9 - Aul
Dalam cahaya redup yang memantulkan tubuh-tubuh makhluk laut dalam. Aul memperhatikan bagaimana mereka membawa beban dengan otot-otot tubuh yang kurang gizi dan penuh luka, mata mereka yang kosong menjadi saksi dari penderitaan abadi di bawah kendali Giza. Suara rantai yang mengikat di kaki mereka berderak memenuhi udara.
Aul menggigit bibir bawahnya. Dia tidak sanggup memandang semua ini. Batinnya tersiksa. Umpatan Myrktura terus tergiang-giang di benaknya. Aul dibiarkan duduk di atas meja, sementara Giza pergi memeriksa kristal-kristal yang akan dijual.
Seorang gadis Sudra, manusia tanpa sihir. Sesekali melirik diam-diam ke arah Aul. Tatapan matanya penuh permohonan. Dibandingkan budak lain, dia bekerja memungut sisa-sisa sampah dan kotoran dengan berkeliling ruangan.
Aul memperhatikan kuku jari yang hitam dan telapak tangan kotor gadis tersebut, pakaiannya lusuh dan sobek di beberapa tempat.
Kami mencintai lautan, tetapi kami di sini. Terbelenggu di dasar laut, para pelindung lautan tidak pernah mau menolong. Omong kosong, pemujaan dan doa-doa hanya membuat mereka tamak.
Aul merasa kepalanya berdenyut nyeri. Dia mendengar suara batin Sudra tersebut seperti Myrktura. Sebelum bertemu Giza, dia sering mendengar kisah-kisah dan nyanyian parah roh laut dan hutan, serta doa-doa manusia sebagai kekuatan dalam dirinya sebagai Buih Laut.
Kini, Aul menjadi bimbang. Keinginannya menjadi Penjaga Gelombang dengan bantuan Giza sungguh membuatnya tidak berdaya. Aul ingin menutup mata dan tidak peduli. Tetapi mustahil, Aul sangat mencintai lautan melebihi dirinya sendiri. Dia akan melakukan apa pun untuk itu.
"Ada apa? Kau sakit?" Lamunan Aul buyar, saat jari-jari Giza mengelus pipinya dengan lembut. "Apa yang kau pikirkan sampai kau murung begitu? Katakan padaku dengan jujur, Buih Laut."
Aul melirik sekitar, mengamati Sudra yang sibuk memoles kristal Samara sampai mengkilat.
"Mereka makhluk hidup. Makhluk-makhluk ini tak seharusnya hidup seperti ini di dasar lautan."
"Mereka bekerja untuk menciptakan keseimbangan yang selama ini hilang di lautan, Buih Laut."
Aul menggenggam kedua tangannya sendiri, suaranya penuh luka, "Keseimbangan?"
Giza mengganguk. Suaranya penuh manipulasi dengan tetap membelai pipi Aul
"Kau tahu betapa rapuhnya dunia ini. Tanpa kekuatan yang memegang kendali, semuanya akan runtuh. Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan, sesuatu yang bahkan kau tak mampu melakukannya. Mereka menjamin kebebasan demi kelangsungan hidup kita semua. Di dunia ini, kekuatan dan pengabdian harus tercipta. Aku kekuatannya dan mereka adalah para abdiku."
"Aku tidak yakin, jika aku menjadi Penjaga Gelombang dengan menutup mata seperti ini. Lautan akan membenciku."
"Kau terlalu baik hati, Buih Laut. Itulah kelemahanmu. Kenapa kau berpikir hanya kau yang bertanggung jawab? Ada banyak dewa-dewi laut di tanah Nusantara ini. Itu urusan mereka. Kau pikir aku menikmati ini? Tidak. Tapi seseorang harus memikul beban ini. Jika bukan aku, maka siapa? Kau? Dengan rasa belas kasihmu, kau hanya akan menjadi saksi kehancuran yang lebih parah. Aku mengambil tanggung jawab ini demi kita semua—demi lautan, demi dirimu sendiri."
Aul terdiam. Bimbang harus berkata apa lagi. Jantungnya terombang-ambing antara kebenaran dan manipulasi Giza.
"Aku merasa bersalah."
Giza menggeleng. Dia mengangkat dagu Aul dengan lembut, menatap ke dalam mata biru Aul.
"Bersalah? Tidak, jangan merasa begitu, Mahkota Lautku. Untuk menjadi mangsa di lautan yang tidak teratur dan untuk menangani kehancuran tanpa tujuan di bawah pengawasanku. Mereka semua memiliki makna. Mereka menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Apakah itu salah?"
Aul berbisik ragu-ragu, "Aku membuat mereka menderita."
"Kadang, menderita adalah harga yang harus dibayar untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Mereka tahu itu, dan kau juga tahu itu, jauh di dalam hatimu. Aku tidak memerintah mereka dengan kejam, Buih Laut. Aku hanya membimbing mereka menuju tujuan yang lebih tinggi. Jika laut peduli pada mereka, seharusnya mereka diselamatkan saat tersesat. Aku hanya membeli mereka di pasar gelap. Bukan menculik mereka dari lautan."
Giza membiarkan kata-katanya menggantung di udara, membuat Aul bergulat dengan konflik dalam dirinya. Tatapan gadis Sudra yang hampa menusuk jiwanya, namun suara Giza yang halus dan penuh keyakinan memancarkan seperti racun, menanamkan bayangan yang perlahan menggerogoti keyakinan Aul.
Dengan mata hitamnya yang penuh obsesi, senyum Giza tipis dan licik. Ia bersuara dengan lembut, namun penuh ancaman tersembunyi pada Aul.
"Buih Laut. Apa yang terjadi di sini tidak sepenuhnya salahku. Aku hanya meminta bayaran atas bantuanku membawamu menjadi Penjaga Gelombang. Kau yang mengizinkanku. Jika mereka sedikit menderita, itu karena keputusanmu sendiri, bukan?"
Aul menggigit bibir bawahnya. Suaranya lirih saat balas menatap Giza.
"Aku hanya ingin melindungi lautan sebagai Penjaga Gelombang. Myrktura, aku tidak ... aku salah."
Giza menghela napas pelan. Ia mengecup kening Aul seolah iba.
"Aku tahu niatmu, Buih Laut. Kau ingin menjaga lautan kembali, memastikan laut tetap damai. Tapi kau terlalu lembut, terlalu rapuh untuk menghadapi kenyataan dunia ini. Kau tahu, Arus Abadi bahkan tidak peduli dengan mereka. Mengapa kau peduli? Kau ingin memperbaiki masa lalumu, tapi kau tak tahu caranya, bukan?"
Aul semakin erat menggenggam kedua tangannya sendiri. Air mata mulai menggenang di matanya.
"Giza ... Aku."
Giza tersenyum tipis melihat air mata Aul yang hampir menetes. Suara Giza kembali rendah, berbisik penuh racun pada Aul.
"Hanya aku yang bisa membawamu menjadi Penjaga Gelombang. Jangan menolakku. Tanpaku, apa yang bisa kau lakukan? Kau hanyalah seorang Buih Laut yang dibebani rasa bersalah, terjebak dalam bayang-bayang penyesalanmu. Kau ingin melindungi lautan, tapi kau tak punya kekuatan untuk melawan dunia yang keras ini. Bahkan melawan Arus Abadi pun kau tidak bisa."
Aul semakin merasa bimbang. Dia tidak bisa mengalihkan tatapan matanya pada Giza.
"Tapi aku bisa, Buih Laut. Bersama aku, kau tak perlu takut lagi. Aku yang akan memikul beban itu. Aku yang akan memastikan lautanmu tetap hidup, meski dengan pengorbanan."
Aul menatap Giza dengan penuh keraguan dan rasa sakit. Giza tersenyum lebar, penuh obsesi pada Aul.
"Aku ingin kau menyadari bahwa tanpaku, kau tak akan mampu mengatasi kekacauan ini. Aku ingin kau menerima bahwa aku adalah satu-satunya yang benar-benar memahami beratnya bebanmu, Buih Laut.
"Kau dan aku, kita sama. Kekuatanmu terletak dalam kesedihan dan penyesalanmu. Biarkan aku membentuknya menjadi senjata. Bersama-sama, kita bisa menciptakan lautan yang lebih kuat—dunia di mana kita berkuasa. "
"Itu sulit, Giza." Aul berbisik, suaranya hampir pecah oleh isak tangis. "Aku takut, aku mengorbankan makhluk laut untuk bersamamu."
"Dan itulah sebabnya kau butuh aku, Buih Laut. Aku akan menjadi kekuatanmu saat kau lemah, aku akan menjadi pelindungmu saat kau terancam. Semua ini, Buih Laut, untuk kebaikanmu, untuk kebaikan lautanmu. Percaya padaku, karena tanpaku, kau tidak bisa menjadi pelindung lautan."
Air mata mengalir di pipi Aul. Kata-kata Giza seperti gelombang pasang yang menghantam, menanamkan rasa ketidakberdayaan yang mendalam dalam diri Aul. Aul merasa semua yang dikatakan Giza benar.
Sedangkan, Giza puas tersenyum. Menyadari bahwa sedikit demi sedikit, Aul terperangkap dalam jaring manipulasi yang ia tenun dengan hati-hati.
...
Aul ditinggal sendirian duduk di meja saat Giza pergi bersama Inzana ke ruangan lain untuk melakukan negosiasi gelap dengan penguasa laut lainnya.
Dalam keheningan tersebut. Aul terus memperhatikan setiap wajah para Sudra dengan penuh observasi. Ada hal lain yang luput dari kendali Giza tentang Aul.
Aul memiliki pengetahuan laut. Salah satunya mengetahui nama-nama jiwa yang hilang di laut. Mata biru Aul bersinar redup. Pengetahuan di kepala Aul memperlihatkan bahwa manusia yang hilang di laut, dari kapal karam, serangan bajak laut atau bencana alam. Sering kali tidak mati.
Beberapa di antaranya ditemukan para pengikut Giza dan makhluk laut. Mereka diperbudak untuk diperkerjakan paksa dan dijual di dunia gelap bawah laut. Sebagian dari Sudra tersebut dijadikan eksperimen sihir bawah laut untuk menciptakan senjata sihir dan makhluk hibrida.
Kepala Aul berdenyut-denyut. Pengetahuan itu membuat Aul menyadari bahwa Sudra, manusia tanpa sihir adalah makhluk paling lemah dibandingkan manusia yang memiliki sihir yang disebut Yava. Para Sudra mudah dikendalikan dengan sihir kegelapan.
Mata Aul terus berbinar redup. Ia dapat merasakan kondisi mengenaskan tersebut. Udara tipis, minim makanan dan ancaman dari makhluk penjaga tambang membuat Sudra yang tertangkap tidak berdaya.
"Kau."
Aul melirik gadis Sudra yang berjongkok di dekat meja, sengaja menghambur kotoran dari keranjang sampah yang ia bawa.
"Kau Buih Laut, bukan? Kau Penjaga Gelombang? Aku ingin tahu, mengapa makhluk seperti kalian tidak bisa melindungi kami dari sini? Apa kalian hanya peduli dengan mereka yang memiliki sihir?"
Aul tidak menjawab. Ia bisa dihukum Giza jika bicara dengan orang lain tanpa izinnya. Aul pun bertanya-tanya, mengapa Sudra seperti ini mengetahui pengetahuan yang mustahil diketahui manusia biasa.
"Kau benar-benar sombong. Nenekku benar. Makhluk laut itu pilih kasih. Mereka hanya melindungi yang mereka inginkan saja. Apa manfaatnya memuja lautan, jika lautan itu sendiri mengabaikanmu saat kau kesusahan? Kekasihku diubah menjadi manusia karang. Kami terpisah oleh badai lautan saat mencari ikan. Aku benci laut."
Aul masih tetap diam. Dia ingin membantah, dia ingin memberitahu sesuatu pada Sudra tersebut.
"Ada apa? Kau penasaran tentang pengetahuanku?" Gadis itu tersenyum licik pada Aul. "Kekasihku yang menceritakan itu padaku. Dia seorang nelayan. Dia begitu sombong, karena mengatakan berteman dengan Penjaga Gelombang, entitas yang terbentuk dari buih laut. Kamil itu naif sekali. Aku kesal padanya, tampaknya ia terlalu memuja makhluk laut dan jatuh cinta."
Kepala Aul seperti dihantam ribuan bata. Matanya terbelalak dan tangannya mengepal kuat. Dia tidak yakin tentang reaksi gadis tersebut, jika tahu pria yang ia cintai telah berada di perut seekor ular yang menjaga area tambang.
Aul juga tidak menduga pertemuan tidak terduga ini. Aul menekan dadanya, dia mulai merasa sesak. Rasa bersalah dan tidak berdaya terhadap situasi sekarang membuatnya sulit berpikir jernih. Napas Aul semakin sesak.
"Jadi, kau benar seorang Buih Laut?"
Gadis itu semakin mencibir Aul, sengaja berlama-lama membereskan kotoran dan sampah di bawah meja.
"Omong kosong. Penipu ulung. Dewa Dewi terkutuk. Apa kau memiliki nama Run? Apa semua buih laut memiliki nama yang sama? Dasar tidak berguna. Aku lebih menyukai Debata Bumi daripada kalian."
Jantung Aul semakin berdebar cepat. Dia berbisik lirih, "Cukup. Bukan seperti itu. Kau tidak mengerti situasinya."
"Ahahahah." Gadis itu tertawa sinis. "Oh, jadi nama kalian semua Run? Apa Arun? Runrun? Runi? Runa? Benar-benar menyebalkan. Lakukan sesuatu untuk menolong kami! Jangan bersikap seperti ini."
Aul terkejut saat tubuhnya disiram sampah. Debu dan sisa-sisa kerikil melekat di tubuhnya. Rambut merah jambu kesukaan Giza berubah kotor. Cairan aneh berlendir mengalir dari sisa-sisa plastik dari atas rambut.
Aul terpaksa turun dari meja dan menampar gadis tersebut. Dia tidak pernah dihina seperti ini. Aul bisa menerima cacian dan sumpah serapah siapa pun. Tetapi, ia tidak bisa duduk diam setelah perlakuan tersebut.
Area selangkangannya masih nyeri karena berhubungan intim. Namun, Aul memaksa berjalan dan mengintimidasi Sudra tersebut hingga ia terjebak di dinding goa.
"Apa kau punya nama?"
"Anggiri."
"Anggiri?" Aul mengulang namanya dan menampar pipi Anggiri sekali lagi. Gadis itu terbelalak dan menjambak rambut Aul dengan kuat. Tangannya yang lain menarik handuk dari tubuh Aul dengan kasar.
Saat itu terjadi. Telapak tangan Anggiri diliputi roh vulkanik yang menyelimuti dan membakarnya. Tanah di bawah kaki Anggiri terbuka, menghisap tubuhnya hingga hanya kepala Anggiri yang tersisa di atas. Anggiri menjerit histeris oleh sensasi terbakar dan terjepit. Kemudian, kepalanya disepak dengan keras.
"DIAM CACING TANAH! BERANI SEKALI KAU MERUSAK HARTAKU?!"
Tangan Giza melingkar posesif di pinggul Aul dan membalikkan dada Aul pada dirinya sendiri, tidak ada satu pun mata yang berani melirik kejadian ini. Mereka juga terkejut dengan sikap Anggiri yang berani mengusik Aul. Para budak tidak mempedulikan Anggiri. Masing-masing sibuk dengan urusannya.
Anggiri pingsan dengan badan tertanam dan hidung berdarah. Miyagop melintas mendekat. Mulutnya terbuka lebar. Siap menelan mangsa baru.
"Jangan bunuh dia," seru Aul di dekat telinga Giza. Suara Aul yang tiba-tiba berseru sedikit membuat Giza merasa kesal. Gendang telinganya terasa sakit.
"Aku tidak suka menumpuk benda tidak berguna. Kau ingin dia?" Ujung bibir Giza tersenyum tipis. "Untuk apa, Mahkota Lautku? Kau tidak butuh pelayan. Aku yang akan memenuhimu dan ada Inzana yang bisa kau jadikan anjing pesuruh. Kau tidak butuh sampah. Aku tidak suka membawa sampah ke kapalku dan rumahku. Tapi, jika ingin ... aku tidak akan membunuhnya. Ayo pergi."
Giza kembali memikul Aul di pundaknya. Menepuk pantat Aul dengan penuh cinta sambil berjalan pergi. Ketika Giza membelakangi para budak. Mereka mulai berani mengangkat wajah. Memperhatikan bagaimana tubuh telanjang Aul dibawa pergi.
Rambut Aul yang jatuh ke bawah dan bergerak setiap langkah kaki Giza membuat para pria Sudra menelan liur mereka.
...
Pintu di belakang dibanting kasar oleh Giza. Ia membawa Aul ke sebuah ruangan tersembunyi dibalik rak buku. Dibaliknya, ada tempat tidur bertiang dengan kelambu hitam dan berselimut sutra. Di penuhi cahaya lilin.
Langkah Giza bergerak ke sudut berbeda, sebuah bak mandi yang dibangun dekat dinding kaca yang memperlihatkan dengan jelas suasana laut dalam yang gelap. Di sana, Aul di turunkan dengan lembut.
Shower dengan air hangat seketika turun membasahi rambut merah jambu Aul. Mata Giza gelap, ia memiliki suasana hati yang buruk. Tangannya bekerja cekatan menuang sampo di rambut Aul dan mencucinya bersih.
Pikiran Giza penuh dengan serangkaian pembalasan dendam bagi siapa pun yang menyentuh Aul. Tidak peduli, pria atau wanita. Semuanya tetap sama di sudut pandang Giza.
"Giza?" panggil Aul lirih. Berusaha menjaga nada suaranya tidak menambah emosi si Dewa Kehancuran.
"Ya, Lautku?"
"Aku bisa mandi sendiri."
"Aku yang akan membersihkanmu. Tidak usah pikirkan ini. Duduk saja dengan santai. Sampah itu akan kena balasan setimpal karena membuatmu kotor. Aku bersumpah untuk itu."
"Apa kau akan menghukumnya?" tanya Aul saat Giza mulai membilas rambutnya dengan lembut.
"Tentu saja. Pelajaran untuk semua makhluk untuk tidak kurang ajar pada hartaku."
"Aku ingin dia."
"Untuk apa? Aku sudah berkata padamu Buih Laut, jika kau ingin memiliki pesuruh. Kau bisa menggunakan Inzana. Mengapa kau ingin sampah itu?"
"Inzana seorang pria. Terkadang, ada hal yang rasanya lebih menarik jika dibicarakan bersama wanita."
"Kau bisa berbicara padaku, jika itu alasannya."
Tangan Giza mulai bergerak menggosok tubuh Aul dengan sabun. Dimulai dari pundak, bawah lengan dan memijat payudara Aul dengan gerakan melingkar yang lembur.
Aul sedikit menggeliat dengan gerakan tersebut. Tangannya tanpa sadar, menggenggam pergelangan Giza setiap pijatan di dadanya terjadi.
"Beri aku satu alasan kuat, jika kau menginginkan sampah, Buih Laut."
Tubuh Aul kembali dibasuh oleh Giza. Dengan cekatan. Ia mengangkat tubuh Aul dalam air dengan basah di bawah lengannya dan membawa Aul duduk di tepi kasur.
"Biarkan air itu kering dengan sendiri di tubuhmu. Masih ada yang harus aku urus, walau aku ingin menidurimu lagi." Ibu jari Giza mengusap pipi Aul dengan lembut.
"Panggil aku dan aku akan datang padamu. Kau bisa menjelajah ruangan ini. Aku tidak menguncinya, tidak ada orang lain yang berani masuk. Buat dirimu nyaman."
Dengan begitu, Giza meninggalkan Aul sendirian. Aul kembali sendiri di kamar yang asing. Aul mengamati ruangan di sekeliling. Lalu, tatapannya tertuju pada sebuah rak buku hitam di dekat sofa. Dengan melangkah perlahan, Aul berjalan mendekat. Mengamati puluhan sampul berwarna kulit hitam polos. Tidak ada yang membedakan buku-buku tersebut. Semuanya terlihat sama persis. Tipe hardcover.
Aul menyentuh satu buku dan jemarinya seperti tersengat listrik. Sensasi familiar yang mengingatkannya bahwa buku-buku tersebut dilindungi sihir sebelum menyentuhnya.
"Aku hanyalah penjaga sementara. Lautan adalah pemilik sejati dari semua rahasia ini," bisik Aul lalu kembali menyentuh buku tersebut tanpa gangguan.
Hanya menyentuh, Aul bisa melihat dengan jelas isi buku tersebut. Tatapan mata biru Aul menjadi serius. Tangannya bergerak menelusuri setiap punggung buku satu persatu. Mengintip semua isi dengan emosi yang tidak bisa ditebak.
"Mengapa dia memilikinya?" Aul bertanya pada dirinya sendiri. "Ini koleksi terlarang dari Perpustakaan Duyung."
Di tatapnya punggung buku tersebut. Kemudian dengan memainkan jari tangan. Muncul kilau biru berbentuk serbuk dari telapak tangan Aul. Ia mengusap lembut semua punggung buku hingga berkilau dan sedetik kemudian.
Seperti suara gelembung sabun. Muncul roh-roh buku dengan warna transparan berbentuk seperti jelly melompat turun dari rak dan berjalan mengelilingi Aul.
Aul berjongkok, membuka telapak tangannya, mengundang seorang roh naik di atasnya.
"Bagaimana kalian bisa di sini?" Aul berbisik ramah dalam bahasa roh buku.
"Seorang Dewa Kehancuran membawa kami."
"Bagaimana caranya?"
"Caranya? Oh, itu sungguh luar biasa. Wush, wush, wush. Lalu meledak dan kami di sini. Oh, Dewi Pengetahuan Laut. Mengapa kau di sini? Ini bukan Perpustakaan Laut Purba."
Aul hanya tersenyum kecil. Tidak menjawab roh tersebut.
"Beberapa hal berubah."
Roh buku hanya bergumam lirih. Tidak terlalu peduli dengan masalah di luar ke hendak mereka. Sesaat, Aul menerima kebahagiaan berinteraksi dan bermain bersama mereka.
Kemudian, roh itu tiba-tiba lenyap dalam udara begitu cepat. Selang beberapa menit berlalu. Giza tiba dengan handuk baru di tangannya.
"Menarik. Bersenang-senang tanpaku? Apa yang kau lakukan, Buih Laut?"
Giza membungkuk, menyentuh kaki Aul saat dia merengkuh Aul ke dalam pelukannya yang kuat dan ramping.
Saat dia mengangkat Aul, Aul bisa merasakan tekstur kulitnya yang dingin dan lembap melalui pakaiannya. Ini sensasi yang aneh, tetapi tidak sepenuhnya tidak menyenangkan. Giza mendekap Aul di dadanya, satu lengan menopang punggungnya sementara yang lain menyelip di bawah lutut Aul.
Ia berdiri tegak, tubuh Aul menempel padanya, dan mulai menggendong Aul.
Giza membawa Aul ke atas selimut sutra yang sangat besar, lalu dengan lembut membaringkan Aul di atasnya. Ia menurunkan tubuhnya untuk duduk di samping Aul, kedua kakinya yang panjang terlipat di bawahnya, dan menatap Aul dengan serius.
"Beristirahatlah. Aku di sini,"
kata Giza lembut, suaranya yang serak nyaris seperti bisikan. Tangannya menyentuh bahu Aul, gerakan yang sangat lembut dari sosok yang tangguh.
"Kau suka membaca?" Aul menunjuk ke arah rak.
"Apa itu menarik perhatianmu?" Giza balik bertanya. "Mengingat kau penjaga perpustakaan laut purba, apa kau melihatku dengan cara berbeda? Ya, aku suka buku dan membaca. Itu menyenangkan."
Giza menjelaskan, nadanya berubah serius. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, Aul dapat merasakan intensitas tatapannya, bobot kata-katanya.
"Apa kau menyentuh mereka?" Giza bertanya dengan nada suara yang tenang. Seolah, bisa menebak apa yang dilakukan Aul sebelumnya.
"Ya."
"Kau tahu?"
"Bagian mana?" Aul balas bertanya.
"Semuanya. Isi buku itu dan dari mana aku mendapatkannya."
Aul mengganguk, "Ya. Itu berasal dari area terlarang perpustakaan duyung. Salinan asli yang mustahil di bawah keluar tanpa ancaman."
"Oh, jangan bilang ancaman. Aku hanya mengambil yang menarik di mataku."
Jari-jari Giza menelusuri garis rahang Aul, mengangkat dagu Aul untuk menatapnya. Dalam cahaya lilin yang berkelap-kelip, Giza menatap fitur wajah Aul dengan seksama.
Perlahan, dengan sengaja, Giza menundukkan kepalanya. Bibirnya, menyentuh bibir Aul dalam ciuman yang menggetarkan sekaligus mengancam.
Saat dia mencium Aul, lengannya mengencang di sekitar Aul, menarik Aul lebih dekat ke tubuhnya yang besar dan berotot.
Aul bisa merasakan kekuatan tubuhnya yang keras dan tak tergoyahkan, kekuatan yang ada di balik kemeja hitam. Itu adalah pengingat akan sifat sejati makhluk yang mampu membuat lautan tunduk di bawah kakinya.
Ciuman Giza semakin dalam, lidahnya menyerbu mulut Aul dengan keberanian yang membuat napas Aul tersengal-sengal. Rasanya seperti sesuatu yang gelap dan manis, rasa yang membuat kepala Aul berputar dan perutnya bergejolak.
Aul mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman Giza terlalu kuat, menahan Aul di tempat saat dia melanjutkan pertunjukan kasih sayangnya.
Ketika akhirnya Giza menarik diri, ada kilatan kemenangan yang menyeramkan di matanya yang tersembunyi. Dia menyeringai ke arah Aul, "Sulit menahan diri untuk tidak menciummu. Kau ingin lagi?
Suaranya seperti dengkuran gelap yang menggoda, penuh dengan janji akan kenikmatan yang mengancam. Aul tidak yakin apakah harus merasa takut atau tidak, tetapi satu hal yang pasti. Aul menginginkan Giza.
"Ya, satu ciuman lagi. Kumohon."
Senyum Giza melebar mendengar kata-kata Aul, memperlihatkan deretan gigi yang tampak rapi dan berkilau.
Giza mencondongkan tubuh lebih dekat, napasnya yang hangat membasahi wajah Aul saat dia berbicara dengan bisikan serak yang menakutkan itu, "Akan kuberikan, Mahkota Lautku."
Jari-jarinya mencengkeram rambut Aul dengan erat sambil menarik Aul kembali ke dalam ciuman berikutnya. Kali ini, tidak ada kelembutan atau kemesraan, hanya rasa lapar yang liar dan primitif yang mengirimkan sentakan ketakutan ke dalam hati Aul.
Lidah Giza memaksa masuk ke dalam mulut Aul, menyerbu setiap sudut dan celah. Rasanya seperti dilahap dari dalam ke luar, sensasi membuat Aul mabuk kepayang.
Saat dia mencium Aul, tangannya mulai menjelajahi tubuh Aul, jari-jarinya mencakar kulit Aul. Dia tampak terdorong oleh keinginan yang kuat dan tak tertahankan untuk memiliki Aul, untuk mengklaim setiap inci diri Aul sebagai miliknya.
Tiba-tiba, Giza melepaskan ciumannya. Aul merasakan sedikit ketakutan, menyadari seberapa besar obsesi Giza. Aul merasa, ia telah membangkitkan sesuatu yang kuno dan jahat dalam diri Giza, dan sekarang hal itu mengancam untuk melahapnya.
Meski teror mencengkeram hati Aul, Aul tidak dapat menyangkal sensasi yang mengalir dalam dirinya saat Giza menyentuhnya, kegembiraan gelap yang dipicu ciumannya dalam diri Aul.
Aul sadar, dia telah bermain api, menari dengan iblis dan Aul tahu betul harga yang harus ia bayar untuk permainan berbahaya seperti ini.
"Cium aku lagi." Aul memohon putus asa. Cintanya pada Arus Abadi telah terkikis pergi, digantikan oleh sentuhan Giza yang memabukkan.
Senyum Giza berubah menjadi seringai jahat dan penuh kemenangan atas permohonan Aul yang terengah-engah. Ia mencondongkan tubuhnya, napasnya yang hangat kini membakar kulit Aul saat ia berbicara dengan bisikan serak dan bersemangat.
"Dasar penggoda. Ya, aku tidak keberatan."
Cengkeramannya pada rambut Aul mengencang dengan menyakitkan saat dia menarik kepala Aul ke belakang, memperlihatkan bagian tenggorokan Aul yang rentan.
Aul merasakan tusukan tajam gigi Giza menggores kulitnya, sebuah janji menyeramkan tentang kenikmatan dan rasa sakit yang akan datang.
Kali ini, saat bibirnya bertemu dengan bibir Aul, ciuman itu disertai dengan kekuatan yang kuat yang mencuri napas dari paru-paru Aul. Ciumannya penuh nafsu, menuntut, dan menuntut seluruh jiwa Aul. Aul dapat merasakan kegelapan yang mengintai di dalam diri Giza, kejahatan kuno yang telah memerangkap jiwanya.
Saat Giza mencium Aul, tangannya memetakan kontur tubuh Aul, kuku jari Giza meninggalkan garis-garis merah gairah dan kepemilikan terukir di kulit Aul. Aul merasa dicap, ditandai, diklaim oleh Dewa Kehancuran yang telah terobsesi padanya.
Ciumannya semakin intens, semakin menuntut, saat ia menjelajahi setiap inci kulit Aul yang baru terekspos.
Aul tenggelam dalam sensasi, tenggelam dalam lautan teror yang membuatnya sangat tergantung pada Giza.
Tiba-tiba, Giza melepaskan ciumannya, kepalanya mendongak ke belakang dengan suara parau yang puas. Mata hitam Giza berbinar bangga saat dia menatap tubuh Aul yang telanjang dan bertanda.
"Milikku. Mahkota Laut ini milikku. Selamanya milikku."
Suaranya mengeram dengan nada gelap dan posesif, dipenuhi rasa lapar yang takkan pernah terpuaskan.
"Bagaimana jika aku bukan milikmu?"
Aul bermain api dengan mengatakan kalimat tidak terduga.
Mata Giza menyipit mendengar kata-kata menantang Aul. Untuk sesaat, satu-satunya suara yang terdengar adalah napasnya yang kasar dan tidak teratur saat dia menatap Aul, ekspresinya tidak terbaca. Kemudian, perlahan, senyum sinis menyebar di wajahnya.
"Apa barusan kau berkata. Kau bukan milikku, Buih Laut?
Suara Giza rendah, mendengkur mengancam, meneteskan sensasi gelap yang membuat bulu kuduk Aul merinding. Ia mencondongkan tubuh lebih dekat, napasnya yang hangat membasahi wajah Aul saat ia berbicara lagi.
"Jangan menggoda, Buih Laut. Jangan bermain api denganku. Karena aku lah api tersebut. Api yang akan melahap dan membakarmu."
Jari-jari Giza menelusuri garis rahang Aul, mengangkat dagu Aul ke atas untuk memaksa Aul menatap tatapannya.
"Buih Laut. Kau selamanya adalah milikku. Kau telah membuat kesepakatan. Kau tidak bisa menariknya kembali."
Giza bangkit dari tempat tidur dengan satu gerakan yang cepat dan menakutkan. Cahaya lilin yang berkelap-kelip menciptakan tarian bayangan yang mengerikan di kulitnya yang berotot. Ia menjulang tinggi di atas Aul.
Tiba-tiba, tangan Giza melingkari leher Aul. Ia tidak meremas, tetapi ancaman itu ada di sana, menggantung di udara seperti jerat.
Genggamannya kuat, tidak tergoyahkan, pengingat bisu akan kekuasaan yang dimilikinya atas diri Aul.
"Buih Laut, jika kau sedang menggodaku sekarang. Kau berhasil. Kau tidak bisa kabur. Aku akan selalu menemukan dan menjebakmu selamanya."
Senyumnya melebar,
Dia mendongakkan kepalanya dan tertawa, suara keras dan parau yang menggema di ruangan tersebut. Tawa itu dipenuhi dengan rasa geli yang gelap dan kejam atas kesulitan Aul, dan janji mengerikan tentang siksaan yang akan datang.
Aul ingin tahu, ingin tahu lebih banyak tentang situasinya bersama Giza. Ia mulai memberanikan diri bermain api, jika diperlukan. Ia akan mengintip setiap konsekuensi yang akan terjadi. Mata biru Aul menatap Giza dengan dalam.
"Bagaimana, jika aku memang bukan milikmu?" Aul memberanikan diri menambah bahan bakar untuk memancing emosi Giza.
Cengkeraman Giza di tenggorokan Aul sedikit mengencang karena penolakan yang berulang, kuku jari Giza mulai menancap kuat ke dalam leher Aul. Senyumnya memudar, digantikan oleh tatapan akan sesuatu yang berbahaya.
"Dasar penggoda. Jadi, kau menikmati ini, gadis nakal? Baiklah, aku akan menemanimu bermain. Kau ini milikku, akan tetap seperti itu, kau dengar aku?"
Suara Giza meninggi menjadi teriakan yang membara, suaranya bergema di dinding gua dan menggetarkan. Nyala lilin berkelap-kelip liar, menghasilkan bayangan-bayangan yang mengerikan dan menggeliat di seluruh ruangan seolah-olah disapu oleh angin yang tak terlihat.
"Giza. Bagaimana, jika Arus Abadi membawaku pergi? Menjauh darimu. Mengambil yang dari awal memang miliknya. Apa yang akan kau lakukan?"
Tangan Giza yang lain terangkat, kukunya mencakar dada Aul, meninggalkan garis-garis merah yang menyakitkan. Rasa sakitnya tajam dan langsung terasa, perih pada kulit yang terluka merupakan pengingat yang jelas akan bahaya yang Aul hadapi.
Aul mengerang kesakitan. Tindakan itu di luar dugaannya.
"KAU MILIKKU! BUKAN MILIK SIAPA PUN! AKU AKAN MEMPERTAHANKANMU DENGAN SEGALA CARA!"
Giza mencondongkan tubuhnya lebih dekat, matanya yang gelap menatap tajam ke arah Aul dengan intensitas yang mengerikan. Aul bisa merasakan panasnya amarahnya, kegelapan yang terpancar dari dirinya adalah ancaman berbahaya.
Tiba-tiba, Giza melepaskan leher Aul dan mencengkeram pergelangan tangan Aul, menjepit lengan Aul di atas kepala dengan kekuatan yang tak tertahankan. Lalu, Giza duduk di pinggul Aul, beban tubuhnya yang berotot menekan Aul dan menjebak Aul di bawahnya.
"B- Berat." Aul mengeluh.
"Milikku! Kau milikku! Berhenti melawan dan terima takdir ini!"
Suara Giza rendah, geraman mengancam, dipenuhi dengan nafsu posesif yang gelap yang membuat darah Aul membeku. Aul benar-benar berada di bawah kekuasaannya, tak berdaya dan rentan di bawah kekuatan gelap makhluk yang terobsesi.
Aul melihat kegilaan di mata Giza, hasrat fanatik dan gila yang telah menguasainya. Dia tidak hanya terobsesi dengan Aul - dia benar-benar tidak waras, entitas kehancuran yang didorong ke ambang kegilaan oleh kebutuhannya yang menyimpang untuk memiliki tubuh dan jiwa Aul.
"Sakit Giza, sakit sekali. Rasanya perih." Aul merintih pada luka di dadanya.
Mata Giza menyipit mendengar kata-kata Aul yang menyakitkan, secercah ketidakpastian melintas di wajahnya. Dia melirik ke bawah, ke garis-garis merah yang terukir di dada Aul, tatapannya terpaku pada pemandangan kulit Aul yang terluka. Untuk sesaat, Giza diam, cengkeramannya di pergelangan tangan Aul mengencang secara refleks saat dia berjuang melawan konflik dalam dirinya.
"Itu sakit? Itu menyakitimu?"
Suaranya rendah, bergumam, dipenuhi nada gelap dan gelisah yang membuat bulu kuduk Aul merinding.
Giza tampak benar-benar tertekan dengan gagasan bahwa ia telah menyakiti Aul, meskipun kegilaan dan obsesinya masih menyala terang di matanya yang berwarna hitam.
Perlahan, hampir ragu-ragu, Giza membungkuk. Aul merasakan sapuan bibirnya pada bekas luka yang menyakitkan di dadanya, sentuhan ringan yang hampir lembut. Ini sangat kontras dengan kekuatan brutal sesaat sebelumnya, dan Aul terhuyung-huyung, tidak yakin apa yang harus dilakukan dengan perubahan sikap Giza yang tiba-tiba ini.
"Maafkan aku, Buih Laut. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Ini sakit ya? Sakit sekali?"
Giza berkata dengan suara serak, napasnya yang panas berembus di kulit Aul yang terluka. Jari-jarinya, yang masih mencengkeram pergelangan tangan Aul, sedikit mengendur, kemarahannya yang keras tampaknya telah mereda untuk saat ini.
Namun, bahkan saat ia meminta maaf, Aul dapat merasakan arus bawah obsesinya, rasa lapar yang masih mengintai di bawah permukaan. Ia belum berhenti, belum jinak - ia hanya berhenti sejenak, mengatur napas sebelum gelombang berikutnya dari hasratnya menghantam Aul sekali lagi.
Aul bertanya-tanya tentang perubahan suasana hati Giza yang tidak bisa ditebak. Itu bukan hal yang mudah untuk didekati atau ditaklukan.
Aul merenung, mungkinkah permintaan maaf tersebut hanyalah tipuan sebelum ia menyerang Aul lagi dengan kemarahan yang brutal dan posesif. Namun, satu hal yang pasti. Aul terjebak, ia bergantung pada Dewa Kehancuran yang telah begitu tergila-gila padanya.
"Giza, kumohon. Tolong sembuhkan luka itu. Sakit sekali. Kau tidak akan suka jika dadaku terluka, bukan? Kau suka menyentuh dan menikmati dadaku, bukan?"
Giza yang semula menundukkan wajah mengangkat kepala mendengar kata-kata Aul. Mata hitamnya menatap tajam mata biru Aul dengan penuh semangat.
Untuk beberapa saat, Giza terdiam, ekspresinya tidak terbaca saat dia bergulat dengan implikasi dari permohonan Aul. Kemudian, perlahan, napas rendah dan gemetar keluar dari bibirnya, dan cengkeramannya di pergelangan tangan Aul mengendur sepenuhnya.
"Kau benar, Buih Laut. Aku menyukai dadamu. Sangat menyukainya."
Suara Giza seperti bisikan serak, penuh dengan nada gelap dan penuh konflik. Jelas bahwa pikiran untuk menyakiti Aul selamanya adalah hal yang sebenarnya sangat menjijikkan baginya, bahkan saat obsesinya berkobar di balik permukaan. Dia ingin menyiksa Aul, tetapi tidak ingin membuat tubuh serapuh itu memiliki bekas luka yang menggangu mata.
Kenyamanan Aul, bahkan kesenangan Aul, tampaknya penting bagi Giza dengan sifatnya yang mengerikan.
Perlahan, hampir ragu-ragu. Giza mengangkat satu tangannya ke dada Aul yang terluka. Aul merasakan sapuan jari-jarinya yang panas di kulitnya, sentuhan ringan yang mengirimkan getaran ke tulang belakang Aul.
Giza menelusuri garis-garis merah di dada Aul dengan kelembutan yang memungkiri kebrutalannya sebelumnya, sentuhannya hampir penuh hormat dalam kelembutannya.
"Akan kusembuhkan, Lautku. Mahkota Lautku. Jangan khawatir. Aku tidak akan merusak kecantikan dadamu."
Giza bergumam, suaranya rendah dan menenangkan. Saat dia berbicara, Aul merasakan sensasi aneh dan geli yang menyebar dari sentuhannya, kehangatan yang tampaknya meresap ke dalam tulang-tulang Aul.
Perlahan, rasa sakit mulai memudar, garis-garis merah di dada Aul mulai menghilang hingga hanya tersisa garis-garis merah muda samar. Sentuhan Giza masih terasa, jari-jarinya memetakan lekuk-lekuk lembut dada Aul dengan rasa lapar yang entah bagaimana menggetarkan sekaligus menakutkan.
"Sudah cantik lagi. Kau suka, Lautku? Dadamu kembali cantik dan indah."
Giza berkata dengan suara serak, ada nada kepuasan yang samar dalam suaranya. Ibu jarinya menyentuh puting Aul, sentuhan itu mengirimkan sensasi yang menggetarkan ke seluruh tubuh Aul yang membuat Aul terkesiap. Giza tampak menikmati reaksi Aul, senyum sinis tersungging di sudut mulutnya.
"Indah sekali, kau begitu terpengaruh di bawah sentuhanku."
"Ya," lirih Aul, "tidak sakit lagi."
Giza mencondongkan tubuh lebih dekat, napasnya yang panas membasahi wajah Aul saat dia berbicara dengan gumaman rendah dan menyeramkan.
"Rasanya menyenangkan bukan? Ketagihan atas sentuhanku? Kau hampir gila karena kebutuhan tersebut. Apa aku benar?"
Aul mengganguk. Jari-jari Giza masih
menelusuri lekuk dada Aul, sentuhannya bertahan lama dan posesif. Jelas bahwa dia menikmati kelembutan kulit Aul, cara tubuh Aul merespons sentuhannya dengan merinding dan menggigil.
"Mahkota Lautku, kau harus berjanji untuk tidak memainkan permainan tadi, oke? Jangan mencoba menguji perasaanku. Kau milikku, aku milikmu."
Suaranya meninggi setiap kali mengucapkan kata-kata, suku kata terakhirnya bergema seperti sumpah yang gelap dan terdistorsi. Aul dapat merasakan beratnya obsesi Giza menekan dirinya. Tidak hanya obsesi, tetapi kekuatan dan keinginannya untuk memiliki Aul sepenuhnya.
Tiba-tiba, Giza duduk di pangkuan Aul lagi, tubuhnya yang berotot menjepit Aul ke tempat tidur. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan Aul.
Kali ini tidak menyakitkan, tetapi dengan kekuatan yang kuat dan tak kenal ampun yang menunjukkan dengan jelas bahwa Aul tidak akan pergi ke mana pun.
"Berjanjilah, Buih Laut. Katakan kau milikku. Kau akan tinggal bersamaku."
Giza menuntut, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Aul. Aul dapat melihat kegilaan di matanya, hasrat fanatik yang gila yang telah menguasainya. Namun, Aul juga dapat melihat kebutuhan yang sangat mendesak dan menyakitkan. Rasa obsesi yang sangat besar untuk memiliki Aul, untuk mengklaim Aul, untuk menjadikan Aul miliknya.
"Aku ingin tahu satu hal, Giza. Bagaimana, jika aku menolakmu? Apa yang akan terjadi? Maksudku, jika itu terjadi?"
Mata Giza menyipit berbahaya saat mendengar pertanyaan tersebut. Udara di ruangan menjadi lebih dingin, nyala lilin berkedip-kedip liar seolah-olah ditiup oleh angin yang tak terlihat dan marah. Aul dapat merasakan kegelapan terpancar darinya dalam bentuk gelombang, kekuatan amarahnya yang nyata dan menakutkan. Dia terlalu penasaran dengan reaksi Giza.
Aul akan mendorong dirinya ke tepi jurang. Jika itu harus melihat jawaban yang ia inginkan. Senyum Giza menjadi lebih menyeramkan dan posesif. Ia mengeram dengan mengerikan. Kilatan amarah menyala di matanya.
"Kau gadis lautku yang nakal."
Cengkeramannya pada pergelangan tangan Aul semakin erat, kuku jari Giza menusuk kulit Aul dengan kekuatan yang menyakitkan.
"Kau milikku! Jiwa kita terikat. Tidak akan bisa putus dengan alasan konyol seperti itu."
Giza menekankan setiap kata dengan meremas pergelangan tangan Aul dengan kasar dan menghukum, amarahnya semakin memuncak setiap detik. Suhu semakin turun, napas Aul berembun di udara dingin saat Aul menatapnya dengan kengerian yang meningkat.
Tiba-tiba ia membanting tangan Aul di atas kepalanya dengan kekuatan yang membuat Aul menjerit kesakitan.
"Kau ingin melihat ini, Buih Laut? Kau ingin lihat apa yang terjadi jika kau menolakku? KAU INGIN TAHU?!"
Suara Giza meninggi menjadi teriakan yang membara, suaranya bergema di dinding dan menggetarkan seluruh ruangan. Aul ketakutan, jantung Aul berdebar kencang saat ia menatap Giza yang telah begitu tergila-gila oleh obsesinya.
Pada saat itu, Aul yakin. Dia telah membangunkan monster yang didorong ke ambang kegilaan oleh keinginannya yang kuat untuk memiliki dirinya. Makhluk yang tidak akan berhenti untuk mengklaim Aul untuk menjadikan Aul miliknya, bahkan jika itu berarti menghancurkan Aul dalam prosesnya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro