan itu sedang menenteng ice cream. "Berisik sekali,"

Mulut Fian masih terbuka lebar, takjub dengan apa yang dilihatnya. "Kenapa kamu bisa disini?" tanya Fian lebih seperti gumaman.

Gavyn mengangkat bahu acuh. Ia mengulurkan ice cream pada Fian. "Kau mau?"

Fian melirik sekilas dan tersenyum simpul, "tentu saja.. dosa kalau menolak rezeki hehe,"

Gavyn mendengus, "dasar," gumamnya. Mereka berdua asik menikmati ice cream masing-masing. Tidak perlu waktu lama untuk Gavyn menghabiskan miliknya. "Enak?" tanya Gavyn sembari memperhatiak Fian yang lahap.

Fian mengangguk semangat, "sangat enak," kekehnya.

"Tentu saja, sesuatu yang gratis enaknya dua kali lipat menurut teori," ucap Gavyn.

Fian segera menoleh, "memang ada teori begitu?" Gavyn mengangguk pasti meski tadi hanya ucapan asalnya. "Cihh aku baru dengar, ohh kau ini kenapa seperti jalangkung? datang begitu saja dan hilang,"

"Maaf, kemarin saat di Bali aku hilang.. aku harus kembali ke Jakarta karena ayahku menelfon,"

"Ya yaa lagipula aku tidak berharap kau ada di sampingku.. jadi jangan terlalu menyesal Gavyn.." ledek Fian dan langsung dihadiahi jitakan oleh Gavyn.

"Aww.. sakit bodoh! huhh lalu sekarang kenapa kau bisa ada disini? jangan bilang ini kebetulan yaa,"

Gavyn memasang smirk menyebalkan seperti biasa. "Aku bisa menemukan sinyal cinta darimu dengan radarku,"

Fian membuka mulutnya lebar, "hah manis sekali Gavyn.. siapkan plastik hitam! aku mual.."

Gavyn tertawa girang dan menyandarkan punggungnya pada kursi. Matanya terpejam menikmati semilir angin sore. Fian mengangkat alis, ingin bertanya lagi tapi percuma. Yang ia lakukan adalah mengikuti Gavyn menikmati sore cerah ini.

"Kau sedang ada masalah?" tanya Gavyn setelah beberapa lama mereka diam.

Fian membuka matanya, "bukankah masalah adalah bagian dari hidup?" tanya Fian mengembalikan pertanyaan Gavyn.

"Aku pendengar yang baik jika kau ingin tau,"

Fian tertawa dan memukul pelan bahu Gavyn. "Bukan masalah besar, ini hanya tentang perasaan labilku yang tidak penting.."

"Karel?"

Anggukan Fian membuat Gavyn mengerutkan kening. "Aku bodoh ya? aku mencintai orang yang jelas-jelas hanya memanfaatkanku,"

Gavyn mengangkat bahunya, "Bukankah kita tidak bisa mengatur akan jatuh cinta pada siapa? itu yang kudengar dari orang lain." Fian terdiam, pria disampingnya ini benar. "Aahh kalau bisa memilih kau pasti akan memilih aku, aku jelas lebih baik dari Karel.."

"Haha silahkan berharap Gavyn! emm jujur.. aku bingung harus bagaimana, perasaan ini begitu kuat hingga sulit ku kendalikan. Padahal aku jelas tidak boleh menunjukkannya, kamu mengerti kegalauanku kan???? iyaa kann??" Fian mengguncang-guncang bahu Gavyn hingga pria itu risih dan menjauhkan kening Fian dengan telunjuknya.

"Menggelikan," gumam Gavyn. Fian tertawa kencang melihat wajah Gavyn, ia memang sengaja mengucapkan itu secara berlebihan untuk membuat pria itu kesal yahh hitung-hitung pembalasan. "Coba lihat aku!" perintah Gavyn. Fian menaikkan satu alisnya, bingung tapi tetap mengikuti perintah Gavyn. "Sekarang ikuti perintahku, tarik nafas dalam dan hembuskan perlahan,"

Fian menarik nafasnya dalam-dalam dn menghembuskannya secara perlahan. "Lalu?"

"Lakukan itu saja sampai kau rileks setiap berada di dekat Karel. Setidaknya itu sedikit membantu,"

Fian memandang Gavyn dengan mata berbinar. "Ternyata otakmu encer juga haha kupikir kau hanya bisa menggoda wanita,"

Gavyn sudah siap untuk menjitak Fian lagi namun ia mengurungkan niatnya. "Tidak tau terimakasih," gerutunya hingga Fian semakin tertawa senang. "Ahh ya, kau harus pikirkan ini juga.. jika dia tau perasaanmu maka besar kemungkinan Karel akan menjauh,"

Fian terdiam, yahh ia harus memikirkan itu juga. Dirinya tidak boleh lengah, sebelum Karel mencintainya maka perasaan ini akan ia simpan untuk dirinya sendiri. "Thanks Gavyn.. ahh sudah sore, aku harus pulang dan kuharap kau tidak mengikutiku penguntit,"

Gavyn melotot, "yaa yaa pergilah, lagipula aku bukan penguntit,"

Fian tersenyum dan berbalik namun Gavyn menarik pinggangnya hingga dahi Fian membentuk dada Gavyn. "Apa lagi??"

Gavyn tersenyum miring dan mendekatkan dirinya pada Fian hingga Fian menutup matanya takut. "Haha tenang saja, aku tidak akan menciummu sebelum kau mengizinkanku.. aku hanya ingin mengingatkanmu, jangan jadi gadis ceroboh,"

Fian membuka matanya perlahan dan mengerucutkan bibirnya kesal. Kakinya langsung menginjak kaki Gavyn hingga pria itu menjauh. "Hah rasakan, awas yaa kalau kau sembarangan memelukku sepeeti tadi," Fian segera berlari dengan wajah memerah. Kurang ajar, batin Fian.

Gavyn meringis kesakitan namun ada senyum dibibirnya. "Da!! hati-hati.. ohh kau cantik jika sedang merona," teriak Gavyn.

"Berisik!!" balas Fian tanpa menghentikan larinya.

----------

Langkah kaki Fian menggema, seperti biasa senyuman ramah tidak pernah hilang dari wajahnya. Kali ini ia sedang menunggu lift terbuka. Meski sekarang statusnya adalah istri CEO kantor ini tetap saja ia lebih senang menggunaka lift untuk karyawan.

Hari ini tepat satu minggu ia izin dan sekarang adalah hari pertamanya. Jujur ia ingin berteriak kegirangan karena akan bertemu Karel.

"Pagi bu.." sapa Naya teman satu bagian dengan Putri.

Fian terkekeh dan memukul pelan bahu Naya. "Biasa aja, panggil gue Fian kaya biasa,"

Naya tersenyum canggung. "Nggak enak gue.."

"Ck udah santai aja.. eh si Putri kira-kira udah dateng belum?"

"Mungkin belum, dia selalu mepet kalau dateng," jelas Naya. "Ehh lo kenapa dateng ke kantor?"

Fian mengerutkan keningnya, "yaa kerja lah.." Pintu lift terbuka dan keduanya masuk dengan karyawan lainnya. "Emang penampilang gue keliatan mau ke mall?" ledek Fian.

Naya tertawa kecil dan menggeleng, "bukan gitu.. maksud gue lo kan sekretaris pak Karel nah kalau pak Karel nggak ada lo mau ngapain?"

"Ehh maksudnya? emang Karel kemana?" pertanyaan itu membuat semua yang berada di dalam lift memandang Fian dengan heran. "Ehh hehe gue lagi sakit kemarin jadi dia enggak mau ganggu gue dengan masalah kerjaan," segera ia menjelaskan maksud dari pertanyaanya tadi.

Di lantai lima Fian mengikuti Naya keluar dari lift. "Setau gue bos mengurus perusahaan yang ada di Bengkulu selama satu bulan, dua hari yang lalu bos berangkat, lo bener-bener nggak tau?" Naya menyipit curiga.

Fian membuka mulutnya lebar, satu bulan??? gilaa baru nikah udah ditinggal lama, alamat jadi istri bang toyib deh, batin Fian menggerutu. "Hehe dia itu kalau udah sibuk lupa segalanya.. dan dia udah bilang gue harus fokus sama kesehatan gue dan nggak mikirin hal lain," jelas Fian. Bohong-bohong deh.

Naya menangkupkan lengannya, "ahhhh bos so sweet banget sihhh!! lo beruntung," matanya berbinar penuh harap. Fian meringis pelan dan memutuskan untuk pulang. Untuk apa dirinya datang kalau Karel tidak ada di kantor.

Fian langsung menuju rumah baru Karel karena memang sekarang sudah waktunya ia pindah meskipun di rumah itu tidak ada Karel.

Rumah dihadapannya memang tidak sebesar rumah mertua Fian tapi rumah ini masih tergolong sangat besar untuk ditempati dua orang. Seorang securiti menghampiri Fian yang baru turun dari taxi.

"Ada apa yaa mba? mohon maaf tuan sedang tidak di rumah,"

"Ohh permisi pak, saya Fian,"

Satpam itu melebarkan mata dan kangsung membuka pagar. "Ohh nyonya maaf, saya tidak tau.. silahkan masuk," Fian melirik nametag securiti itu.

"Santai aja Cup, yaudah saya masuk dulu," Fian melangkah masuk masuk diikuti Ucup hingga tiba di depan pintu besar Ucup langsung membukakan pintu untuk Fian.

"Peni.." teriak Ucup.

Wanita yang di panggil Peni itu berlari tergopoh-gopoh keluar. "Apa toh Cup??" protes Peni.

Ucup memelototi Peni. "Ini Nyonya Fian istri Tuan," seperti reaksi Ucup tadi, Peni juga kaget dan oangsung menunduk minta maaf.

Fian terkekeh geli, "kalian itu santai aja, wajar kalau kalian belum kenal saya.." Fian menepuk bahu Peni. "Bisa tunjukkan kamar saya? saya mau istirahat sebentar,"

"Ohh baik Nyonya.. mari saya antar ke kamar Tuan,"

Sembari berjalan Fian memandang sekeliling, rumah ini benar-benar menggambarkan kesan dingin dan mewah meski tidak berlebihan secara bersamaan. Fian tersenyum, ini benar-benar Karel.

"Ini Nyoya kamarnya, nanti jika lapar
Nyonya bisa memanggil saya atau Meri,"

Fian mengangguk dan tersenyum, ia langsung membuka pintu berwarna hitam itu. Kamar itu luas dengar ranjang king size. Nuansa hitam putih terlihat begitu indah dan elegan.


Fian segera merebahkan diri dan pergi tidur tanpa mengganti pakaiannya. Tidak butuh waktu lama untuk jatuh tertidur di kamar senyaman ini.

------

"Nyonya ingin sarapan apa?" tanya Meri. Pagi ini Fian sudah rapi dengan dress sederhana yang sudah di siapkan oleh Karel. Yahh semua pakaian baru sudah disiapkan untuk dirinya.

Fian menggeleng, "boleh aku belajar memasak?" pinta Fian.

Meri mengerutkan keningnya, "untuk apa Nyoya? kami sudah ditugaskan untuk menyiapkan makanan untuk Anda,"

Fian mengerucutkan bibirnya, kesal karena tidak biasa diperlakukan seperti seorang putri. "Aku ingin memasak untuk Karel, boleh yaa?? kamu mau ngajarin aku kan Ri.."

Meri menganguk, "baik.. ayoo kita mulai belajar,"

Mereka berdua sibuk menyiapkan bahan masakan di dapur. Fian memang tidak bisa memasak tapi ia tidak terlalu buta dengan bahan-bahan ini.

"Ri.. bi Peni mana?" tanya Fian sembari mengupas wortel.

"Ehh.. biasanya jam segini masih di pasar Nyoya. Udah terbiasa berangkat ke pasar setelah Tuan berangkat ke kantor,"

Fian hanya beroh ria dan lanjut mengerjakan tugasnya. Pagi ini mereka mempuat sup ayam. Terlihat mudah tapi ternyata susah juga untuk Fian.

"Ihh asin banget.." ringis Fian saat mencoba masakannya sendiri.

Meri terkekeh kecil, "wajar ini kan masih pertama Nyonya harus belajar lebih giat lagi." Fian menghela nafas dan mengangguk lesu.

"Buang aja deh Ri, kalau dimakan malah bikin hipertensi, kamu masak yang baru yaa," Fian melepas apronnya dan pergi menuju ruang santai.

Memindah chanel dengan bosan, sungguh ini waktu yang membosankan. Dan ia harus bersabar selama sebulan. Fian menggeram kesal untuk kesekian kalinya. Kenapa Karel tidak mengabarinya sama sekali.

Mengingat itu Fian rasanya ingin mengigit apapun saking kesalnya. Awas saja nanti jika orang itu pulang. Fian sudah bersiap-siap dengan amarahnya untuk Karel.

-------

Beruntung di rumah ini ada Bi Peni dan Meri yang sudah seperti teman bagi Fian. Setiap pagi Fian belajar memasak dan membantu pekerjaan rumah lainnya meski kedua asisten rumah tangganya itu melarang Fian.

Sudah tiga minggu Fian tinggal di rumah ini, sesekali ia pergi ke kantor hanya untuk mengobrol dengan Putri di jam istirahat. Dan soal Rain, Fian belum mendengarnya lagi setelah pulang dari Bali.

Hari ini Fian sedang belajar membuat brownies dengan Bi Peni. Dengan antusias Fian mengikuti instruksi.

"Kemampuan masak Nyonya makin baik," puji Bi Peni.

"Hehe berkat Bibi juga.. makasih yaa udah mau jadi guru dan teman untuk Fian," ucap Fian dengan tulus.

"Tuan beruntung memiliki Nyonya." Fian tertawa dan hanya bisa mengangguk.

Sore hari ini nampak cerah. Fian memilih duduk di balkon dan menikmati pemandangan gradiasi warna jingga yang ia suka. "Ternyata benar.. rindu itu berat," gumam Fian sembari menundukkan kepala. Rasanya ingin sekali menghubungi Karel tapi ia takut dan malu.

--------

Karel memandang langit sore yang cerah dan menghela nafas lelah. Selama sebulan ini ia harus fokus pada perusahaan yang sedang bermasalah. Sekarang sudah tiga minggu, dan satu minggu lagi ia akan kembali ke Jakarta.

Senyumnya mengembang, Fian pasti marah-marah saat dirinya kembali nanti. Jujur ia tidak sabar melihat wajah kesal Fian yang sebenarnya sangat lucu.

"Tuan," panggil pengawalnya.

Karel melirik sekilas, "bagaimana kabar Fian?"

"Nyonya baik-baik saja," jawabnya. Kembali Karel menghela nafas, kali ini adalah kelegaan karena mengetahui kabar Fian.

------

Fian tersenyum lebar, hari ini adalah jadwal kepulangan Karel. Dalam hati ia berdoa semoga tidak ada halangan dan Karel bisa segera kembali karena rasanya rindu ini sudah tidak bisa lagi ia bendung.

Dengan balutan dress berwarna peach Fian nampak sangat cantik dengan make up naturalnya seperti biasa. Ia menggerai rambutnya.

"Wahh cantik banget, Nyonya keliatan lebih bersemangat," kekeh Meri.

Fian tertawa lebar, hahh akhirnya ia bisa tertawa selebar ini lagi. "Aku senang sekali... akhirnya Karel pulang, bagaimana penampilanku?"

Meri mengacungkan dua jempolnya, "cantiiiiiik banget,"

Fian tertawa dan mengajak Meri ke dapur. Ia ingin membuat brownies untuk Karel. Ia akan menunjukkan kalau sekarang dirinya bisa memasak. Dengan senyum lebar ia memulai hobi barunya.

Di lain tempat Karel sudah siap pulang dan saat ini ia sudah di bandara menunggu take off. Ponsel dalam sakunya bergetar dan Karel langsung melihatnya.

Take care Karel
Jangan lupa mengabariku jika sudah tiba di Jakarta :)

Pesan itu dari Rain dan Karel memutuskan untuk tidak membalasnya. Ia sedang pusing mengurus perusahaan dan tidak ingin ditambah pusing dengan hubungan gilanya dengan Rain. Biar nanti setelah masalah ini selesai ia akan menghubungi Rain lagi.

"Sudah waktunya Tuan," ucap pengawal yang bertugas selama dirinya di Bengkulu. Karel menganguk dan berjalan, dalam hati ia bersyukur akhirnya bisa kembali ke Jakarta.

"Bagaimana dengan Yuki?" tanya Karel tanpa menoleh. Selama disini Yukilah sekretaris yang mengurus kegiatannya.

"Nona Yuki sudah kembali ke Jakarta dua jam lalu." Karel mengangguk dan kembali diam.

--------

Karel langsung menuju rumah ibunya dengan mengendarai mobil sendiri. Ia malas menggunakan supir seperi biasa. Rasanya ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Fian.

Petugas keamanan langsung membuka pagar mengenal mobil Tuan mudanya. Karel keluar dan langsung menyerahlan kunci mobil pada salah satu petugas. Ia masuk dan langsung menuju taman belakang tempat biasa ibu dan ayahnya menghabiskan waktu.

"Ma.. Pa.." Karel bersalaman pada keduanya dan ikut bergabung. "Dimana Fian?" tanya Karel to the point.

Mariska mengerutkan kening bingung, "kamu ini mimpi atau apa? Fian yaa di rumah kalian lah.. gimana sih,"

"Apa? tapi Karel selama sebulan ini mengurus perusahaan di Bengkulu Maa.. dan hari ini Karel baru pulang,"

"Apa??" Mariska membuka mulutnya lebar, "tapi Fian sama sekali nggak kemari.. Mama pikir karena kalian lagi anget-angetnya jadi lupa sekitar.."

Karel memandang ibunya dengan tatapan aneh. Hah bagaimana mungkin ia tidak sadar, Fian benar-benar mirip ibunya. Selalu punya dunia sendiri dan ceroboh.

"Yasudah, aku harus pulang," Karel mencium kedua orang tuanya sebelum pergi.

Ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Salahnya sendiri selama ini hanya bertanya keadaan Fian jadi ia baru tau kalau selama ia pergi Fian tinggal dirumahnya.

"Ck Fian.." geramnya kesal.

Karel langsung berlari masuk meninggalkan mobil yang bahkan belum dimatikan mesinnya.

"Ehh Tuan?"

Karel menoleh pada Meri. "Dimana Fian?"

Meri mengerutkan keningnya, "ehh? Nyonya di dapur.." belum selesai bicara Karel sudah pergi menuju dapur.

Kecepatan langkah kakinya menurun melihat Fian tersenyum lebar sembari menghias sesuatu. Karel menghela nafas lega, ia sudah khawatir kalau Fian merasa kesepian dirumah ini.

Karel memilih duduk di kursi pantri dan bertopang dagu memperhatikan Fian dengan balutan dress cantik. Fian terlihat sangat manis dengan apron dan wajah bernoda tepung.

"Nahhh jadi.." ucapnya dengan nada ceria. Ia berbalik dan langsung terdiam. Di hadapannya ada Karel yang sedang bertopang dagu memperhatikannya. Mimpikah ini. "Karel.." panggilnya memastikan itu bukan hanya bayangan.

Karel memasangan smirk seperti biasa saat menjaili Fian. "Hai," sapa Karel.

Hai, selama sebulan dia pergi dan dia cuma bilang hai. Kayu mana kayu.. biar kupukul kepalanya agar sadar kalau aku merindukannya, gerutu Fian di dalam hati. Oh bukan merindukannya tapi sangat-sangat merindukannya.

Oke tarik nafas, buang, tari lagi lalu buang. Dirinya harus ingat kata-kata Gavyn.

"Hey.. long time no see Karel,"

"Yaa.."

Yaa?? lupakan tentang kayu. Belati mana belati. Kurang ajar sekali Karel. Fian menghentakkan kaki kesal dan menghampiri Karel. Fian menyerahkan sepiring brownies buatanku sendiri untuknya.

"Aku membuatnya sendiri.. kamu harus mencobanya,"

Karel tersenyum manis dan mengusap pipi Fian. Oh, apa dirinya pernah bilang bahwa rindu itu berat. Yahh rindu itu memang berat tapi ternyata ada lagi yang lebih berat, ketika kita merindukan seseorang yang ada di depan kita tapi kita tidak mampu untuk melakukan apapun. Bahkan untuk memeluknyapun tidak bisa.

"Aku tau kamu yang membuatnya, terlihat dari wajahmu,"

Satu alis Fian terangkat, "memangnya ada apa dengan wajahku?"

Karel terkekeh dan menyerahkan ponselnya pada Fian. Fian menerimanya dengan ragu dan melihatnya, mulutnya ternganga. Wajahnya yang sudah kupoles make up sekarang sudah berantakan dengan tepung. Gagal sudah rencanaku untuk tampil cantik, batinnya. Fian segera mengambil tissu dan membersihkan wajahnya.

Karel menepuk kursi di sebelahnya. "Duduklah," perintahnya.

Fian  mengangguk dan duduk di sampingnya. "Apa?" tanyaku karena ia masih memperhatikan wajahku.

"Kenapa kamu disini? aku tadi mencarimu dirumah Papa dan Mama,"

Fian menghela nafas, "bukannya aku sudah bilang? aku tinggal di rumah Mama hanya seminggu,"

Karel memutar matanya. "Aku tau itu.. maksudku, aku tidak di rumah kenapa kamu tidak kembali ke rumah Papa saja? setidaknya disana kamu tidak kesepian,"

Fian tersenyum dan menepuk bahu Karel, "aku tidak kesepian, di sini ada Bi Peni dan Meri, mereka baik padaku.."

Mata Karel menyipit, "kamu serius?" Fian mengangguk pasti. "Yahh baiklah, aku lega.." Karel memasukan sesendok brownies ke dalam mulutnya dan mengunyah secara perlahan. Rasa coklat meleleh di dalam mulutnya. "Woww ini enak,"

Fian tersenyum senang, "benarkah? wahh akhirnya.. ini ketiga kalinya aku membuat brownies dan akhirnya aku berhasil." Karel tersenyum dan lanjut memakannya.

"Apa kerjaanmu di Bengkulu sudah beres?" tanya Fian.

Karel mengangkat bahunya, "kita lihat beberapa minggu ke depan, kalau masih bermasalah berarti aku harus kembali ke sana,"

"Hemm berarti aku akan ikut.. hihi senangnya.."

"Tidak,"

Fian langsung menoleh, "kenapa? aku sekretarismu,"

Karel menghela nafas dan meletakan sendok yang sejak tadi ia genggam. Matanya menatap Fian serius. "Kamu sekretarisku di kantor, Yuki akan menggantikanmu jika ada tugas diluar,"

"Yahhh mana bisa begitu... ayoolah Karel.. aku ikut yaa," Fian menarik-narik lengan Karel seperti biasa saat ia meminta sesuatu.

Karel tersenyum geli, Fiannya sudah kembali, ceria manis dan manja. Ehh tunggu dulu, Fiannya? Karel tercengang karena pikirannya sendiri.

"Karel.. aku juga ingin ikut.." rengek Fian.

Karel mengerjapkan matanya, "tidak boleh." Fian merengut kesal dan melipat lengannya di depan dada, ia membuang wajah. "Ngambek?" tanya Karel dengan geli. "Ayolah Fian, ini untukmu juga.. aku pergi bukan untuk berlibur,"

Fian tetap diam dan enggan memandang Karel hingga dagunya ditarik perlahan oleh Karel. "Kegiatanku diluar kantor sangat banyak, aku tidak ingin kamu ikut karena memang semua membuat lelah."

"Tapi aku bosan kalau kamu pergi lama seperti kemarin,"

"Loh ada Bi Peni dan Meri disini, mereka baik padamu kan?"

Fian menggigit bibir bawahnya. "Mereka baik, tapi hanya denganmu aku bisa berdebat bahkan untuk hal yang tidak penting,"

Karel tertawa dan mengacak rambut Fian gemas, "jadi kamu suka berdebat denganku?" Fian menganggukan kepala. "Dasar.." Karel mengusap kepala Fian. Satu sendok brownies Karel ulurkan ke depan mulut Fian. "Buka mulutmu,"

Fian menerima setiap suap masih dengan wajah kesal.

"Huhh oke kamu akan tetap ikut denganku, tapi bukan sebagai sekretaris. Mengerti?"

Gottcha.. Fian tersenyum lebar, strategi merajuknya berhasil. Ia langsung merebut sendok dari tangan Karel dan memakan brownies itu dengan lahap.

"Hey!! bukankah itu untukku?" tanya Karel tidak terima.

Fian tertawa dan menjulurkan lidahnya. "Sekarang jadi milikku." Karel ikut tertawa dan kembali mengusap kepala Fian.

Meri tersenyum melihat dua majikannya yang terlihat bahagia itu. "Tuan makan siang sudah siap,"

Karel mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada Meri. Ia menarik Fian menuju ruang makan.

"Makan yang banyak, aku tidak ingin lihat kamu sakit seperti kemarin." Karel mengambil piring dan menyiapkan nasi untuk Fian.

"Loh.. kenapa sebanyak ini?"

"Kamu terlihat kurusan,"

Fian mengangguk. "Berat badanku turun saat kemarin sakit tapi sekarang sudah lebih baik.. tolong kurangi nasinya,"

"Tidak, habiskan ini," tandas Karel tidak terbantahkan. Bi Peni dan Meri menatap kedua Karel dan Fian dengan geli. Tapi ada rasa senang karena Tuannya terlihat manusiawi daripada sebelum Fian datang ke rumah ini.

"Oke tapi aku ingin makan sambil nonton tv, dan kamu harus menyuapiku," tantang Fian.

Karel mencubit gemas pipi Fian. "Yaa yaa pergi ke sana, aku akan menyusulmu bayi besar," ledek Karel. Fian ingin melawan tapi ia mengurungkan niatnya dan memilih pergi ke ruang santai.

Karel menambah porsi nasi di piring itu karena dirinya juga belum makan. Ia mengambil lauk seperlunya dan pergi menyusul Fian.

"Tuan nggak mau melepas jas dulu?" tawar Meri dengan menahan tawa. Bosnya yang tampan sekarang terlihat seperti baby sister.

"Ahh yaa tolong bantu aku." Meri melepas jas Karel dengan hati-hati dan segera pamit. Karel menggelengkan kepala, Fian selalu bisa membuat dirinya mengikuti permintaan yang konyol seperti saat ini, dan anehnya dirinya tidak pernah keberatan. Tidak bisa dipungkiri tanpa Fian disampingnya ia merasa ada yang berbeda meski ia belum tau apa itu.

**********

Ahhhh Rindu itu berat.. itu kata Dilannya ayah pidi baiq

Hehe see you in the next chapter..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro