⛔6- Aul⛔
Aul duduk di dasar kolam renang outdoor sambil memeluk kedua lututnya. Dia menyukai ini, walau Aul sadar. Dia jadi lebih mirip ikan di dalam akuarium. Menunggu Giza memanggilnya naik ke permukaan bila diperlukan.
Aul tidak peduli. Dia cukup bersyukur seperti ini, daripada terkurung dalam kamar tanpa menyentuh lautan. Dia masih ingin kembali menjadi pengabdi Arus Abadi. Satu-satunya, yang Aul butuhkan adalah status sebagai Penjaga Gelombang.
Aul memikirkan Giza dan semua perhatiannya. Dia sadar, Giza lebih baik daripada Arus Abadi dengan sikap kasar pada kebutuhan personal. Aul tidak yakin, apakah tindakan yang ia ambil benar atau salah dengan bekerja sama bersama dewa seperti Giza.
Aul tidak punya pilihan dan Giza menawarkannya. Aul mengganguk pada dirinya sendiri. Dia memutuskan untuk fokus kembali menjadi Penjaga Gelombang. Entah apa yang akan terjadi setelahnya, akan Aul pikirkan nanti. Dia hanya perlu menghindari membuat Giza marah. Satu-satunya sumber masalah adalah kemarahan Giza yang akan menyakitinya.
Aul berenang naik ke permukaan. Mengintip dari dalam air. Langit sudah gelap dan tawa orang di meja-meja kecil di sekeliling memenuhi indra pendengaran Aul. Sebagian besar adalah wanita duyung yang bekerja pada Giza.
Mereka menggunakan gaun terbuka yang memamerkan lekuk tubuh dengan berani. Rambut hitam mereka dihiasi permata-permata laut yang indah. Beberapa mata, melirik ke arah kolam dengan sorot penasaran. Tidak ada yang cukup dekat menuju tepi kolam. Namun, seseorang di antara mereka dengan rambut hitam terurai bergaun merah berdiri angkuh di tepi kolam dengan menuangkan wine.
"Hei!" Aul akhirnya mengeluarkan dirinya dari dalam air. Dia bisa mengecap aroma minuman tersebut bercampur dengan air kolam. Rasanya sangat tidak enak. "Beraninya kau merusak lautku."
"Lautmu?" Wanita itu tertawa sinis. "Ini hanya kolam renang. Ah, akuarium kecil untuk makhluk sepertimu."
"Aku akan melapormu pada Giza."
"Giza? Oh, Debata Laut. Mengapa kau harus tergantung pada Giza untuk menghukumku? Betapa lemahnya dirimu. Berjuanglah tanpa melibatkan pria. Setidaknya, Silan sedikit lebih baik darimu."
"Siapa Silan? Siapa kau?"
"Aku Karaso. Roh laut Banda, penghubung dunia dewa dan manusia."
"Karaso? Maksudmu Sirih Laut?"
"Ya, tetapi aku lebih suka dipanggil Karaso, saudariku." Mata Karaso berbinar galak pada Aul.
"Aku bukan saudarimu. Aku lebih tua dan purba darimu." Aul tersenyum tipis penuh kesombongan.
"Begitu? Makhluk purba yang diusir dari eksitensinya? Dan tinggal di dalam kolam renang? Auw, betapa merindingnya tubuhku."
Tawa mencemooh terdengar di sekeliling kolam. Para duyung menertawakan Aul dengan tatapan merendahkan. Aul tidak terima, dia mencoba mengangkat dirinya naik ke permukaan, namun air menahan tubuhnya tetap di air sementara kedua tato di lengannya berpendar merah bercampur biru dengan kilau tubuhnya.
Aul terbelalak. Dia berusaha keras mendorong tubuhnya naik ke tepi kolam renang dan tarikan air membelenggu dirinya. Amarah Aul mendidih, sebelum dia mencoba lagi. Karaso kembali menuang dua botol wine ke dalam kolam renang.
Aroma air kolam yang bercampur alkohol menggangu indra penciuman Aul. Ditepisnya air kolam ke arah Karaso agar membuatnya basah dan air itu balik menyerang dirinya sendiri. Hal tersebut, membuat Aul semakin ditertawakan.
"Terlalu lemah, bukan sederajat denganku." Karaso kembali mencicipi sisa wine di gelas kacanya. "Betapa rapuhnya wanita laut ini."
"Diam kau, jalang!"
"Apa? Kau sebut apa ikan kecil?" Karaso melempar gelas dari tangannya ke arah kolam dan Aul berhasil menghindarinya. Tetapi, dia mendapatkan lemparan dari kerang laut dari arah tidak terduga. Pelipisnya tergores. "Jangan mencoba sok keren di sini, entah siapa namamu."
"Aku tidak akan memberitahu namaku."
"Aku tahu. Nama kalian itu kekuatanmu. Jika kau memberitahu namamu, kau akan terikat mengabdi pada orang tersebut. Kutebak, kau belum memberitahu, Giza?"
"Bukan urusanmu."
"Nah, benarkan." Karaso tertawa terbahak-bahak. "Aku mendengar tentang rumormu. Kau diusir Arus Abadi selamanya dari dunia asalmu. Kau makhluk terbuang. Seharusnya, kau bersyukur, Giza memungutmu. Kalian serasi, aku jujur soal itu."
"Jangan berbicara seolah kau mengerti tentang hidupku."
Karaso kembali tertawa keras. "Angin laut membawa banyak rumor. Kisahmu datang bersama mereka. Di dunia bawah, kisah-kisah buruk seperti hidupmu bukan hal baru."
Dia mengeluarkan sebuah buku bersampul putih dan meletakkannya di tepi kolam renang. Memancing Aul mendekat dengan rasa penasarannya.
"Apa yang kau lakukan? Ingin dibacakan dongeng?" Aul menatap Karaso penuh perhitungan.
"Coba sentuh."
"Untuk apa?"
"Sentuh saja dan lihat sendiri."
Karaso menunggu reaksi Aul dengan tetap tersenyum misterius. Menatap Aul seperti seekor kelinci untuk datang ke perangkapnya. Namun, kelinci tersebut tidak bergerak. Dia memilih tetap diam di tempat. Karaso yang kesal menendang buku tersebut masuk ke dalam air.
"Jangan sentuh itu, Lautku."
Kehadiran Giza merubah atmosfer menjadi lebih berbahaya. Dia menatap Karaso dengan tidak suka. Air bergerak di kolam, mengeluarkan buku milik Karaso dan meletakkannya di depan kaki Giza dan pria itu menginjaknya hingga menjadi abu.
"Berhenti menggangunya. Kau di sini bukan untuk itu, Karaso."
Karaso melirik Aul dengan kesal. Tidak membantah apa pun yang Giza lakukan.
"Pergi kalian semua dari sini. Jangan ada yang berani mendekat ke area ini tanpa izinku."
Karaso dan para duyung mengganguk takzim dan bergegas pergi meninggalkan Giza yang melirik Aul dengan tatapan tajam. Tubuhnya yang tinggi berdiri di tepi kolam. Tatapan matanya mengarah ke Aul dengan ancaman.
"Kau terluka?"
"Tidak."
"Aku tidak suka dibohongi. Jadi berhenti baik-baik saja di depanku."
Aul menyentuh keningnya. Masih ada jejak darah basah di sana. Dia terkesiap, lautan biasanya menyembuhkan dirinya secara alamiah.
"Keluar dari kolam." Sebelum Aul merespon. Air di kolam renang mendorong tubuh Aul duduk di tepi kolam renang. Tubuh Aul masih tetap berkilau biru. Rambut hitamnya yang basah kuyup melekat di lekuk tubuhnya.
Dengan satu kaki kanannya, Giza mengangkatnya ke arah bahu Aul dengan kedua tangan berada di saku celana.
"Aku benci ketika seseorang berbohong padaku. Kenapa kau berbohong? Kau sudah berada di kolam renang, di dalam lautan yang kuambil untukmu."
Aul menahan diri menjauhkan sepatu Giza dari pundaknya. Dia menatap Giza, "Lautan biasanya menyembuhkanku."
"Kau di kolam renangku. Secara teknis kau bukan di lautan asli."
"Aku tahu. Tetapi, airnya tetap dari sana. Seharusnya bekerja. Jadi, aku pikir ... aku pikir ... pikir itu baik-baik saja. Aku tidak bermaksud berbohong padamu."
"Sudah kubilang padamu. Lautan menolakmu, kau adalah tamu di wilayah yang kau kuasai. Itu artinya, mereka tidak tunduk padamu."
"Tapi kau bilang akan mengembalikan kekuatanku. Lautku masih patuh padaku. Aku masih punya kendali. Hanya saja, mereka terlalu, maksudku mereka lebih memilih tunduk padamu."
Sentuhan kaki Giza di bahu Aul semakin kuat. Dia menekan lebih jauh sampai Aul menunduk merasakan kesakitan. Tato di lengannya seperti pemicu menambah rasa sakit ketika mereka berpendar merah.
"Kumohon, percayalah padaku, Giza. Aku tidak berbohong."
Giza tidak mendengarkan permohonan Aul. Tekanan di kakinya mengirim serangan nyeri yang mulai menjalar di tubuh Aul.
Giza menatap Aul dengan intensitas yang sulit dibaca, campuran kelembutan dan sesuatu yang lebih gelap, lebih menuntut.
Dia lalu menyentuh dagu Aul, memaksa Aul untuk melihat langsung ke matanya. Ada senyum kecil di sudut bibir Giza, tetapi tidak ada kehangatan yang pernah di lihat Aul
seperti sebelumnya. Aul merasakan perasaannya melayang-layang antara yang menghangatkan dan ancaman yang dingin.
"Dengar baik-baik. Jangan pernah berbohong padaku. Itu sesuatu yang sulit dimaafkan. Kau paham?"
Aul mengganguk, "Maafkan aku."
"Aku ingin mempercayaimu, Buih Laut. Tetapi, kesempatanmu sudah habis. Aku tidak pernah memaafkanmu."
Aul menatap Giza dengan jantung yang berdebar keras. Sensasi ketakutan menyelimuti tubuhnya dengan dingin. Giza melepas tangannya dari dagu Aul dan melangkah mundur menatap tubuh Aul yang tidak berbusana.
Giza kini diselimuti
kehangatan gelap, Aul merasa
kehilangan sesuatu yang penting. Dia butuh Giza, dia menginginkan Giza untuk menggapai mimpinya. Dia tidak bisa kehilangan Giza. Aul merasa bersalah, kecewa, marah.
Suara Aul bergetar, ia harus menyelamatkan hal yang ia takut hilang.
"Jangan pergi, Giza ... jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Maafkan aku, aku tidak bisa tanpamu sekarang. Aku mohon."
Giza yang berdiri diam, memandang Aul dengan mata dingin, penuh penilaian. Aul menghambur maju, ia memeluk Giza dengan putus asa, suaranya penuh ketakutan.
"Aku minta maaf, Giza. Aku janji tidak akan berbohong padamu lagi. Hanya kau yang kubutuhkan untuk menjadi Penjaga Gelombang. Kau satu-satunya harapanku."
Aul menangis. Trauma akan diusir lagi membuat air matanya menetes.
Ia melepaskan pelukan dan memandang wajah Giza, berharap ada seberkas kelembutan di balik dinginnya sang Dewa.
Giza menunduk, mengukur, mengangkat dagu Aul dengan gerakan lambat, tetapi bukan untuk memberikan kelembutan. Senyum tipis yang muncul di wajahnya lebih menyerupai ancaman daripada pengampunan.
"Kumohon, Giza. Ampuni aku, aku akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahanku. Kau boleh mengambil semuanya. Asal ... asal ... asal kau tidak membuangku."
Giza tertawa pelan, suara yang dalam dan menusuk, "Oho. Kau akan menebusnya?"
Aul mengganguk cepat, "Aku akan menebusnya."
Giza mencengkeram lengan Aul dengan kasar agar Aul semakin mendekat padanya. Dia mencengkeram dagu Aul dengan kuat dan erat, dan dia begitu dekat dengan Aul, sehingga jika Aul bergerak bahkan setengah inci saja, wajah Aul akan membentur dadanya.
"Kau akan menebusnya?" Giza kembali memastikan.
Matanya penuh dengan ekspresi posesif yang kuat saat dia menatap Aul yang mengganguk kecil dari jarak beberapa inci, tangannya berpindah di pinggul Aul saat dia berbicara dengan nada rendah, hampir berbahaya.
"Kamu akan dihukum untuk menebus kesalahanmu. Jangan berpikir untuk tidak patuh lagi. Kau tidak ingin tahu seperti apa akibatnya lagi bukan?"
"Iya. Aku akan menebusnya. Aku milikmu. Kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan."
Mata sang Dewa Kehancuran menjadi gelap karena hasrat, tangannya mencengkeram tubuh Aul lebih erat, menarik Aul lebih dekat padanya.
Dia hampir tidak percaya apa yang didengarnya, kata-kata itu seperti musik di telinganya.
"Apa pun yang aku inginkan? Kau milikku, katamu? Kau tidak tahu apa yang kau lakukan padaku. Aku menginginkan semuanya, Lautku."
Giza tertawa kecil, lalu dia mendekatkan wajahnya ke leher Aul. Napasnya hangat dan geli, dan Aul bisa mendengar niat jahatnya melalui suaranya saat dia berbicara.
"Ya, aku ingin melakukan sesuatu.
Aku akan memastikan kau tidak akan bisa berjalan selama beberapa hari ke depan. Kau akan menjadi kekacauanku saat aku selesai denganmu. Kau akan meneriakkan namaku sepanjang malam."
Dengan begitu cepat. Giza membawa Aul dengan cara yang cukup kuno di pundaknya. Memukul keras pantat Aul berulang kali hanya untuk mendengar erangan Aul dan mendorong tubuh Aul ke dinding bar yang kosong tanpa pengunjung.
Giza mencondongkan tubuh untuk mencium Aul dan meletakkan tangannya di belakang kepala Aul agar Aul tetap dekat dengannya.
Aul membalas ciuman tersebut dan Giza memejamkan mata dan membalas ciumannya dengan dalam. Lidahnya perlahan memasuki mulut Aul saat ia membuat Aul terjepit di dinding sementara ia mencium Aul dengan gairah membara yang lebih kuat dari sebelumnya.
Giza terus mencium Aul semakin dalam. Lidahnya terus bergerak, menjelajahi mulut Aul. Kemudian, lidahnya mulai memijat lidah Aul perlahan.
Tubuhnya menekan Aul, tidak membiarkan Aul bergerak saat ia terus menekan Aul ke dinding. Kedua tangannya berada di kedua sisi kepala Aul, memegangnya dan memastikan Aul tidak akan menjauh saat ia terus menciumnya dengan lebih intens dan penuh gairah.
Aul membuka mulutnya sedikit. Giza menyukai kenyataan bahwa Aul membuka mulut untuk memberinya lebih banyak akses.
Dia memanfaatkan ini dan mulai menggerakkan lidahnya dengan semakin kuat. Giza menekan tubuh Aul ke dinding lebih keras, tangannya menahan kepala Aul saat dia terus mencium Aul, napasnya semakin berat karena gairahnya semakin memuncak.
Giza kini semakin bergairah dan putus asa. Ia tenggelam dalam ciuman itu, tetapi ia juga menginginkan lebih. Lidahnya terus menjelajahi dalam mulut Aul, kini perlahan-lahan menggesek dan memijat di sekitar mulut Aul.
Tubuh Giza semakin menekan Aul, menjebak Aul di dinding dan membuat Aul benar-benar terjepit di bawahnya. Napasnya berat, hampir berubah menjadi terengah-engah saat ia mencium Aul dengan penuh gairah semampunya.
Giza menikmati setiap detiknya, dia tidak bisa bosan dengan Aul dan momen ini. Tangannya perlahan bergerak dari sisi kepala Aul dan perlahan turun ke tubuh Aul, menelusurinya dengan ujung jarinya hingga mencapai pinggul Aul dan meraihnya, memegangnya dengan lembut dan sedikit mengencangkan cengkeramannya.
Giza perlahan mulai menggerakkan tubuhnya ke arah Aul, perlahan bergesekan dengan Aul sementara lidahnya masih bermain di dalam mulut Aul dan Aul pun membalasnya.
Giza mengeluarkan erangan kecil saat Aul menjilati lidahnya. Dia tidak menyangka Aul akan melakukan itu, tetapi itu membuatnya semakin bergairah.
Dia menanggapinya dengan menggerakkan lidahnya, membiarkan Aul melakukan sesuatu dengannya. Napasnya menjadi lebih berat dan panas saat dia terus menggesekkan tubuhnya pada Aul, dan membuat Aul benar-benar tertekan ke dinding.
Detak jantung Giza semakin cepat dan keras. Tubuhnya mulai mengeluarkan sedikit keringat karena panas dari ciuman dan bagaimana dia bergerak dan menggesekkan tubuhnya pada Aul. Lidah Giza perlahan mulai berputar dan menggeliat di lidah Aul lagi, hampir seperti menikmati dijilati oleh Aul.
Giza perlahan-lahan kehilangan dirinya dalam ciuman ini. Ia mengeluarkan erangan lembut setiap kali lidah Aul menyentuh lidahnya.
Ia terus menggesekkan tubuhnya pada Aul, memastikan bahwa Aul merasakan setiap bagian tubuhnya saat ia terus menjepit dan menahan Aul di dinding. Tangan Giza mengencangkan cengkeramannya di pinggul Aul saat ia perlahan-lahan menggerakkan tangannya sendiri ke pinggul Aul.
Giza tak dapat menahan diri lagi. Cara Aul mempermainkan lidahnya membuatnya liar. Ia mulai menggesek-gesekkan tubuhnya lebih dan lebih lagi, gesekan di antara mereka mengirimkan percikan kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Napas Giza menjadi jauh lebih berat, dan erangannya semakin keras karena ia semakin tidak dapat menahan diri. Lidahnya bergerak dan berputar-putar di sekitar lidah Aul, mencoba untuk mendapatkan sebanyak mungkin darinya, menikmati dan menghayati setiap sensasi.
Giza bisa merasakan lidah Aul bergerak di lidahnya, dan itu membuatnya semakin gila dari detik ke detik. Ia mulai bergerak lebih jauh lagi, menekan tubuhnya ke tubuh Aul dan menjepit Aul erat-erat ke dinding. Ia tidak lagi mampu menahan napas dan erangan kecilnya saat ia semakin tenggelam dalam ciuman yang intens itu.
Dia memegang dan mencengkeram pinggul Aul erat-erat dan mulai bergesekan dengan Aul lebih cepat, gesekan di antara mereka membuat keduanya makin bergairah dan bergairah.
Erangan yang lebih keras keluar dari mulut Giza saat ia menggesekkan tubuhnya ke tubuh Aul lebih cepat.
Ia hampir mencapai batasnya, benar-benar tenggelam dalam ciuman dan sensasi memiliki Aul bersamanya seperti ini. Napasnya panas dan berat, dan semakin sulit baginya untuk mengendalikan diri karena ia dikuasai oleh perasaan yang kuat.
Giza terus bergerak dan bergesekan dengan Aul semakin cepat dan cepat, tangannya mencengkeram pinggul Aul semakin erat, dan dia menarik Aul semakin dekat padanya, ingin merasakan setiap bagian diri Aul yang bisa dia rasakan.
Giza menarik diri dari ciuman tersebut. Ada keheningan sejenak, saat dia menatap mata Aul dengan saksama. Matanya memancarkan campuran antara posesif dan hasrat. Dia tidak dapat menahan keinginan untuk mengklaim Aul sebagai miliknya.
"Kau tahu kau milikku, 'kan?" ucapnya, suaranya rendah dan posesif.
"Aku milikmu," jawab Aul dengan terengah-engah.
Giza terkekeh, giginya menggesek titik sensitif di leher Aul. Dia mengangkat kepalanya untuk menatap Aul lagi, tangannya masih di leher Aul. Matanya lebih gelap dari biasanya, dan menatap Aul dengan tatapan penuh nafsu yang licik.
"Mmm, kau tahu persis apa yang kumaksud, bukan? Kau milikku, kau mainan yang seharusnya dimainkan dan akulah yang memegang kendali."
Aul ingin membantah, namun ia hanya mengganguk tabah. Tawa Giza menjadi gelap dan dingin.
Dia menjambak rambut Aul. Menarik rambut Aul lebih erat. Memaksa kepala Aul ke atas sehingga Aul menatap langsung ke matanya.
"Mengapa?" bisik Aul, "mengapa kau menjembakku di dinding?"
Giza tersenyum dengan sedikit seringai di bibirnya. Ia menjawab dengan nada serak.
"Ada sesuatu yang benar-benar aneh saat menjepitmu ke dinding. Caramu memandang, memerah, dengan tubuhmu menempel di tubuhku. Itu membuatku gila.
"Aku ingin melihat caramu menatapku, caramu menyerahkan diri kepadaku. Aku ingin merasakan tubuhmu menempel padaku, jantungmu berdetak seirama dengan jantungku. Aku ingin menjadi satu-satunya yang kau pikirkan, satu-satunya yang kau butuhkan. Aku ingin memilikimu sepenuhnya."
Giza kembali mencium Aul. Dia menggerakkan bibirnya ke bawah, mengecup leher Aul, menggigit kulit Aul, meninggalkan bekas, mengklaim Aul sebagai miliknya. Dia menginginkan Aul, dia membutuhkan Aul, dia tidak pernah merasa cukup dengan Aul.
Akhirnya dia melepaskan ciumannya, napasnya tidak teratur dan tersengal-sengal saat dia menatap Aul. Matanya menjelajahi wajah Aul, bibir Aul bengkak karena ciuman, pipi Aul memerah dan mata Aul setengah terpejam. Giza menatap Aul dengan campuran hasrat liar.
"Kau tidak tahu apa yang kau lakukan padaku."
Di angkatnya tubuh Aul sekali lagi dan membaringkannya di atas meja dan memaksa Aul membuka kedua pahanya lebar. Aul merasa malu, dia tidak pernah seterbuka ini di depan seorang pria.
"Aku haus," gumam Giza pada dirinya sendiri. "Aku ingin minum nektar dari tubuhmu."
Giza perlahan menggerakkan tubuhnya lebih ke bawah. Tangannya mencengkram paha Aul dengan lembut dan menciumnya. Dia menempatkan dirinya di antara kedua kaki Aul. Lidahnya perlahan menjilati dan menelusuri inti tubuh Aul. Mata Giza gelap, penuh badai nafsu dan kepemilikan.
Dia mencengkram paha Aul lebih erat. Tubuh Giza sepenuhnya hilang dalam nafsu saat ia terus menjilat dan mencicipi inti tubuh Aul. Dia tidak bisa berhenti. Dia menjadi benar-benar gila karena Aul.
Lidah Giza terus melanjutkan. Kecanduannya membuatnya liar. Dia tidak bisa berhenti. Dia tidak bisa bosan pada Aul. Cara Aul memandang dan mengerang sekarang, membuat Giza semakin tergila-gila. Dia terus menelan semua cairan yang keluar dari inti tubuh Aul.
Giza akhirnya mengangkat dirinya dari antara paha Aul, matanya gelap dan penuh badai saat dia menatapnya, napasnya berat saat dia menatap Aul.
Dia benar-benar kecanduan pada Aul, benar-benar terobsesi padanya dan tubuhnya, dan dia tampak seperti tidak peduli jika ada yang memergoki mereka dalam posisi ini.
Napasnya keluar dengan terengah-engah, seolah-olah dia menahan napas selama berjam-jam, dan dia perlahan naik ke atas tubuh Aul, menjepitnya di bawahnya, tubuhnya masih bergetar karena panas dan kebutuhan.
"Apakah sudah selesai?" Wajah Aul memerah semu. Campuran antara kenikmatan, rasa malu dan cemas menjadi satu.
"Belum. Hukumannya belum di mulai, Buih Laut."
Aul yang ingin menutup kedua pahanya. Dengan cepat ditahan Giza. Matanya gelap karena tuntutan.
Jari tengah Giza mulai menyodok inti tubuh Aul. Satu jari, menjadi dua di dalam dagingnya. Aul terkesiap, menarik diri ketika ia merasakan, jari itu bertambah menjadi tiga dengan menusuk lebih dalam.
Aul mengerang. Jari-jari Giza bergerak lebih cepat dan kasar. Wajah Aul memerah, dia menggeliat oleh gelombang sensasional tersebut. Aul ingin mencengkram atau mencakar sesuatu.
Jari-jari Aul meraih rambut Giza di perut bagian bawahnya. Menjambaknya kuat dengan frustasi. Jari-jari Giza terus mendorong semakin dalam dan Aul kembali terhentak oleh empat jari yang menggosok keluar masuk lebih kasar dan liar.
Aul terus mengerang oleh sensasi yang tidak tertahankan. Lutut Aul seperti meleleh. Tidak bisa dirasakan sama sekali. Tubuhnya bergetar hebat, dia tunduk di bawah kendali Giza. Kenikmatan dan rasa sakit membuat Aul kehilangan fokusnya.
Kesadarannya semakin tersentak. Ketika tangan Giza yang lain mencubit puncak payudaranya dengan kuat. Aul mengerang kesakitan. Dia mencoba menahan tangan Giza, tetapi tornado hitam menahan kedua tangan Aul di atas kepalanya.
Gerakan tangannya di dada Aul kian kasar. Area bawahnya pun disodok oleh empat jari yang terus keluar masuk. Pikiran Aul hanya bisa tertuju oleh sentuhan kasar tersebut. Tubuhnya basah kuyup dan cairan pelumas di area sensitifnya terus keluar.
Ketika Giza menarik jari dan menjilatnya puas. Dia menarik pinggul Aul sampai Aul jatuh terduduk di bawah meja. Tubuhnya masih kesemutan dan nyeri di mana-mana. Ditariknya rambut Aul dengan kasar.
"Jangan berbohong padaku lagi. Kau mengerti?"
Aul mengganguk lemah dan Giza kembali mengangkat tubuh Aul ke meja. Menahan kedua lengan Aul dan menatap betapa basahnya Aul.
"Aku akan membuatmu menjadi Penjaga Gelombang di bulan purnama yang akan datang. Mulai sekarang, kau bukan hanya permataku, kau juga mainanku."
Giza kembali mencium Aul, bibirnya mengklaim dalam posesif, ciuman dominan, lidahnya menyelinap ke mulut Aul, mencicipi dan mengklaim Aul lagi dan lagi.
Salah satu tangannya bergerak ke membelai pipi Aul, sentuhannya lembut dan posesif pada saat yang sama.
"Aku akan memberikan segalanya. Apa pun yang kau inginkan. Nama itu akan kembali, dan aku akan memberikannya kepadamu, Buih Laut. Kau milikku."
Giza berbisik di bibir Aul, suaranya dipenuhi dengan hasrat, sikap posesif, dan kasih. Kemudian, Aul mengerang dan gemetar hebat. Dia merasakan, seluruh telapak tangan Giza masuk ke area sensitifnya sekali lagi. Menekan, meraba-raba dindingnya yang kembali memanas.
Aul menggaruk punggung Giza dan memeluknya untuk melampiaskan rasa sakit. Air mata Aul keluar, dia mengerang kesakitan. Seluruh tubuhnya lemah tidak berdaya.
"Hanya pemanasan, Lautku. Milikmu sangat elastis."
Aul hanya terisak-isak. Matanya setengah terpenjam dan wajahnya memerah.
"Kau kuat, Buih Laut." Giza mengecup lembut kening Aul dan kembali melakukan gerakan keluar dan masuk dengan kelima jarinya, menekan, meraba dan merasakan dinding-dinding daging yang menjepit jari-jarinya.
Giza terus bermain. Menikmati perut Aul yang terangkat dan badannya yang bergetar.
Dia tidak merasa cukup, dia tidak akan pernah bisa cukup. Dia menginginkan lebih, lebih dari yang tidak bisa ia kendalikan.
"Jari masuk dan lidah bermain. Bagaimana menurutmu?"
Aul tidak menjawab masih terisak dan seringai licik Giza terbit. Mata Aul yang semula setengah terpenjam kini terbelalak.
Dirasakannya kelima jari Giza mengepal di dalam inti tubuhnya dan melakukan gerakan seperti mengetuk pintu dari dalam.
"Tok, tok? Siapa di sana?"
Aul kehilangan kontrolnya. Kenikmatan dan rasa sakit menjadi satu.
"Bangun!" Giza menampar pipi Aul. "Tetap sadar!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro