Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 6

"Lekas sembuh ya." Rey tersenyum lalu mengusap kepala pasien kecilnya saat pemeriksaan selesai dilakukan.

Setelah Rey selesai menulis diagnosa pada Medical Record pasien dan memberikan resep, perawat kemudian memanggil antrian terakhir.

"Siang, Dokter." Seorang wanita menyapanya sambil menggendong bocah laki-laki.

"Siang, Ibu. Silakan duduk." Rey tersenyum ramah, kemudian membaca sekilas nama pasien di depannya ini pada medical record serta membaca sekilas keluhan yang dirasakan pasiennya.

"Kalandra Adhitama?" Rey bertanya untuk memastikan kesesuaian data dengan pasien.

"Benar, Dok. Sering dipanggil Andra."

"Baik, kita periksa dulu Andra ya Bu. Silahkan baringkan," Rey berdiri kemudian berjalan mendekat pada brankar di sampingnya, tempat Andra dibaringkan.

Seketika Rey terbelalak melihat bagaimana rupa bocah di depannya ini. Familiar. Rey merasa mengenalnya padahal dia baru pertama bertemu dengan Andra. Ingat jika dia harus menjalankan tugasnya secara profesional, Rey menepis pikirannya. Kembali fokus mengecek kembali suhu tubuh Andra, kemudian melakukan pemeriksaan yang lainnya untuk tahu bagaimana kondisi bocah kecil ini.

"Permisi." Suara dari pintu yang sedikit terbuka mengalihkan perhatian mereka.

Rey sempat terkejut melihat siapa yang berdiri diambang pintu, ternyata Juni yang masuk dalam ruang praktiknya.

"Maaf, Dokter. Dia Juni, mama Andra. Tadi waktu Andra dipanggil, dia sedang ke toilet. Sekarang dokter bisa jelaskan kondisi Andra padanya." Pertiwi yang paham dengan kebingungan Rey mulai menjelaskan kehadiran Juni.

"Oh, baiklah. Silakan duduk Juni. Akan saya jelaskan." Rey mulai duduk dihadapan Juni serta Pertiwi.

"Bagaimana, Dokter Rey?" Juni menanyakan keadaan Andra dengan ekspresi datar.

"Sebaiknya kita lakukan cek darah agar tahu pasti apa yang terjadi pada tubuh Andra. Demamnya belum turun juga, masih di angka 39°c. Padahal sudah satu jam sejak paracetamol diberikan. Dari tenggorokannya juga baik-baik saja. Baru sekali muntah kan tadi? Dan Andra dari segi fisik sudah terlihat sangat lemas." Rey memberi penjelasan.

"Baik, Dokter. Jika memang itu yang diperlukan." Juni kemudian melihat sekilas pada Pertiwi dan Andra.

Kemajuan bagi Juni setelah satu bulan tinggal bersama Pertiwi dan Andra, Juni sudah mulai bisa duduk berdekatan dan menatap wajah anaknya itu, meski belum ada kontak fisik secara langsung.

***

Setelah hampir satu jam menanti hasil cek darah keluar, Juni kembali masuk dalam ruang praktik dokter Rey.

"Dari hasil tes, terlihat trombositnya menurun drastis. Hemoglobin darah juga menurun. Dilihat dari gejala ini, diagnosa saya mengarah pada Demam Berdarah. Saya sarankan untuk segera dirawat agar bisa dilakukan observasi serta Andra bisa mendapatkan penanganan intens." Rey tampak serius menjelaskan setelah Juni duduk di depannya.

Hening. Juni tampak berpikir.

"Baiklah. Jika itu yang terbaik buat Andra."

***

Dalam ruang rawat, sekali lagi Juni melihat Andra yang terbaring lemah. Perlahan, Juni langkahkan kakinya mendekat, degup jantungnya semakin berkejaran. Tidak, dia tidak boleh menyerah. Tepat disamping Andra yang terbaring, tangan Juni terangkat perlahan. Saat akan menyentuh pipi Andra, tiba-tiba tangan Juni menggantung di udara. Kilasan balik peristiwa pemerkosaan itu kembali mengganggunya, sekuat tenaga ditepisnya bayangan itu. Ia tidak boleh kalah lagi, Juni menutup rapat matanya serta menggelengkan kepala untuk menghilangkan bayangan itu.

Membuka mata perlahan, Juni berusaha tetap menggapai kulit pipi putranya meski dengan tangan yang kini bergetar. Dan saat kulit mereka bertemu, tiba-tiba ada getaran aneh dalam diri Juni. Hatinya menghangat, tanpa sadar air matanya menetes. Hangat, lembut dan menenangkan. Sebesar itu efek yang Juni rasakan hanya dengan menyentuh pipi Andra.

"Andra," Juni berkali-kali menggumamkan nama itu, seraya mulai menggerakkan telapak tangannya untuk membelai lembut pipi Andra yang masih terlelap.

Tanpa Juni sadari, Pertiwi menyaksikan hal itu dari ambang pintu dengan pipi yang mulai basah oleh air mata haru. Do'anya selama ini perlahan terjawab.

"Ma ... Maafin Mama." Juni terbata membisikkan permohonan maaf, setelah mendekatkan wajahnya pada Andra.

"Mama salah sama Andra. Mama udah bikin Andra takut. Dan Mama enggak bisa jadi Mama yang baik buat kamu. Ha.. Harusnya Mama nggak limpahin semua sama kamu. Hiks," ucap Juni disela isak tertahan serta belaian tangannya pada pipi Andra.

Airmata Pertiwi semakin deras mengalir. Ia bahagia. Juni menemukan kekuatannya, dan Andra mendapatkan kebahagiaan yang dia inginkan selama ini.

"Bu?" sebuah panggilan serta tepukan pelan membuat Pertiwi bergegas menghapus airmatanya dan berbalik.

"Eh? Dokter?" nada terkejut nampak saat dia menyapa orang yang telah menepukknya.

Rey tersenyum ramah, lalu melirik kedalam ruang rawat pasien kecilnya. Melihat pemandangan disana, Rey memutuskan menunda sebentar jadwal kunjungannya dan mengajak Pertiwi duduk di kursi tunggu depan ruang rawat.

"Boleh saya bertanya Bu?" Rey menjeda ucapannya, dan melanjutkan setelah sebuah anggukan terlihat diberikan Pertiwi. "Jadi, Andra itu putra Juni Bu?"

"Iya, Dok. Dokter, kalau tidak salah putra dari dokter Elsa kan? Kita pernah sekali bertemu sebelumnya. Tepatnya dalam ruang praktik dokter Elsa ketika menemani Juni berobat." Pertiwi masih mengingat wajah Rey yang memang hanya terdapat sedikit perubahan dari tiga tahun lalu.

"Iya, Bu. Sedikit saya tahu permasalahan Juni. Saya ikut prihatin dengan apa yang menimpanya Bu." Rey merasa tidak enak saat mengatakannya.

"Berarti Andra adalah..."

"Anak pria brengsek itu." Belum sempat Rey melanjutkan ucapannya, suara Juni terdengar menyahuti.

Sontak keduanya menatap pada Juni yang kini berada diambang pintu. Kebetulan suasana cukup sepi, sehingga mereka tidak akan menjadi pusat perhatian.

"Maaf Juni. Saya tidak berniat mengorek masa lalumu. Hanya... " ucap Rey yang lantas berdiri. Dia gamang, apakah ia harus melanjutkan ucapannya atau lebih baik dia diam. Sejak pertama melihat Andra, Rey seperti mengenali bocah tersebut. Namun saat dia tahu Andra adalah putra Juni, hatinya berbisik jika mungkin hanya sebuah kebetulan. Bukannnya ada manusia yang memiliki tingkat kemiripan meski mereka bukan saudara dan tidak memiliki ikatan darah yang sama?

"Ah, saya harus melakukan pemeriksaan pada Andra, hasil tes darah hari ini sudah kekuar. Boleh saya masuk?" Rey mencoba mengalihkan pembicaraan agar tak berlanjut. Ia takut dengan apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

"Silakan." Juni mundur selangkah kemudian menggeser badannya agar Rey bisa melakukan tugasnya.

***

Bunyi yang menandakan telepon masuk, terdengar dari ponsel Juni. Wanita itu mengernyit saat yang ia dapati hanya nomor asing tanpa nama. Hingga panggilan ke dua, Juni mencoba menjawab telepon tersebut.

"Halo?"

Halo, Selamat siang. Kami dari PT. Armada Kencana. Apakah benar ini saudara Junia Tsabita? Terdengar suara wanita dari seberang.

"Iya. Saya Junia. Ada yang bisa saya bantu?"

Selamat saudara Juni. Kami menginfokan jika email anda menjadi satu diantara tiga email CV yang lolos seleksi untuk posisi sekretaris. Besok jam sembilan, silahkan datang ke kantor untuk menjalani interview langsung dengan atasan kami. Suara wanita diseberang mulai menjelaskan.

"Benarkah?? Terimakasih Bu. Besok saya akan datang." Suara Juni terdengar antusias. Setelah lebih dari seminggu dia melamar pekerjaan baru, akhirnya dia bisa kembali bekerja lagi.

Semoga kali ini aku bisa lolos. Harap Juni.

...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro