Confession Ballons
Paris.
Katanya tempat yang indah dan romantis. Aku menengadah, memperluas langit biru cerah milik kota penuh cinta ini. Menara effeil ada disana, tapi aku tak bisa menyingkirkan senyum bodohku dari kisah nostalgia yang pernah terjadi disini beberapa tahun lalu. Aku menghirup napas, perlahan-lahan sembari kembali ingin mengingat betapa segar dan indahnya waktu itu.
Cafe...
Aku menoleh ke persimpangan jalan di sebrang sana. Ramai dan beberapa orang berselimut mantel tebal lalu-lalang di antara deru mesin mobil yang melintas di jalan raya. Kupicingkan mata saat membaca sebuah plang nama kafe yang terkenal dengan kopi cintanya.
Confession Ballons.
Katanya, nama kopi itu adalah senjata para jomlo yang bisa membuat siapapun yang meminumnya mendapat berkat supaya cepat dapat jodoh. Itu pernyataan konyol, tapi kafe itu tak pernah sepi pengunjung. Apalagi sinar mentari yang membumbui sebelah wajah seorang gadis yang sedang duduk di luar kafe, menurunkan secangkir kopi dan tersenyum lembut seakan baru saja mencicipi kemanisan yang membuat hatinya bahagia.
Senyum itu...
Tanpa kusadari, ujung bibir ku terangkat, dan mataku membeku tak beralih dari sana.
Mantel tipis selutut yang dikenakannya berwarna merah muda, berbulu dan manis. Rambutnya sepunggung, setengah keriting, membujur melewati bahu depannya. Biasan sinar matahari yang mengenai pipi indahnya seakan membuat lekukan keindahan yang tak bisa terucapkan.
Satu hal dari Paris.
Satu hal dari sini.
Aku, menemukan sebuah... cinta.
***
Aku sedang memainkan senar-senar gitar terbaikku, memainkan sebuah lagu yang sudah dengan lancar hapal diluar kepala. Menghibur para pejalan atau turis yang berjalan kaki di sekitar jalan Paris adalah pekerjaan utamaku. Setiap hari aku tak pernah lengah, apalagi Minggu. Hari yang banyak memenuhi kantungku dengan koin-koin penonton sukarelawan yang tak pernah habis.
Kafe kecil diujung persimpangan ada disana. Sejak kedatangan gadis itu, entah kenapa, aku jadi lebih senang bernyanyi sendiri. Selagi ada penyemangat, berdiri disini membuatku semakin bahagia walau hanya melihat gadis itu duduk disana, memesan kopi, dan sibuk dengan ponsel atau laptopnya.
Ingin aku datang dan menyapanya, tapi apalah aku? Hanya seorang penyanyi jalanan dengan gitar tua tulang punggung hidup. Walau begitu, esok tetaplah sebuah misteri. Aku tetap berharap kalau sampai esok ia tetap disana, tersenyum, walau bukan untukku.
***
Hari ini aku tak melihatnya. Kulirik arloji yang melingkar dan kudapati diriku tepat waktu. Aku mengernyit, menatapi satu per satu orang yang ada di dalam kafe dari balik kaca, tetap tak kudapati batang hidungnya. Pelan-pelan aku mendesah kecewa, dan mulai membuka peti koin lalu hendak bernyanyi.
Tapi itu semua terhenti ketika aku kembali berdiri dan hendak meletakan jari diatas senar gagang gitar.
Dia ada disana.
Di depanku. Tersenyum dan menatapku. Kurasakan hatiku mendesir.
"Halo," katanya dalam bahasa perancis yang agak kaku. Bulut matanya lentik, alisnya membujuri mata indahnya, melengkung sempurna menemani kecantikannya. Kurasa aku hendak terbang melayang. Kurasakan lututku nyaris lemas.
"Aku sering melihatmu. Dari kafe," katanya lagi. Aku berusaha tersenyum walau ketegangan yang tiba-tiba membludak isi hatiku bergemuruh hebat.
"Ya, aku... Penyanyi jalan. Eh..," aku berusaha mungkin tak menggagu, tapi pada kenyataannya, sorot matanya yang terlalu indah seakan menghentikan setiap jari jemariku dan seluruh tubuhku.
Kemudian dia kembali merekahkan senyum andalannya, lalu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya yang sedari tadi ia sembunyikan. Aku tertegun sesaat ia menyodorkan sebuah gelas kopi kertas yang di bagian tubuh gelasnya terdapat tulisan perancis yang berarti; Memilikimu seperti memiliki dunia.
Aku terhenyak oleh kata-kata itu, lalu melihat wajahnya yang masih tersenyum.
"Confession Ballons." Katanya lagi yang membuat hatiku tak berhenti berdentum. Kurasakan pipiku meranum.
"Kau tahu, kopi ini adalah yang terbaik. Jadi kuharap, kau benar-benar tahu," sahutnya lagi dengan suaranya yang lembut membuatku sulit berkata-kata karna terlalu sumbat untuk mengatakan betapa terkejut sekaligus bahagianya diriku. Aku tersenyum membalasnya, lalu dia hendak pergi. Tapi buru-buru kusergah sebelum otakku kembali pada kata penasaran.
Dia menoleh, dari jarak beberapa kaki, masih bisa kurasakan jantungku yang berdentuman.
"Bi.. bisakah kita bicara?" tanyaku pelan sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
Dia terdiam namun tersenyum. Senyum yang cukup lebar kali ini.
"Eh, kau tahu, mungkin hanya sebatas mengucapkan terimakasih karna kau telah mentraktirku?" aku berusaha tak canggung, tapi nampaknya aku berhasil. Kutemukan keberanian diriku dari sorot mata indahnya.
Ia berjalan dengan langkah pendek sambil setengah memainkan ujung sepatu haknya dengan manis, lalu dia mendekat.
"Aku..."
Dia setengah menunduk hendak membisikkan kata-kata di depan wajahku, karna ada peti koin diantara kami.
"Akan sangat senang, tuan."
Kemudian dia tertawa, lalu berbalik sambil tetap tertawa.
"Namaku Thomas, omong-omong!" kataku setengah berteriak karna langkahnya hendak menjauh. Dia memiringkan kepala sambil tersenyum.
"Baiklah tuan Thomas. Besok pukul dua?" katanya lagi setengah berteriak.
Jantungku terlonjak lagi merasakan kobaran rasa yang membakar pipiku. Aku tertawa, kemudian mengangguk.
"Tunggu aku!"
Kemudian dia tersenyum lalu membalikkan badan sambil melangkah ringan kearah jalan sungai Seina.
Dari situ kuyakini, kalau kopi ini, adalah salah satu benda ajaib akan cinta yang bermekaran lagi di kota romantis ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro