Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab XVII

Tara berlari setelah dia turun memarkirkan mobilnya sembarangan di carport rumah Mutia. Dia sudah telat dua jam! Dan kekasihnya itu pasti sudah menunggunya sejak tadi.

Buket berisikan lima puluh bunga mawar merah itu dipeluk oleh Tara sambil membunyikan bel untuk memanggul pemilik rumah itu. Merapikan sedikit jasnya dan tersenyum percaya diri di pantulan jendela kaca rumah Mutia, Tara berdeham sedikit untuk menyamarkan rasa gugupnya.

Pintu itu akhirnya terbuka dan menampikan sosok cewek cantik yang tidak pernah absen mampir di pikirannya selama satu minggu ini. Karena satu minggu kemarin adalah LDR pertama bagi keduanya, dan hari ini Tara baru saja pulang dari Spanyol.

"Happy anniversarry, Sayang!"

Tara mengucapkannya dengan penuh cinta kepada Mutia, sementara cewek itu kelihatannya baru berusaha menyadarkan dirinya sendiri dari alam mimpi karena baru saja bangun dari tidurnya.

"Lo kok udah balik lagi?" tanya Mutia dengan kedua mata yang masih setengah terbuka.

Memang tidak ada mana-manisnya. Tara berdecak lalu memeluk Mutia dengan begitu erat. "I miss you! Kangen banget, lo nggak kangen sama gue? Kita sudah LDR satu minggu ini,"

"Duh..." keluh Mutia berat karena Tara menimpakan berat tubuhnya.

Sengaja, Tara mendorong tubuh Mutia agar masuk ke dalam rumahnya. Setelah itu, Tara mencium pipi Mutia berkali-kali. "Um! Wangi skincare!" seru Tara mencium pipi Mutia lagi.

Mutia mendengus lalu melihat buket bunga mawar besar itu. "Buat gue?"

"Iya dong, Sayang... masa sih, lupa sama tanggal jadian kita?"

Mutia menggeleng dan menguap kembali. "Gue belum pernah merasa jadian dan ditembak sama lo."

Tara berdecak mendengarnya, bagaimana lagi? Kadar kepekaan Mutia memang tidak bisa diperdebatkan olehnya. "Ya udah, mau nikah kapan, Sayang?" tanya Tara dengan senyuman lembut.

Mutia terkekeh pelan. "Udah punya tabungan berapa sayangku?" tanyanya balik.

"Kenapa tanya-tanya tabungan? Mau dijatah berapa sebulan?"

"Lagak lo!" balas Mutia mendorong Tara hingga terjatuh di atas sofa. "Ngapain datang malam-malam, sih? Udah jam sepuluh juga, besok gue siaran pagi mesti berangkat subuh."

"Bentar lagi pulang, duduk sini dulu," Tara menepuk sofa di sebelahnya.

Mutia duduk dengan wajah mutung, kantuk nya benar-benar sudah hilang. "Sini," Tara menarik Mutia untuk datang ke pelukannya. "Duh, kangen banget..."

Sama, tapi Mutia tidak akan mengatakannya. "Lo udah makan?" tanya Mutia menatap wajah Tara yang terlihat sangat kelelahan. Tara tahun ini dan Tara tahun lalu jelas sangat berbeda. "Gue punya sayur lodeh sama tumis tahu udang, kalau mau gue angetin lagi."

Tara menggeleng. "Udah kenyang,"

"Sibuk banget?"

Tara mengangguk lagi. "Jelas, sekarang kan, gue sudah jadi kacung si Prabuanta, Mutia."

Mutia terkekeh pelan, memeluk pinggang Tara lebih erat. "Gimana kabar Mas Prabu?"

"Lumayan, nggak terlalu sinting kayak sebelumnya."

"Udah nemu cewek baru?"

"Belum,"

"Lo bantuin?"

"Iya lah, perintah Mama masa iya nggak gue laksanakan." Tara mencium puncak kepala Mutia dengan hangat. "Prabu memang kepala batu, sudah dibilangin."

"Mas Prabu butuh waktu," kata Mutia sambil memejamkan matanya dipelukan Tara.

Tara bergumam, dia pun ikut memejamkan matanya. "Hadiah dari gue dipakai, nggak?"

"Belum,"

Hadiah yang Tara berikan untuk Mutia adalah stiletto Saint Laurent, sengaja Tara belikan untuk dipakai Mutia saat siaran berita. Setiap dia perhatikan, sebelum sepatu Mutia benar-benar rusak, Mutia tidak pernah mau ganti. Kekasihnya ini terlalu sederhana sampai-sampai otak Tara berputar keras ingin mengajarkan bahwa sesekali tidak masalah jika Mutia ingin lupa diri.

Lagipula, apa lagi yang diinginkan Mutia? Papa kandungnya selalu menyokongnya, hidupnya tidak sesusah dulu. Tara baru tahu kalau Mutia sudah biasa hidup prihatin sejak Mutia bercerita dia tidak pernah membuang-buang makanan.

Untuk hal sepele, Tara pernah makan malam dan mengajak Mutia dinner di salah satu restoran bintang lima, tentu saja Michelin star, tapi bagi Mutia semua itu tidak ada apa-apanya dibandingkan saat Tara membuang nasi yang tidak dia habiskan dan cewek itu benar-benar menangis dan marah kepadanya, hanya untuk sebuah nasi.

"Pakai dong... buat apa gue beli kalau lo nggak pakai?" tanya Tara sambil mengelus rambut Mutia yang sudah sangat panjang sekarang.

"Iya nanti dipakai,"

"Gue udah nggak pernah buang-buang makanan lagi. Selalu habiskan makanan yang gue beli." kata Tara laporan.

Mutia tersenyum tipis mendengarnya. "Baguslah, tapi kurang-kurangi beli koleksi jam IWC nya."

"Wah... kalau itu sih, susah." jawab Tara dengan jujur. "Tapi dibandingkan si Prabuanta, lebih gila dia sih. Lo bakal syok kalau tahu pengeluaran biaya hidup dia lebih besar dari gue,"

Mutia terkekeh pelan. "Mas Prabu seneng apa, sih? Ganti mobil? Jam tangan juga sama kayak lo?"

"Bukan lagi," geleng Tara tertawa mengingat kelakuan Prabu dua minggu lagi.

"Kenapa?"

"Prabu beli pulau pribadi," jawab Tara dengan entengnya.

"Gila," umpat Mutia tidak bisa menahan keterkejutannya. "Serius?"

"Serius, dia bilang beli pulau di Karimun Jawa sana."

"Buat apa?" tanya Mutia masih tidak mengerti dengan cara berpikir kakaknya si Taragan itu.

Tara mengangkat bahunya tidak peduli. "Nggak tahu,"

"Awas aja kalau lo sampai gitu," Mutia menyipitkan matanya mengancam Tara agar tidak melakukan hal-hal aneh.

Tara menggeleng. "Nggak akan,"

"Masak?" tanya Mutia ragu.

"Iya," jawabnya cepat. "Mending gue belikan apa yang lo mau aja. Cepet jawab, mau apa? Biar gue belikan."

Mutia menggigit bibirnya sendiri lalu terkekeh pelan ketika membayangkan apa yang dia inginkan. "Gue..."

"Mau apa?" kali ini giliran Tara yang curiga melihat kelakuan Mutia.

Mutia mendekatkan dirinya dan mulai berbisik. Setelah mendengarkan apa yang Mutia inginkan, Tara segera mengelus dadanya sendiri, memang otak Mutia ini agak-agak, tapi bagaimana lagi? Mana dia sudah bucin total.

Kacau.


***



"... Korban telah dinyatakan meninggal ketika dilakukan penggerebekan. Adanya luka penusukan pada dua area perut korban, ditemukan satu pisau yang dipakai pelaku untuk menusuk korban. Siang ini, polisi langsung melakukan olah TKP setelah korban dilarikan ke rumah sakit."

Devano Soeridjo tidak menyangka kalau perempuan yang tengah membacakan berita itu adalah anaknya. Mutia benar-benar sudah tumbuh dewasa, saking dewasanya Devano takut, anak itu pergi jauh meninggalkannya dan tidak akan kembali lagi.

Sama seperti apa yang Kassa lakukan. Meskipun semuanya terjadi karena takdir Tuhan, tapi jika bisa memilih Devano tidak ingin ditinggal pergi oleh Kassa. Dulu, keluarganya belum bisa bersikap baik kepada Kassa dan Mutia, Devano merasa benar-benar menjadi suami yang tidak berguna karena selama beberapa tahun, Kassa tetap harus memperjuangkan haknya dengan tidak mudah.

Sekarang, ketika Mutia sudah mendapatkan haknya, yaitu; ayah kandungnya, Devano selalu merasa ketakutan dan sedih karena menyadari kalau anak yang dia sayangi pada akhirnya akan kembali pada pemiliknya.

Jika saja... jika saja... Mutia anak kandungnya.

"Papa!"

Devano tersadarkan dari lamunannya karena anaknya, Hinggrica yang datang memeluknya entah darimana. "Hai, kok panas begini? Nggak pakai topi keluar rumahnya?"

Hinggrica menggeleng. "Tadi di mobil nggak panas, Papa... tapi di luar panas,"

Devano tersenyum. "Mana Mama?"

"Mama lagi di dapur! Papa, tadi aku beli es krim, mau makan sama-sama?"

Devano mengangguk sambil mengusap puncak kepala Hinggrica. "Nanti,"

Lalu gadis kecil berusia lima tahun itu menoleh ikut melihat berita yang siang ini masih siaran. "Uwaaah! Itu kakak, Papa?" tunjuk Hinggrica pada layar LED televisi.

Devano mengangkat Hinggrica ke atas pangkuannya. "Iya, itu Kakak."

"Kakak cantik!" seru Hinggrica dengan wajah berbinar.

"Cantik?" tanya Devano ulang. "Lalu dia memastikan sekali lagi melihat Mutia yang begitu tampak percaya diri dan luwes ketika menyampaikan berita. "Iya, Kakakmu cantik..." gumam Devano setuju.

Dan dia sangat mirip Ibunya.

"Nanti, kalau Mutia sudah besar bantu aku jaga dia ya, Dev."

Permintaan Kassa terdengar konyol di telinga Devano. "Tanpa kamu bicara aku bakal melakukan, jangan aneh-aneh dia anakku."

Devano merasakan bayi merah berusia satu minggu itu menggeliat di dalam gendongannya. Devano masih belum berani membawa Mutiara ke luar rumah sakit karena cuaca Jerman memang masih winter.

"Iya, dia anakmu." ujar Kassa tanpa mengelak. "Dia anakmu, saking pintarnya baru satu minggu lahir sudah tahu mana tanganku dan mana tangan kamu. Lihat, dia mau tidur digendong kamu, coba kalau digendong sama aku, ngerengek terus."

Devano tersenyum mencium kening Mutia. "Nggak apa-apa, asal jangan nangis seharian ya, Sayang... nanti matanya capek," Devano mengusap kelopak mata cantik bayi kecil itu. "Mata ini nggak boleh banyak nangis, harus banyak tersenyum, lihat yang baik-baik di dunia ini ya, Sayang."

Kassa terkekeh pelan. "Makasih doanya Ayah!"

"Jadi sudah pasti namanya Mutiara saja?" tanya Devano yang tidak merasa puas dengan satu nama itu.

"Tambah nama Ibuku," kata Kassa membenarkan kain yang menutupi kepala anaknya. "Anantari,"

"Anantari?" tanya ulang Devano sambil berpikir mengulang-ulang nama yang Kassa sebut. "Anantari..."

Kassa mengangguk setuju. "Shri Mutiara Anantari,"

Devano tersenyum miring. "Masih kurang,"

"Kurang?" kening Kassa berkerut heran.

"Iya, masih kurang." Devano mencium lagi pucuk hidung bayi itu. "Shri Anantari Mutiara Soeridjo."

Tapi wajah Kassa saat itu langsung terdiam dan tengah berpikir keras. Devano tidak menyadari, kalau sampai kapan pun Mutiara memang tidak akan pernah menjadi anaknya.

"Mas?" Kavita mengusap air mata suaminya yang turun.

Hinggrica bahkan ikut menatapnya dengan aneh ketika melihat wajah sang Papanya yang menangis sambil menonton berita. Anak kecil itu tidak akan mengerti apa-apa, tapi Kavita mengerti apa yang dirasakan suaminya.

"Aku..." Devano bangkit dari tempat duduknya dan tersenyum rapuh. "Aku ke kamar dulu."

Kavita terdiam dan mengangguk, lantas dia menoleh melihat wajah Mutia di televisi sana. "Ayahmu merindukan kamu, Mutiara... tapi dia nggak berani memanggil kamu lagi."




***


Mutia baru saja melepas stiletto yang dia pakai dan hendak melepaskan ikatan rambutnya. Karena penata rambut tadi menyemprotkan hair spray cukup banyak akhirnya rambutnya jigrak.

"Mutttt!" Farly, asisten produksi membawa dua minuman boba yang sudah dia pesan ke hadapan meja Mutia. "Minum dulu biar segerrrrr!" katanya.

Mutia terkekeh pelan. "Makasih lho Mbak Farly,"

"Sama-sama lho.... kayaknya bentar lagi ada breaking news keputusan BBM belum sah."

"Serius? Dari kemarin rapat mulu tuh pemerintah," kata Mutia ikut mengomentari.

"Lagian kenapa harus diputuskannya sore hari begini, sih? Orang-orang sudah antre BBM dari kemarin karena takut kehabisan." timpal Anggun penata rias Mutia yang entah baru dari mana sambil membawa nasi padang ditangannya

"Widihhhh!" seru Farly, "Dapat nasi padang darimana tuh?"

"Beli lah!" balas Anggun dengan sewot. "Kalau nunggu di kasih ya nggak ada!"

"Pengen di kasih mulu lo, mah!"

"Siapa yang nggak mau gratisan zaman sekarang?"

Mutia tersenyum saja mendengarnya. Kehidupan di Media Global memang tidak akan jauh dari keributan. Mungkin itu kenapa mereka memiliki segudang kreativitas yang bisa diadu untuk waktu-waktu tertentu. Hidup menjadi seorang jurnalis tidak semudah yang Mutia pikirkan.

Dulu, saat kuliah melihat anak komunikasi pandai berorasi saja sudah membuat Mutia iri. Mutia tidak punya keahlian untuk merecoki, berisik, atau cerewet. Jika Mutia benar-benar melakukan itu maka dia sudah menggunakan seluruh energinya untuk hidup di hari itu. Alhasil, dua hari kemudian Mutia membutuhkan kasur dan ketenangan.

Agung dan Alika sudah tahu bagaimana sifatnya. Jika Mutia sudah menggunakan seluruh kekuatannya, maka akan ada hari tenang. Jiwa introvernya memang tidak sekuat itu, sangat lemah apa lagi kalau melihat lingkungan sepi, maka Mutia akan langsung join tanpa banyak tanya.

Mutia mengecek ponselnya, dan panjang umurnya ketika dia membuka ponsel Tara meneleponnya.

"Halo?" jawab Mutia dengan riang.

"Gue pergi ya, mau ke Thailand sekarang."

Mutia mendengus geli, mendadak pikirnya padahal Tara janji kalau malam ini dia akan mengantar belanja bulanan Mutia. "Mendadak banget? Gue belanja sama siapa dong nanti?"

Tara tertawa renyah. "Sori, next time gue temani. Maaf ya, soalnya ada meeting conference yang harus dimulai di Thailand, Papa gue kan sudah lepas tangan, si Prabu lagi di Auckland."

"Ya udah, hati-hati ya..." kata Mutia dengan senyuman tipis. "Safe flight,"

"Gue pamit ya... jangan telat makan, dandan yang cantik kalau mau breaking news, nanti gue nonton."

Mutia terkekeh pelan mendengarnya, dan si Tara itu memang selalu mengomentari akun YouTube Media Global dengan alay. "Awas aja komentar lo bakal gue un-like!"

"Jangan dong, Sayang... itu kan tanda cinta dari gue, udah ya? Gue mau boarding, bye Sayang... sampai ketemu lagi! Jangan kangen!" Katanya dengan nada bicara tengil.

Mutia bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah Tara pada saat bicara. "Bye, Sayang..." balas Mutia dengan bisikan.

Mutia tidak bisa menahan senyumannya, sementara Farly dan Anggun berusaha tidak mendengar percakapan dua manusia yang tengah dilanda cinta itu. Mungkin, memang Mutia si cantik ini sudah ada yang punya, itu kenapa beberapa laki-laki di Media Global yang berusaha mendekatkan diri dan mengenali Mutia selalu gagal.

Farly dan Anggun jadi penasaran, sosok cowok manakah yang berhasil mendapatkan si cantik ini?

"Mutia! Breaking News petang ini jadi! Harga BBM fix naik! Buruan!" teriak Produser, Gabriel kepada Mutia.

Mutia menyimpan ponselnya ke dalam loker, membawa stiletto yang dia jinjing dengan kaki nyeker Mutia berlari menuju studio.

Anggun dan Farly ikut beranjak dari tempat dan berlari dibelakang Mutia menuju studio. Sungguh indah di belakang layar breaking news ini, selalu dihadiahi dengan kehebohan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro