20. Perkara asam basa
Setelah memarahi kedua sepupunya, Luki semakin tidak bisa tenang ketika tahu bahwa Denok yang mabuk adalah Denok yang lain. Abby, bahkan meringis berkali-kali dan meminta maaf pada Luki, sebab Denok berada di luar pengawasannya tadi.
Luki menjaga kepala Denok agar tidak mentok menabrak ujung meja, tapi gadis itu malah menangkis tangannya dan duduk bersimpuh di atas lantai marmer yang dingin dengan tawa Martha serta Adjie yang menjadi backsound atas kelakuan Denok yang luar biasa malam ini.
Luki sebenarnya terkejut karena dua shot Tequila ternyata bisa merubah seorang Denok yang kalem abis bak putri kerajaan, rasanya sangat out of character—and her check is too red—pikir Luki.
"Nilai normal pH darah itu tujuh koma tiga lima sampai tujuh koma empat lima, kalau nilai pH berubah dan mengalami naik turun, bakal ada aktivitas sel yang terganggu!" cerocos Denok di hadapan lutut Luki.
Abby berusaha memanggil Denok dan menyadarkan gadis itu, tapi Denok lagi-lagi menggeleng dan mengangkat telunjuknya meminta Abby untuk diam. "Carbonat!" teriak Denok.
Luki mengusap wajahnya, sementara Martha sudah tidak bisa mengendalikan tawanya. "Gila... gila..." decak kagum Martha.
Adjie mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam Denok. "Laksmana harus tahu ini anjing gokil banget!" serunya.
Dan benar saja, Adjie mereka Denok yang masih terus mengoceh. "Mas Luki!" panggil Denok.
Luki terkesiap dan duduk tegak meraih kedua tangan Denok, pasalnya Denok ini jarang sekali memanggilnya dengan sebutan Mas Luki secara langsung. "Iya? Tidur yuk? Biar kamu besok segar, kita tidur ya?" pinta Luki dengan lembut.
Denok menggeleng, rambutnya yang panjang sudah acak-acakan dan Luki bantu merapikannya dengan jari-jarinya. "HCO3 sama H2CO3 itu carbonat, sedangkan Phosphate itu H2PO4 yang lahir dari HPO4 ditambah H2O!"
Adjie tertawa terpingkal-pingkal sementara Martha pun ikut merekam Denok kali ini. "Kayaknya dia harusnya masuk fakultas kedokteran nggak, sih? Kok bisa jadi anak psikologi?"
Abby menyahut dan mengangguk. "Denok itu sudah lolos fakultas kedokteran di UGM, Mbak. Tapi nggak dapat izin Papanya."
"What?!" pekik Martha dan Adjie bersamaan.
Luki menangkap tangan Denok yang berada di atas kepalanya. "Yuk, ke kamar ya, Sayang..."
"HAAAA!" Denok tiba-tiba saja mundur dan memegangi dadanya. "Jangan panggil aku begitu!" protesnya dengan poutty.
Damn, Luki belum pernah merasa gila hanya karena orang mabuk. Ya Tuhan, Denok benar-benar menguji imannya. "C'mon," Luki tak menyerah dan membantu Denok agar bangun. "Kita ke kamar."
Abby meringis dan sekaligus takjub dengan kelakuan Denok. "Mas Luki, Denok biar tidur sama saya aja, kasihan nanti Mas Luki keganggu tidurnya. Soalnya, Denok kalau udah mabuk begini bakalan resek!"
Luki tersenyum sambil menahan kesal. "Nggak apa-apa, saya bisa jaga dia kok."
"Serius, Mas? Nanti Mas Luki kalau nggak kuat panggil saya aja." kata Abby lagi karena merasa prihatin jika membiarkan Luki satu kamar dengan Denok.
Denok menjatuhkan dirinya di pelukan Luki sambil terus mengoceh. "Rumus kimia H+ atau hidrogen ditambah HCO-3 itu H2CO3 yang bisa menghasilkan CO2 atau karbondioksida. Tahu nggak kenapa?" tanyanya dengan kedua mata sayu kepada Luki.
Luki menggeleng frustrasi. "Nggak tahu!"
"Ah! Kan ada kenaikan ion H+ gimana sih kamu!" gerutunya.
Adjie masih tertawa dengan tanpa dosa. "Anjing lah! Selama ini dia lebih mikirin rumus kimia daripada hubungan pertunangannya yang freak!"
Martha bahkan sudah mengguling ke sana-sini. "Mas Laksmana sampai komentar good job di grup keluarga setelah gue kirim video Denok! Kata Mas Laskmana good shot!"
Luki tak tahan dengan semuanya lantas menggendong Denok ke atas bahunya layaknya karung beras. Abby sampai terkejut melihatnya, sementara Adjie mengerutkan keningnya. "Nggak asik banget sih lo! Namanya juga orang drunk elah!"
"INI SEMUA GARA-GARA KALIAN!" maki Luki dengan kesal. "Kalau tahu dia selemah ini, itu artinya dia nggak toleran dengan alkohol!"
"Ah kayak yang iya aja lo, memang kalau Denok malam ini nggak mabuk lo mau apakan dia?!" tantang Adjie.
Luki mendengus sebal dan melemparkan serbet kain putih pada Adjie. "Berisik lo anjing! Bereskan semuanya, gue harus bawa Denok ke kamar!"
Luki benar-benar membawa Denok yang keadaannya sudah miris, mata gadis itu sudah sepenuhnya tertutup dan racauannya tidak begitu sejelas tadi.
"... mekanisme pengeluaran CO2 di paru-paru, HCO-3 itu sifatnya basa, dan mekanisme kontrolnya ada di ginjal."
"Sayang," panggil Luki.
Luki membaringkan tubuh Denok secara perlahan di atas ranjang dan menyelimuti tubuh gadis itu. "Mas Luki!" panggil gadis itu setengah berteriak.
Luki melarikan telapak tangannya dan merapikan anak rambut Denok. "Iya, Sayang?"
Tatapannya begitu lembut, dan wajah yang ada dibawahnya menatap Luki dengan sayu namun masih ada kobaran semangat bahwa dia ingin melawan kesintingannya malam ini. "Ingat ya, makin tinggi HCO-3 pH darah akan semakin basa."
Luki membuang napasnya dengan kesal dan duduk di sisi ranjang sambil menyentuhkan kedua telapak tangannya di sisi wajah Denok. "Berhenti bahas asam basa, pening kepalaku!"
"Tapi Mas Luki nggak pening sama pacar Mas Luki," jawab Denok dengan suara manjanya.
"Siapa pacarku, hm?"
"Kezia," gumam Denok dengan tatapan kosongnya. "Kalian berdua kayak asam basa untuk aku, tiap lihat kamu pH darahku kayaknya naik, itu kenapa aku kadang suka sesak."
"Sesak?" Luki tidak tahan untuk tidak mengusapkan ibu jarinya di kedua alis rapi dan tebal milik Denok. "Kamu sesak lihat aku?"
Denok mengangguk dengan sangat pelan. "Iya, Mas Luki sama Kezia, aku sesak."
Ucapan Denok sebenarnya polos, tapi mendengarkan bagaimana ocehan Denok sejak tadi, sudah dipastikan bahwa hubungannya dengan Kezia bagi gadis itu adalah asam basa. Ya Tuhan, bagaimana ada gadis seperti Denok di hadapannya? Bagaimana Luki menahan semua rasa gemas ini?
Luki mendekatkan wajahnya dan mendaratkan keningnya di atas kening Denok. "Sayang..." lirihnya memanggil gadis yang ada di bawahnya. "You're so cute,"
"I'm not cute," protes Denok. "And I'm not a cutiepie,"
"Ya, you're not. Cause you're my sweetheart."
Denok menjauhkan tubuh Luki dengan kedua tangannya yang diberi kekuatan hingga terjadilah suara geplakan yang amat keras. "I don't like you, Bastard!" pekiknya dengan marah.
Luki menjauhkan wajahnya dan meringis. "Lho, kok mulutnya nggak sopan begitu? Aku cium lho, ya?"
Denok menggeleng. "Bastard." ulangnya sekali lagi.
Luki terkekeh pelan saking tidak bisa lagi menahan gemas, lantas dia turun mencium bibir Denok yang terbuka dan memanfaatkan kelemahan gadis itu. Ciuman Luki sengaja mengobrak-abrik isi mulut gadis itu, bibir lembab itu menerimanya dengan sangat baik, bahkan balasan bibir Denok begitu pelan dan amatir yang menggemaskan.
Mengikis akal sehat Luki yang entah sudah hilang kemana, keduanya tenggelam dengan ciuman yang saling memuja satu sama lain tanpa perlu kata dan Luki seakan tak menemukan ujung kepuasan.
Tangannya turun membelai pinggang ramping Denok dan masuk menyentuh perut gadis itu, Denok mengerang dan menarik napasnya dengan begitu berat. Luki turun mencumbu leher jenjang Denok dan memberikan lumatan kecil di sana, sementara tangannya semakin naik ke atas dan jari-jarinya bisa menyentuh bra yang dipakai oleh Denok.
"Luki Amidjaja," gumam Denok dengan suara yang breathy.
Luki belum pernah mendengar seseorang memanggil namanya dengan suara yang begitu menggoda telinganya. "Denok Kanara," balasnya di depan bibir gadis itu.
Luki meremas salah satu payudara gadis itu dan membuat tubuh Denok melengkung seolah meminta lebih, baru saja Luki akan menurunkan cup bra, tiba-tiba Denok menjambak rambut belakangnya dan membuat Luki mendongak ke arah gadis itu.
"Kamu bajingan itu, kan? Jangan bohong, Luki Amidjaja itu bajingan." gerutunya pelan.
Luki melepaskan tangannya yang ada di dalam pakaian Denok dan mencium bibir Denok dengan ciuman yang menuntut sehingga membuat Denok mencengkeram kedua lengannya lebih kuat. Cumbuan Luki bahkan lebih panas daripada yang sebelumnya hingga membuat Denok lepas kendali hingga mengerang.
Namun sedetik kemudian, kedua tangan Denok yang tengah mencengkeram kedua lengannya terlepas begitu saja, Luki mengangkat wajahnya dari lekuk leher Denok dan melihat bahwa Denok telah sampai di ujungnya, gadis itu meninggalkannya dan tertidur.
Luki mengangkat tubuhnya dan mengacak-acak rambutnya. "Shit!" umpatnya, dan Luki pun bisa melihat bahwa cumbuannya tadi telah meninggalkan bekas di leher kanan gadis itu.
"Oh mampus lah gue!" rutuk Luki membayangkan kemarahan Denok besok pagi.
***
Paginya, Denok terbangun dengan dua orang perempuan yang sudah menunggunya untuk bangun pagi ini karena mereka berdua—Martha dan Abby jelas tidak akan bisa pergi keluar villa meninggalkan Denok sendirian begitu saja.
"Hai..." sapa Martha dan Abby pada Denok yang baru saja membuka kedua matanya. "Good morning! Pusing?"
Jangan ditanya, jelas saja pusing dan sakit kepala jangan ditanya lagi. "Jam berapa ini? Sori..."
"Jam sebelas siang, kita sudah sarapan duluan tadi." kata Martha memberitahu. "Karena kamu belum bisa dibangunkan, ya kita nggak bisa paksa kamu untuk bangun. Lapar nggak? Kalau pusing, Adjie punya obat pengar,"
"Lapar, tapi..." Denok membuka selimut yang menutupi tubuhnya dan terkejut ketika pakaian yang sudah dia pakai semalam berbeda dengan pakaiannya pagi ini. "Aku..."
"Lo muntah," kali ini Abby yang menjawabnya. "Tadi subuh lo kebangun kata Mas Luki, yang ganti pakaian lo ya beliau."
"Kok..." rasanya kepala Denok sudah merasa panas sekarang, baru bangun tidur sudah mendengar berita tidak enak tentangnya.
Lain kali, Denok tidak mau minum lagi. Ini adalah terakhir kalinya dia mabuk! Gara-gara mabuk semuanya kacau, belum lagi dia pasti mengoceh yang tidak-tidak pada Luki dan semua orang.
Jangan-jangan dia sudah mempermalukan dirinya sendiri?
Denok memejamkan matanya dengan kesal ketika menyadari kenapa dia sangat bodoh mau menuruti permintaan Martha semalam. Andaikan saja jika dia tidak minum.
"Udah lah," tegur Abby melihat kekacauan yang ada pada wajah Denok. "Mau gimana lagi, harusnya lo terima kasih sama Mas Luki karena lo sudah merepotkan dia."
"Ya tapi..." kata-kata protesnya hanya bisa menggantung di udara. "Nggak usah gantikan baju gue juga kali?"
Martha menggigit bibirnya resah melihat kemarahan yang ada pada Denok, bisa gawat kalau begini ceritanya. "Mas Luki terpaksa melakukannya karena nggak mungkin juga membiarkan kamu tidur dengan pakaian kamu yang kotor karena muntahan kamu, kan?" ujar Martha menenangkan Denok.
Denok menghela napasnya dengan kesal, menyugar rambutnya dan berusaha berdiri. Tapi ketika dia berhadapan langsung dengan cermin, alangkah kagetnya Denok melihat lehernya yang kini sudah terhiaskan bercak keunguan.
"Siapa yang sudah cupang leher gue?!" teriaknya membuat Martha dan Abby menggigil ketakutan. Pagi ini, Denok benar-benar murka.
***
Denok pulang ke Jakarta duluan.
Pesan dari sepupunya, Martha berhasil mengganggu konsentrasi Luki yang tengah meeting saat ini. Sial, Luki mengutuk dirinya karena tidak bisa memiliki kesempatan untuk menjelaskan apa yang dia dan Denok lakukan semalam.
Pasti gadis itu marah besar padanya, satu kamar saja tidak mau, apa lagi Denok sudah tahu siapa yang mengganti pakaiannya, dan menciumnya tadi malam. Semua ini gara-gara Martha! Kesal Luki.
Luki menyelesaikan meeting secepat mungkin, hal itu berhasil membuat Adjie senang sekaligus heran. Senangnya karena dia tidak harus berlarut-larut mendengarkan rapat pembangunan resort di Jimbaran, dan herannya kenapa wajah Luki sangat kusut.
Apa sesuatu hal telah terjadi?
"Kenapa lo selesaikan meeting dengan cepat? Biasanya betah lo meeting beginian," kata Adjie yang mengekori Luki kali ini.
Keduanya tengah berjalan menuju lobi dan sudah dijemput oleh Sagar, asisten pribadi Luki. "Denok pulang lebih dulu ke Jakarta!"
"What? Itu bocah kenapa?"
"Dia marah," jawab Luki malas, ia sebenarnya tak mau membahasnya dengan Adjie.
Tapi sialnya Adjie ini banyak tanya dan senang mengorek informasi. "Marah kenapa?"
"Kata Martha, dia tahu siapa yang gantikan pakaian dia waktu muntah tadi pagi,"
"Terus?"
"Denok tahu kalau lehernya gue cupang!"
Jawaban yang kali ini berhasil membuat Adjie tersedak, Sagar yang tengah menyetir pun lantas menginjak rem secara mendadak dan membuat Luki protes tak suka. "Sagar!"
"Maaf, Pak." ujar Sagar tak enak dan menyalip mobil yang ada di depan.
Adjie tertawa dengan puas hingga terbahak di sisinya, suara tawanya bahkan sudah menguasai ruang yang ada di mobil. "Lo gila?" tanya Adjie.
Luki menggelengkan kepalanya dan meringis sambil memijati pelipisnya. "Lo kira gue bisa tahan satu ruangan sama Denok yang mabuk semalam?"
"Halah, tanpa mabuk aja pasti lo bakal serang Denok, kan?"
"Ya gimana lagi? Dia cantik." balas Luki dengan brengseknya.
Adjie tertawa lagi. "Tapi out of the topic—kayaknya lo jilat air liur lo sendiri, Mas."
"Kenapa?"
"Gue rasa, gue nggak lupa dengan apa yang pernah lo katakan sama gue. Lo nggak tertarik dengan Denok, dan lo juga nggak ada niatan untuk mensukseskan hubungan lo ini. Dengan cara bermain, dan menyenangkan Opa—lo nggak harus menikahi dia. Tapi lo malah bersikap kayak menyayangi dia. Bullshit banget sih, Mas?"
Luki tahu dia sedang mempermalukan dirinya sendiri di hadapan Adjie. "Kenapa juga jadi lo yang protes?"
"Jangan begitu," ujar Adjie memberitahu secara aman. "Nanti kalau nggak sesuai jalan rencana lo, nanti lo juga yang pusing, Mas. Gue bisa menebak karakter cewek kayak Denok, tahu nggak?"
"Menurut lo?" Luki mengangkat alisnya penasaran dengan jawaban Adjie. "Apa yang lo lihat dari Denok?"
"Yah..." Adjie menghela napas dan tersenyum sambil melihat jalanan Bali yang lengang. "Meskipun Denok ukurannya bocah, dan dia terlalu hijau dalam urusan asmara, not lie—dia menarik, cantik—poin plusnya, dan dia datang dari keluarga yang luar biasa punya banyak privilege, meskipun kalau bahas dikenal atau nggaknya di kalangan luar, gue rasa Denok cuman belum tahu cara bergaul dengan baik sesuai nama keluarganya."
Luki mengangguk setuju, karena lingkungan Denok yang sempit juga membuat gadis itu hanya melakukan hal-hal yang sama dan membosankan. Terlebih lagi, Denok memang kurang akan pengalaman.
Lalu Adjie melanjutkan kembali kata-katanya. "Gue sama Martha pernah membicarakan dia, especially dia mulai agak terlihat setelah dia bantu menyelamatkan Laksmana dari penyerangan."
"Terus?"
"Dia cewek yang berprinsip, Mas."
Mendengar jawaban Adjie yang tidak biasa, Luki pun menoleh dengan wajah penasaran dan menatap ekspresi wajah Adjie yang memang tidak sedang dibuat-buat, Adjie ternyata mengagumi Denok secara tidak langsung.
Adjie tersenyum kecil namun tetap terlihat bahwa dia bangga ketika mendengar jawaban Denok atas pertanyaan yang Opanya katakan pada saat itu. "Dia perempuan asli, bukan perempuan jadi-jadian. Jadi, kalau ketika lo nanti—kalau jalan Tuhan buat lo dengan Denok menikah, ya jangan heran kalau lo akan diperlakukan sangat baik oleh dia."
"Lo menilai Denok sejauh mana? Sejak kapan?" tanya Luki dengan suara yang terasa dingin.
Adjie tahu bahwa bagaimana pun hubungan dia dan Luki—sebagai sepupu, jika itu urusan perempuan jelas sisi lelaki mereka tetap akan muncul. Tapi, bukan berarti Adjie akan merebut Denok dari Luki, dia tidak segila itu untuk membuat perpecahan antar keluarga.
"Sejak dia ngobrol sama Opa, dan bagaimana jawaban yang dia berikan pada Opa. Opa pun puas mendengar jawaban Denok, Mas."
Luki semakin penasaran, apa yang telah gadis itu permainkan hingga para pria yang ada di keluarganya menyukai Denok? "Opa tanya apa sama dia?"
"Tanya apa arti lelaki, anak dan suami di mata Denok."
"Lalu jawaban dia apa?"
"Tanya aja sama Opa." balas Adjie.
Luki muak, dia mendengus dan ingin menonjok Adjie saat ini juga. Tapi entah kenapa rasanya Luki penasaran apa yang Denok katakan pada Opanya hingga sepupu brengsek macam Adjie pun terpukau pada gadis itu.
***
a/n:
Pada intinya dia sesak karena cemburu, tapi bahas asam basa. Otaknya itu lho.... Dari cemburu disambungkan dengan teori asam basa, mampus aja udah:)
Aku update pagi-pagi, nggak apa-apa ya. Kalau nanti malam aku lupa, paginya sudah wkwkwk.
5, Desember 2022.
Salam sayang,
Ayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro