[24] Lonely
Velya nyaris berteriak dan menjatuhkan segelas susu di tangannya saat melihat sesosok bayangan bertubuh besar, tengah berdiri di teras kamarnya yang menghadap ke halaman belakang rumah. Untungnya dia bisa cepat mengenali punggung tegap itu sebelum melemparnya dengan segelas susu atau lampu meja. Meletakkan susunya di nakas, Velya menggeser jendela kamarnya hingga terbuka, lalu melompat keluar, menghampiri sosok itu.
“Gue kira lo maling, tahu nggak,” omelnya.
Hanya helaan napas, tanpa tanggapan.
Merasa ada yang tidak beres, Velya melongokan kepala untuk menatap wajah Chiko yang tengah menunduk. “Hei, kenapa lo?”
Chiko menggeleng, memilih bergerak mundur, lalu berjongkok. Punggungnya bersandar di dinding, dengan pandangan kosong.
Velya memilih ikut duduk di sebelah sahabatnya itu tanpa merecoki Chiko dengan berbagai pertanyaan. Bersahabat belasan tahun membuatnya mengenal Chiko dan Gusti luar dalam. Meskipun paling cerewet dan blak-blakan, di kondisi dan situasi tertentu Chiko adalah yang paling tertutup di antara mereka bertiga. Ada satu permasalahan di mana dia memilih diam, hanya minta ditemani sebentar, tanpa berkata apa-apa. Permasalahan yang bisa dipastikan menyangkut orangtuanya. Dia akan bercerita, tetapi nanti, jika permasalahan itu sudah selesai dan tidak lagi menganggunya. Gusti dan Velya memilih menghargai privasi Chiko menyangkut keluarganya. Toh, kalau memang mau bercerita, cowok itu akan langsung menyerocos tanpa harus dipaksa.
“Mau susu nggak?” tawar Velya.
Chiko menggeleng.
“Makan?”
Gelengan lagi.
Velya menghela napas. “Lo dari mana?”
“Keliling,” Chiko menjawab singkat. “Nyokap di rumah. Males pulang.”
“Gue teleponin Gusti, ya? Bilang lo mau nginep sana?”
“Udah. Dia baru mau jalan, pulang les. Makanya gue ke sini. Nanti langsung ke sana kalau dia udah di rumah.”
Velya mengangguk paham. “Lo udah makan malam?”
“Nggak laper.”
Velya beranjak, mengambil susunya dari nakas, lalu kembali ke sebelah Chiko. Dia menyodorkan gelas pada sahabatnya itu. Awalnya tidak mendapat tanggapan. Tidak menyerah, Velya sengaja menempelkan bibir gelas ke mulut Chiko, sedikit memiringkan hingga isinya hampir tumpah, membuat Chiko mau tak mau membuka mulut dan menerima minuman itu. Dia meminum beberapa teguk, lalu mengembalikan gelas itu pada Velya.
“Nggak suka vanila. Gue mau yang cokelat, Vel ....”
Velya pura-pura mendengus, mengambil gelas itu dan kembali ke dalam rumah. Dia sengaja berlama-lama mengambilkan susu cokelat untuk Chiko, memberi waktu lebih pada sahabatnya itu untuk menenangkan diri.
“Lho, tadi udah bawa susu deh kamu,” tegur Mama.
“Ada Chiko di belakang. Abis berantem sama maminya, kayaknya.”
“Oh ....”
“Sedih banget ya, Ma. Jarang ketemu, sekalinya bisa ketemu malah berantem terus. Kayaknya jarang banget aku lihat dia happy gitu pas Mami atau papá-nya pulang.”
Mama tidak menanggapi, hanya mengusap pelan kepala Velya. “Dia udah makan belum?”
“Nggak laper katanya, cuma minta susu cokelat.”
“Itu ada roti srikaya, sekalian kamu kasih ke dia.”
Velya menurut. Dia kembali ke kamar dengan membawa segelas susu cokelat dan roti bantal isi srikaya. Chiko masih di posisi yang sama dengan tadi, berjongkok sambil memeluk lutut, pandangan mata lurus tapi kosong. Ketika Velya menyodorkan susu cokelat, Chiko mengambilnya tanpa menoleh.
“Nih, dari Mama.”
Chiko melirik roti yang diberikan Velya, mengambil sepotong, lalu makan tanpa suara.
Mereka kembali hanya saling diam, membiarkan angin malam berembus perlahan, membuat suhu tubuh di sekitar bertambah dingin. Velya sampai mengambil selimut untuk melingkupi tubuhnya.
“Gusti nganter Sheryl dulu, ya?” tanya Velya.
“Kayaknya.”
Velya ingin memancing obrolan, tetapi tidak tahu harus membicarakan apa di tengah suasana hati Chiko yang seperti ini.
“Vel ....”
Velya menoleh. “Ya?”
Chiko menatapnya beberapa saat. Kemudian, dia meletakkan telapak tangannya di atas kepala Velya, mengusap pelan. “Gue cuma punya elo deh sekarang.”
Dahi Velya berkerut.
“Sama Gusti sih, tapi dia udah nggak bisa cuma fokus ke kita.” Gerakan tangannya bergerak turun, mengusap lengan Velya, lalu berhenti di tangan gadis itu. Chiko menggenggamnya. Tidak terlalu erat, tetapi jenis genggaman yang sulit dilepaskan. “Gue takut sendirian, Vel. Nanti kalau sendirian, pas gue mati nggak ada yang tahu. Mayat gue baru ketahuan berminggu-minggu kemudian karena tetangga kebauan. Terus gue ....”
“Chiko, ah!” Velya memukul bahu cowok itu. “Jangan ngomong gitu! Nakut-nakutin aja!”
“Gue serius.” Ekspresi datarnya sama sekali tidak berubah. Bukan wajah tengil penuh senyum iseng seperti biasa.
“Lo nggak akan mati sendirian.”
“Sejujurnya, gue udah capek sendirian terus.”
“Chik ....”
“Jadi pacar gue, ya?” potong Chiko, sebelum Velya menyelesaikan ucapannya.
Velya mengerjap, menatap Chiko tidak percaya.
“Mau, kan?”
Velya merasakan pipinya memanas, terutama saat tatapan Chiko menusuknya. Dia menunduk, benar-benar salah tingkah.
“Vel?”
“Nggak lucu ah.” Velya mencoba menarik tangannya dari Chiko, menghindari tatapan cowok itu.
“Lo suka sama cowok lain? Siapa? Evan?”
“Nggak!” Velya menyentak tangannya. “Apaan sih?”
“Terus? Kenapa nggak mau sama gue? Gue sayang sama lo.”
Velya benar-benar tidak bisa membayangkan semerah apa wajahnya sekarang.
“Lo udah nggak sayang ya, sama gue?” pancing Chiko lagi.
“Bukan gitu ....”
“Berarti sayang, kan?”
“Yah ... tapi, kan ....”
Untuk kali pertama, selama jangka waktu itu, Chiko menyunggingkan senyum kecil. “Ya udah. Pokoknya lo sekarang pacar gue, nggak boleh ke mana-mana lagi, harus terus sama gue.”
Velya baru akan membantah, tetapi ponsel Chiko lebih dulu berbunyi. Chiko menjawabnya, berbicara beberapa saat, lalu menutup telepon dan menyimpan kembali benda itu di saku jinsnya.
“Gusti udah di rumah,” ujarnya. “Ketemu lagi besok, ya.” Dia mengacak rambut Velya, lalu berdiri.
“Chik ....” tahan Velya, sebelum cowok itu berlalu. “Lo ... serius?”
Chiko mengangguk. “Lo mau, kan?”
“Lo juga nggak akan cari cewek lain lagi, ya? Nggak boleh goda-godain cewek lain juga. Atau selingkuh gitu.”
Chiko tertawa pelan. “Nggak, Vel. Cewek-cewek gue sebelumnya aja nggak ada yang gue selingkuhin kok.”
“Tapi lo tinggalin gitu aja.”
Chiko tidak membantah. “Ya udah, lo pikirin deh. Kalau udah yakin, kasih tahu gue.”
“Mau kok,” Velya bergumam pelan. “Tapi nggak mau lo tinggalin tiba-tiba.”
Chiko kembali mengacak rambut Velya. “Lo denger, kan, tadi gue bilang apa aja? Gue cuma punya elo sekarang.”
“Jadi ...?”
“Jadian?”
Velya menatap Chiko beberapa saat, lalu mengangguk sambil menyunggingkan senyum malu, membuat Chiko tersenyum lebar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro