chap#33- Menunggu
Kening mengernyit begitu turun dari motor Erga. Sebuah mobil sedan keluaran eropa warna hitam terparkir di depan rumah. Merek dan jenisnya belum pernah kulihat sebelumnya datang baik relasi Ayah maupun saudara.
Kuperhatikan keadaan sekitar lebih saksama. Pagar dan pintu rumah dalam keadaan setengah terbuka. Suara orang mengobrol terdengar hingga tempat kami berdiri walau samar.
"Sepertinya ada tamu." Erga membantuku melepas helm setelah meletakan helm miliknya di jok. "Aku nggak lama ya. Langsung pulang setelah pamit sama orang tuamu. Tidak enak, takutnya ganggu."
Kepalaku mengangguk. Menilik dari suasana rumah, kemungkinan tamu yang datang teman kerja Ayah. "Jangan lupa kabari kalau sudah sampai."
Erga tersenyum. Jemarinya mengusap pipiku sekilas. Kami menjaga interaksi seminim mungkin di sekitar lingkungan atau keluarga. Ayah terlalu kolot dan Ibu cukup hati-hati, khawatir putrinya menjadi bahan gosip saat arisan. "Beres."
Kami bergegas berjalan melewati pagar menuju pintu masuk. Sebisa mungkin saling menahan diri untuk tidak bergandeng tangan. Gesekan antar kulit saat tak sengaja bersentuhan berbuah saling lempar senyuman. Rasanya menyenangkan sekaligus mendebarkan.
Perhatianku terusik mendengar obrolan dari ruang tamu semakin terdengar jelas. Kami berdua berdiri di ambang pintu, menatap ke sekeliling ruangan dan melihat orang tuaku tengah bicara dengam seorang perempuan paruh baya. Rambutnya hitam sebahu. Bola mata bulat itu tampak kehilangan cahaya saat berpaling padaku. Kerutan di wajah tidak serta merta mengaburkan jejak kecantikan sewaktu muda.
"Tante?" Mulutku mengangga, terbuka sementara kaki membantu di tempat.
Tamu perempuan itu masih familiar dalam ingatan. Begitu pula suaranya yang lembut. Sorot matanya tidak berubah, hangat dan ramah. Ia adalah Tante Winna, ibu Axel.
Ada keperluan apa Tante Winna datang ke rumahku? Apa terjadi sesuatu dengan Axel? Tindakan bodoh apalagi yang dilakukan lelaki itu? Berbagai pertanyaan bermunculan dan cukup menakutiku. Bagaimanapun baiknya Tante Winna, ia merupakan ibu dari lelaki yang pernah menggores masa remajaku dengan luka pahit.
Aku merasa sedikit lega. Ketenangan membayangi raut orang tuaku terutama Ayah. Sejak peristiwa yang dilakukan putranya, Tante Winna cukup responsif. Ia berulang kali mendatangi keluargaku, meminta maaf atas tindakan tidak terpuji putranya walau awalnya mendapat ketidaksukaan dari Ibu.
Perempuan itu sangat gigih, memohon hingga rela mengorbankan harga diri dengan berlutut di hadapan orang tuaku sambil menangis, meminta kerelaan kami agar masalah tidak berlanjut ke kantor polisi. Ia sepenuhnya menyalahkan dirinya sebagai pemicu tindakan kasar Axel sementara suaminya terkesan melempar tanggung jawab pada perempuan itu.
Di balik keharmonisan yang dipertontonkan, kemewahan dan nama baik di masyarakat, orang tua Axel memiliki permasalahan cukup pelik. Perbedaan cara berpikir dan ketidakpuasan menggerogoti pondasi rumah tangga yang telah berjalan bukan hanya hitungan satu atau dua tahun.
Ayah Axel tergoda, terbuai bujukan salah satu karyawan kantornya. Tante Winna mengetahui dengan cepat kabar itu setelah salah seorang pekerja memberitahunya. Semula ia ingin menyerah, pengkhianatan tidak bisa ditolelir terlebih imbas dari perselingkuhan berupa sasaran pelampiasan kemarahan. Ia tetap bertahan demi Axel.
Sedalam apapun mengubur bangkai, seiring waktu aroma busuk akan tercium. Axel menyaksikan pertengkaran orang tuanya. Ia lebih mempercayai tuduhan ayahnya yang menunjuk ibunya sebagai biang keladi perpisahan keduanya. Ayahnya menjadikan hubungan baik Tante Winna dan teman lelakinya yang berprofesi sebagai pengacara sebagai perselingkuhan. Padahal pertemuan itu hanya untuk mencari pendapat tentang permasalahan pernikahan secara hukum.
Imbas dari kekecewaan Axel berbalik padaku. Kekejamannya bentuk dari luapan amarah setiap mengingat kesalahan ibunya. Ia beranggapan aku pun bisa melakukan hal serupa. Dan doktrin sang ayah menggema di telinganya. Seorang lelaki tidak boleh lemah oleh perempuan.
Rasanya menggelikan ketika mendengar kalimat terakhir terucap. Setelah bertekuk lutut pada perempuan muda, dengan mudahnya mengkambing hitamkan orang lain, perempuan yang telah menemani dari titik terendah. Syukurlah perpisahan tidak membuat Tante Winna depresi. Auranya lebih keluar. Hanya Axel yang ia pikirkan sekarang.
Erga duduk di sampingku. Rencananya pamit terhalang permintaan Ayah agar dirinya menunggu. Tante Winna telah mengetahui hubungan kami dan ikut senang.
"Kebetulan Tante ada perlu ke Bandung jadi sekalian mampir. Tante senang melihatmu. Kamu semakin cantik."
Aku mengulum senyum. Tante Winna selalu memujiku, berharap aku akan menjadi pasangan putranya kelak. "Terima kasih, Tante. Gimana kabar Axel? Aku sempat dengar dari teman kalau Axel kecelakaan." Nadaku sangat hati-hati, datar supaya menghindari kecurigaan orang tuaku. Di luar itu aku ingin mereka yakin putrinya telah terbebas dari bayang-bayang masa lalu.
Raut Tante Winna berubah sendu. Kilat kepedihan berpedar dibalik senyuman. Lepas dari suaminya tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Axel membuat kesalahan besar dan memaksanya meninggalkan kehidupan lamanya. Beruntung Tante Winna ibu yang sangat sabar meski mendapat kebencian dari putranya.
"Axel baik-baik saja. Kecelakaan itu memang mengerikan tapi hikmahnya kesalahpahaman di antara Tante dan ia perlahan selesai. Berkat kemurahan hati orang tuamu dan kebijakanmu, ia belajar memperbaiki kesalahan." Senyuman di wajah lelah itu mengembang. "Seandainya saja anak itu mau mengikuti terapi untuk mengendalikan emosi berlebih atau Tante berusaha lebih peka, mungkin keadaan akan berbeda."
"Sesuatu terjadi bukan tanpa alasan. Saya harap Axel bisa mengambil pelajaran dari masalah kami."
Tante Winna melirik jam tangannya. "Sepertinya sudah terlalu malam. Tante pamit dulu." Kami semua berdiri tak terkecuali Erga. Sikap santun diperlihatkan sepanjang menjadi pendengar. Dirinya hanya terdiam, lebih memperhatikan ekspresi Tante Winna saat bercerita.
Ayah mengajakku dan Erga masuk ke ruang makan setelah kepergian Tante Winna. Ibu setengah memaksa lelaki di sampingku ikut makan malam. Permintaan orang tuaku disanggupinya. Dirinya bahkan tidak keberatan menjadi lawan tanding catur ayahku seusai makan malam.
"Kamu tidak apa-apa, Sya?" tanya Ibu saat kami membereskan meja makan.
Aku menumpuk piring kotor menjadi satu sebelum membawanya ke dapur. "Tentu saja," ucapku yakin.
"Ibu lega mendengarnya." Ibu membersihkan meja dengan lap sementara aku kembali untuk mengambil sisa gelas. "Ayahmu memaksa kamu mengetahui kedatangan Tante Winna. Niat ayahmu memang baik, ingin melihat sejauh mana proses pemulihan kepercayaan dirimu tapi Ibu tetap saja khawatir."
Aku meringis pelan. Orang tuaku tidak mengetahui bagaimana jatuh bangun diriku menguasai ketakutan. Mereka tidak sadar putrinya telah bertemu dengan mimpi terburuk. Aku mungkin akan bersikap lain, lebih berpikir buruk bila belum menyelesaikan secara pribadi dengan Axel.
"Erga membantuku pulih. Awalnya aku sedikit khawatir. Erga mudah cemburu, nggak canggung memperlihatkan rasa posesif di depan teman-temannya. Aku mengira ia memiliki benih kemarahan seperti Axel tapi perkiraanku salah. Keduanya berbeda."
Ibu tersenyum. Kakinya bergerak menuju dapur, menaruh lap tadi di sisi wastafel lalu mencuci tangan. "Ibu menyukai anak itu. Sikapmu jauh lebih baik setelah kalian dekat. Anak itu juga nggak canggung memperlihatkan ketertarikan padamu sampai Ibu bingung secantik apa kamu di matanya."
Bibirku mengerucut, mengambil alih wastafel untuk mencuci peralatan makan. Ucapan Ibu berdasar kenyataan. Ayah pernah berdeham, mengingatkan Erga yang menatapku tanpa kedip ketika datang ke rumah. Erga beralasan aku terlalu cantik hingga membuatnya terpesona. Pernyataan konyol dan menggelikan namun berhasil membuat wajahku merah padam.
"Semua orang menyukainya. Teman-temannya banyak. Ia suka bersosialisasi tanpa pandang bulu. Berada di dekatnya menyenangkan dan itu bukan cuma pendapatku. Lihat saja Ayah. Erga mau pulang saja ditahan terus." Satu persatu peralatan makan yang telah bersih dan kering beralih ke rak piring.
"Bagus bukan." Ibu mengembuskan napas. " Ibu mengira kamu butuh waktu lama untuk bisa memulai awal yang baru. Secara emosi dan perasaan, ayahmu pun terbebani. Mengkhawatirkanmu lebih dari sebelumnya. Wajar saja kalau reaksi pertama ayahmu kurang bersahabat. Bagaimanapun kami sebagai orang tua ingin melihatmu bahagia."
Tangan meraih lap bersih yang menggantung di dekat wastafel. "Aku bahagia. Ibu tenang saja."
"Benarkah?" Sorot Ibu seperti menelisik.
"Tentu saja. Aku memiliki keluarga yang hebat. Pacar yang murah hati. Teman yang baik. Aku bersyukur mendapatkan semua itu walau harus mengalami pengalaman tak enak." Tubuhku berbalik, menatap Ibu yang berdiri di ujung ruangan penghubung dengan ruang makan.
"Sebenarnya Ibu kasihan sama Tante Winna. Terlepas tindakan putranya padamu, ia ibu yang baik. Pengaruh ayah Axel lah yang merusak otak anak itu. Memberi pengajaran tidak baik tentang arti perempuan sementara dirinya sendiri terjerat cinta semu."
Kedua tanganku memegang sisi konter. "Apa Tante Winna cerita tentang ayahnya Axel?"
"Nggak banyak tapi intinya setelah berpisah kehidupan mantan suaminya berubah drastis. Ia memiliki banyak hutang dan pailit. Pacarnya memutuskan hubungan setelah merasa nggak ada keuntungan tetap bertahan."
"Pembalasan yang sepadan. Beruntung Tante Winna lepas sebelum keuangan ayahnya Axel bermasalah."
"Hidupnya jauh lebih tenang. Axel juga tinggal bersamanya. Empati dan kemanusiaan lah yang membuat Tante Winna tergerak untuk membantu semampunya seperti membayar uang sewa mantan suaminya. Ia melakukannya demi Axel, agar anaknya masih memiliki sedikit kebanggaan tanpa perlu melihat ayahnya terlunta-lunta di jalanan."
"Aku senang kita semua bisa melewati mimpi buruk. Bagian terburuk."
Ibu mendekat. Senyumannya mengembang sangat lebar. Kebahagiaan memancar. Diusapnya rambutku dengan penuh sayang.
"Ibu bangga padamu. Kamu mengajarkan kami, orang tuamu, ketegaran. Masa depanmu secerah langit biru di pagi hari."
Kuhela napas panjang. "Sayangnya realita nggak selalu sesuai dengan ekspektasi. Langitku akan kelabu kalau Ibu tahu tumpukan tugas yang harus kukerjakan. Dan pasti mendung andai Ayah melihat hasil ujianku."
"Kebahagiaan akan datang selama manusia mau berusaha. Selesainya satu masalah bukan berarti menghapus masalah lain." Ibu menepuk bahuku. "Sekarang selamatkan pacarmu. Cuma kamu yang bisa membebaskannya."
Aku nyengir. Semenjak dua anak lelaki di keluarga ini memiliki kehidupan sendiri-sendiri, Erga menjadi pengganti kekosongan. Kebersamaan Ayah dan Erga membuatku tenang.
"Sampai kapan mau ajak Erga main catur, Yah? Ini sudah larut malam. Erga harus istirahat." Tegurku setelah kembali ke ruang tamu. Kedua lelaki duduk berhadapan, memandang papan catur dan bidak dengan serius.
"Kamu belum pernah seperhatian itu sama Ayah," guman Ayah. Punggungnya tidak lagi setengah membungkuk. Ayah menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Itu peran Ibu." Kuhempaskan tubuh di sisi Erga. "Tadi Ibu memintaku menyelamatkan Erga tapi mungkin sebenarnya menyelamatkan Ibu dari kecemburuan. Ayah suka lupa waktu sih kalau main catur."
"Kenapa kamu nggak bilang dari tadi. Bisa-bisa Ayah tidur di sofa malam ini," guraunya yang disambut tawa kami bertiga. "Kalau begitu Ayah temui ibumu dulu dan Erga, terima kasih sudah mengantar Marsya pulang."
"Sama-sama, Om." Erga mengangguk pelan. Pandanganku mengikuti sosok Ayah sementara Erga membereskan bidak catur ke tempatnya.
"Kamu nggak apa-apa, kan? Maksudku soal kedatangan ibunya Axel tadi."
"Bukan masalah. Aku kasihan sama Tante Winna. Nggak bisa dibayangkan kalau itu terjadi sama keluarga sendiri. Peran ayahnya Axel cukup penting sampai bisa membuat putranya bertindak kasar. Andai kesalahpahaman bisa dihindari, kamu nggak perlu menderita." Jemari besarnya menutup kotak catur.
Tanganku mengusap punggung tegapnya. Tubuhnya keras namun hangat. "Egia juga mungkin masih berada di antara kalian dan bisa saja kita nggak akan pernah bertemu."
Erga mengaitkan kedua tangannya. "Jangan salah tanggap. Bertemu denganmu adalah anugerah tetapi aku lebih berharap kamu hidup tenang."
"Dan kamu akan mengalihkan kegilaanmu pada Bianca." Kecemburuan tersirat. Bibir mengerucut, memperkuat kesan itu.
Erga menoleh, tersenyum lalu memijit hidungku. Ia tertawa kecil, membiarkan tanganku mencubiti pinggangnya sebagai balasan. "Bukan gila, Sayang. Mungkin lebih tepatnya tak tahu malu. Tapi percayalah, baru denganmu aku melakukan hal di luar akal sehat. Aku menginginkan perhatianmu meski harus mempermalukan diri sendiri."
"Kenapa? Bukannya dari awal aku nggak lebih dari sarana balas dendam?"
Sorot Erga meredup. Garis bibirnya berubah datar. Kisah kami memang tidak semenarik cerita dongeng. Kesalahpahaman mengisi pondasi hubungan dan menjadikannya bom waktu.
"Bisakah kamu melupakannya walau bagian itu sulit kuakui. Seandainya hanya punya niat buruk, aku nggak akan mempertahankanmu lebih dari sebulan, mencampakanmu dan kembali menjalani hidup seperti biasa. Kenyataannya justru aku terjerat umpan sendiri, menyayangimu, mencintaimu tanpa tahu alasan pastinya."
"Karena seleramu perempuan lebih tua?" sindirku yang membuatnya tampak masam.
"Tipe setiap orang berbeda-beda. Menyukai perempuan lebih tua bukan kejahatan. Setelah putus dengan Bianca, aku mengira tidak ada salahnya punya pasangan dewasa baik dari segi umur atau pemikiran tapi namanya masalah pasti tetap ada, tidak peduli sedalam apapun perasaan."
"Aku memang belum cukup dewasa. Dibanding Bianca pun masih lebih muda. Dan masalah yang kuhadapi juga pelik." Perasaanku tiba-tiba memburuk. Kilasan ingatan masa lalu memberondong muncul begitu saja. "Sepertinya aku nggak cukup baik untuk kamu."
"Tuh, kan, mulai lagi." Erga berbalik menghadapku yang menarik kaki ke sofa, memeluk dan membenamkan wajah di lutut. "Seharusnya aku nggak meneruskan topik tadi," gerutunya menahan jengkel.
"Pulang saja kalau begitu. Aku nggak akan menahanmu."
"Kamu mau menyiksaku sepanjang sisa malam? Bisa kupastikan kamu bakal menggabaikan panggilan telepon dariku dan menghindari pertemuan di kampus. Aku sudah mempelajari polamu."
"Aku benci kamu."
Tawa Erga terdengar renyah. Sentuhan lembut terasa di kepala, menuruni rambut hingga punggung. Kehangatan Erga merasuk dalam tubuh, menembus tulang dan mengalir dalam darah.
Sejenak aku melupakan rasa kesal yang hinggap. Berpura-pura tidak menikmati dengan mendengus atau bergerak menjauhinya.
"Kamu harus mempercayai diri sendiri. Di usia yang belum genap dua puluh, kamu cukup bijak menghadapi masalah. Kedewasaanmu terlihat saat memaafkan orang-orang yang menyakitimu termasuk diriku. Meski kadang sikapmu menjengkelkan, kekanakan dan manja, nggak ada yang perlu dikeluhkan. Kamu memang belum sepenuhnya meninggalkan dunia remaja. Beda cerita kalau kamu bersikap bak gadis muda labil setelah berumur tiga puluh lebih."
Perlahan kepalaku terangkat, memasang mata lirih dan berhasil membuat Erga merasa bersalah. Lelaki itu berinisiatif membeli makanan ringan di mini market dengan ojek online. Kepalaku bersandar di bahunya, mengamati apa saja yang dibeli.
Erga menyerahkan ponselnya, membiarkanku memilih makanan yang kuinginkan setelah sekian menit menganggunya. "Terlalu banyak... " Kuperhatikan jumlah nominal pembelian barang.
"Nggak apa-apa. Aku masih sanggup kalau cuma makanan ringan. Kamu juga jarang minta sesuatu."
"Aku sayang kamu," bisikku sambil kembali menatap layar.
"Kelabilanmu dimaafkan."
Erga menyandarkan punggungnya di sofa. Lengannya merangkul bahuku. Ia memberi kecupan singkat di kepala dan hati-hati. Sikapnya masih cukup sopan, memastikan orang tuaku tidak menyaksikan aksinya.
"Sambil menunggu belanjaan datang, kita asah otakmu. Belajar konsentrasi." Rangkulannya mengurai. Tubuhku kembali tegak, memperhatikan dengan malas saat kotak catur kembali terbuka. Satu persatu bidak diletakan pada posisinya.
Ayah pernah mengajari bermain catur. Sedikit banyak aku tahu aturan dan cara permainan tapi tidak pernah bertahan lebih dari sepuluh menit dan mulai bosan.
"Ayolah, Manis. Meski kamu nggak menyukainya berusahalah sedikit gembira. Sesekali temani ayahmu bermain. Ia pasti senang sekali." Ucapan Erga mengingatkanku pada keseharian Ayah.
Kedua kakak lelakiku sibuk dengan urusan masing-masing bahkan Kak Adji lebih banyak tidur atau mengerjakan tugas kalau pulang. Begitupun denganku, kamar merupakan sarang ternyaman. Aku baru keluar saat waktu makan. Dibanding ketiga anaknya justru Erga, orang yang belum lama hadir dalam hidupku yang memahami perasaan Ayah.
"Loh, kamu belum pulang, Ga?" Ayah memasuki ruang tamu.
"Belum, Yah. Sebentar lagi. Lagi nunggu makanan ringan dulu pakai ojek online."
Ayah duduk di seberang kami. "Bisa kamu pesankan martabak." Suara Ayah merendah, hampir seperti berbisik. "Tapi jangan sampai ketahuan ibumu. Nanti ngomel. Bilang saja kamu yang pesan."
"Beres." Aku mengangkat jempol. "Sambil nunggu Ayah mau ikut main catur lagi? Erga bilang bermain catur bisa melatih otakku yang lemot."
Erga terbatuk, memberi delikan padaku yang mencibir. Ayah tertawa senang. Tawaranku disetujui tanpa pikir panjang.
"Ah tapi nanti kamu pulang kemalaman, Ga."
"Nggak apa-apa, Om. Saya sudah izin bakal pulang malam. Lagipula masih satu kota."
"Kalau begitu kita main satu jam saja. Orang jahat banyak yang keluyuran tiap malam. Orang tuamu pasti khawatir walau kamu sudah besar." Ayah melirikku. "Sya, buatkan Ayah dan Erga kopi."
"Siap."
*****
Adisti mengetahu kedatangan Tante Winna dua minggu lebih setelah kedatangan perempuan itu. Aku tidak sengaja mengatakannya. Sebenarnya topik mengenai Axel maupun yang menyangkut orang-orang di sekitarnya bukanlah pembicaraan menarik bagiku.
Sudah saatnya aku menepikan berbagai alasan dengan menyalahkan masa lalu. Bayangan Axel sepenuhnya tergantikan keberadaan Erga. Rasa yang dulu ada tinggal kenangan. Alunan cinta hanya nyanyian tanpa arti. Semua telah terkunci dalam peti memori.
Aku dan Erga membenahi perasaan kami masing-masing. Menandai apa saja yang harus dipahami dan menyingkirkan bagian menyedihkan. Setengah dari waktu kami tidak hanya tentang hubungan ini melainkan kebersamaan bersama keluarga dan kuliah tentunya.
Erga cukup ketat mengenai rutinitas baru ini. Ia tidak keberatan bila aku berkunjung ke rumahnya tetapi aku harus mempunyai perhatian yang sama pada orang tuaku. Begitu juga dengan kuliah serta tugas-tugasnya. Malam minggu biasanya jadi malam ia mengajari mata kuliah atau tugas sementara hari minggu kami bisa bersenang-senang.
Tidak peraturan tertulis, kegiatan bisa berubah dan biasanya tergantung perasaanku. Erga memang lebih banyak mengalah terutama saat aku kedatangan si bulan. Semua berjalan hampir seperti bayangan. Hampir, karena tidak ada yang seratus persen sempurna.
Putri. Perempuan itu belum bisa melupakan Axel. Aku mewajarkan sikapnya. Ia tidak bermain-main tentang perasaannya pada Axel. Cintanya terlalu dalam. Perpisahan meninggalkan luka dalam dan sulit terhapus dalam hitungan hari.
Kali ini Ferdi mencoba peruntungannya. Entah mencontoh Erga atau tekadnya sudah bulat, ia tidak lagi malu-malu mendekati Putri. Erga tidak banyak komentar, meski meragukan kemungkinan keduanya bersatu, dari sudut pandangnya Ferdi lebih baik dari Axel.
"Dan orang tuamu belum tahu kamu dan Axel lebih dulu bertemu sebelum ibunya muncul di rumahmu?" Adisti menjajari langkahku. Kedua tangannya memeluk buku tebal yang akan dikembalikan ke perpustakaan.
"Begitulah. Belum waktunya. Aku ingin menikmati ketenangan ini." Kami mulai menuruni anak tangga. "Semua masih terasa seperti mimpi setelah kejadian demi kejadian yang aku dan Erga hadapi. Kami bahkan pernah berpisah."
"Menurutku selama Axel benar-benar menyingkir dari kehidupanmu, seperti yang pernah ia katakan, biarkan saja kebenaran itu terpendam. Suatu saat nanti orang tuamu pasti mengerti kenapa kamu memilih menyembunyikan dari mereka."
Hari ini kampus tidak terlalu ramai. Mahasiswa yang berkumpul di sekitar lobi bisa dihitung dengan jari. Sebagian mungkin masih berada di kelas, perpustakaan atau kantin.
Aku mengantar Adisti ke perpustakaan. Jam di tangan menunjuk pukul dua lebih. Mata kuliah terakhir ditiadakan, diganti dengan tugas yang harus dikumpulkan besok pagi. Setiap orang di kelas memiliki tugas berbeda. Kami harus menyelesaikan secara individu.
Adisti menawari mengerjakan tugas bersama tapi aku menolaknya. Rencananya setelah dari kampus, aku akan pergi menemui Erga di rumahnya. Ia sempat memberitahu tidak bisa ke kampus tadi pagi. Kesehatannya tidak terlalu bagus, mungkin karena kelelahan.
"Yakin nggak mau belajar bersama?" tawar Adisti.
"Iya. Tenang catatanku lengkap kok."
"Ya sudah. Sampai ketemu besok." Adisti melambaikan tangan. Ia beranjak menuju gerbang. Aku segera pergi pelataran parkir, menembus fakultas lain sebelum keluar dari gerbang belakang. Ada beberapa laporan yang harus di fotocopy. Kebetulan mesin fotocopy di perpustakaan sedang rusak.
Setelah menemukan kios fotocopy , aku duduk di bangku kayu sambil menunggu lembaran yang kuminta selesai. Ponsel kumainkan, ragu untuk memberitahu Erga atau tidak sebelum mendatangi rumahnya. Lima menit berlalu kuputuskan memberinya kejutan. Baru akan memasukan benda itu dalam tas, panggilan masuk terdengar.
Nama Axel muncul tapi sengaja kuabaikan. Pertemuan terakhir kami berjalan cukup buruk. Ingatan tentang dirinya bukan hal baik. Separuh hati belum menerima perbuatannya yang baru saja kuketahui. Ia sudah kumaafkan tapi bukan berarti membuka pintu pembicaraan dalam waktu dekat.
Setengah jam berselang akhirnya sampai di kediaman Erga setelah pergi dari kios fotocopy. Egi yang kebetulan sampai di rumah mengajakku masuk. Keadaan tampak sepi saat lelaki itu memanggil ibu dan kakaknya.
"Ibu kayaknya pergi keluar tapi kakak ada di kamar," sahutnya sambil menarikku hingga depan pintu kamar Erga yang tertutup sebagian.
Kami berdua terdiam di ambang pintu. Pemandangan di depan mata menyentak dada ketika Egi membuka pintu hingga menempel ke dinding.
Erga tengah berbaring di tempat tidur. Seorang perempuan duduk di tepi tempat tidur. Ia memberi minum pada Erga. Keduanya sama terkejutnya dengan kami.
"Marsya."
Egi pamit, tersenyum kecut padaku lalu meninggalkanku sendiri. Perempuan itu segera berdiri setelah mendengar Erga menyebut namaku. Ia mengenakan pakaian kantor. Penampilannya rapih dan cantik. Usianya mungkin di atas Erga.
"Kenalkan aku Amara, kakaknya Putri. Erga sudah cerita banyak tentang kalian. Aku harap kamu nggak salah paham. Aku menemui Erga untuk bicara soal Putri. Kebetulan tadi Erga agak limbung jadi aku membawanya ke kamar. Tante juga sedang pergi ke tetangga dan nggak ada lagi yang bisa diminta bantuan."
Senyum terpasang di wajahku meski hati kecil bersumpah serapah. Sulit rasanya berpikir jernih berada di situasi menemukan pacar sedang bersama mantannya, di dalam kamar pula.
"Kalau begitu aku pulang dulu. Sekali lagi tolong jangan salah paham." Perempuan itu menoleh pada Erga. "Aku pulang dulu, Ga. Sampaikan salam buat ibumu. Permisi."
Aku masih berdiri di depan pintu setelah Amara pergi. Erga menyadari senyumanku telah hilang. Wajahku masam. Aku tidak perlu melihat cermin untuk membuktikannya.
"Senangnya bisa ketemu mantan pacar sesuka hati."
"Marsya dengar dulu." Erga berusaha bangkit tapi aku memintanya tetap di tempat.
"Bukankah aku pacar yang baik, nggak keberatan kamu menjalin hubungan baik dengan adik mantan pacar bahkan sampai membantu menyelesaikan masalah. Tapi sepertinya hubungan kalian terlalu baik sampai berduaan di kamar dengan mantan pacar."
Erga memejamkan matanya sesaat lalu membukanya kembali. Ia terlihat menahan nyeri namun emosiku menutup logika. "Kami nggak melakukan apa-apa selain yang dijelaskan Amara."
"Ini nggak adil. Kamu marah besar waktu tahu aku dan Axel berpelukan. Padahal pelukan itu hanya sebatas simbol saling memaafkan. Apa bedanya dengan sekarang? Kamu melarangku sakit hati. Siapa yang tahu seberapa sering kalian bertemu di belakangku."
"Marsya, tolong... " Suara Erga melemah dan kembali kupotong.
"Aku ke sini karena mengira kamu bisa membantu mengerjakan tugas dan berniat memberi kejutan. Ternyata justru aku yang dikejutkan. Kedatanganku sia-sia. Percuma saja aku minta tolong. Kamu nggak berguna kalau sedang sakit." Akal sehat tertutup oleh luapan emosi. Meski sadar perkataanku menyakitkan, tidak lantas membuat kemarahan mereda. Cemburu membutakan segalanya, membekukan nalar bahkan penyesalan tidak mampu sampai di ujung lidah.
"Aku pulang." Tubuhku berbalik, berjalan cepat meninggalkan rumah Erga. Panggilan Egia tidak kuhiraukan.
Tiga hari setelahnya perasaanku tidak juga membaik. Konsentrasi terbagi saat memaksa otak menyelesaikan tugas semalam suntuk. Erga tidak menghubungi maupun mengirim pesan. Perkataanku memang menyakitkan tapi membayangkan dirinya sedang bersama Amara juga terus menghantui.
Adisti membiarkanku memejamkan mata setelah kelas pagi berakhir sementara dirinya membereskan alat tulis. Aku baru bisa tidur setelah adzan Subuh. Tulang di tubuh rasanya ngilu semua.
"Mau tunggu di sini atau ikut ke rental komputer? Aku mau ambil buku yang ketinggalan."
Kepalaku mendongkak, menggeliat lalu melemaskan otot tangan dan leher. "Aku ikut deh tapi habis dari rental kita mampir ke warung soto di pertigaan. Mataku butuh yang pedas dan panas biar melek."
"Nggak mau soto yang di kantin?"
Kepalaku menggeleng. "Bosan."
"Ribut lagi sama Erga," tebak Adisti.
"Pengin cari suasana baru."
Adisti tidak lagi bertanya. Aku meneruskan membereskan catatan dan alat tulis dalam tas. Kupasang tudung jaket, menutupi kepala dan mata yang lelah. Sesekali aku menguap, menahan serangan kantuk.
Sepanjang menyusuri koridor fokusku berkurang. Semakin lama langkah terasa berat. Yang kuinginkan hanya mencari tempat berbaring, sejenak memejamkan mata tanpa gangguan.
"Sebaiknya kamu pulang saja. Matamu merah begitu. Wajahmu pucat lagi. Nanti kupinjamkan catatan. Aku lebih khawatir kamu pingsan di jalan."
Kedua tangan membantu mata terbuka lebar. "Aku baik-baik saja. Kita kembali ke kelas setengah jam sebelum dosen masuk. Lima belas menit lebih dari cukup untuk mengistirahatkan mata."
"Keras kepala. Jangan bilang aku nggak mengingatkanmu," gerutunya.
Aku mengikuti Adisti seperti anak ayam pada induknya. Menunggu dengan sabar saat ia bicara dengan pekerja rental lalu pergi menuju warung soto. Letaknya tidak terlalu jauh dari gerbang belakang kampus.
Adisti menarik pergelangan tanganku ke pojok warung, mendudukanku di satu-satunya meja yang kosong. Mata yang lelah membuatku tidak terlalu peduli keadaan di sekeliling. Tangan menopan dagu, membiarkan Adisti menemui penjaga warung dan memesan makanan untuk kami.
Ia kembali dengan raut aneh. Sesuatu menganggunya ketika memperhatikanku. Sesekali ia mengedarkan pandangannya. Keningnya berkerut dan menatapku bingung.
"Sya, yakin mau makan di sini?"
"Kenapa? Kamu ingin makan yang lain?"
"Bukan." Ia melirik ke belakang. "Kamu nggak sadar Erga ada di tempat ini. Ia kelihatannya marah. Aku belum pernah lihat Erga pasang wajah begitu."
Kuhela napas panjang. Ego menahan diri mencari sumber kegelisahan Adisti. "Aku mengatakannya nggak berguna."
Adisti terbatuk. Bola matanya membulat, tidak memercayai pendengarannya. "Serius kamu bilang begitu? Kamu sudah gila?" Ia menjitakku.
Kuceritakan kejadian tempo hari dengan malas-malasan. Adisti mendengarkan tanpa mengalihkan pandangan.
"Aku paham kamu kesal tapi mungkin saja yang dikatakan kakaknya Putri benar. Pantas saja Erga marah. Kalau ia memutuskanmu gimana?"
"Berarti belum jodoh." Kugosok mata agar tetap terjaga. "Kami pernah putus dan hampir mengulang perpisahan. Erga nggak akan banyak basa basi, kalau mau putus dari kemarin ia sudah melakukannya."
Punggung tanganku dicubit hingga aku meringis. "Erga mau lewat tuh."
"Biarkan saja."
Erga bergerak dari kursi, meraih ponsel di meja lalu berjalan lambat mendekati meja kami. Langkahnya terhenti, meminta teman-temannya pergi lebih dulu. Aku mengabaikan keberadaannya, mengerahkan sisa tenaga tidak memedulikan sorot tajam lelaki itu.
"Siang, Adisti. Boleh aku bergabung dengan kalian?" Adisti memandangiku dan Erga bergantian. Kepalanya mengangguk pelan.
"Halo, Marsya."
"Hm."
Erga menghempas kursi di samping Adisti. Memilih tempat paling pas agar bisa memolotiku sepuasnya. Sahabatku mendadak gelisah terjepit di antara dua sumbu yang hampir meledak. Aku membalas tatapan Erga sedatar mungkin, tak terusik pilihannya. "Ngomong-ngomong aku sudah sembuh. Apa ada yang bisa kubantu?"
Adisti memberi tatatapan 'sudah kubilang, kan'.
"Terlambat. Aku sudah minta diajari senior lain. Ferdi sibuk mengejar Putri sementara Wisnu, kapasitas otak kami sama saja."
"Diajari siapa?"
Aku menyebut salah satu nama senior di angkatan Erga. Terkenal paling pintar, kutu buku, ramah tapi ia tidak menyukai mahasiswa seperti Erga. Ia merasa lelaki itu hanya tahu cara bermain-main.
"Aku harus belajar dengan atau tanpa kamu. Suatu hari nanti kami akan lulus. Nggak mungkin selalu menggantungkan sesuatu padamu. Lagi pula niatku baik." Erga bergeming. Adisti menoleh ke arah penjual soto, berharap pesanan kami cepat datang.
"Tapi kata-katamu... "
"Kata-kataku memang kasar dan kamu sadar apa penyebabnya. Siapa yang lebih egois? Niatmu dulu mendekatikupun jauh lebih menyakitkan," potongku cepat. "Aku terlalu bodoh, melupakan fakta bahwa memberimu kebebasan berhubungan dengan Putri seolah membuka kesempatan dirimu dekat dengan kakaknya yang nggak lain mantan pacarmu."
Pembicaraan kami terputus saat pesanan kami datang. Adisti berusaha bersikap ceria, mencoba mencairkan ketegangan.
"Katakan padaku, terlepas yang jadi pembahasan adalah Putri, seberapa sering kalian bertemu tanpa sepengetahuanku?"
Erga menghela napas. "Amara sudah menikah. Kami hanya bicara tentang Putri."
"Axel juga sudah berubah. Kami berteman sekarang. Lalu kenapa kamu selalu marah setiap aku bicara dengannya? Keduanya sama-sama mantan."
"Axel pacarnya Putri!"
Mataku mendelik. "Keduanya sudah putus. Dari awal tujuan Axel bukan Putri. Kamu tahu siapa tujuannya yang sebenarnya." Kedua tangan Erga mengepal di meja. Sorotnya semakin tak ramah. "Axel pergi demi kebaikanku tapi Putri terus menerus mengabaikan kebenaran dengan bersikap manja. Datang padamu kapan saja termasuk saat kita bersama, berkeluh kesah panjang lebar, memosisikan sebagai korban tanpa peduli aku terganggu atau nggak. Dan kamu berperan bak peri putih, menghiburnya, memberi pelukan dengan dalih lebih dulu kenal, cuma kakak adik dan bla bla lainnya tanpa mempertanyakan pendapatku."
Kami bertiga terdiam sesaat. Adisti pura-pura tak acuh, menyantap makanannya sambil melihat ponsel.
"Semua uneg-unegmu sudah keluar?" kata Erga.
"Sebagian, sisanya lain kali. Aku lupa dan lapar," balasku enteng, meraih sendok di tempat alat makan lalu mengisi perut.
Erga mendorong kursi, beranjak dari tempatnya. Adisti memperhatikan dengan cemas tubuh tinggi di sampingnya sementara aku meniup kuah soto. Lelaki itu berjalan menjauhi kami dan kembali selang tiga menit. Kali ini ia menyeret kursi di sampingku.
"Kang Erga nggak jadi pergi?" Kebingungan memenuhi mimik Adisti.
"Tadi cuma pesan soto. Udah tiga hari nggak ketemu jadi puas-puasin nemenin yang disebelah." Erga memiringkan tubuhnya, menopang dagu, menatapku yang bersikap masa bodoh.
"Soal kata-kata kasar Marsya... "
Jemari besar Erga menepuk lembut kepalaku. "Kamu nggak perlu mewakilinya minta maaf. Aku juga punya andil. Wajar kalau Marsya marah. Kata-katanya memang kasar tapi belum seberapa menyakitkan dengan perbuatanku dulu."
"Syukurlah. Aku khawatir kalian putus dan terjadi drama lagi."
"Hati Akang seluas samudera. Masalah kemarin hanya seujung kuku." Tawa Erga berderai, mengusik keingintahuan pengunjung lain. "Tapi Akang senang Marsya jadi lebih berani, terbuka mengungkapkan perasaannya. Ia nggak lagi berlindung di zona nyaman."
"Bukannya Kang Erga marah sama Marsya? Tiga hari ini nggak kelihatan di kampus."
"Diopname. Demamnya nggak turun. Akang sengaja nggak kasih tahu siapa-siapa kecuali Wisnu sama Ferdi. Kasihan kalau Marsya tahu mana lagi banyak tugas. Akang kepikiran dulu ia stres waktu mau kumpulin tugas tapi nggak ada yang bantu. Sekarang makin pintar, kuat dan mandiri." Rambut yang menempel di pipiku ia kaitkan ke belakang telinga. Nada suaranya tidak mengiba atau minta dikasihani.
Aku terkejut mendengar berita itu. Erga memang sama sekali tidak menelepon atau mengirim pesan. Semua kuanggap biasa. Kami butuh waktu sendiri dalam saat suasana hati panas.
"Sekarang sudah sembuh?" Mau tak mau aku harus bertanya.
"Banyak makan dan ketemu kamu obat paling penting dalam masa pemulihan."
Pesanan Erga datang. Ia kelihatan sama laparnya denganku. Sejauh yang kuperhatikan tadi, ia baru saja makan soto sebelum kami datang.
"Bukannya tadi sudah makan?"
"Ronde dua." Erga meraih sendok sambil bersiul.
"Nanti sakit perut."
"Perhatian sekali." Balasannya sedikit menyindirku.
"Mau bagaimana lagi. Terpaksa. Kamu kan pacarku, kecuali kamu nggak keberatan aku perhatian sama orang lain."
Matanya menajam. Mencubit pipiku gemas. "Demi menghindari kesalahpahaman serupa, soal Amara dan Putri, aku akan memberitahumu lebih dulu kalau mereka ingin bicara denganku."
"Memangnya kamu nggak keberatan kalau aku melarang?"
"Kenapa nggak selama alasannya masuk akal. Bila perlu kamu bisa menemaniku. Nggak ada lagi yang kusembunyikan."
Kami melanjutkan menyantap makanan. Erga mengalihkan obrolan. Adisti menyetujui idenya. Keduanya membahas tugas dan mata kuliah yang semakin membuat kepalaku berat.
"Oh, please. Aku tahu kalian pintar tapi bisakah berhenti membicarakan rumus dan angka," keluhku seraya memijit kening. "Sepanjang malam aku tersiksa melihat deretan angka yang sulit dimengerti."
Erga tersenyum, menepuk dada. "Minta tolong padaku. Sekarang aku bisa berguna."
Senyumku masam. Adisti terkikik gelo. Ia sangat puas melihatku menutup mulut. Aku meneruskan suapan, menghabiskan sisa air minum di gelas lalu keluar dari warung. Erga membayar makanan kami lebih dulu sebelum aku mengeluarkan dompet.
"Tenang saja, anggap saja aku peri baik hati," balasnya saat Adisti mengucapkan terima kasih. "Benarkan, Sayang?" Erga mengedipkan matanya padaku.
Aku tidak menjawab, membisu, memilih bergumul dengan pikiran yang masih enggan mengucap kata maaf. Erga meraih tas miliku, membawakannya sementara tangannya yang lain merangkul bahuku. Adisti berjalan di sampingku, masih membahas tugas kuliah kami.
Ferdi melambaikan tangan pada kami saat melewati kantin. Ia sedang bersama seorang perempuan cantik, Amara. Adisti pamit lebih dulu. Aku tidak bisa menghindari tatapan Erga yang seakan menunggu persetujuan. Setengah hati aku mengikutinya menemui kedua orang itu.
Amara menatapku sekilas lalu memperhatikan Erga. "Maaf aku lagi-lagi menganggu waktumu. Putri berulah lagi. Ia menghilangkan cincin pemberian Ibu dan nggak mau pulang karena takut dimarahi. Sekarang ia berada di rumah temannya. Aku sudah coba membujuk, begitupula orang tuaku. Semua nihil. Orang tuaku sudah merelakan cincin itu tapi sepertinya ia masih terbebani mengingat cincin itu pemberian turun temurun."
"Aku akan coba membujuknya. Kalian sesekali harus lebih tegas. Bagaimanapun aku hanya orang luar."
"Kamu bukan orang luar. Ia sudah menganggapmu seperti kakak sendiri. Nasihatmu malah lebih didengar dibanding keluarganya sendiri. Oh ya kamu sudah baikan?"
"Begitulah." Erga mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Kamu datang sendiri atau dengan suamimu?"
"Aku datang sendiri. Tadinya aku..." Amara melirik padaku. "Maksudku tadi sekalian mampir dari kantor. Sudah lama kita nggak bertemu. Gimana kalau kita cari tempat ngobrol? Marsya sama Wisnu ikut sekalian."
"Silahkan kalian saja yang pergi. Marsya masih ada kuliah dan aku melarangnya bolos. Aku akan menunggunya di kampus. Sebaiknya kamu kabari suamimu supaya ia nggak khawatir."
"Tentu saja." Amara tersenyum pada kami berdua. "Kalian serasi sekali. Aku senang melihatmu bahagia."
Erga mengusap puncak kepalaku. Sorotnya melembut dan tidak dibuat-buat. Tatapan yang berhasil membuat jantungku berlomba. "Aku memang setengah mati bahagia. Dimarahi ia saja masih bisa membuatku senang." Getaran merambat di seluruh tubuh. Keposesifan Erga tersirat jelas bagi siapapun yang mendengar.
Dibawah meja, dari dalam tas, bunyi ponsel terdengar. Aku mencari benda itu sembari mendengarkan pembicaraan yang kembali membahas Putri. Sebuah pesan masuk dari nomor Tante Winna.
Ia memintaku memaafkan kesalahan Axel. Mendoakan lelaki itu yang berada di rumah sakit. Tante Winna dan Axel berencana pindah ke Surabaya, memulai awal baru. Tiga hari lalu Axel pamit untuk menemui teman-temannya sebelum pindah. Lelaki itu tidak pulang. Semua temannya tidak mengetahui keberadaan Axel.
Tante Winna melaporkan pada Polisi. Pagi tadi Axel ditemukan tidak jauh dari jalan tol. Kondisi mengenaskan. Luka tusukan membuat kondisinya kritis. Mobil dan barang-barangnya hilang kecuali ponselnya yang tersembunyi di balik rerumputan. Pelaku sepertinya terburu-buru hingga tidak menyadari ponsel itu terjatuh.
"Kamu tahu siapa Putri, Marsya? Tante menemukan kado dari seseorang di tempat sampah kamarnya Axel. Jam berharga mahal. Sejak kalian berpisah, Axel menutup rapat soal kehidupan pribadinya. Axel marah sekali waktu mendapatkan paket itu."
Pesan dari Tante Winna sangat mengejutkan. Kebencian tidak serta merta membuatku berharap Axel mendapat kejadian buruk. Aku ikut prihatin. Dan tentang kado jam, apa Putri menjual cincin untuk memberi Axel hadiah?
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro