Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 5

"I hate you because you said something right about me."

-Flora Lavanya Anggoro

Flora ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya. Akan tetapi, pita suaranya seolah rusak. Bahkan lebih buruk lagi, mulutnya serasa dijahit rapat sejak melihat Dicko muncul di ambang pintu. Dia hendak bertanya, apa yang dilakukan lelaki itu di rumah keluarganya pada akhir pekan? Dan Flora semakin tak sanggup bersuara ketika melihat senyum lebar yang tiba-tiba merekah di wajah sang adik seolah menjawab pertanyaannya.

Senyum bocah itu bahkan belum lenyap saat mereka berlima sudah duduk di dalam mobil ayah Dicko. Ya, berlima. Jonas Hariandi, Merredith Cho, Dicko, Flora, serta Farrel.

"Kak Flo, kenapa? Kok pucat?" Farrel menatap kakaknya yang terlihat seperti menahan hasrat untuk buang air besar. Dia khawatir, jangan-jangan kakaknya sebenarnya sakit.

Flora menjawab dengan gumaman tak jelas. Jahitan di bibirnya terasa terlalu rapat.

"Kakak mual?" tanya anak itu lagi, yang dibalas gelengan lemah.

"Kalau kamu mual, Om ada permen jahe," Jonas tiba-tiba berujar dari balik kemudi. "Dicko, tolong ambil permennya di kantong belakang kursi Eomma."

"Nggak, Om. Nggak apa-apa, kok." Gadis itu telah menemukan suaranya, meski terdengar seperti sedang berkumur-kumur.

Dicko tak menggubris penolakan Flora. Dia mematuhi perkataan ayahnya, mengeluarkan sekantong besar permen jahe, lalu mengulurkannya ke arah calon tunangannya. Gadis itu duduk di dekat jendela mobil, persis di belakang kursi Jonas.

Farrel, yang duduk di antara Dicko dan Flora, segera merogoh kantong yang diulurkan Dicko, kemudian mengambil sebungkus permen. Dia lantas menyerahkannya pada sang kakak, yang menerima dengan enggan.

"Yakin kamu nggak apa-apa, Flora? Kalau kamu merasa kurang sehat, biar diantar balik. Kami aja yang bawa Farrel ke Dufan. Gimana?" Merredith memberi saran.

Tawaran yang terdengar menggiurkan. Dia lebih memilih pulang daripada harus berada bersama orang-orang ini. Bukan apa-apa, hanya merasa canggung. Namun gadis itu tahu, Farrel-lah yang merencanakannya. Jadi tak bisa menolak, meski teramat ingin.

"Nggak, Tante. Aku ... aku baik-baik aja," tolaknya, berusaha terdengar ramah, tetapi terlalu kaku.

Dicko tiba-tiba terkekeh pelan. Merasa geli lantaran nada suara ramah terdengar tidak cocok saat keluar dari bibir gadis itu.

Flora bisa mendengarnya. Dia menoleh dengan cepat ke arah Dicko dan memberinya tatapan tajam. Lelaki itu memutar bola mata lantas membuka bungkusan permen jahe di tangannya. "Farrel mau?" Tangannya terulur bersama permen jahe.

"Makasih, Kak." Farrel mengambil permen itu lalu memakannya. "Kak Flo, permennya dimakan juga, dong."

Flora menuruti sang adik dan memakan permennya. Sayangnya, sebutir permen jahe tak mampu membuatnya merasa lebih baik. Karena sepanjang perjalanan mereka, Farrel memutuskan untuk mengatakan berbagai hal yang membuat perut gadis itu serasa diaduk-aduk.

"Om Jonas, Tante Merredith. Maaf ya, Farrel jadi ganggu liburannya."

"Nggak apa-apa. Kami nggak keberatan, kok. Rame-rame lebih seru," Jonas menjawab sambil menoleh sekilas ke belakang. Lelaki itu tersenyum pada keponakannya.

"Iya, Farrel. Kata Kak Dicko, dia senang banget kita bisa jalan bareng begini. Dia boring kalau cuma jalan bareng Om dan Tante," timpal Merredith, juga disertai senyum untuk Farrel.

Bocah itu ikut tersenyum, wajahnya kembali berseri-seri. "Besok-besok kita jalan bareng terus aja kalau gitu. Apalagi, Kak Dicko sama Kak Flo kan bentar lagi tukaran cincin. Itu artinya kalian berdua pacaran, kan? Iya, kan? Nah, orang pacaran kan sering banget jalan-jalan."

Hampir saja Flora tersedak permen jahenya. Dicko terbahak-bahak, sementara orang tuanya tersenyum simpul.

"Hei, kamu tahu kata pacaran dari mana, sih?" ujar Dicko seraya memiting leher sepupunya dengan gemas. Yang dipiting justru terkekeh-kekeh geli.

"Dari Mbak Widi," jawab Farrel, masih dalam pitingan Dicko.

Flora merutuk-rutuk dalam hati, berniat memberi peringatan pada pengasuh adiknya itu agar tak mengajari kosa kata yang tidak-tidak.

"Mbak Widi bilang, kalau orang tunangan itu bakalan nikah juga. Kayak Mami sama Papi. Jadi nanti Kak Dicko bakalan tinggal bareng Kak Flo. Farrel mau tinggal bareng kalian juga, biar bisa jalan-jalan tiap hari."

Ingin rasanya Flora menyumpal mulut Farrel. Namun, yang bisa dia lakukan hanya membuang muka, menatap ke luar menembus kaca mobil. Mendengar Dicko serta ayah-ibunya tertawa-tawa, membuatnya kesal setengah mati. Apakah bagi mereka ucapan Farrel terdengar begitu lucu?

"Boleh, kan, Kak?"

"Nggak usah tunggu kami menikah pun, kita bisa kok jalan-jalan tiap Minggu."

Ucapan Dicko itu membuat Farrel hampir melonjak gembira. "Serius, Kak? Tapi sebentar lagi kan Kakak mau ujian buat kelulusan dan buat masuk kuliah?"

"Nggak, kok. Kakak udah diterima kuliah di universitas yang Kakak mau. Tenang aja, ke mana pun kamu mau jalan-jalan, Kakak bakalan sediakan waktu buat temani kamu. Kakak kamu juga pasti nggak keberatan. Ya, kan, Flo?"

Flora menggeram kesal dalam hati. Dalam rentang waktu satu jam, lelaki itu telah mengambilkan keputusan untuknya sebanyak dua kali. Tiba-tiba saja dia merasa ngeri. Mereka belum resmi bertunangan, tetapi Dicko sudah bersikap sok berkuasa atas dirinya.

"Farrel nggak boleh terlalu capek. Kakak rasa kalau jalan-jalannya tiap Minggu nggak baik buat kamu, Rel," sanggah Flora. Tidak ingin kelemahannya terhadap Farrel terlalu kentara.

"Nah, bener juga itu, Ko. Perhatikan kondisi fisik Farrel. Kalau nggak memungkinkan, jangan dipaksakan," sambar Jonas.

"Itu jelas, Yah. Tapi yang pasti, kapan pun Farrel mau dan kondisinya oke, kami akan ajak dia liburan bareng," tegas Dicko. Pandangannya tertuju pada Flora yang menatapnya dengan sengit. Dalam hati, dia terbahak-bahak melihat ekspresi gadis itu.

Flora tidak memberi bantahan lagi. Gadis itu hanya diam seraya menyunggingkan senyum terpaksa ke arah Farrel yang bersorak-sorak gembira.

Melihat itu, Dicko yakin seratus persen sekarang; sekeras apa pun penolakan Flora terhadap rencana pertunangan mereka, gadis itu tak akan berkutik jika Farrel yang meminta. Seperti yang juga terjadi padanya. Dan dia merasa, jalannya sedikit terbuka untuk membuat Flora menurut dan mendengarkannya.

Segera saja, dia meralat prasangkanya beberapa hari lalu. Ternyata memang hanya butuh satu tepukan untuk menjinakkan gadis bernama Flora Anggoro.

***

"Gimana?"

"Apanya?"

"Jawaban lo."

Flora mendelik pada Dicko yang berbisik di sampingnya. Mereka tengah beristirahat sambil makan siang di restoran di dalam arena Dunia Fantasi.

"Gue yakin lo udah punya jawaban," Dicko kembali berbisik sambil menarik tuas air di wastafel setelah menyabuni kedua tangannya.

Flora, yang tengah melakukan hal serupa, tergoda sesaat untuk menyirami Dicko dengan air yang tertampung di dalam kedua telapak tangannya. Namun, sisa-sisa kesabaran membuatnya urung melakukan hal itu. Lagi pula, penjelasan apa yang akan dia berikan pada Jonas dan Merredith?

"Gue rasa lo udah tahu jawabannya," jawabnya dengan gigi bergemeletuk. "Tapi gue punya beberapa syarat," lanjut Flora.

"Apa?"

"Satu: jangan coba-coba kendalikan gue. Dua: jangan gunakan nama Farrel untuk melakukan yang nomor satu. Tiga: jangan bilang ke siapa pun tentang pertunangan kita. Sekalipun ke sahabat terdekat lo!"

Dicko mendengarkan dengan bibir yang masih mengukir senyum. "Itu doang?"

"Ya."

"Gue nggak bisa janji untuk nggak ngelakuin syarat nomor satu dan dua. Gue tahu lo terlalu sayang sama Farrel. Jadi percuma lo ngajuin dua syarat pertama. Kalau syarat ketiga, nggak usah khawatir. Tanpa lo kasih tahu, gue bakalan rahasiakan pertunangan kita," tandas Dicko dengan nada penuh kemenangan.

Flora bergerak-gerak gelisah. Tanpa dia sadari, lidahnya menyapu bibir yang mulai terasa kering. "Gue pastikan hari ini adalah kali terakhir lo bisa gunakan Farrel sebagai alasan—"

"Kalau gitu lo salah perhitungan," potong Dicko dengan seringai yang membuat Flora semakin resah. "Gue bisa gunakan nama Farrel kapan pun gue mau. Lo mau bukti? Saat ini juga, gue perintahin lo berhenti merokok, selamanya. Jangan coba-coba sekali pun lo isap lagi barang laknat itu. Gue bakalan tahu kalau lo ngelakuinnya sembunyi-sembunyi."

Flora merasa jantungnya terbakar oleh sulutan ribuan rokok. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh kemarahan.

"Gue pasti tahu kalau lo merokok sembunyi-sembunyi, Flo. Dan seperti yang gue bilang tempo hari, gue nggak peduli seandainya lo kena kanker. Tapi yang gue pedulikan itu kesehatan Farrel. Kalau lo beneran sayang sama adek lo, berhenti merokok sekarang juga. Gue tahu lo nggak bego. Residu rokok itu berbahaya, apalagi kalau Farrel terkena paparannya. Lo nggak mau dia sakit, kan? Dan gue yakin, lo bakalan ngelakuin apa aja demi dia. Iya kan, Flo?"

***

Flora menatap pantulan dirinya yang berbalut gaun merah marun sepanjang lutut di dalam cermin. Wajah cantik itu berpoles riasan sederhana, tetapi tetap menonjolkan kecantikan yang memesona. Wajah yang begitu mirip dengan mendiang ibunya.

"Mama," lirihnya. Gadis itu merasa tak berdaya, menyadari bahwa sebentar lagi dia akan melakukan sesuatu yang tak diinginkannya.

Dia masih bertanya-tanya, apakah sanggup turun ke bawah, tempat seluruh anggota keluarga dan kerabat dekat sedang menunggu? Rasanya ingin kabur saja. Pergi dari kehidupan yang membuatnya muak.

"Ayo kita turun, Kak."

Flora berbalik. Matanya menangkap sosok bocah berwajah malaikat yang menatapnya dengan binar kebahagiaan yang terang benderang. Untuk sesaat merasa buta. Lalu perlahan, dia bisa melihat wajah itu tersenyum, berseri-seri.

Demi menyenangkan hati Farrel .... Mengalah dan menurut saja dulu demi Farrel.

Lubuk hati terdalamnya terus menggemakan kata-kata itu, menyemangati dan meyakinkan dirinya. Lalu tanpa dia sadari, kakinya melangkah perlahan menuju wajah dengan senyum cemerlang. Malaikat kecilnya.

Ini hanya pertunangan konyol ....

Ya. Masih ada lima atau sepuluh tahun lagi ....

Dengan mantap, gadis itu meraih tangan mungil malaikatnya. "Ayo."

***

"Selamat ya, Ko. Nggak nyangka kamu tunangan umur segini. Aku aja belum."

Dicko menyengir saat membalas jabatan tangan anak dari sepupu ayahnya, Andre. "Nggak ajak Kak Nayla?" Dicko memiringkan kepala, lalu menengok ke belakang punggung lelaki itu, mencari-cari sosok Nayla, kekasih Andre.

"Nay nggak bisa ikut. Lagi di Bandung sama keluarganya. Dia titip permintaan maaf sama ucapan selamat buat kamu dan Flora."

"Oh, nggak apa-apa. Tolong sampaikan ucapan makasih buat Kak Nayla." Dicko tersenyum cerah.

"Sip, nanti aku sampaikan." Andre menepuk pelan lengan Dicko, lalu bertanya, "Mana tunangan kamu?"

Dicko merasa geli saat Andre mengucapkan kata-kata 'tunangan kamu'. Sambil menahan tawa, dia mengedarkan pandangan ke arah kerumunan manusia di ruang keluarga kediaman Anggoro yang luas. Namun, tak terlihat sosok gadis yang setengah jam lalu bertukar cincin pertunangan dengannya.

"Tadi di sana, sih. Sebentar ya, aku cari. Kakak makan dulu, gih."

"Oke." Andre kembali menepuk pelan lengan Dicko sebelum meninggalkannya, menuju meja panjang, yang di atasnya terhidang berbagai jenis makanan penggugah selera.

Dicko melangkah berlawanan arah, mencari Flora di ruangan lain, meski tak yakin di mana gadis itu berada. Setelah sepuluh menit, Dicko merasa pencariannya sia-sia. Dia sudah akan kembali ke ruang keluarga ketika melihat anak tangga menuju ke lantai atas.

Barangkali aja dia di atas, pikirnya.

Sesampainya di lantai atas, sebuah pemandangan membuat matanya terbelalak. Sepuluh meter di depannya, salah satu pintu menuju balkon terbuka lebar. Menampakkan sosok gadis bergaun merah marun tengah bergelayut di atas pagar balkon.

"Hei! Jangan bodoh, Flo!" serunya. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Ketakutan melandanya. Detik berikutnya dia berlari mendekati gadis itu.

"Turun!" bentaknya panik saat menyadari kaki gadis itu justru memanjat pagar dengan mantap.

Flora menoleh ke belakang punggungnya dengan gusar. "Lo ngapain ke sini? Diam, ah! Berisik!"

"Gue bilang turun! Atau gue panggil yang lain buat ke atas!"

"Bodo amat!" Flora telah berhasil menjejakkan kaki telanjangnya di atas pagar. Tangannya berpegangan pada sebuah besi berbentuk liukan-liukan sulur tanaman yang terbentang di atas kepalanya.

"Flo! Lo ngapain?" Dicko tiba di dekat gadis itu. Berdiri di bawahnya dengan kepala menengadah. Mulutnya menganga manakala menyadari apa yang sebenarnya tengah dilakukan Flora.

Tangan gadis itu meraih sesuatu di atas sana, pada sebentuk lekukan tempat bertenggernya seekor anak kucing beberapa detik lalu.

"Kucing? Lo lagi nyelametin anak kucing?"

"Lo pikir apa?" balas Flora ketus. "Nih! Pegang dulu, gue mau turun." Dia mengulurkan tangan kiri yang menggenggam erat tubuh mungil berbulu jingga kepada Dicko.

Dicko segera menyambut anak kucing itu, lalu berujar, "Hati-hati."

Flora jelas tak mendengarkan, karena detik berikutnya dia melakukan sebuah manuver yang amat tidak hati-hati. Gadis itu meloncat dengan gegabah, lalu kakinya menjejak di lantai granit diiringi bunyi 'krek,' yang hanya berarti satu hal; kakinya terkilir dengan sukses.

"Mamaaaa!!!" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro