Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 02 [Si Pemarah Pendeta Lim]

    Di sebuah perkampungan kecil pinggir kota, seorang pemuda keluar dari sebuah rumah sederhana. Berjalan menyusuri halaman dan berpindah ke bangunan rumah lainnya. Memperhatikan sekitar, pemuda itu melangkahkan kakinya menuju salah satu ruangan yang berada dalam bangunan itu.

    "Apa dia belum bangun?" monolog pemuda itu.

    Membuka pintu, pemuda itu melongokkan kepalanya ke dalam dan mendapati si penghuni kamar masih terlelap di balik selimut yang berantakan.

    Pemuda itu bergumam, "yang benar saja. Sudah kuduga."

    Pemuda itu kemudian masuk dan berjalan mendekati ranjang. Berdiri di samping ranjang, pemuda itu memperhatikan wajah rupawan yang kini terlelap dalam posisi tengkurap.

    Pemuda itu mendecak, "ck! Bahkan di mata seorang pria, dia tetap menawan. Bagaimana bisa ada orang setampan ini?"

    Alexander Lim, pria yang dimaksud oleh pemuda itu, pria yang kini masih berada di alam mimpinya. Tidak diragukan lagi, Alexander Lim mendapatkan predikat sebagai Paranormal paling tampan di kota bagian selatan. Namun tak banyak wanita yang bersedia dekat dengannya karena pekerjaannya sebagai pengusir hantu. Meski memiliki wajah yang nyaris sempurna, Alexander Lim memiliki cacat yang sempurna pula. Di mana cacat itu berada dalam perilakunya yang sungguh berbanding terbalik dengan wajah rupawan yang harusnya menunjukkan sikap berwibawa.

    Pemuda itu kemudian kembali pada tujuan awalnya. "Pendeta Lim …" tegur pemuda itu.

    Alexander tak menunjukkan pergerakan. Pemuda itu kembali menegur, "Pendeta Lim … cepat bangun, kita mendapatkan masalah besar."

    Sebelah mata Alexander terbuka. Dengan wajah mengernyit, penglihatannya yang masih buruk karena baru saja bangun itu menemukan sosok pemuda yang memanggilnya.

    "Cepat bangun, kita mendapatkan masalah."

    Alexander kembali menutup matanya. Menghela napas singkat, ia pun menyahut dengan suara yang terdengar malas, "masalah apa?"

    "Ada yang kerasukan," ucap pemuda itu bernada panik secara tiba-tiba.

    Alexander menyahut tanpa membuka matanya, "setan mana yang berani mengganggu tidurku?"

    "Pendeta Lim harus segera ke sana. Keadaannya benar-benar sudah gawat."

    Alexander mengangkat telapak tangannya ke udara lalu bergumam, "lima menit lagi."

    "Jika lima menit lagi, setannya pasti sudah kabur."

    "Kalau begitu biarkan saja dia kabur ... aku bosan pada mereka, biarkan mereka mencari pencerahan sendiri."

    Pemuda itu kehabisan kesabarannya dan menarik tangan Alexander. Memaksa pria itu untuk meninggalkan singgasananya.

    "Ayo … jika Pendeta Lim bermalas-malasan seperti ini, bagaimana kita bisa cepat kaya?"

    "Eric … jangan kurang ajar padaku," tegur Alexander masih dengan suara berat yang sedikit serak dan terdengar sangat malas.

    "Tapi ini benar-benar gawat, Pendeta Lim …" balas pemuda bernama Eric itu dengan sedikit berlebihan.

    Alexander menepis pelan tangan Eric dan bangkit. Duduk bersila dengan mata yang masih setengah terbuka. Bahkan dengan penampilan yang berantakan di pagi hari sekalipun, pria itu tetap terlihat menawan.

    "Jam berapa sekarang?"

    "Pendeta Lim tidak membelikan aku jam tangan, dari mana aku tahu jam berapa sekarang?"

    Alexander sejenak menggaruk kepalanya sembari menoleh ke samping. Dia kemudian berucap sembari menunjuk jam dinding yang menempel di tembok kamarnya, "di sana, kau tidak lihat ada jam di sana? Apakah penglihatanmu sudah memburuk?"

    "Pagi-pagi sudah mengutuk. Pendeta Lim sudah tahu, jadi kenapa Pendeta Lim bertanya?"

    Alexander memandang tanpa minat. "Kau memang anak kurang ajar."

     "Kita tidak ada waktu lagi … Pendeta Lim harus segera ke sana."

    Alexander lantas turun dari ranjang, berjalan menuju pintu keluar. Mengenakan sandal rumahan berbentuk kepala kelinci, lengkap dengan piyama yang berantakan seperti rambutnya, pria itu meninggalkan rumah yang ia tempati dan beralih ke rumah lainnya yang masih berada di pemukiman itu. Tentu saja bersama Eric yang membuntuti di belakang.

    Menguap selebar-lebarnya, Alexander membuka pintu bangunan itu dan masuk. Lalu setelah itu langkah Alexander terhenti, tertegun, tak bisa berkata-kata.

    "Selamat ulang tahun … selamat ulang tahun … selamat ulang tahun ayah kami tercinta, selamat ulang tahun …"

    Sembilan anak dari usia tujuh tahun hingga lima belas tahun menutup lagu ulang tahun yang mereka nyanyikan dengan sebuah tepukan tangan yang meriah.

    Eric datang dari balik punggung Alexander dengan membawa teriakan sebagai perayaan ulang tahun pria yang di panggil dengan sebutan 'Ayah' oleh anak-anak itu. Alexander belum menikah dan tentu saja tidak memiliki anak.

    Sebenarnya di pemukiman itu hanya ditempati oleh Alexander bersama kesepuluh anak yang sudah ia asuh. Bisa dikatakan bahwa Alexander adalah wali dari anak-anak yatim piatu itu. Dan pemukiman itu terdiri dari tiga bangunan rumah sederhana dan juga sebuah Gereja yang tentunya tak begitu besar. Selama ini Alexander bekerja untuk memenuhi kehidupan kesepuluh anak itu. Namun tak begitu sulit, karena dia memberikan tarif yang mahal untuk bantuannya.

    Eric mendekat sembari membawa kue ulang tahun dengan lilin yang menyala. Pemuda itu menyodorkan kue tersebut ke hadapan Alexander.

    "Pendeta Lim, ucapkan doa dan tiup lilinnya."

    Alexander tak menunjukkan minatnya. Namun setelah melihat ekspresi anak-anak itu, dia pun melakukan apa yang dikatakan oleh Eric.

    Dengan sedikit lantang Alexander berucap, "aku memohon untuk pekerjaan yang lebih besar setelah ini," lantas meniup lilin.

    Anak-anak itu lantas kembali bertepuk tangan. Namun wajah Alexander sama sekali tak menunjukkan bahwa dia merasa dalam suasana hati yang baik.

    "Berbaris semua."

    Eric menaruh kue ulang tahun ke meja terlebih dulu sebelum ikut berbaris. Di mulai dari Eric yang paling tua, hingga berakhir pada si bungsu. Alexander berdiri di depan Eric yang tersenyum lebar.

    Alexander kemudian mulai berbicara, "di mana orang yang kerasukan?"

    Eric tersenyum semakin lebar. Menegaskan bahwa dia hanya berbohong untuk membuat kejutan ulang tahun.

    "Bocah-bocah kurang ajar!" hardik Alexander yang kemudian memukul kepala Eric. Tak terlalu keras, hanya pukulan ringan yang biasa ia berikan kepada anak-anak itu.

    Alexander beralih pada anak lain dengan mulut yang menggerutu mengungkapkan kekesalannya. "Berani sekali mengganggu tidurku … kalian pikir aku tidak butuh tidur? Sekali lagi menipuku, aku tidak akan memberi uang pada kalian."

    Langkah Alexander terhenti pada si bungsu, bocah berusia tujuh tahun yang paling polos di antara yang lainnya. Netra Alexander mengerjap sebelum memukul kepala bocah itu dengan lebih pelan dari bocah lainnya.

    "Sudah, pergi sana," gumam Alexander. Namun saat itu si bungsu menangis dengan keras setelah mendapatkan pukulan darinya.

    Bukannya segera menolong bocah itu, Alexander hanya memandang dengan wajah yang mengernyit. Hingga pada akhirnya Eric lah yang turun tangan untuk menenangkan bocah itu. Hal itu tidak mengejutkan lagi, bahkan anak-anak itu sudah terbiasa dengan sikap bar-bar dari Alexander. Namun meski sikapnya terlalu kasar, pria itu memiliki hati yang lembut kepada anak-anak. Itulah sebabnya dia mengasuh anak-anak itu.

    Keributan kecil itu berpindah ke halaman ketika anak-anak mulai bermain di pagi hari saat hari libur tiba, sedangkan Alexander kini duduk di sofa dengan melipat satu kakinya di atas sofa. Masih dengan penampilan yang sama, hanya mata yang kini benar-benar terbuka.

   Sedangkan berdiri di atas sofa tepat di samping Alexander, bocah paling muda yang sebelumnya menangis kini tengah merapikan rambut Alexander di saat Alexander sendiri dengan sikap acuhnya memakan kue ulang tahun yang berada di atas meja.

    Eric menghampiri, duduk di lantai dan melipat kedua tangannya di atas meja. Memandang Alexander dengan garis senyum yang tertahan di kedua sudut bibirnya.

    Alexander menatap acuh dan berucap sembari menyuapkan kue ke mulutnya, "kenapa melihatku seperti itu?"

    Eric menyahut dengan tatapan penuh harap, "bukankah hari ini hari sabtu?"

    "Sudah tahu, kenapa bertanya?" acuh Alexander.

    Eric menggunakan jari telunjuknya untuk menggaruk meja. Membuat Alexander sekilas mengangkat alisnya, namun tetap bersikap acuh.

    "Pendeta Lim tidak ingin mengajak kami berlibur?"

    Alexander menahan sendok di dalam mulutnya. Terdiam sejenak sebelum menarik sendok dari mulutnya dan berucap, "mobilku tidak muat untuk membawa kalian semua. Jangan mengada-ngada."

    Eric mendengus. "Eih … alasan macam apa itu?"

    Alexander bergumam dengan tatapan sinis, "pagi-pagi kau sudah bermimpi."

    "Bukankah Pendeta Lim terlalu pelit?!" gertak Eric.

    Alexander langsung memukul kepala Eric menggunakan sendok di tangannya dan membuat pemuda itu mengaduh sembari memegangi kepalanya.

    "Berhenti memanggilku Pendeta," ketus Alexander. Dia hendak kembali menggunakan sendoknya untuk mengambil kue, namun tersadar bahwa sendok itu baru ia gunakan untuk memukul kepala Eric.

    Melempar sendok ke atas meja, Alexander berucap dengan malas, "ambilkan sendok yang baru."

    Sedikit kesal, Eric meraih sendok di atas meja dan mengulurkannya pada Alexander meski pria itu bisa mengambilnya sendiri. Eric kemudian menggerutu, "apa salahnya dengan hal itu? Semua orang memanggil Pendeta Lim dengan sebutan itu."

    Alexander terlihat geram dan hendak kembali memukul Eric. Namun pergerakan tangannya terhenti di udara. Satu hal lagi dari sosok Alexander Lim—pria yang dikagumi sekaligus ditakuti oleh banyak orang, sebenarnya dia adalah pria pemarah. Dia bisa marah hanya karena hal-hal kecil dan kembali tenang hanya dalam waktu beberapa detik. Orang-orang dewasa yang mengenalnya cukup baik sering menyebutnya mengalami gangguan kejiwaan karena sifatnya yang bisa berubah-ubah hanya dalam hitungan detik.

    "Sekali lagi kau memanggilku seperti itu, aku botakkan kepalamu," ancam Alexander.

    "Bukankah Tuan Lim ini memang seorang Pendeta?"

    Alexander menyahut tanpa minat, "siapa yang mengatakan hal itu? Aku bukan Pendeta. Berhenti bicara omong kosong."

    "Tapi Tuan Lim selalu memimpin doa setiap minggu."

    "Kalau begitu, besok kau saja yang memimpin doanya."

    "Eih … aku masih terlalu kecil untuk melakukannya."

    Alexander menyunggingkan senyumnya. "Mengaku masih kecil tapi mulutmu pintar sekali berbicara."

    "Itulah yang namanya bakat alami."

    "Cih! Bakat alami."

    Alexander tersenyum tak percaya. Namun di detik berikutnya garis senyum itu menghilang dari wajahnya. Alexander menggelengkan kepalanya cukup kasar dengan rahang yang tiba-tiba menajam sebelum sendok di tangannya jatuh ke lantai ketika satu tangannya menahan tangan bocah yang sedari tadi bermain dengan rambutnya. Sedangkan satu tangan lainnya menekan kepalanya. Garis wajahnya menunjukkan bahwa ia tengah menahan rasa sakit, dan itulah yang membuat Eric segera berdiri dengan raut wajah yang sedikit panik.

    "Tuan Lim baik-baik saja?"

    Alexander kembali menggeleng dengan wajah mengernyit. Mencoba mengusir rasa sakit yang berpusat di kepalanya.

    "Tuan Lim?" tegur Eric, bernada khawatir.

    "Eric, tolong kau pergi ke rumahku dan ambilkan obat yang ada di laci."

    "Baik, tunggu sebentar." Eric segera berlari keluar dan memasuki rumah yang ditempati oleh Alexander.

    Sedangkan Alexander yang sudah melepaskan tangan bocah itu lantas menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Memijat keningnya dengan kedua kelopak mata yang menutup.

    Dia bergumam, "aku belum ingin mati. Kenapa harus datang sepagi ini?"

    Alexander merasakan sesuatu yang ringan berada di dadanya. Netra itu terbuka, mendapati tangan bocah di sampingnya telah berada di dadanya. Alexander memaksakan diri untuk tersenyum.

    "Tidak apa-apa, aku tidak akan mati."

    "Tuan Lim," seru Eric begitu kembali.

    Eric segera menghampiri Alexander dan memberikan botol plastik transparan yang berisi beberapa butir obat.

    "Apa ini yang Tuan Lim maksud?"

    "Tolong ambilkan air minum."

    Eric berlari ke arah dapur untuk mengambilkan segelas air untuk Alexander. Sedangkan pria itu mengambil sebutir obat dan segera memasukkannya ke dalam mulutnya.

    "Ini," Eric menyodorkan segelas air yang langsung diterima oleh Alexander.

    Alexander meminum beberapa teguk dan mengulurkannya pada Eric sebelum kembali menyandarkan kepalanya. Membiarkan matanya yang terbuka memandang langit-langit. 

    Saat itu sebuah tangan mungil menyentuh kening Alexander. Menggerakkan ekor matanya untuk menemukan sosok bocah yang masih setia berdiri di sampingnya, Alexander lantas mengulurkan kedua tangannya.

    "Kemarilah … peluk ayah. Peluk ayahmu, Julian."

    Bocah bernama Julian itu lantas memeluk Alexander. Memberikan sedikit ketenangan pada pria itu. Sementara Eric tampak sangat khawatir. Tak sampai satu menit, Alexander memandang Eric dengan raut wajah yang sudah terlihat baik-baik saja.

    Alexander melepaskan pelukannya pada Julian dan menegur Eric, "ada apa dengan wajahmu?"

    "Tuan Lim sakit?"

    "Apa aku terlihat seperti orang sakit?" Alexander balas bertanya dengan dahi yang mengernyit.

    "Jika tidak sakit, kenapa akhir-akhir ini Tuan Lim sering minum obat."

    "Itu urusan orang dewasa, kau tidak perlu ikut campur."

    "Tapi jika sesuatu yang buruk pada Tuan Lim, bagaimana dengan nasib kami?"

    "Tentu saja kalian akan tetap hidup, jawaban sesederhana itu kau masih tidak tahu."

    Eric mendengus.

    Alexander kemudian menegur, "berhenti menunjukkan wajah itu di hadapanku. Ambil uang di laci yang tadi dan ajak saudara-saudaramu makan di kedai bibi Sarah."

    "Bukankah itu pemborosan?"

    "Aku yang bekerja. Selama masih ada hantu, kalian tidak perlu khawatir aku akan jatuh miskin. Sudah pergi sana."

    Eric kemudian mengajak Julian meninggalkan tempat itu. Mengambil uang yang dimaksud oleh Alexander dan mengajak semua saudaranya untuk bergegas mencari sarapan. Biasanya Alexander yang akan membuat sarapan untuk mereka, namun sering kali Alexander menyuruh mereka pergi ke kedai dekat pemukiman.

    Setelah anak-anak itu pergi, keadaan menjadi sangat sepi. Alexander lantas mengeluh, "kenapa sepi sekali? Bahkan aku bisa mendengar suara napasku sendiri."

    Menegakkan tubuhnya, Alexander kembali memakan kue dengan tenang. Sudut bibirnya tersungging lebih lebar.

    Dia kemudian bergumam, "dari mana mereka mendapatkan uang untuk membeli ini? Aku bukan anak kecil lagi, kenapa memberiku kue ulang tahun? Mereka benar-benar tidak tahu selera orang dewasa … harusnya mereka membelikan mobil sebagai hadiah ulang tahun."


Selesai ditulis : 08.09.2020
Dipublikasikan : 10.09.2020


°•°•°INSIGHT°•°•°

EPISODE MINGGU DEPAN.

"Kau sudah berada dalam keadaan yang membutuhkan penanganan serius. Aku sarankan agar kau berhenti sejenak dari perkerjaanmu, Tuan Lim."

"Omong kosong macam apa itu? Jika aku tidak bekerja, akan kuberi makan apa anak-anakku?"

"Pianonya sudah sudah rusak, mungkin tidak bisa digunakan lagi. Jika kau mau ayah akan segera membelikan yang baru."

"Pendeta Lim ..."

Brakk!!!

"Jangan memanggilku Pendeta! Sudah kukatakan berapa kali, jangan memenggilku seperti itu!"

"Ethan ... cepat tidur. Sudah malam, kau bisa bermain piano lagi besok."

"Kenapa? Ada apa denganku? Kenapa akhir-akhir ini tanganku selalu gemetar setiap kali berhadapan dengan roh jahat? Apakah aku telah melakukan dosa besar? Tidak, itu tidak benar. Omong kosong ... aku bahkan tidak pernah mengenal seorang wanita, bagaimana aku bisa melakukan dosa besar? Aku menghidupi anak yatim piatu ... apa ini karma karena aku sering mengutuk?"

°•°•°INSIGHT°•°•°

"Aku pernah menjadi Pendeta, tapi hanya satu minggu. Kau tahu alasannya?
Waktu itu para setan terus berbisik di telingaku dan membuatku marah. Sejak saat itu aku selalu mengutuk setiap menit. Aku tahu ... sebagai seorang Pendeta, aku harus bisa menahan diri. Untuk itulah aku berhenti menjadi Pendeta dan mengutuk sepuasku tanpa takut dengan dosa. Kau sudah tahu alasannya, jadi jangan penasaran." Alexander Lim.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro