Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Jadian?

MAAF JIKA ADA TIPO

🌸

"Tahu rasa sakit terbesarku kali ini? Saat tiba-tiba kamu terlihat sangat menjaga jarak di antara kita."

🌸🌸🌸

    Hari ini adalah hari senin. Mulai hari ini hingga empat hari ke depan akan diisi dengan kegiatan-kegiatan seleksi ekstrakurikuler dan organisasi-organisasi seperti OSIS atau Dewan Ambalan. Dan seperti yang telah Echa paparkan kemarin kepada Raga, para calon OSIS SMA Pranata tengah berkumpul di Aula. Mereka tampak memperhatikan dengan khidmat pidato sambutan dari Bapak Kepala Sekolah.

    "Raga."

    Raga menatap Echa sekilas, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada Jiwa. Ya, Jiwa. Sedari tadi matanya terus menyorot pada Jiwa, entah kenapa, tapi Echa rasa itu bukan hal yang bagus. Ditambah lagi di sudut bibir Jiwa dan area wajahnya terdapat memar kebiruan yang masih terlihat jelas begitu pun di wajah Raga. Jangan-jangan mereka berkelahi? Kemungkinan mereka berkelahi itu sangat besar, karena mereka satu rumah. Jadi, hanya itu yang Echa pikirkan sejak tadi.

    Echa mendengus kesal. "Raga marahan lagi sama Jiwa?"

    Raga mengangkat kedua bahunya. Dia membuka botol air mineral yang tadi dibagikan oleh panitia, lalu meminum airnya. Echa menghela napas lelah, lalu kembali fokus pada Bapak Kepala Sekolah yang sedang berpidato.

    Acara pertama telah berlalu. Sekarang saatnya sambutan dari Ketua OSIS, Jiwa. Dia memberikan ucapan penyemangat untuk para adik kelas agar semangat saat menjalankan LDK ini dan seterusnya. Jiwa berharap mereka aktif sampai masa pencabutan jabatan, karena beberapa yang tahun lalu sering sekali terjadi anak OSIS yang hanya ingin numpang tenar atau bahkan hanya semangat saat LDKnya saja, setelah itu mereka keluar tanpa izin ke Bapak Kesiswaan atau Ketua OSIS. Para adik kelas laki-laki maupun perempuan tampak antusias menyambut pidato singkat Jiwa. Namun, lain lagi jika Raga orangnya. Dia masih saja menatap Jiwa dengan tatapan peringatan dan sesekali ia merapatkan diri pada Echa. Lagi-lagi, Echa tak tahu apa maksud Raga.

    "Apa kata lo? Kak Jiwa jadian sama Nathalie? Demi apa?!"

    "Sumpah, ini bukan hoaks, kabar ini udah terbukti 100 persen benernya!"

    "Tapi gue nggak pernah denger desas-desus mereka deket, ya? Setahu gue si Echa malah yang deket sama Kak Jiwa. Gue pernah liat mereka gandengan tangan."

    "Ya gue juga nggak tahu kalau itu. Tapi, emangnya kalian nggak liat story Instagram-nya Kak Jiwa, ya? Dia post foto berdua sama Nathalie!"

    "Iya! Gue liat! Cocok banget anjir."

    "Setahu gue, Nathalie udah suka sama Kak Jiwa dari kelas 2 SMP."

    "Terus?"

    "Eh, malah deketnya sama Echa. Tapi akhirnya kesampaian juga deh cintanya."

    Panas. Sudah cukup sedari tadi Echa diam. Kabar? Kabar apa? Bahkan Echa belum pernah melihat kedekatan dua insan yang dibilang jadian itu. Dia menengok ke belakang. Tersenyum manis pada Ica, Zara, dan Mayla, tetangga kelasnya yang sedari tadi tak henti-hentinya membahas tentang Jiwa, Nathali, dan..., dia. "Kalian bisa diem nggak?"

    Ketiganya menatap Echa dengan tatapan merendahkan. Namun, saat Zara akan buka suara, gadis itu mengurungkan niatnya tatkala Raga yang membalas tatapan merendahkannya.

    "Mau apa lo?"

    "...." Zara menunduk dalam.

    "Mau ngatain pacar gue apa? Simpenannya Jiwa? Pengganggu hubungan mereka? Atau pelakor?"

    Echa menoleh cepat pada Raga.

Ha? Pacar?!

🌸🌸🌸

    "Jiwa!" Echa berlari kecil ke arah Jiwa yang tengah berdiri di depan pintu aula sambil merapikan lembar-lembar jawaban soal kepemimpinan milik calon OSIS beberapa menit yang lalu.

    Echa makin melebarkan senyumnya saat sampai di depan Jiwa. Matanya yang berbinar menatap tepat di manik mata Jiwa. "Makan siang bareng, yuk? Itung-itung ini ucapan terima kasih Echa buat buku Jiwa kemarin."

    Echa tahu betul, sebenarnya bukan itu yang mau dia katakan. Namun, dia harus mengulur waktu terlebih dahulu sebelum benar-benar mengatakan maksud sebenarnya.

    Jiwa menatap Echa datar. Membuat batin Echa bertanya-tanya, kenapa? Biasanya Jiwa hangat, hangat padanya dan orang-orang yang dia kenal dekat. Namun, kali ini? Echa sama sekali tak mengenal sosok di hadapannya, bahkan tatapan lembut seperti biasa sudah lenyap entah ke mana.

    Sadar akan sesuatu, senyum Echa luntur seketika. Matanya memanas, jelas dia sedih, sangat, benar-benar merasa dibohongi, dibodohi, karena di tangan kanan Jiwa, terpampang jelas gelang hitam dengan bandul nama "Nathalie".

    Sebisa mungkin dia mengembalikan senyumannya. "Gimana? Jiwa mau?" tanyanya lagi.

    Jiwa masih menatap Echa dengan datar. "Gue ada janji."

    "Ohh, gituu? Echa boleh ikut? Sebenernya ada  hal penting yang mau Echa omongin ke Jiwa." Mati-matian Echa menahan agar suaranya tidak berubah serak. Walau dia tahu pasti, matanya mulai berkaca-kaca.

    Jiwa menatap sekelilingnya, tatapannya terhenti di belakang Echa. Dan saat itulah senyumnya terlukis. Jiwa tersenyum, dan itu bukan lagi untuk Echa. Tapi untuk....

    "Nathalie? Jadi makan bareng?"

    Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Ini berita yang tak pernah terprediksi adanya. Rasanya seperti diterbangkan dengan ribuan sayap lalu dihempaskan begitu saja. Sakit, sudah pasti. Echa benar-benar kecewa, Echa benar-benar marah, tapi dia bisa apa?

    "Jadi. Ayo, Ji." Suara Nathalie membuyarkan lamunan Echa.

    Echa menatap Nathalie saat gadis itu juga tengah menatapnya dengan seulas senyum ramah dan telapak tangan Nathalie yang menggenggam telapak tangan Jiwa erat.

    Mau tidak mau Echa membalas senyuman Nathalie. Nathalie mengangguk. Echa beralih menatap Jiwa. Mengabaikan keberadaan gadis itu, dia bertanya, "Kenapa nggak dari dulu aja, Ji?"

    Nathalie diam di tempat. Jiwa membuang muka.

     "Apa karena kamu terlalu baik sampai ngasih Echa perasaan baru ini?"

🌸🌸🌸

    Rasanya masih sama seperti beberapa menit yang lalu, sakit. Pastilah kalian tahu bagaimana rasanya menjadi Echa. Diterbangkan setinggi langit, lalu dihempaskan sedalam-dalamnya.

    Echa terduduk lesu di bawah pohon mangga di dekat toilet. Matanya menatap lurus siswa-siswi yang berlalu-lalang. Ini hari pertama, rasanya sudah sangat menyesakkan. Bagaimana dia harus bertahan di sana sampai hari rabu? Apa dia harus selalu menyaksikan kedekatan Jiwa dan Nathalie?

    Echa menggeram. Nathalie adalah salah satu calon OSIS tahun ajaran baru. Jika Echa dan Nathalie terpilih, bagaimana rupa hati Echa nantinya?

    Echa menangis. Dia tidak tahan dengan semua ini. Silakan katakan jika Echa lebay, alay atau semacamnya. Namun, yang harus kalian tahu, menjadi Echa itu memang menyakitkan. Dia sudah terlanjur menaruh harap pada Jiwa yang baru saja berkata menyukainya, tetapi akhirnya? Jiwa malah memilih Nathalie yang entah kapan mereka dekat. Echa benci itu. Padahal sepertinya kemarin hubungan mereka masih baik-baik saja. Bahkan lebih dari kata baik.

Jiwa berengsek.

    "Istirahatnya udah selesai."

    Echa menengok ke sebelah kanan. Ditatapnya Raga tanpa minat.

    Raga duduk di sebelah Echa. Matanya menatap Echa yang sudah kembali menatap kosong ke depan. "Ada masalah?"

    Echa bergumam.

    "Jangan buat kita nggak lolos LDK, ya, Cha. Apalagi karena lo galau begini."

    Echa meremas tangannya sendiri. Matanya berair kembali, banjir. Pipinya yang masih basah, bertambah basah.

    Raga mendengus kesal "Lo kenapa nangis lagi? Udah tahu muka lo jelek, masih aja nangis, bikin takut anak orang aja." Raga menunjuk ke arah anak ibu kantin yang menagis sambil memegangi es krimnya yang mencair.

    Tangis Echa makin parah. Guyonan Raga sama sekali tidak mempan di telinganya.

    Raga menghela napas. "Lo kenapa nangis?" Kali ini, nada suara Raga makin tegas. Tatapannya pun menajam. Satu-satunya cara agar Echa mau menjawab pertanyaannya.

    "S-sakit. Hiks...."

    "...."

     "Echa benci Jiwa."

     "...."

     "Jiwa PHP!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro