37. Goodbye. (2)
Entah sudah berapa lama Shannon terdiam dan menangis setelah menyusun kepingan puzzle dikepalanya seorang diri. Ia benar-benar merasa lemah, tidak berdaya, dan bersalah.
Bahkan ia yang sempat membenci dirinya sendiri atas kesalahannya dulu, kini semakin membenci dirinya sendiri karena telah mengkhianati keluarganya, mengkhianati Kakek terutama Neneknya.
"Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan..." lirihnya tidak tertahan lagi. "Maafkan Shannon, Nenek... Shannon- aku sama sekali tidak tahu kalau Gara adalah cucu dari orang yang membunuh Nenek... Maafkan Shannon-"
Suara pintu terbuka dan derap langkah kaki mendekat membuat Shannon yang tengah larut dalam kesedihannya terkesiap. Ia tidak sempat membereskan berkas-berkas rahasia itu ketika ia menoleh dan melihat Austin berdiri dengan wajah lelah dan khawatirnya di ambang pintu.
"Shannon, ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?" Borong Austin sambil berlari mendekati Shannon yang masih duduk di sisi kasur dengan airmata berlinang.
Austin membingkai wajah Shannon dan mengamatinya dengan lekat. Ia sangat merindukan wanita di hadapannya. Wanita ini yang membuatnya kehilangan akal sehat.
"Aku baru dari rumah sakit, tetapi kau tidak ada disana. Ayah dan Ibumu memintaku menjemputmu dan Gio karena mereka tidak bisa memindahkan Kakekmu kembali ke rumah karena kondisinya tidak memungkinkan," ujar Austin dengan suara yang sangat lembut di telinga Shannon. Laki-laki itu kemudian melanjutkan seraya mengusap airmata di pipi Shannon. "Apa yang terjadi padamu, Shannon? Kenapa kau menangis disini seorang diri?"
Mendengar pertanyaan Austin, menyadari kehadiran laki-laki itu, sontak membuat Shannon semakin larut dalam kesedihannya. Seakan ia sadar kalau ia bisa meluapkan segala kesedihannya di depan Austin, kalau ia akan kembali baik-baik saja setelah kesedihannya berlalu, kalau ia tidak lagi seorang diri menanggung ini semua.
Shannon menggeleng dan kembali terisak. Ia langsung memajukan diri dan memeluk Austin dan kembali meluapkan rasa kecewanya. "Aku ingin bertemu Kakek... Aku ingin meminta maaf pada Kakek..."
Sempat terpaku sejenak, Austin kemudian melingkarkan tangannya di tubuh kecil Shannon dan mengangguk. "Aku akan membawamu kesana."
"Aku sudah mengecewakan Kakek, Austin," lirih Shannon. "Bagaimana kalau Kakek tidak mau memaafkanku? Bagaimana kalau Kakek membenciku?" Tanyanya khawatir.
Austin tersernyum kecil dan mengusap kepala Shannon perlahan. "Tidak akan, Shannon. Kakekmu tidak akan membencimu. Beliau pasti akan memaafkanmu, apapun kesalahan yang pernah kau perbuat-"
"Kau tidak mengerti apa yang telah aku perbu-" Shannon yang tengah berada dalam kegalauannya, tiba-tiba melepas pelukan Austin dan menepis lingkaran tangan Austin. Hal itu membuat Austin meringis karena Shannon -tanpa sadar- menekan luka sayatan yang berada di pergelangan tangannya yang tertutup kemeja lengan panjang. Mendengar ringisan Austin, spontan saja Shannon berhenti berbicara.
"Ada apa? Kau kesakitan? Apa yang sakit?" Tanya Shannon khawatir.
Ditengah rasa sakit, ngilu dan perihnya, Austin menggeleng dan mencoba tersenyum. "Tidak apa, hanya luka kecil." Austin bisa merasakan kalau jahitan di pergelangan tangannya pasti terbuka lagi. Tapi ia tidak ingin membuat Shannon merasa semakin bersalah.
"Luka kecil bagaimana? Kau tidak akan kesakitan seperti itu kalau hanya luka kecil! Apa terjadi sesuatu di Indonesia?" Selidik Shannon tidak mau berhenti.
"Aku akan memberitahumu. Tetapi sebelum itu, aku harus mengantarmu ke rumah sakit dulu. Kakekmu menunggumu, Shan," ujar Austin mencoba mengalihkan perhatian Shannon.
Mendengar kata Kakek, Shannon kembali teringat akan rasa bersalahnya. Ia tidak tahu apa ia sanggup bertemu Kakeknya nanti. Ia tidak tahu, apa dirinya sanggup memaafkan keegoisannya sendiri yang membuat semuanya berantakan dan melempar kesalahan dan kebenciannya pada Kakeknya selama ini?
***
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Shannon hanya terdiam menatap jalanan seraya mengelus rambut lembut Gio yang tengah tertidur di pangkuannya.
Austin memperhatikan keresahan di mata Shannon, namun ia tidak tahu bagaimana cara menghilangkan keresahan itu selain dengan tetap berada di samping wanita itu.
Ia tahu Shannon adalah wanita yang kuat. Wanita itu pasti akan cerita saat ia sudah tidak lagi kuat menanggung bebannya seorang diri. Austin hanya bisa bersabar dan tidak meninggalkan Shannon.
Wajah Shannon berpaling menatap Austin. Wajah cantik itu tersenyum kecil untuk beberapa detik sebelum senyuman itu berganti dengan keterkejutan saat tanpa sengaja ia melirik kearah lengan baju Austin yang sudah berbercak merah ditengah sinar lampu jalanan yang mereka lewati.
"Tanganmu berdarah!" Seru Shannon ngeri. Ia bahkan berputar cepat kearah Austin tanpa takut membangunkan Gio. "Apa yang terjadi? Kenapa lenganmu bisa mengeluarkan darah- oh! Apa ini karena doronganku tadi?" Tanyanya cemas. Kekhawatiran semakin terlihat diwajah itu.
Austin melirik kearah lengannya dan menyembunyikannya meski sia-sia. "Aku hanya tidak berhati-hati saat bekerja. Mungkin aku terlalu merindukanmu," bohong Austin.
"Bohong! Austin yang aku kenal tidak akan seceroboh itu. Apa yang terjadi?!" Desak Shannon sambil mencoba menarik lengan Austin untuk melihat luka yang di sembunyikan laki-laki itu.
Shannon tambah terkejut saat ia menyingkap lengan baju Austin dan melihat perban yang cukup panjang membalut lengan Austin dan kini sudah bernoda darah. Entah sudah berapa banyak darah yang keluar dari luka itu.
"Austin!! Apa yang terjadi? Kau tidak mau memberitahuku?!" Tanya Shannon kembali menangis. Ia menatap tajam Austin seakan Austin sendiri yang menyebabkan luka itu.
"Aku hanya tidak mau membuatmu bertambah khawatir-"
"Lalu kau pikir aku tidak khawatir melihat lengan tunanganku penuh darah seperti ini?!" Gerutu Shannon keras. Untungnya Gio masih terlelah di pangkuannya.
Austin menarik sudut bibirnya.
"Kenapa kau tersenyum? Tidak ada yang lucu, Austin! Kita akan mengobati lukamu begitu sampai rumah sakit nanti!!" Seru Shannon jengkel seraya menyeka air matanya.
"Baiklah, baiklah. Aku akan mengobati lukaku nanti, nyonya," goda Austin sambil membantu menyeka air mata Shannon yang ditepis pelan oleh wanita itu akibat sisa kemarahan di dirinya. "Memang tidak ada yang lucu. Aku hanya merasa senang mendengar statusku dari bibirmu tadi."
Shannon menatap tajam Austin dan detik berikutnya ia ikut tersenyum dan wajahnya merona ketika ia menyadari maksud ucapan Austin.
"Bisakah kita membahasnya nanti, Shan? Aku tidak ingin berbohong pada tunanganku," ujar Austin semakin membuat Shannon malu. Austin meraih punggung terluar Shannon dan mendekapnya erat dengan tangannya yang tidak terluka.
"Kau sudah berbohong," gumam Shannon kecil namun masih bisa terdengar oleh Austin.
Mata Austin membulat. Ia meregangkan pelukannya hanya agar ia bisa melihat wajah Shannon saat ia berkata, "kapan? Saat aku menyebutmu tunanganku? Kau tahu aku sangat jujur mengenai hal itu."
Austin meringis kecil lalu tertawa saat cubitan melayang ke pinggangnya.
"Berhenti menggodaku!! Menyebalkan!" Omel Shannon sambil membenamkan wajahnya di dada Austin dengan nyaman.
Ia masih bisa mendengar tawa Austin. Tawa yang seakan membisikkan kata 'tenanglah, kau tidak pernah sendirian' disetiap suaranya.
"Terima kasih, Austin," bisik Shannon pelan. "Terima kasih karena sudah datang dan menemaniku."
Austin mendengarnya. Ia tersenyum dan membelai kepala Shannon lembut. "There is no home without you, Shannon. I just want to go home, and now i am home."
***
Sempat melupakan, ketegangan itu kembali saat Shannon menginjakkan kaki di depan rumah sakit.
Gio sudah bangun, dan tentu saja ia bertanya dimana mereka sekarang karena yang ia ingat adalah ia masih tertidur di kamar Ibunya. Ia bahkan terkejut melihat Austin berada disana dan kini tidak mau lepas dari gendongan Austin. Ia menggunakan tangannya yang tidak terluka dan itu sempat mendapat protesan keras Shannon sebelum perempuan itu kembali terfokus pada pemikirannya.
"Mereka ada di lantai 3. Aku akan mengantar kalian," ucap Austin menyadarkan Shannon dari lamunannya.
"Tapi lukamu?" Tanya Shannon. Austin tahu perhatian Shannon tidak sedang berada pada dirinya maupun lukanya. Ada hal lain yang lebih mengganggu wanitanya.
"Aku akan mengobatinya nanti. Tenanglah."
Shannon akhirnya mengangguk, entah sadar atau tidak. Ia kemudian mengikuti gandengan tangan Austin menuju ke Lift.
Semakin benda kotak itu membawanya ke lantai 3, semakin jantungnya berdebar tidak karuan. Ia merasa mulas dan khawatir. Rasa bersalah itu kembali menghantui dirinya.
Menyadari ketakutan itu, Austin menggenggam tangan Shannon semakin erat. Ketika Shannon menoleh, ia melihat Austin yang sedang bercanda dengan Gio di gendongannya. Laki-laki itu seakan sedang mencoba mengirim keberaniannya melalui sebuah genggaman tangan.
"Shannon akhirnya kau datang." Ibunya segera menghampiri begitu ia melihat Shannon yang masih berada di ujung lorong.
"Kakek!!! Nenek!!!" Teriak Gio yang langsung meminta untuk diturunkan.
"Pelankan suaramu, jagoan," ujar Austin memperingatkan sebelum Gio berlari menjauh ke pelukan Ayah Shannon yang dengan sigap menangkapnya.
"Bagaimana keadaan Kakek?" Tanya Shannon begitu sampai di hadapan kedua orang tuanya.
Ibunya menggeleng kecil.
"Seperti yang pernah kami katakan sebelumnya, sejak kau pergi-"
"Aku tahu," potong Shannon mencoba sekuat tenaga menahan tangisnya. "Apa aku bisa menjenguk Kakek di dalam bersama Gio?"
"Tujuan kami memang agar kau bisa menjenguk Kakek. Tapi mengenai Gio..."
"Hanya sebentar, Dad." Shannon mengusir keraguan di mata Ayahnya dengan cepat. "Setidaknya, biarkan Gio melihat Kakek buyutnya sebentar. Semenit juga tidak apa."
Hening mengusik kelima orang itu sebelum ibunya mengangguk dan berkata, "biarkan Gio menjenguk Kakek buyutnya. Kita tidak pernah tahu apa mereka akan memiliki kesempatan untuk bertemu lagi atau tidak."
Mendengar penuturan itu sejujurnya membuat jantung Shannon terasa perih. Sudah berapa banyak waktu yang ia buang untuk menjadi cucu durhaka dan menyiksa Kakeknya? Bahkan di saat tua Kakeknya seperti ini.
"Aku akan mengobati lukaku dan menunggumu di depan," ucap Austin sambil menepuk punggung Shannon.
Perempuan itu hanya mengangguk tanpa menoleh. Ia menggenggam tangan Gio dan berjalan pelan menuju ke kamar perawatan Kakeknya.
Hal yang sampai saat itu masih sangat berat untuk Shannon lakukan, tetapi harus.
***
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro