11. ...BUT THE LIGHTS ARE CURRENTLY OUT.
Catatan Penulis: Jadi begini... ternyata kesibukan jauh lebih mengerikan dari yang aku duga. Jadwal mulai banyak yang clash. Jadi, mau tidak mau, harus ada yang dikorbankan... dan Gravedancer adalah salah satu yang gugur di medan perang.
Tidak, aku tidak meninggalkan Gravedancer. Dan tidak, aku juga tidak akan berhenti menulis, terutama dengan rewrite untuk Myth Jumpers terasa sangat menjanjikan permulaannya begini (kapan-kapan kurilis, hehe). Belum lagi dengan proyek mini Reaper dan companion book untuk seri Jurit Malam, judulnya Prasasti Psikis. Tetapi, mau tidak mau, dalam skala prioritas, menulis memang harus turun. Sedikit.
Jadi, dengan ini, aku mau mengumumkan perubahan jadwal untuk rilis Gravedancer. Sekarang part baru kemungkinan akan dirilis tiap minggunya. Tetapi tenang, ini tidak akan mengubah banyak, toh Bab terakhir Gravedancer adalah Epilog yang terletak setelah Bab 14, dan ini adalah Bab 11. Aku cuma merasa ada tanggung jawab untuk menyampaikan ini.
Maka, aku mau minta maaf. Aku bahkan merilis ini sambil menunggu kelas karena aku tidak tahu kapan lagi bisa rilis sedekat mungkin dengan jadwal yang semestinya. Terima kasih untuk semua dukungannya, dan selamat menikmati!
//
And the clouds perished; Darkness had no need
Of aid from them-She was the Universe.
-Darkness, Lord Byron, 1816.
Waktu aku merasakan senggolan yang membangunkanku, aku langsung tahu ada yang salah.
Ajaibnya, aku sedang tidak bermimpi saat itu, jadi saat aku bangun, aku harus akui aku agak terdisorientasi sebentar. Lalu hal itu terjadi.
"Alden," bisik Heather. Aku menoleh dan melihat kedua lengan Heather sedang memeluk bantalnya dengan sangat erat. Bisikannya terdengar sangat resah.
"Yeah?" kataku sambil menebar pandangan. Ada yang salah.
Aku tidak bisa melihat apa pun.
"Apa yang sedang kupegang?" tanya Heather dengan desisan itu lagi.
"Bantalmu," kataku. "Kenapa gelap banget?"
"Itu masalahnya," bisik Heather lagi. Kali ini aku bisa merasakan dengan jelas bahwa ia memang sedang gemetaran. Itu langsung menyentakku bangun.
"Apa?"
"Bagaimana kaubisa melihatku?"
"Aku...." Bagaimana aku bisa melihatnya? Apa aku seharusnya tidak melihatnya? Aku baru sadar bahwa aku cuma bisa melihat ranjang ini, bantal-bantal dan selimut di atasnya, diriku sendiri, dan Heather. Aku tidak bisa melihat sisa Bunker. Segalanya hitam pekat. "Entahlah. Apa yang sedang terjadi?"
"Aku enggak tahu," katanya, masih gemetaran parah. Aku bisa melihat tubuhnya bergetar keras. Aku tidak tahu dari mana asal cahayanya, tetapi ia jelas tampak pucat. "Aku sudah bilang aku bakal bangun jika apa-apa berubah. Jadi aku bangun. Semuanya gelap. Aku tidak bisa melihat apa pun. Bahkan tanganku sendiri."
"Aku bisa melihatmu," kataku. "Um, dan kasurnya. Tunggu—tunggu di sana. Jangan bergerak. Aku akan ke sana. Jangan takut."
Aku mulai bergeser perlahan ke arahnya, memastikan ia bisa merasakan kasurnya bergerak sedikit dengan setiap gerakanku. Ia tidak tampak terlalu gemetar, yang mungkin berarti ia masih bisa mengendalikan dirinya sedikit, dan aku menganggap itu sebagai pertanda bagus.
"Apa kaubisa merasakanku bergerak ke sana?"
Ia mengangguk.
"Bagus. Aku akan coba meraih tanganmu sekarang. Tolong jangan lawan aku." Aku meraih ke arahnya dan menyentuh telapaknya. Ia berjengit dan langsung menarik lagi tangannya. "Jangan—Heather. Heather, ini aku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi kita akan cari tahu, oke? Tapi pertama, kita harus tetap bersama dulu. Apa kamu percaya padaku?"
Aku bisa melihat Heather menarik napas panjang. Aku tahu bahwa baginya, mendengar apa yang barusan kukatakan memang akan terdengar sangat ganjil—ia tidak punya alasan sama sekali untuk percaya apa yang kukatakan. Tetapi saat ini, aku tidak punya rencana yang lebih bagus dari itu.
"Ya," kata Heather sambil memajukan lagi sedikit tangan kirinya. Aku meraihnya. Ia berjengit lagi karena refleks, tetapi lalu melemas. Aku menggenggam tangannya.
"Ini aku," kataku. "Enggak jelek-jelek amat, 'kan?"
"Tapi ... Alden ...," kata Heather. Matanya terpaku pada mataku. "Aku bisa ... aku bisa melihatmu sekarang."
Tunggu dulu. "Apa?"
"Aku bisa melihatmu," ulangnya. "Dan kasurnya. Tapi ... cuma saat aku menyentuhmu." Matanya terfokus padaku dan mulai memindaiku dari ujung kepala ke ujung kaki. "Kalung apa itu?"
Aku menggunakan tanganku yang bebas untuk meraih jimat Cora. "Ini? Oh, Cora memberikan ini padaku, ini membantuku melihat menembus kabut."
Heather memicingkan mata sesaat sebelum menghirup napas kaget. "Apa kautahu itu apa?" tanyanya sambil bergeser ke arahku. Aku menggeleng.
"Apa?"
"Itu jimat kuno, tapi nama modernnya adalah Kirana Jernih," katanya. "Pembuatan jimat itu lumayan merepotkan. Bukannya jimat itu langka, hanya saja jimat itu ... agak tidak umum."
"Apa khasiatnya?"
"Sesuai namanya," kata Heather. Napasnya mulai menjadi normal. Aku menganggap itu pertanda bagus. "Jimat itu akan membantumu melihat menembus apa yang biasanya akan membatasi jarak pandangmu, tergantung pada apa yang menghalangi pengelihatanmu."
"Dan efeknya bisa menyebar lewat sentuhan?"
"Entahlah. Mungkin," katanya. "Ini pertama kalinya aku benar-benar melihat jimat itu yang sungguhan. Tapi, toh, aku baru bisa melihat saat kita bersentuhan, jadi mungkin saja.
"Mau coba keluar dari sini?" tanya Heather. Aku mengangkat bahu.
"Boleh saja. Tapi bagaimana kita mau melihat ke sekeliling? Kita tidak punya senter ajaib atau semacamnya."
"Kita bisa melihat kasurnya," kata Heather. "Mungkin apa pun yang terhubung pada kita lewat sentuhan bisa kita lihat melewati hambatan gelap ini. Mungkin jika kita coba menyentuh tanah...."
"Sepertinya tanah tidak termasuk," kataku. "Maksudku, kau memegang bantalmu sekarang, dan aku bisa melihatnya sebelum aku menyentuhmu. Jika aku bisa melihatmu dan apa pun yang ada di atas kasur ini karena aku menyentuh kasurnya, berarti Kirana Jernih bisa membantuku melihat menembus kegelapan ini secara tidak langsung, 'kan?" Heather mengangguk. "Lalu kenapa aku tidak bisa melihat apa pun yang ada di atas tanah, padahal kasurnya menyentuh tanah?"
Heather terdiam sesaat. "Benar juga. Tapi kamu tahu kita tidak bisa di sini selamanya. Ada yang salah."
"Ini sihir," kataku sepakat. "Oke. Kita coba keluar Bunker. Jika terlalu sulit, kita kembali ke kasur ini dan coba cari rencana baru. Apa ada cara menghubungi Bev dari sini?"
Heather mengangguk. "Gelang Tenun. Aku bisa mencoba memanggil Bev lewat telepati dengan ini. Enggak jamin, tapi kadang-kadang berhasil."
Aku mengangguk balik. "Jika kaubisa menghubunginya, ceritakan apa yang sedang terjadi. Aku punya firasat buruk soal ini. Bisa jadi kita butuh bantuan."
Heather mulai menyentuh Gelangnya sambil menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti senandung. Kedengarannya seperti ia sedang menyanyikan lagu ninabobo Amerika Pribumi pada dirinya sendiri. Gelang itu mengeluarkan suara lembut, seperti sedang bergetar, tetapi mata Heather lebih tenang. Apa pun jejak rasa takut yang tadi ada padanya sudah hilang. Fokusnya terasa tajam dan agak menakutkan, seperti jenis fokus yang dimiliki Barney waktu memanggil Ayam Zombi atau tiap Cora mengeluarkan pisau ritualnya. Heather tidak bisa dikejutkan pada titik ini.
"Tidak terhubung," katanya akhirnya. "Aku bisa coba lagi, tapi sepertinya kita lebih baik ...," ia menelengkan kepala ke ujung kasur.
"... coba keluar dari Bunker dulu," lanjutku. Ia mengangguk.
Ternyata sulit. Aku harus menjaga agar tetap menggenggam tangan Heather, karena begitu ia tidak menyentuhku, ia tidak bisa melihat menembus kegelapan ini. Rasanya tidak hanya seperti lampu sedang dimatikan—rasanya lebih seperti kami sedang dilingkupi oleh tinta. Kami benar-benar tidak bisa melihat apa pun di sekitar kami. Putus asa langsung menyergap tanpa aba-aba.
Begitu aku dan Heather sudah bisa duduk, kami memijakkan kaki ke tanah dan berdiri.
Hilang.
Kasurnya mendadak menghilang dari pandangan begitu kami berdiri. Tidak bersentuhan—tidak tampak.
Begitu saja, kami berdiri sendiri di tengah gelap.
Tiba-tiba aku bisa merasakan bahwa apa pun yang tersisa dari keberanian Heather telah lenyap. Begitu kasur itu menghilang, ekspresinya langsung berubah—ia benar-benar murni takut. Genggaman tangannya juga berubah menjadi cengkeraman baja.
Matanya melebar seraya memandangku minta tolong. Ia bernapas berat.
"K-kembali dulu ke kasur," gagapnya, tangannya yang bebas meraih ke sekelilingnya untuk mencari kasur itu. Begitu kasurnya muncul, ia langsung duduk.
Aku duduk di sebelahnya. "Kamu takut gelap, ya?"
Ia menggeleng kecil. "Bukan begitu. Maksudku, aku baik-baik saja jalan-jalan di tengah gelap dan semacamnya. Rumah lindung Covens juga ada di lorong yang sangat gelap, jadi ... entahlah. Tapi, Alden ... kegelapan ini mengerikan. Aku tidak tahu apa yang merasukiku."
Aku mengangguk. Kegelapan ini adalah sihir, tidak mungkin aku tahu apa saja yang bisa diakibatkannya. Melihat Heather, mungkin ternyata waktuku di tengah monster-monster mengerikan itu cukup terbayar juga. "Kapan pun kau siap, kalau begitu. Atau ... coba kita lihat. Um, ada—"
"Maaf," katanya. "Aku ... aku akan coba lebih baik. Ayo coba lagi."
Aku menggenggam tangannya lebih erat. "Yakin?"
Ia mengangguk. "Jangan sampai aku menghambatmu."
Menghambatku? "Enggak."
Ia menoleh. "Maaf?"
"Kita cari jalan keluar," kataku. "Maksudku, kita enggak bisa lihat apa-apa begitu kita berdiri, dan aku juga enggak suka itu. Pasti ada cara mengakalinya."
Aku menebar pandangan—yang sebenarnya tidak banyak, toh aku cuma bisa melihat kasur ini dan apa pun yang ada di atasnya.
Apa pun di atasnya....
Aku tahu harus apa.
"Heather, boleh minta tolong?" kataku. "Minta tangan juga, sih. Tangan kita masing-masing yang bebas cuma satu. Aku mau lihat selimut ini sepanjang apa."
Perlu beberapa saat hingga rencanaku jadi masuk akal. "Maksudmu jika kita bisa...."
"Memakainya untuk menyentuh hal-hal lain, yeah," lanjutku. "Kita bisa mendapat sekejap pandang ke hal-hal di sekitar kita. Kamu sudah sering menginap di sini, jadi mungkin kamu bisa membantuku mencari terowongan keluarnya. Dan begitu ketemu...."
"Sepertinya aku bisa membantu," katanya sambil mengambil salah satu ujung selimutnya. "Siap?"
Aku mengambil ujung yang satu lagi. "Yeah."
Kami berdiri.
Kasurnya hilang.
Heather menghirup napas tajam. Aku tahu ia masih tidak nyaman dengan kegelapan ini. "Ini dia."
Heather melemparkan ujung selimutnya ke kegelapan di depan kami.
Swush.
"Itu," kataku begitu selimutnya menyentuh tanah dan lepas dari apa pun yang tadi sempat disentuhnya. "Apa kamu lihat?"
"Ya," kata Heather. "Meja rias. Berarti koridor keluar ada di...." Matanya bergerak cepat sebentar. Lalu ia menunjuk ke depan, agak ke kanan. "Sekitar sana."
Aku menyipitkan mata. "Ayo coba memancing beberapa hal lagi," kataku sambil menarik selimut itu lagi. Heather mengambil ujungnya. "Menurutmu kita bisa memancing dindingnya?"
Ia mengangkat bahu. "Meja rias itu letaknya dekat dinding, tapi tidak menempel ke dinding. Kita coba saja."
Kami bergerak perlahan ke arah yang tadi ditunjuk Heather. Progresnya sangat lambat—terutama karena kami bahkan tidak bisa melihat ke mana kami harus meletakkan langkah—tapi akhirnya Heather yang gemetar dan mulai bernapas berat lagi memberiku sinyal untuk mulai memancing lokasi lagi. Kali ini, kami mengarahkan tembakan selimutnya ke depan.
Kosong.
Aku menarik lagi selimutnya. "Sisi baiknya, bisa jadi ini artinya kita sudah persis di depan koridor."
Heather mencoba mengatur napasnya sambil mengambil lagi ujungnya. "Coba arahkan agak ke kiri."
Aku mengangguk dan melemparkan ujungku.
Swush.
"Meja rias," kata Heather sementara kami menarik lagi selimut kami. "Tahu enggak, lemparan yang barusan itu bisa saja sudah menyentuh tembok."
Aku paham maksudnya. Ketika kami melemparkan selimut kami ke depan dan tidak mendapatkan apa-apa, seharusnya selimut kami menyentuh tembok. Tetapi selimut kami tidak menyentuh apa-apa.
Jadi, praduganya, terowongan keluar persis ada di depan kami.
"Lurus saja," kataku. Heather mengangguk. "Jika kita menabrak sesuatu, yah ... kita tinggal menyesuaikan saja, 'kan?"
"Semoga," katanya. Ia menggenggam tanganku lebih erat sebentar. "Ayo keluar dari sini."
Kami maju ke depan. Kosong.
"Aduh," Heather terantuk mundur. "Dinding di sini."
Ia bilang aduh dan berjengit—berarti ia menyentuh tembok, 'kan? Tetapi kami tetap tidak melihat tembok, bahkan sekejap pun seperti dengan meja rias. Berarti dinding tidak bisa dipancing lokasinya. "Di sini kosong."
Kami pelan-pelan bergeser ke arahku—serius, kegelapan ini seramnya minta ampun—hingga tangan Heather yang bebas tidak menyentuh tembok. "Ketemu."
Tetapi mendadak aku teringat satu detail kecil tentang terowongan ini. "Saat ini aku bakal sangat benci pada tangga," gumamku. Seakan diberi perintah, kami tiba-tiba tersandung.
Tangan kami langsung bersiap menyambut tanah.
Ia melepaskan tanganku.
Aku tidak mengalami masalah berusaha melihat sekeliling, jadi aku agak telat menyadarinya. Tetapi saat aku menoleh ke Heather, ekspresinya, tidak salah lagi, adalah teror.
"Heather," aku menyentuh pundaknya. "Hei—hei, aku di sini, oke? Aku enggak akan ke mana-mana."
Matanya menebar pandang sebentar sebelum berfokus ke wajahku. Tangannya langsung mencengkeram lenganku, sangat cepat hingga aku bahkan telat sadar. Matanya terpejam. "Aku—bisakah—kayaknya—"
"Kubantu berdiri," kataku sambil meletakkan selimutnya di atas kakiku—cuma supaya tetap terlihat—dan membantu Heather berdiri. "Aku punya ide. Mungkin kita bisa menutupi anak tangganya dengan selimut ini. Jika berhasil, selimutnya akan membentuk anak tangganya. Kita bakal tahu harus melangkah di mana."
Heather mengangguk. "Silakan."
"Pegangan, aku mungkin butuh kedua tanganku."
Ia mengangguk lagi sambil berpegangan ke bahuku. Aku melipat selimutnya di tengah agar tidak terlalu lebar dan melemparkan ujungnya ke depan.
Ujungnya terkena sesuatu.
"Sori, lemparanku kurang tinggi," kataku. Napas Heather mulai melambat sedikit. Aku mencoba lagi menghamparkan selimutku.
Akhirnya kami bisa melihat anak tangga di depan kami.
Heather menghela napas. "Ayo keluar dari sini."
//
Kami mengulangi proses itu tiga kali sebelum akhirnya mencapai pintu—dan kami tahu itu karena kepalaku mengalami kontak langsung dengan pintu itu—tetapi paling tidak gemetaran Heather jadi hilang sebentar saat ia tertawa.
"Sakit?"
"Enggak terlalu," kataku sambil mengusap dahi. "Ugh, aku tarik ucapanku."
Ia tertawa lagi dan mengusapkan jempolnya ke tempat di dahiku yang menabrak pintu. Bulu kudukku kembali berdiri dengan familier, dan ada sensasi dingin menyeberangi dahiku.
"Nah, itu cukup," kata Heather sambil mengacak rambutku sedikit.
Ia mendorong pintu di depan kami hingga terbuka.
Cahaya.
Semuanya terjadi begitu cepat, dan sangat mendadak, tetapi kegelapan itu mendadak hilang.
Kami berdua memicingkan mata.
Matahari sudah naik—tidak mengejutkannya—tetapi dibandingkan dengan kegelapan total yang tadi kami alami, rasanya itu sangat membutakan.
Lalu ada bisikan.
"Kerja bagus, Magus."
Aku dan Heather berbalik.
Apa kau pernah melakukan jungkir-balik? Ada momen singkat di udara saat kau merasakan gravitasi berbalik, biasanya saat seluruh tubuh harus dilipat masuk supaya flip-nya bisa diselesaikan tanpa membenturkan kepalamu ke tanah dalam kegagalan yang memalukan. Rasanya persis seperti itu, dan saat gravitasi kembali ke bawah kakiku, pintu yang mengarah ke Bunker tidak ada di tempatnya.
Kami sedang memandang menembus kegelapan langit malam.
Tangan Heather langsung memelesat ke tanganku.
"Aku tidak menyadari kaupunya Kirana Jernih. Aku seharusnya tahu dan memperingatkan suamiku. Aku memang sudah menduga kaupunya sihir berderajat tinggi karena ketertarikan As Hati padamu, tetapi lalu aku ingat monster-monster Set tidak bisa merasakan sihir bawaan. Bagaimanapun juga, aku memang salah bertindak ketika aku tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa kau, bisa saja, memang punya perlindungan sihir."
Suami. Apa pun yang menyebabkan ini tahu soal ketertarikan As Hati padaku, dan tidak ada manusia/magus yang tahu soal itu kecuali aku dan Heather. Belum lagi ia membuat asumsi dan bertindak sesuai asumsi itu dengan suaminya. Aku tidak yakin, tetapi mungkin ia adalah monster dan ia ada di sana saat aku sedang digantung dan kabur secara dramatis di panggung terbang itu. Dan jika ia memang monster, berarti ada satu lagi tamparan keras di wajahku soal apa yang aku kira aku tahu soal gaya hidup para monster.
Suami. Hmm.
"Jadi kau tidak bisa merasakan sihir bawaan?" kataku, mengingat yang pernah dikatakan As Hati padaku. Sejauh ini, menunda para monster sangat berguna bagiku. Tentu, aku mendapat bala bantuan di Disaster dan banyak magi lain yang turut bertarung melawan para monster di pesta Rumah budak, tapi hei—kami berhasil mencetuskan sebuah rencana di Bunker dengan sedikit waktu ekstra. Aku cuma bisa berharap rencana berikutnya sebaiknya cepat-cepat diilhamkan padaku.
"Bisa disimpulkan demikian," kata bisikan itu. Suaranya mulai terdengar agak feminin. "Bagaimanapun juga, itu tidak lagi masalah. Kita sudah melihat bagaimana kau kabur dari cengkeraman kami. Kita tahu persis seberapa kuat sihirmu—"
"—yang berarti kautahu bahwa kau sebaiknya tidak macam-macam," selaku. Kegelapan malam di hadapan mataku mulai agak bergelombang, seakan langit malam adalah lautan dan sesuatu sedang mengubah arah arusnya. Genggaman Heather di tanganku menjadi semakin keras lagi—sedikit lagi dan sepertinya tanganku akan mati rasa. "Atau hal-hal bodoh akan terjadi."
Sebuah tawa bergema menembus langit malam ini—serius, aku tidak tahu bagaimana lagi harus menggambarkan apa yang sedang kulihat. Gelap, lengkap dengan awan-awan nebula dan gemintang yang bersinar, tetapi semuanya bergerak seperti sedang berada dalam suatu benda cair. "Aku akan coba keberuntunganku. Tidak seperti As Hati, aku memang berniat menguras sihirmu."
Tidak seperti As Hati. Jantungku mencelus. Ia tahu keengganan As Hati merebut sihirku. Apakah mungkin ia juga tahu bahwa As Hati memberiku tips untuk pergi dari rumahku?
Apakah akhirnya kau membuat As Hati terkena masalah?
Langit malam ini berpindah arus lagi, dan arah perubahannya mulai membentuk sesuatu yang lebih jelas daripada kabut gelap belaka.
Dan bentuknya familier....
"Seorang As?" gumamku kecil. Bentuknya jelas mirip dengan monster As—paling tidak, yang perempuan. Tingginya tidak manusiawi, dan siluetnya tampak seperti seorang wanita yang rajin berolahraga. Si pembisik—aku yakin bahwa wujud ini adalah si pembisik itu—tertawa lagi.
Masih dalam bisikan kasar. Hmm. "Bukan," katanya. "Aku bisa paham jika kau melihat kesamaan. Tapi bukan, aku bukan As. Aku bahkan bukan Permainan."
Wujud itu akhirnya selesai berubah. Bentuknya mirip wanita dengan body-paint yang melingkupi sekujur tubuhnya menggambarkan langit malam di depan mataku—kecuali lukisannya tampak hidup. Bintang-bintang di kulitnya berkelip, nyaris seterang matanya. Bahkan ada galaksi-galaksi kecil menari di tubuhnya.
"Jadi kau adalah...?"
Ia tersenyum cerah. "Oh, mana sopan santunku?" Kau monster, sejak kapan kaubisa sopan? "Namaku Nyx. Akulah Sang Malam."
"Ap-apa kau yang m-menyebabkan k-kegelapan di B-Bunker?" gagap Heather. Ia masih gemetaran, dan tangannya masih memberi tanganku cengkeraman maut, tetapi matanya mengingatkanku pada Graham saat dia lari keluar Rumah Budak sebelum giliranku tiba—ada kepercayaan diri yang langsung membangun diri di sana.
Si monster—Nyx—menyeringai usil. "Bukan. Itu suamiku. Ranahku adalah malam, bukan kegelapan."
Tetapi ini sudah pagi, pikirku. Beberapa hal berlari menembus kepalaku di saat bersamaan: peringatan As Hati, kata-kata Heather, dan cahaya terang yang kami lihat saat kami mematahkan segel kegelapan tadi. Matahari jelas sudah naik. Jika ranah Nyx adalah malam, kenapa ia menyerang saat siang?
Paling tidak ini membuktikan satu hal—ia kebal terhadap cahaya matahari.
Mataku menebar pandang sesaat. Apa iya?
Kami masih melihat langit malam ke mana pun kami menoleh.
Kami tidak bisa melihat menembusnya.
Seperti kegelapan tadi.
Ini sihir.
Jimat itu akan membantumu melihat menembus apa yang biasanya akan membatasi jarak pandangmu, tergantung pada apa yang menghalangi pengelihatanmu.
Sepertinya tanah tidak termasuk.
Apa pun yang terhubung pada kita lewat sentuhan bisa kita lihat melewati hambatan gelap ini.
Cengkeraman maut Heather....
Aku tidak bisa yakin, tapi sepertinya langit malam ini sama persis dengan hambatan kegelapan tadi—cuma dengan tampilan yang berbeda.
Dan karena kegelapan tadi itu cuma hambatan, bukan gambaran nyata tentang apa yang ada di sekitar kita, berarti ruang malam ini harusnya juga begitu.
Dan, seperti kegelapan tadi, pasti ada cara untuk keluar dari segel ini.
Jika saja ada cara untuk memberi tahu Heather semua ini di depan Nyx....
Di depan?
Hmm. Mungkin aku bisa mengubah itu.
"Sebenarnya bagaimana sih, kalian akan menguras sihirku?" tanyaku. "As Hati belum pernah cerita padaku. Ia cuma bilang prosesnya ribet."
"Memang ribet," kata Nyx. "Dari jenisku, cuma tiga yang masih hidup. Ketiganya pengguna sihir. Nyaris semua Arkana pengguna sihir. Set bukan, tetapi para skinwalker dan shapeshifter iya. Belum lagi kaum jin. Tetapi kami mulai dengan memotong begian tertentu tubuhmu. Biasanya kami mulai dari kepala—"
"Tunggu, 'biasanya'?" aku tidak bisa mencegah diri. Nyx mengangguk.
"Kau tentunya tidak mengira kau adalah magus pertama yang sihirnya ingin kami kuras, kan?"
Banyak sekali pengguna sihir, kata As Hati semalam. Kita pernah saling bertemu dulu sekali. Tidak pernah baikan lagi sejak itu.
Oh. Benar juga.
"Lalu, setelah kepala?"
Nyx menerawang jauh dan melanjutkan seperti sedang bernostalgia. "Kami memotong bagian-bagian lain. Ada benda-benda kecil di sana, benda yang ketika kami ambil akan membuat kami menjadi lebih kuat. Meningkatkan sihir kami berkali-kali lipat. Sungguh, susah menggambarkannya. Bagian rumitnya sebenarnya adalah usaha memindahkan sihir dari tubuhmu ke kami dan bagaimana kami harus membagi sihirmu itu dengan adil. Tapi soal memotongnya? Tidak, tidak ribet sama sekali."
"As Hati bilang prosesnya akan enak bagi kalian," kataku, masih berusaha menunda selama mungkin hingga mukjizat turun ke kepalaku. Aku berhasil kabur dari hambatan kegelapan tadi dengan Kirana Jernih dan mengakali batasan lewat sentuhan itu dengan selimut. Tidak ada selimut di sini untuk melakukan hal yang sama. "Bagaimana bisa?"
Sementara Nyx masih memandang jauh penuh nostalgia, aku mengintip ke arah Heather. Genggamannya sudah agak lebih rileks. Apa pun bekas ketakutan yang tadi ia rasakan di tengah kegelapan sudah hilang, ekspresinya jauh lebih tegas.
Dan ia melirik ke arahku.
Mata kami cuma bertemu selama sepersekian detik, tetapi itu cukup untuk memberitahuku apa yang aku perlu tahu.
Ia sudah tahu soal sifat langit malam ini.
Bagus. Sekarang aku tidak perlu repot-repot berusaha menjelaskan padanya.
Tapi mungkin itu juga berarti Heather sadar bahwa satu-satunya jalan keluar dari sini adalah dengan menggunakan selimut seperti tadi untuk menampar barang-barang agar terlihat hingga kami mencapai garis batas zona hambatannya, yang berarti kami menghadapi dua masalah: 1) tidak ada selimut di sini, dan 2) bahkan jika ada, tidak mungkin kami bisa seenaknya melemparkan ujungnya kesana-kemari sambil ditonton Nyx begini. Tentu, ia tidak sedang memperhatikan kami, tetapi sepertinya melemparkan ujung sebuah selimut panjang termasuk hal yang cukup menarik perhatian. Dan, seperti kata Nyx sendiri, ia memang berniat menguras sihirku.
Itu jelas enggak bagus.
"Tentu saja nikmat," kata Nyx. "Apa lagi yang bisa terasa lebih enak daripada rasa ketika sihirmu mengalir melewati pembuluhmu? Apa yang bisa terasa lebih enak dari merasakan sihirmu bertambah kuat?"
Pengalamanku dengan sihir sejauh ini tidak bisa dibilang positif dan aku bisa membuat daftar panjang untuk menjawab pertanyaan retorisnya secara harfiah, tetapi aku menahan diri. Tunda, Alden, tunda. "Apa yang terjadi pada As Hati?"
Yang membuatku kaget, Nyx malah tertawa. "Apa yang terjadi? Oh, Sayang, mari kita lihat. Hmm. Di samping membuat As yang lain menghukumnya karena membantu musuh dan Set lainnya mengucilkan Set Hati, aku tidak tahu. Mungkin ia disiksa, atau disandera bersama para magi sehingga ia akan terkena imbas agresif sebagai seekor monster di tengah para sandera manusia yang sedang emosional. Siapa tahu?"
Rahangku mengatup keras, begitu pula kepalanku. Aku berani sumpah Heather pasti merasakannya.
As....
Aku membuat catatan mental untuk membobolkan—
Mata Nyx memperhatikanku. Ia tahu persis apa yang sedang kupikirkan. Ia sudah menduganya.
Aku tidak tahu kenapa, tetapi mendadak aku merasa seperti baru saja dipancing ke sana. Aku tidak tahu untuk apa ia melakukannya, aku tahu saja ia melakukannya.
Ia tersenyum.
"Heather," desisku. "Bisa menyusulku?"
"Enggak janji."
"Lari."
Ia tidak perlu diminta dua kali. Kami berbalik nyaris saat itu juga. Tangan kami berpisah sebentar, tetapi begitu kami memunggungi Nyx, aku meraih tangannya lagi dan kami langsung ambil langkah seribu secepat yang kami bisa.
Nyx tertawa. Suaranya semakin keras dan semakin jahat dengan setiap ha. "Ya, Tukang Sihir, larilah!"
Seperti saat di kegelapan, kami tidak bisa melihat akan melangkah ke mana. Tetapi, tidak seperti di kegelapan, kami cuma bisa melihat langit malam ke mana pun kami menoleh. Kami menginjak apa yang kelihatannya harusnya ruang kosong. Setiap langkah kami jadi mengejutkan—mata kami tidak mengira akan ada tanah di tempatnya berpijak.
Tidak makan waktu lama hingga aku merasa pusing.
Lari, Alden, lari.
Aku tidak bisa.
Baru saja aku berpikir tentang melambat sedikit untuk menarik napas, kakiku tiba-tiba terbentur sesuatu dan aku tersandung jatuh. Heather jatuh bersamaku. Tawa jahat Nyx mengisi telinga kami.
"Enggak apa-apa?" gumamku pada Heather. Ia mengangguk singkat.
"Lain kali, genggam saja, jangan tarik," gumamnya balik.
"Kau tidak bisa lari dari Dewi Malam, Nak! Apa yang kauharap bisa kau capai? Kau sedang di dalam ranah malam! Ini adalah duniaku! Aku ada di mana-mana!"
Kau sedang di ranah malam.
Akulah Sang Malam.
Ia kebal terhadap cahaya matahari.
Apa iya?
Untuk suatu alasan, kata-kata Cora terngiang di kepalaku: jangan bertindak bodoh.
Ruang depan Covens.
Ruang depan Covens....
Mungkin bisa berhasil. "Heather, aku tahu ini hari pertamamu menggunakan sihir, tetapi ayahmu sudah mengajarkan beberapa hal, 'kan?"
Ia mengangguk. "Aku juga sudah baca-baca. Kenapa?"
"Apa yang kamu tahu soal meniru matahari?"
"Maaf?"
"Ingat ruang depan rumah lindung?" kataku dengan lebih terburu seraya tawa Nyx semakin dekat. Heather mengangguk. Lalu matanya melebar. Miniatur matahari di langit-langitnya.
"Aku ... aku belum pernah coba, tapi sepertinya aku pernah baca," katanya sambil mengerutkan dahi. "Kayaknya mantra Romawi."
"Bisa coba?"
"Tentu," katanya. "Tapi aku bakal butuh waktu."
"Aku yang urus itu," kataku. "Tapi kamu bisa, 'kan, merapal mantranya tanpa tahu aku sedang di mana? Aku tahu kamu enggak bisa menggenggam tanganku sambil merapal mantranya. Dan bahkan jika bisa, aku tidak yakin kamu mau Nyx melihat ke arahmu saat kau sedang melakukannya."
Ia mengangguk yakin. "Aku enggak apa-apa."
"Bagus," kataku. "Berdiri. Aku akan mengalihkan Nyx."
Aku membantu Heather berdiri. Ini dia.
Aku melepas tangan Heather.
Aku masih bisa melihatnya, tetapi aku sadar ia membeku sebentar. Aku baru saja menghilang dari pandangannya.
Tolong percaya padaku. Tolong percaya padaku.
Jika Heather bisa percaya padaku, ia akan tahu aku akan menepati janjiku.
Ia menghirup napas panjang dan mulai merapal dalam bahasa Latin.
Bagus. Sekarang bagianku.
Aku berlari sejauh mungkin dari Heather. "Nyx!"
Ia langsung memadat di depanku, wajahnya persis di depan wajahku. Matanya jail. "Apa yang mau kau coba, Berandal?"
"Ini," kataku sambil mengayunkan bogem mentah ke mukanya.
Awalnya, aku separo-berharap pukulanku akan menembus udara kosong. Lagi pula, kulitnya tampak seperti teleskop siaran langsung ke luar angkasa. Aku tidak akan kaget sama sekali jika pukulanku menembus ruang hampa.
Tetapi ternyata pukulanku kena—persis di wajahnya.
Nyx mengerang sambil terpental mundur satu kaki.
Aku ternganga dan membeku sebentar.
Apa aku baru saja memukul monster?
"Berani-beraninya kau!"
Ya.
Ekspresi Nyx langsung berubah dari sebal menjadi marah. Ia mengayunkan tangan ke depan dan mendorongku ke belakang dengan sihir.
Rasanya seperti ini adalah kali kesejutanya aku terpental tak berdaya di udara, tetapi aku tidak mau dianggap tidak belajar. Jadi aku menggulung tubuhku ke dalam dan aku bisa merasakan tubuhku berputar.
Lalu gravitasi menarikku turun lagi ke tanah. Aku memejamkan mata.
Mendadak aku tahu tanah ada di arah mana.
Aku melepas kakiku.
Mereka menghantam tanah.
Terlalu keras.
Aku mengerang seraya posisi berdiriku runtuh. Aku baru saja berhasil melakukan backflip, tetapi sepertinya aku masih harus banyak belajar mendarat. Nyx menghilang dari tempatnya berdiri dan langsung muncul lagi di depanku. "Kau kira kaubisa memukulku dan bisa selamat?"
"Ya," erangku. Tunda, Alden, tunda. Aku berusaha kembali fokus dan mulai mencari-cari di ranah tali-temali, berharap ada—dapat. "Aku juga kira aku bisa selamat melakukan ini."
Aku menarik tali itu sekuat tenaga dan melemparkannya ke Nyx.
Brak.
Nyx bahkan tidak sempat menjerit saat benda itu melayang menghajarnya jauh-jauh. Saat mataku sudah membiasakan diri lagi ke ranah material, aku baru sadar bahwa benda acak yang aku tarik adalah mobil muscle seseorang. Sepertinya dari pelataran parkir motel ini.
Aku bakal harus menjelaskan banyak hal jika pemilik mobil ini melihat mobilnya sedang menindih monster berbentuk mirip wanita dengan body-paint langit malam di sekujur tubuhnya. Tetapi pada saat itu, aku sedang mengkhawatirkan hal lain.
Nyx menjerit keras sebelum mobil itu tiba-tiba terbang—bukan, terpental—ke udara, dan ia bebas. Ia melangkah cepat ke arahku. "Dasar sial! Kau akan menyesal!"
Ada kelitik yang familier di sekujur punggungku saat tiba-tiba udara mengering dari paru-paruku. Rasanya persis seperti saat Isaac menahan paru-paruku dengan—apa namanya, magikinesis?—di bukaan Shamans, cuma lebih kasar. Isaac sedang kesal. Nyx ingin menghukumku karena telah menghajarnya dengan mobil terbang.
Tekanan di paru-paruku membentuk lebih cepat daripada yang bisa kuduga. Segera, aku bahkan bukan tercekik—tidak ada cukup udara di paru-paruku untuk membuatku bahkan terlihat seperti sedang tercekik.
Lalu mataku mulai berkunang-kunang—yang agak ironis, karena kelihatannya sangat mirip dengan gemintang di ranah malam Nyx.
Aku jatuh berlutut tanpa sadar. Nyx masih menatapku dengan dingin. Aku mengira ia tidak akan membunuhku dulu, ia mau mengambil sihirku. Ia memang berniat melakukan itu. Tetapi ternyata memberi gebukan di kepala dengan sebuah mobil adalah cara yang cukup meyakinkan untuk membuatnya berubah pikiran.
Dan sepertinya ia memang berubah pikiran.
Tidak lama, aku hanya tinggal bisa melihat kegelapan.
"Hei, Jelek!"
Panggilan itu terdengar sangat jauh, tetapi aku langsung mengenalinya, bahkan dalam kabut sekaratku. Itu Heather.
Selama sesaat, Nyx tampak berusaha menimbang antara membunuhku atau menghampiri berandalan satunya lagi yang memanggilnya dengan ejekan jelas. Tetapi ia segera mengambil keputusan. Ia memberiku satu tatapan benci terakhir sebelum menghilang ke latar belakangnya.
Paru-paruku langsung bebas.
Awalnya, hirupan oksigen yang sangat mendadak membuatku pusing. Tetapi dengan Nyx tidak di sekitarku, aku akhirnya bisa mendengar rapalan Heather yang diulanginya terus-menerus: "Loquor, lux audit. Video, magia ostendit. Sol in manibus meis lucet."
Aku bisa melihatnya hanya beda beberapa puluh kaki dariku, sebuah matahari mini bersinar terang di kedua telapak tangannya yang ditengadahkan terbuka, matanya terpejam, dan dahinya mengerut fokus. Ia sedang dalam fokus-sihirnya sekarang. Nyx tidak akan mengagetkannya.
Aku langsung tahu apa yang harus kulakukan. Aku berlari ke arahnya.
Nyx tidak sadar bahwa aku mengendap-endap di belakangnya sementara ia mulai menghampiri Heather. Gadis itu masih tidak terkejut—dan sesuatu membuatku sadar bahwa itu bukan karena ia memejamkan mata. Aku kembali menarik tali mobil muscle tadi dan melemparnya lagi ke Nyx.
Lemparanku berhasil menghantam kepalanya lagi, tapi lebih keras.
Aku tahu aku baru saja memicu murka monster malam yang dulu dianggap seorang dewi di Yunani Kuno, tetapi hei—paling tidak aku dapat sepuluh detik bebas sementara ia berusaha menyesuaikan diri lagi dengan pening di kepalanya. "Heather, jika kamu bisa memakai sihir orang lain—sihirku—pakai saja. Aku milikmu."
Heather tahu soal sihirku. Aku sudah bercerita padanya, dan seluruh masalah kabut dan kegelapan dan kemunculan Nyx harusnya sudah jadi lebih dari cukup untuk mencekiknya dengan bukti. Tetapi ia tersenyum padaku dan menggeleng lembut sambil tetapi mengulang mantranya.
Matahari mini di tangannya menjadi semakin terang. Kecerahannya sudah melewati terangnya matahari mini di rumah lindung beberapa saat lalu, dan melihat ke matahari ini mulai membuat mata sakit. Ranah malam Nyx mulai mengelupas pergi di sekitar Heather.
Nyx menjerit kesakitan. "Singkirkan itu dariku!"
Whoa. Matahari itu bahkan tidak menyentuhnya.
Aku mencoba menarik mobil itu lagi untuk dilemparkan padanya paling tidak satu kali lagi sampai puas, tetapi ternyata Nyx sudah muak ditampar dengan mobil dan merenggut talinya duluan.
"Lupakan mengambil sihirmu—mati kau, dasar—"
Kalimat itu disusul maki-makian dalam bahasa Inggris modern dan bahasa lain, mungkin Yunani Kuno, menciptakan sebaris kalimat lingo superkasar yang sebenarnya sangat keren. Tetapi aku tidak sempat memikirkan itu lama-lama karena akhirnya ia melemparkan mobil itu padaku, mencoba balas dendam.
Dan ia nyaris berhasil.
Lalu ada cahaya yang sangat terang. Bulu kudukku berdiri sendiri, dan aku tahu ini bukan sihir yang dirapalkan padaku. Ini sihirku yang bertindak sendiri lagi, dan, entah dari mana, mendadak aku tahu apa yang harus kulakukan soal mobil ini.
"Quiesce."
Mobil itu berhenti bergerak.
Jeritan Nyx menoreh udara.
Cahaya di tangan Heather menjadi sangat terang hingga rasanya aku buta karenanya.
Hal berikutnya yang kami tahu, kami sedang berdiri di tengah lapangan parkir motel. Nyx tidak ada di mana-mana.
Dan langit tampak biru.
Kedua tangan Heather masih terbuka, seakan ia sedang membawa matahari sebesar mangkuk, tetapi matahari-mini itu tidak lagi ada di sana. Mobil muscle tadi telah mendarat ke tanah lagi dengan sangat anggun dan lembut dalam gerak lambat.
Aku masih bisa melihat kabut di kejauhan. Tetapi kali ini tidak ada lagi hambatan yang mengganggu pengelihatan kami.
Mata Heather terpaku padaku, dan ia ternganga sebentar. Matanya melebar. Aku nyengir.
"Jadi, 'gimana rasanya bisa melihat lagi?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro