7 -Devanno's Gone
7. Devanno gone
Sial, sudah berapa lama ia tak menjawab pesanku? Dua hari, seminggu? Entahlah. Aku memilih untuk kembali menyibukkan diriku dengan mempersiapkan presentasi dengan perusahaan dari lantai 20, karena tiba tiba Brandon sialan itu mengambil cuti selama seminggu tanpa memberitahuku.
"Keen, sibuk banget. Nggak lunch?" Tanya Arlyn. Entahlah, akhir akhir ini Arlyn sering menghampiriku dan mengajakku menghabiskan waktu bersama. Aku mengangkat kedua bahuku dan tersenyum ke arahnya.
"Gue udah pesen go-food. Lagi rada sibuk nih. Lo duluan aja." Ucapku pada Arlyn. Ia melihatku sekali lagi untuk memastikan dan barulah ia melangkah menjauh.
Sebenarnya ada alasan lain aku tak ingin keluar, bertemu dengan lelaki bermata biru itu. Karena aku tahu dari ibu penjual soto yang biasa ku datangi, lelaki itu bekerja di gedung yang sama denganku, dan aku tak ingin menanggung resiko dengan bertemu dengannya.
Damn, seharusnya malam itu aku menolak ajakan yang berakhir dengan aku yang terus mengingat ingat malam sialan itu. Atau mungkin seharusnya aku terlalu mabuk untuk mengingat dengan siapa aku tidur malam itu, seperti biasanya.
Aku terus mengingat bagaimana aku kabur dari suite ritz carlton (dan aku tak ingin mengetahui seberapa kayanya dan berapa banyak yang harus ia keluarkan untuk kencan satu malam) saat ia masih terlelap seusai seks yang sialan hebat dan sialnya kami pelakunya.
One thing that you should remind for one night stand (yang ku pelajari sejak masih kuliah di New York dulu): Jangan pernah tahu apapun tentang partner satu malam mu itu, bahkan hanya untuk sekedar nama.
Urgh, untuk apa aku mengingatnya lagi? Aku mengetuk pelan kepalaku dengan pulpen yang sejak tadi ku pegang. Seharusnya aku fokus dengan apa yang terpampang di layar laptopku sekarang. Karena aku akan berhadapan langsung dengan pemilik gedung ini a.k.a klien terbesar tim kami tahun ini.
•••
Keena: hi, Dev. Kemana aja? Lagi sibuk banget ya lo?
Aku kembali meletakkan ponselku di jok yang kosong setelah memastikan pesan itu terkirim, dan kembali melajukan mobilku karena lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau.
Berniat melupakan beberapa masalahku, aku memutuskan untuk menghampiri sepupuku yang sedang berlibur di salah satu hotel bintang lima di kawasan senayan. Sudah dua jam aku menghabiskan waktu di antara kemacetan.
Sesekali aku mengambil kembali ponselku dan membuka aplikasi instagram. Disana aku melihat Brandon baru saja memposting sesuatu disana. Hingga akhirnya aku tiba di hotel sepupuku, aku langsung menitipkan mobilku ke vallet dan langsung berjalan menuju restoran tempat mereka menungguku.
"Ini dia, akhirnya datang juga!" Ucap Gaby, sepupuku. Ia berjalan mendekat lalu memelukku erat, seakan terlalu merindukanku.
"Ihh lepasin!" Aku memberontak tak lama kemudian lalu beralih pada kakaknya, Harry. "What are you guys doing here?" Tanyaku.
Aku duduk di salah satu kursi yang kosong, lalu memesan minuman dan kentang goreng (yang membuat Gaby menggerutu). Harry berkata mereka sedang melakukan kerjasama dengan salah satu perusahaan yang cukup besar di Jakarta. Aku mengangguk mengerti, dan berbincang dengan mereka.
"Kamu okay, Keen?" Tanya Harry setelah ia dan adiknya berhenti berdebat tentang sesuatu yang tak ku ketahui. Tak kusadari aku termenung untuk beberapa saat tadi.
Memberikan senyum tipis, yang sedikit dipaksakan aku menjawab pertanyaannya. "Tentu saja, kenapa lo tanya gitu?"
"You seems faking that you are okay." Balas Harry membuat wajahku kembali datar. Gaby mengalihkan pandangan dari ponselnya.
"Kamu tahu, kamu dapat menceritakan apapun pada kami." Gaby tersenyum sambil memegang tanganku pelan. Aku menghela napas pelan sebelum memutuskan untuk menceritakan masalahku pada kedua sepupuku.
"Jadi singkatnya, beberapa minggu ini gue kenal sama cowok. He was a good guy, i thought. Tapi udah dua minggu ini, dia ngilang. Gone like the wind. Dan gue sedikit khawatir."
"Kamu kenal di mana?"
"Siapa nama lelaki itu?"
Gaby dan Harry bertanya hampir bersamaan, wajah mereka datar namun tak juga mereka menyembunyikan rasa penasarannya.
"Gue kenal di tinder. Namanya--" belum sempat aku melanjutkan ucapanku, suara gebrakkan meja terdengar dengan jelas membuat seluruh mata melihat ke arah kami.
"Seriously, Keena?! Tinder? WHAT THE HELL ARE YOU THINKING!" Umpat Harry dengan wajah memerah menahan emosi. Sementara Gaby hanya menggelengkan kepalanya lalu menarik kerah baju Harry dan tanganku kemudian keluar dari restoran itu ke arah lift, setelah sebelumnya meninggalkan credit cardnya ke MOD hotel itu.
"Aku rasa sebaiknya kita membicarakannya di dalam kamarku saja." Ucap Gaby sebelum mendorong kami ke dalam lift dengan kasar.
•••
"Sejak kapan kamu main tinder?"
"Kamu tahu nggak tujuan tinder itu buat apa?"
"Siapa nama lelaki yang menghilang itu?"
Pertanyaan itu langsung di lontarkan oleh Gaby secara beruntut tepat saat ia mendorongku untuk duduk di sofa yang merupakan salah satu fasilitas dari hotel ini. Bahkan Harry pun tak di biarkan nya untuk berbicara.
"Kalian kenapa sih? Kok tiba tiba kayak gini? Gue baru dua bulan ini main tinder. Its a dating app, bukan?" Jawabku kesal. Aku menyilangkan kedua tanganku di dada, menatap mereka tak percaya.
"Its a dating app if you use it di negara lain yang pemikiran masyarakatnya tidak sempit seperti di Indonesia, Kirana. Kamu tahu apa yang di ceritakan Nabila saat ia bertemu denganku beberapa tahun lalu? Ia bercerita beberapa temannya menggunakan tinder untuk mencari random person yang berani membayar untuk satu malam. Bahkan beberapa yang normal menghilang setelah mereka tidur bersama.
"Jadi, beritahu aku... Apakah kau sudah tidur dengan lelaki-tinder mu itu?" Nabila adalah sepupuku yang lain, namun ucapan Gaby tentang cerita Nabila membuatku tersentak.
Jadi, yang di maksud dengan 'not looking for serious relationship' itu, adalah no string attached yang selalu ku lakukan di dunia nyata? Tak sadar, aku menganggukkan kepalaku dan kedua kakak sepupuku itu menunjukkan ekspresi yang tak bisa ku tebak.
"Tolong beritahu kami siapa nama pria itu." Gaby benar benar marah, aku tahu itu dari matanya yang tak mau menatapku juga nada bicaranya yang dingin. Not so Gaby in the good mood.
"Please, guys. Kenapa reaksi kalian sama kayak Brandon sih?! Padahal dia sendiri yang nyuruh gue iseng pake tinder, walaupun akhirnya dia bilang nyesel." Gerutuku, aku tak perduli dengan sikap kedua sepupuku ini. "Terus, namanya Devanno Thomas. General Manager di The Royale."
"Shit!" Umpat mereka bersamaan, kemudian saling bertatapan. "Sepertinya kami mengenal Devanno."
Oh, sial.
"Dia sahabat dari Benjamin Carter, cucu pemilik The Royale."
Double shit.
•••
Jam telah menunjukkan pukul 10 malam saat aku tiba di lobby apartemenku. Tepat sebelum aku menempelkan access card, security menyapaku.
"Lho, mbak Keena baru pulang... Abis nganter temennya ya?" Sapa Security yang berjaga malam ini, aku dan Brandon memang hampir mengenal seluruh security tower kami karena terkadang kami sering mempunyai pesanan makanan yang lebih setiap event tertentu. Aku tersenyum membalas sapaan pak Jamal, nama security itu.
"Temen Keena disini kan cuma Brandon, pak. Bukannya bapak tahu Brandon lagi pergi keluar kota?" Jawabku. Pak Jamal terlihat kebingungan saat mendengar ucapanku, ini membuatku bertanya tanya.
"Ih mbak Keena lupa ya, itu loh mas bule yang tinggal satu tower sama mas Brandon. Kan hari ini dia pindah." Jelasnya. Aku hampir saja menjatuhkan plastik makananku jika saja aku tak segera tersadar dari keterkejutanku.
"Pi-pindah, pak?"
"Iya, mbak. Nggak tahu sih pindah atau nggak, tapi tadi sore waktu saya sapa dia nitip salam buat mbak Keena. Katanya maaf. Emang maaf buat apa mbak?" Ujar pak Jamal polos. Aku pun juga bertanya tanya untuk apa ia meminta maaf.
Aku hanya tersenyum tipis lalu menyerahkan satu kotak makanan yang tadinya ingin ku jadikan sarapan ku besok, lalu segera pamit untuk masuk ke dalam dan menekan lift dengan bingung dan bertanya tanya.
Maaf untuk meniduriku? Maaf untuk bersikap pura pura baik untuk mendapatkan tubuhku? Maaf untuk membuat sedikit kupu kupu di perutku berterbangan?
Aku tertawa miris saat masuk ke dalam apartemenku dan meletakkan barang barangku di sembarang arah. Lalu membiarkan tubuhku terbaring di sofa yang sedang dalam mode sofa bed karena tak sempat ku bersihkan.
Ponselku bergetar, sebenarnya aku tak berniat untuk membuka ponselku. Namun benda sialan itu tak berhenti bergetar dengan menyebalkan. Dengan terpaksa aku meraih benda itu dan terkejut saat membuka notifikasi nya.
Brandon: Keen, i've heard it.
Brandon: are you okay?
Brandon: bilang sama gue kalau ada apa apa.
Brandon: gue bakal terbang dari new york ke jakarta detik ini juga kalo lo butuh gue.
Brandon: hope you are fine
Aku hampir menangis saat membuka pesan dari Brandon. Akhirnya ia menghubungi ku lagi, kemudian aku beralih pada pesan lain yang hampir membuatku tak bisa menahan senyuman.
Rob: halo Kiran
Rob: little did i know, saya bisa pulang dengan selamat sampai Jakarta.
Rob: terima kasih sudah membuat liburan saya sangat menyenangkan
Rob: ps. Note that sarcasm > : ).
Rasanya aku ingin membalas pesan mereka. Namun aku teringat dengan materi presentasi tambahan yang harus aku benahi kembali. Akhirnya aku pun memilih untuk meninggalkan ponselku di meja dan beranjak masuk ke kamar dengan membawa laptopku.
•••
Aku tersentak saat sebuah tangan meletakkan gelas berisi ice caramel macchiato di atas mejaku. Aku menoleh dan melihat Brandon sudah duduk di tempatnya.
Ya, Brandon sudah kembali. Sore hari setelah aku mendiamkan pesannya, ia sudah berada di depan pintu apartemenku saat aku kembali dari kerja. Ia marah karena mengabaikan pesannya dan membuatnya mencemaskanku setengah mati.
Dan setelah aku menceritakan semuanya, bahkan tentang fakta bahwa sepupuku mengenal Devanno, ia tak berkata apapun lagi. Yang ia lakukan hanya memelukku dan memesan pizza lalu menghabiskan malam dengan tidur bersama seperti yang sering kami lakukan dulu di New York.
"Gue udah balik, bukan berarti gue mau ambil alih tugas lo buat presentasi ya. Gue mau leyeh leyeh aja nanti." Ucap Brandon. Aku menatapnya tak terima, namun mau tak mau mengangguk pasrah. Karena tak mungkin Brandon dapat menguasai materi presentasi yang ku buat dalam waktu kurang dari satu jam.
"Iya bawel. Lagian kenapa lo masuk kerja lagi sih? Sisa cuti lo kan masih dua hari." Ucapku sebal. Ia ikut ke kantor hanya untuk mengantarku lalu mengganggu teman kerja kami karena ia tak bekerja. Bahkan ia mengganggu pak Steve, yang memang sahabatnya yang lain dengan masuk ke ruangannya waktu istirahat saat pak Steve sedang bersama istrinya.
"Suka suka gue, dong. Nggak ada larangan kan kalo libur nggak boleh ke kantor?" Ia mengucapkannya dengan nada yang menyebalkan, membuatku gemas.
"Iya nggak ada. Tapi lo ngerusuhin semua orang. Balik sana ke habitat lo!" Ucap salah satu rekan kerja ku saat melewati kubikel kami. Ia mengucapkannya cukup keras, hingga kami semua tertawa. Brandon pun bersungut sungut.
"Udah, ah. Naik aja deh kita, prepare di atas aja!" Gerutunya lalu berjalan ke arah lift. Aku dan mas Ivan pun dengan cepat membawa bahan presentasi, mengikuti langkah Brandon.
"Lenjeh banget sih, Don." Ejek mas Ivan. Brandon hanya mendengus lalu mendekatkan diri padaku. Aku yang merasa risih pun dengan kasar menjauhinya.
"Ngapain sih lo?!" Omelku. Ia menatapku dengan pura pura tersinggung.
"Awas lo, nyebelin banget." Brandon langsung melangkah keluar begitu pintu lift terbuka.
Kami mengikuti Brandon yang tampaknya sedang berbicara dengan salah satu resepsionis, dan kulihat sebentar lagi wanita itu akan menjadi korban Brandon. Resepsionis itu bangkit kemudian menuntun kami masuk ke dalam salah satu ruangan yang tak jauh dari mejanya.
"Silahkan menunggu di sini. Sebentar lagi Bu Wida, sekertaris direktur akan tiba." Ucapnya sebelum meninggalkan kami.
Dengan sigap, aku dan Mas Ivan langsung mempersiapkan laptop dan menyalakan projektor yang di sediakan. Sementara Brandon dengan santainya meletakkan proposal di beberapa tempat di meja ini.
Setelah selesai, kami kembali duduk dan berbincang hingga tak lama kemudian, suara seorang wanita yang baru saja masuk membuat kami berhenti dan berdiri.
"Sorry, udah nunggu lama ya?" Ucap Mbak Wida, yang beberapa waktu lalu telah bertemu dengan tim kami.
"Nggak kok, mbak. Kita baru sampai juga." Ucap Brandon sambil menjabat tangan Mbak Wida.
"Oh iya, bisa kita mulai pas direktur udah datang? Dia bilang, dia sendiri yang mau turun tangan sama project kali ini..." Jelas Mbak Wida. Kami tentu saja mengangguk, walau tetap bersikap professional.
Kami akan bertemu langsung dengan pemilik gedung ini, aku dan Brandon saling bertatapan kemudian tersenyum menyemangati.
Aku menjelaskan beberapa poin pada Mbak Wida sementara Brandon dan Mas Ivan menjelaskan poin poin promosional pada marketing yang tadi ikut masuk bersama Mbak Wida.
Kami berhenti sebentar, ketika kami mendengar suara pintu terbuka. Aku tersenyum sebelum berbalik. Namun tak lama senyumanku memudar.
Oh, Fuck! Apa yang lelaki mata biru itu lakukan disini?!
---
HALLO!!!
apa kabar semua? maafkan daku yang terlalu bosan dengan semua ini jadi makin jarang update. jadi gud update part ini di lab komputer kampus pun disela sela kuis. HAHA
Jadi, did you already votes your choice?! Aku sih personally pengennya Keena Jomblo aja, biar unyu kaya gue. dan for your information, this story is really based of my true story. and of course, based on my personal experiment yang masih gue lakuin di tinder same hari ini
brengsek emang make computer mahal, jadi typo mulu wkwkwkwk
sudah ya, see you when i see you! don't forget to votes your choice and comment ya!
Xoxo,
Bandung, 14th of September 2017
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro