26. Permintaan Keempat
Sepanjang pelajaran setelah jam istirahat, Icha sama sekali tidak fokus. Kejadian hari ini tidak mungkin ia lupakan begitu saja. Cerita yang akan ia ikutkan untuk lomba hilang begitu saja. Icha merasa sangat kecewa dan benci pada dirinya sendiri. Kenapa ia begitu mudah percaya dengan orang lain?
Mungkin saja Erlang memang sengaja mendekatinya, seolah memberinya tiket emas untuk mewujudkan impiannya, tetapi setelah itu, Erlang akan menghancurkannya dengan satu ucapan mantra mematikan. Tamat sudah nasib Icha.
"Kita akhiri pelajaran kita hari ini. Jangan lupa pelajari bab selanjutnya untuk pertemuan kita minggu depan. Selamat siang." Seorang guru Bahasa Indonesia baru saja mengakhiri pelajaran hari ini. Semua anak-anak kelas XI IPA 3 langsung ribut setelah guru keluar kelas.
Icha menenggelamkan wajah di lipatan tangannya. Hari ini Icha merasa sangat lelah. Mungkin bukan hanya fisiknya, tetapi hati dan pikirannya juga. Baru saja ia melupakan masalahnya dengan Oma Ambar, kali ini masalah lain pun muncul.
"Cha, lo mau ke rumah gue? Kita nonton drama Korea yang lucu, yuk! Pasti lo suka. Lupain bentar masalah lo. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya," ucap Meta pelan di samping Icha.
Icha menggeleng pelan. "Tinggalin gue sendiri, Met. Lo pulang duluan aja."
Meta menghela napas pelan. Kalau Icha sudah seperti ini, itu berarti ia benar-benar tidak ingin diganggu. Meta menepuk punggung Icha pelan, kemudian cewek itu beranjak meninggalkan Icha sendirian.
Setelah kelas benar-benar sepi, Icha menangis sejadi-jadinya. Tidak akan ada lagi yang bisa menolongnya saat ini. Sekali lagi, kenapa impiannya selalu terpatahkan seperti dulu? Setelah impiannya menjadi pemain basket hancur, haruskah impiannya menjadi seorang penulis juga hancur?
Apakah Tuhan juga tidak menginginkan ia mewujudkan impiannya sendiri?
Ardo berdiri di depan kelas Icha. Memperhatikan Icha yang sedang menunduk dengan punggung bergetar. Icha sedang menangis, Ardo tahu itu. Tetapi cowok itu tidak berani mendekati Icha. Karena saat ini, ia merasa sangat bersalah.
--**--
Icha mengambil minuman soda dan dua bungkus keripik kentang ukuran besar di sebuah minimarket. Setelah puas menangis di dalam kelas, akhirnya Icha memutuskan untuk pulang. Tetapi ia mampir ke minimarket dekat sekolah lebih dulu untuk membeli sesuatu yang bisa sedikit menghilangkan rasa jenuhnya.
Icha mengitari rak yang berisi jajaran makanan cokelat. Ia bingung memilih cokelat mana yang akan ia beli. Dan tiba-tiba saja, pandangan matanya menangkap seorang cewek berkursi roda yang wajahnya sangat Icha kenal.
"Nadi? Itu Nadi, kan?"
Cewek yang Icha anggap sebagai Nadi itu berada di kasir bersama dengan seorang cowok yang memakai hodie bertudung hitam. Entah dengan siapa Nadi sekarang, Icha tidak peduli. Yang jelas, Icha harus segera memanggil Nadi sebelum ia pergi.
"Nad! Nadi?" Baru saja Icha berjalan selangkah, ia tersandung kakinya sendiri hingga cewek itu jatuh terjerembab dengan posisi yang memalukan. "Aduh, aduh. Jidat gue."
"Mbak? Mbak nggak apa-apa?" seorang petugas minimarket berbaju merah itu menghampiri Icha dan membantunya berdiri.
"Nggak apa-apa, kok." Icha buru-buru mengambil belanjaannya yang tercecer di lantai. Ia kembali berdiri, sayangnya, Nadi sudah tidak ada di depan kasir. Icha melihat mobil putih pergi dari area parkir minimarket.
"Mbak nitip bentar," ucap Icha pada petugas kasir minimarket itu. Icha berlari keluar berusaha mengejar sosok Nadi. Tapi Nadi sudah tidak ada di sana. Bahkan Icha sampai ke pinggir jalan raya untuk mencarinya.
Icha tertunduk lesu, dan kakinya melangkah gontai kembali ke dalam minimarket.
"Padahal gue yakin, itu tadi benar-benar Nadi," gumam Icha pelan.
--**--
Ardo baru sadar ketika ia sudah berada di depan kelas Icha. Ternyata sejak tadi kakinya tidak melangkah di koridor kelas 12 melainkan di koridor kelas 11.
Ngapain gue ke kelas Icha?
"Cha, maaf ya buat kejadian kemarin. Bukan gue yang hapus cerita lo, Cha. Sumpah. Harusnya gue nggak ninggalin laptop lo gitu aja," ucap Erlang penuh penyesalan. Bahkan sejak kemarin ia selalu saja memikirkan Icha. Ia diliputi rasa bersalah karena kecerobohannya juga.
Saat Ardo mendengar suara itu, ia cepat-cepat bersembunyi di balik tembok. Untung saja di sana ada tempat persembunyian yang pas. Kalau tidak, bagaimana Ardo menjelaskan apa yang sedang ia lakukan di depan kelas Icha?
"Gue nggak mau bahas itu dulu, Kak. Sorry." Icha melangkah mendahului Erlang.
"Tapi, lo beneran mau mundur, Cha? Masih ada waktu kok buat nulis ulang."
Icha berhenti, menatap Erlang dengan tatapan tajam. "Kak Erlang pikir, nulis ulang itu gampang? Gue nggak ikut, Kak. Maaf. Gue mau masuk kelas dulu."
Erlang tidak mampu berkata-kata lagi. Cowok itu terdiam untuk beberapa waktu.
Ardo masih setia menguping pembicaraan Icha dan Erlang, hingga tiba-tiba sebuah tepukan dan suara seperti toa masjid mengagetkan Ardo dari belakang.
"Woi, lo ngapain, Bro?"
Secara refleks Ardo langsung membekap mulut Roni dan menyeretnya pergi.
"Sialan lo, Ron. Ngapain lo teriak-teriak, kenceng pula lagi."
"Lagian lo ngapain pagi-pagi nguping pembicaraan orang lain? Lo cemburu ya sama Erlang? Ngaku, deh. Sampai kapan lo nggak mau ngaku, kalau lo itu suka sama Icha?" Roni berbicara dengan menggebu-gebu karena cowok itu sudah tidak tahan dengan sikap Ardo yang terlihat pengecut.
"Gini, dengerin gue sekali ini aja, Do. Kembaliin itu liontin milik Icha, dan lo tembak dia. Nembaknya pakai perasaan, bukan pakai pistol. Mati ntar si Icha. Jangan sampai lo nyesel kalau lo kehilangan Icha."
"Masalahnya, liontin itu hilang, Ron. Gue lupa naruh atau jatuh, nggak tahu lah. Pusing gue."
"Hah? Oh iya, gue lupa. Jadi waktu itu belum ketemu juga?"
Ardo menggeleng, "Belum."
"Wah, bakalan sulit, nih, Do."
Ardo mengdengkus kesal karena sikap Roni yang mulai sok tahu. Kalau Umar itu konyol dan super ngawur, berbeda dengan Roni yang sok bijak dan suka berasumsi sendiri.
Yang ada di kepala Ardo sekarang hanya ada bermacam-macam masalah yang mungkin sudah ada sejak awal dan masalah yang ia ciptakan sendiri. Masalah yang sengaja Ardo lakukan pada Icha.
--**--
Meta menghampiri Icha yang sedang duduk di kantin dengan wajah kusut, masam dan tidak enak dipandang.
"Udah ikhlasin aja, Cha. Mungkin itu bukan rejeki lo. Lagian lo juga jangan jutek-jutek amat sama Kak Erlang. Kasihan tuh cowok. Dia tuh kelihatan banget suka sama lo." Meta duduk di depan Icha yang sedang menopang dagunya. "Nih, es teh buat ngademin kepala lo. Terus ini novel retelling dongeng-dongeng kesukaan lo. Kali aja bisa menginspirasi lo buat nulis cerita baru lagi."
"Diem deh, Met. Lo nggak tahu perasaan gue kayak gimana."
"Gue tahu. Kan gue bisa menerawang perasaan lo lewat mata batin gue."
Icha menatap meta dengan lirikan tajam. "Jangan bercanda, deh."
Meta tertawa pelan. Dia hanya berusaha menghibur Icha yang sudah seperti orang kehilangan nyawa. Kosong.
"Btw, thanks banget ini es teh sama novelnya."
"Cama-cama Icha cayang ..."
"Lebay!"
Meta tergelak dengan nada jutek Icha. Tiba-tiba ponsel Icha bergetar menandakan ada pesan masuk.
ArdoE_14 : Gue tunggu lo di belakang perpustakaan.
IchaReta : Ngapain?
Sebenarnya Icha malas untuk bertemu dengan Ardo saat ini. Apalagi sekarang mood Icha benar-benar buruk. Belum juga Icha meletakkan ponselnya, pesan dari Ardo kembali masuk.
ArdoE_14 : Tentang liontin lo.
Icha mengerutkan keningnya. Ia melirik Meta yang sedang asyik dengan ponselnya sendiri.
"Met, gue pergi dulu ya," ucap Icha buru-buru.
"Heh? Mau ke mana lo, Cha?"
"Ada urusan bentar. Gue nitip es teh sama novel gue ya." Tanpa menunggu persetujuan Meta, Icha langsung kabur meninggalkan Meta yang masih bertanya-tanya.
IchaReta : Oke, otw.
--**--
Ardo menunggu kedatangan Icha dengan tiduran di bangku yang berada tepat di bawah pohon jambu air. Terkadang ia ragu, terkadang yakin dengan keputusannya saat ini. Ardo tahu, ini akan menyakiti Icha. Tapi, ia tidak bisa melakukan hal yang lain. Ia harus melakukan ini pada Icha.
Ardo mengerang frustrasi, dan ia bangkit tepat saat Icha sampai di sana.
"Lo mau ngasih liontin itu ke gue? Makasih banget lho. Akhirnya lo sadar juga kalau menyimpan barang yang bukan milik lo itu dosa."
Ardo tertawa miring. Sebentar lagi, ia akan mematahkan harapan Icha.
"Lo salah, Cha. Gue minta lo ke sini, buat relain liontin lo. Jangan pernah berharap liontin lo balik. Lo nggak berhak milikin liontin itu. Nggak akan. Gue nggak rela lo punya tanda persahabatan dari Nadi."
Mata Icha membulat sempurna. Kepala Icha berusaha mencerna kalimat-kalimat yang baru saja diucapkan oleh Ardo. Ardo seperti melemparkan sebuah granat di tubuh Icha dan meledak saat itu juga.
"Kenapa lo kaget? Selama ini lo cari tahu, kan, siapa kakaknya Nadi? Gue kakaknya Nadi. Satu-satunya sahabat yang lo sakitin sendiri."
Icha menggeleng pelan. "Nggak, nggak mungkin. Gue nggak nyakitin Nadi. Gue nggak nyelakain Nadi. Itu murni kecelakaan."
Ardo tertawa sinis. "Oh ya? Tapi adik gue lumpuh! ASAL LO TAHU, BUKAN HANYA IMPIAN NADI YANG HANCUR. TAPI IMPIAN GUE JUGA!"
Icha sampai memejamkan matanya saat Ardo berteriak di depannya langsung. Icha tidak pernah melihat Ardo semarah ini. Sosok Ardo yang ia kenal bukan cowok pemarah seperti sekarang. Tanpa Icha sadari, matanya telah basah oleh air mata.
"Tapi, Do. Gue ... gue ..."
"Lupain Nadi dan liontin itu. Anggap lo nggak pernah kenal Nadi dan ... gue. Dan itu adalah permintaan keempat gue." Setelah mengucapkan itu Ardo pergi begitu saja tanpa menoleh ke Icha yang mulai terduduk di tanah.
Icha menangis sejadi-jadinya. Bahkan Icha tidak menyadari jika dirinya sejak tadi sudah menjadi tontonan sebagian anak-anak yang menyadari pertengkaran Icha dan Ardo.
----
Nah sesuai janji ya double update... Happy reading!!
See you,
Love,
AprilCahaya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro