Bab 2 | Lebih dari Carolina Reaper
Sejak tadi pagi Jane sibuk membuka-buka album foto masa putih abu-abu miliknya yang tertata rapi di rak buku kayu jati yang klasik di sudut kamarnya.
Semalam tiba-tiba saja wanita bertubuh jangkung itu mulai memikirkan cara untuk bisa berkelit dari perjodohan konyol yang diobrolkan oleh Mama dan Bik Ade. Ide itu muncul saat jam dua dini hari tadi dia kebelet, sambil menatap langit-langit kamar mandi tercuatlah ide gila yang kemungkinan besar bisa menolong dirinya dari rencana sang mama.
"Di mana, sih? Aku yakin kok, aku pernah foto dengannya!" Jane mengernyit, kedua tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Teh, atos siap-siap acan?"1*)
Suara Mama membuat Jane terkesiap.
Buru-buru dia membuat alasan untuk mengulur waktu keberangkatan mereka ke Lembang.
"Belum, Mah. Jane dari tadi bolak-balik toilet, diare," dustanya dengan alasan sekenanya.
Mama mengetuk pintu kamar Jane, seraya berkata, "Mama boleh masuk, Sayang? Kamu nggak apa-apa, kan?"
"Boleh, Mah, masuk saja!" serunya, seraya masih sibuk mencari keberadaan foto tiga belas tahun yang lalu.
"Alah sia ... Ini kamar kenapa jadi kapal Titanic gini sih, Sayang?" Mama menatap dengan tidak percaya mendapati kamar putrinya itu penuh dengan album foto yang berserakan di lantai.
Jane mengukir senyum, lalu berkata, "Maaf, Mah. Jane sedang mencari foto perpisahan sekolah dulu," akunya.
"Ya ampun ... Kenapa baru bilang, Sayang? Semua album foto yang sudah lama, sudah Mama pindahkan, Mama simpan di gudang."
Jane menepuk jidatnya. "Pantas saja dari tadi Jane cari-cari tapi nggak ketemu, Mah." Jane bangkit menuju mamanya, menghamburkan diri dengan rasa senang.
"Tararengkyu mamaku, Sayang!" pekik Jane seraya mengecup pipi kanan mamanya, dan segera mengacir ke arah gudang.
"Mama simpan di kardus yang disusun di dekat saklar lampu!" seru sang mama.
"Siap, Mah!" sahut Jane dengan suaranya yang melengking, seraya dia menuruni anak tangga menuju gudang.
Di ruangan yang penuh dengan barang-barang yang sudah tidak terpakai lengkap dengan kain putih yang menutupi, tidak ketinggalan debu-debu yang menempel di sana membuat Jane terbatuk-batuk.
Dia mengibaskan tangannya ke arah depan wajahnya beberapa kali, bermaksud menghalau debu yang menyapa kedatangannya di sana.
"Aha, ketemu!" Jane segera menghampiri tumpukan kardus yang disusun rapi, lengkap dengan tulisan tebal menggunakan spidol isi di dalam kardusnya.
Jane membuka salah satu kardus bertuliskan foto perpisahan SMA Jane dengan pisau yang sempat dia ambil saat melewati dapur tadi. Tangan Jane bergerak-gerak dengan cepat, matanya dengan teliti melihat gambar-gambar di dalam album foto masa putih abu-abu miliknya itu.
"Puji Tuhan! Terima kasih, Tuhan!" Sekali lagi dengan girangnya Jane berseru saat foto yang sejak tadi ia cari akhirnya ketemu.
Jane memasukkan foto seorang gadis berambut panjang dengan gaya rambut half updo dengan hiasan bunga daisi kecil yang cantik di belakangnya, senada dengan kebaya berwarna putih tulang yang ia kenakan. Di samping gadis cantik itu berdiri seorang laki-laki tampan dengan model rambut fringe dan setelan kemeja putih polos lengkap dengan jas berwarna senada dengan celana hitam yang ia kenakan. Keduanya terlihat begitu serasi di dalam foto, wajah keduanya sama-sama tersenyum lebar memamerkan kebahagiaan setelah tiga tahun lamanya menjadi siswa SMA.
Jane meraba punggungnya, sebuah senyum kecut ia perlihatkan saat ia ingat harus memangkas pendek rambutnya yang panjang alih-alih untuk membuang jauh-jauh kesialan karena putus cinta saat itu.
"Mah, kita jadi berangkat ke rumah Tante Euis sekarang?" Dengan wajah berdebu Jane menghampiri Mama dan papanya yang sedang menikmati nasi goreng sebagai santapan di pagi hari mereka.
"Jadi dong. Ini kami tinggal tunggu kamu loh, Sayang ... Sana cepat bersiap-siap, mandi, dandan yang cantik, lalu sarapan," titah sang mama.
"Siap, Mama Bos!" sahut Jane seraya cekikikan.
***
Jangan tanya kapan jalanan Bandung akan sepi, karena sebagai ibukota Jawa Barat, kota Paris Van Java ini selalu jadi salah satu primadona bagi para penikmat daerah sejuk, banyak daerah wisata plus oleh-oleh yang lengkap dari mulai kuliner maupun pernak-pernik khas Kota Kembang.
"Mah, cacing-cacing di perut Jane demo, lapar," keluh Jane dengan bibir manyun lima centimeter.
Mama yang berada di jok depan bersebelahan dengan papanya menengok lalu berkata, "Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi kita sampai kok."
"Kenapa nggak berhenti dulu saja, Mah? Jane benar-benar lapar."
"Sayang, Tante Euis sudah masak banyak loh buat kita."
Mulut Jane terkatup, saat mobil Papa kembali terjebak macet, Jane memanggil tukang jualan cilok yang sedang mendorong gerobaknya ke arah Farm House Lembang. Jane membuka kaca jendela mobil dan memanggil tukang jualan cilok yang berada tidak jauh dari seberang mobilnya.
"Aa cilok!" serunya.
Tukang cilok menengok ke arah sumber suara. Dia menunjuk dirinya seraya berkata, "Ka abdi, Teh?"2*)
Jane manggut-manggut, tangannya melambai ke arah tukang cilok dan memintanya untuk mendekat. "Bade A, sapuluh rebu weh, A."3*)
Setelah mendapatkan ciloknya, mobil di depan kembali bergerak, perlahan-lahan akhirnya mereka sampai juga di tempat tujuan.
Seperti ritual yang selalu dilakukan setiap kali pertemuan keluarga, Jane melakukan semua hal itu di rumah Tante Euis. Tante Euis mendatangi Jane yang sedang duduk di pinggir kolam ikan di taman belakang rumahnya.
"Sayang, kamu jujur dong sama Tante," pancing Tante Euis sembari memberikan semangkuk salad buah segar kesukaan Jane.
"Jujur apa, Tan?" yang ditanya pura-pura tidak tahu.
"Kamu sudah punya pacar? Kata mamamu, sudah ya, di Jakarta?" goda Tante Euis, menyolek pipi putih dengan semu peach blossom yang nampak natural di wajah Jane.
Jane mengiakan dengan anggukan, mulutnya penuh dengan salad buah. Dia begitu menikmati setiap detik lumeran mayonais yang berpadu dengan macam-macam rasa buah segar di mulutnya.
Saat di perjalanan menuju rumah Tante Euis, Jane ditanya oleh mamanya, tentang pria yang dekat dengannya. Dengan jujur Jane menceritakan tentang Geni Adipati yang merupakan rekan satu kantornya, dia dan Geni memang bisa dikatakan dekat. Lebih tepatnya, Jane menganggap pria tampan yang umurnya terpaut dua tahun lebih muda darinya sebagai adik.
Selebihnya Jane berbohong kepada kedua orang tuanya tentang pria bernama Zefran yang ia katakan sebagai kekasihnya di Jakarta. Papa percaya pada Jane, sementara Mama menganggap kalau hubungan putri semata wayangnya dengan pria bernama Zefran itu hanyalah bualan.
Akhirnya mereka sekeluarga sepakat kalau ditodong pertanyaan tentang calon Jane, maka jawabannya adalah Jane sudah punya pacar di Jakarta. Begitulah sekenario yang telah dibuat oleh Mama kepada Bik Ade semalam untuk menolak perjodohan Jane dengan ponakannya yang Mama yakini masih terlalu muda untuk Jane.
Setelah melihat mangkuk berisi salad buah di tangan Jane sudah ludes, Tante Euis kembali bertanya masih tentang calon dari keponakan cantiknya itu.
"Kamu tahun depan sudah kepala tiga kan, Jane?"
Jane mengembuskan napas perlahan-lahan, rasa sesak menjalar di dadanya. Wanita yang hobi makan dan ngemil itu paling kesal setiap kali ditanya tentang kapan nikah. Jane malas membicarakan hal yang membuatnya terlihat tidak bernilai karena pandangan orang-orang yang kasihan padanya, juga mereka yang mencibir dirinya.
Memangnya jadi jomlo itu dosa besar ya? Kenapa sih, orang-orang baik banget sampai ikut campur perkara jodoh yang katanya di tangan Tuhan? Heran. Jane berkata dalam hati.
"Iya, Tante," jawab Jane singkat.
"Kamu itu cantik loh, Sayang. Kamu juga mandiri, punya kerjaan. Tante juga dengar katanya kamu sedang merintis usaha butik dengan temanmu kan?"
Tante Euis berkata tanpa memberikan Jane kesempatan untuk menjawabnya. Jane hanya mengangguk.
"Maksud Tante, kalau kamu terlalu sibuk meniti karier kapan kamu nikahnya, Sayang? Kamu mau jadi perawan tua?"
Panas ya, nggak kuping, nggak hati. Jane sekali lagi bergumam dalam diam, masih dengan senyum yang ia buat-buat.
Sebuah panggilan masuk dari bosnya di kantor seolah menolong Jane dari perkataan sepedas cabai Carolina Reaper keluarga besarnya. "Tante mohon maaf, Jane ada panggilan kerja," ucap Jane undur diri.
Dari belakang tubuhnya yang sedang berjalan menjauh dari Tante Euis, dia bisa mendengar suara tantenya itu yang berkata, "Kok bisa-bisanya bos kamu telepon padahal sedang liburan. Dasar nggak berperikemanusiaan," cibir Tante Euis.
____________
Teh atos siap-siap Acan? 1*) : Kak, sudah siap-siap?
Ka abdi, Teh? 2*) : berbicara denganku, Kak?
Bade A, sapuluh rebu weh, A. 3*) : Mau, A, sepuluh ribu saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro