Bab 14a
Hati Iris melayang gembira karena akan menikah. Ia bekerja lebih giat dari biasanya, tidak mengeluh dan melakukan pekerjaan rumah sambil bernyanyi. Ia membayangkan pernikahan yang sacral dengan gaun indah. Nikolai memang belum membahas soal kapan waktu pernikahan dilakukan. Tapi, statusnya sekarang meningkat menjadi tunangan laki-laki itu. Sikap kedua kakaknya juga berubah menjadi sedikit manis dengannya. Tidak lagi sering merepotkannya. Ada banyak pekerjaan yang dulu diserahkan padanya, seperti membersihka kamar, kini mereka lakukan sendiri. Di atas semuanya, yang paling senang tentu saja Albert. Sang papa selalu pulang dari kebun sambil tersenyum karena ada banyak orang yang sekarang bersedia bekerja dengannya.
"Bayangkan Iris, hanya karena Tuan Nikolai mengajakmu ke pesta, mereka berubah drastis. Bagaimana kalau nanti sudah menikah? Papa merasa bisa mengontrol dunia. Hahaha!"
Sebuah ungkapan yang berlebihan, tapi Iris menyadari kegembiraan sang papa. "Tenang, Papa. Ingat, jangan sampai keceplosan bicara tentang pernikahan. Nanti Tuan Nikolai marah."
Albert memberi tanda menyegel mulut. "Papa tahu tentang ini."
Hari ini jadwal Iris untuk membawa sayur mayur ke pasar, menjual atau menukar dengan bahan makanan yang lain. Ditemani Eric, mereka menaiki sepeda dengan keranjang di bagian belakang. Dengan menggebu-gebu ia bercerita pada Eric tentang kepergiannya ke rumah Nikolai.
"Sangat besar, megah, dan seperti istana. Sungguh menyilaukan."
Iris membentangkan tangannya, berputar-putar di tempat dan membuat rambut merahnya berchaya karena mahatari.
"Kamu nggak takut saat bertemu orang-orang yang ada di rumah itu?" tanya Eric.
"Takut, mereka angkuh dan galak. Tapi, aku bangga dengan Tuan Nikolai karena membelaku." Iris terkikik. Ia menurunkan keranjang, dan nyaris jatuh saat memutar tubuh. Untunglah ada sepasang lengan kokoh yang menahan keranjangnya.
"Iris, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini."
Iris menengadah menatap pemuda tampan dengan wajah mirip Nikolai. Yang membedakan warna mata Nikolai abu-abu, sedangkan pemuda ini hitam kecoklatan.
"Masih ingat aku? Beberapa lama lalu kita bertemu." Jeremy tersenyum ramah.
Iris menegang. "Maaf, bisa minggir? Keranjang ini berat."
Jeremy menatap keranjang plastik bulat yang sedikit kotor karena tanah, mengernyit lalu menyingkir dengan cepat. "Ups, silakan."
Iris tidak tahu apa yang diinginkan Jeremy dari dirinya. Keponakan Nikolai menurutnya terlalu ramah dan itu membuat Iris curiga. Ia masih ingat bagaimana kesan pertama pemuda itu padanya, dan tidak mungkin berubah dalam beberapa hari.
Iris membelah jalanan pasar yang padat, dengan Eric mengekor langkahnya. Sahabatnya itu sepertinya mengenali Jeremy dan sama sepertinya juga penasaran dengan apa yang dilakukan tuan muda kaya di pasar yang padat.
"Iris, kamu mau kemana?" tanya Jeremy sambil tersengal. Ia mengikuti langkah gadis itu dan ternyata, Iris melangkah lebih cepat dari dugaannya. "Hei, apa bisa kita mengobrol di tempat yang lebih sejuk dari pada di sini?"
Jeremy nyaris terjatuh saat Iris berhenti mendadak. Gadis itu berjongkok di depan tukang telur yang menggelar dagangan di toko terbuka.
"Pak, aku mau telur selusin. Tukar ini, mau?"
Penjual telur menatap sayuran yang disodorkan Iris, berupa kol dan bayam. Mengambil satu kantong, dan menelitinya.
"Sayurmu sangat segar. Baiklah, aku terima. Ngomong-ngomong Iris, kamu sudah pernah ke pesta bersama Tuan Nikolai tapi masih berjualan sayur, heh!"
Iris mengedipkan sebelah mata. "Ke pesta tidak membuatku kenyang, Pak. Tentu saja aku harus berjualan. Apa kamu juga ingin mengajakku ke pesta?"
"Hah, mana berani aku bersaing dengan Tuan Nikolai."
Iris tertawa, menerima telur dan menambah beberapa tomat untuk penjual itu. Selanjutnya, ke perempuan tua penjual ikan. Iris bahkan tidak meminta ikan, memberikan kentang satu kilo secara cuma-cuma.
"Makan kentang ini bersama cucumu di rumah, Nek."
"Iris, terima kasih."
Ada banyak penjual yang dikenal Iris dan rata-rata menukar sayuran dengan dagangan mereka. Sepanjang menemani Iris, Jeremy mendapati kalau gadis itu terkadang menberi secara cuma-cuma. Dalam sekejap, keranjang penuh sayuran habis berganti menjadi telur, daging, mi, dan beras. Satu yang diketahu Jeremy adalah, setiap kali bertransaksi mereka selalu menyebut nama Nikolai. Reaksi Iris selalu sama, tertawa lebar dengan wajah semringah.
"Kalau Tuan Nikolai mengajakmu menikah, apa kamu mau Iris?" tanya laki-laki penjual tepung.
Iris menjawab sambil tergelak. "Tentu saja aku mau, Pak. Siapa yang tidak ingin menikah dengan laki-laki sehebat Tuan Nikolai. Aku jatuh cinta dari pandangan pertama dan makin menguat hari demi hari."
Saat Iris memberi tomat gratis, laki-laki itu berteriak keras. "Iriis, semoga terkabul cita-citamu."
Iris membalas ucapan itu dengan mengirim ciuman jarak jauh.
Saat kembali ke parkiran sepeda, Eric berbisik pada Iris. "Kenapa dia mengikuti kita?"
Iris menggeleng kuat. "Nggak tahu. Aku juga bingung."
"Apa yang dia mau?"
"Entahlah, apa pun itu asal jangan mencelakakan kita."
Mendengar Iris dan Eric berbisik-bisik Jeremy mendekat dan berdehem. "Iris, aku rasa sepakat denganmu kalau kencan kita kali ini cukup menyenangkan. Aku tidak pernah ke pasar sebelumnya, dan cukup menarik meskipun sedikit kotor."
Rasa jijik tidak dapat disembunyikan dari wajah Jeremy. Iris menatapnya lekat-lekat. "Apa maumu sebenarnya? Mengatakan ini kencan? Aku sedang berjualan."
Jeremy mengibaskan debu dari kemejanya yang diseterika mengkilat. "Sedang mencoba mengenal lingkunganmu. Bagaimana kalau lain kali, kamu yang mengenal lingkunganku. Apa kamu mau makan malam di restoran mewah, dengan anggur, bunga, dan musik?"
Jeremy menawarkan dengan rasa percaya diri. Ia yakin Iris akan menerima karena semua gadis yang diajaknya tidak pernah menolak. Alih-alih menjawab, Iris jutru sibuk memasang tali di keranjang dan meletakkan ke atas sepeda. Setelah itu, ia menatap Jeremy sambil menyipit.
"Jeremy, sebentar lagi aku akan menjadi bibimu. Mulai sekarang, biasakan untuk memanggilku Bibi Iris."
Kali ini tidak hanya Jeremy yang tercengang, Eric pun sama. Kedua pemuda itu menatap Iris dengan bingung.
"Jadi keponakan harus menurut, Jeremy. Jangan sampai aku menjewer telingamu, daah!"
Iris menaiki sepeda dan melambai, meninggalkan Jeremy yang tertegun.
"Iris, tunggu!"
Eric menaiki sepeda dengan buru-buru, mengayuh cepat di keramaian sampai akhirnya bisa mengejar Iris.
Jeremy mengedip bingung, menggeleng lalu bergumam. "Apa-apaan tadi? Bibi? Gadis itu memintaku memanggilnya bibi? Hah, gila, ya, dia!" Detik berikut Jeremy tertawa terbahak-bahak. Siapa sangka, niat untuk mendekati Iris justru membuatnya terhibur. "Sampai jumpa lagi, Bibi Iris."
.
.
.Di Karyakarsa sudah bab 58
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro