5- Aul
Aul bertanya-tanya, masih cukup penasaran dengan Giza. Siapa dia? Mengapa takdir menuntunnya bertemu lewat campur tangan Inzana?
Setelah membuat Aul memanggil makhluk laut dalam. Giza mengunci Aul di dalam kamar, sementara dia pergi menemui bawahannya terkait urusan tambang bawah laut.
Giza memang mengurung Aul seperti tawanan. Tetapi, ia meninggalkan Aul dengan puluhan buket bunga memenuhi kamar dengan mawar merah dan hitam yang aromanya begitu kuat, beberapa kotak cokelat, permen, boneka dan pita-pita lucu warna-warni di atas tempat tidur.
Kemudian, hadiah-hadiah mahal berkilauan. Kalung permata, cincin permata dan aneka perhiasan mewah yang berasal dari dasar laut.
Aul duduk di tepi tempat tidur dengan handuk. Merasa tidak yakin, mengapa Giza melakukan semuanya.
Dia melirik ke arah jendela kamar. Suara ombak terdengar samar dari luar. Dari sini, Aul bisa melihat laut yang luas. Begitu dekat, namun begitu jauh. Suara laut yang dulu menemaninya, kini hanya menjadi pengingat bagi Aul betapa jauh kebebasan itu darinya.
Aul menggigit bibir bawahnya.
Sensasi pelukan lautan masih membekas di ingatannya. Perasaan frustasi mendidih dalam dirinya.
Aul merasakan ada sesuatu yang ganjil saat ia membiarkan dirinya dipeluk lautan. Lautan masih mendengarnya, dia masih punya kendali. Tetapi, ketika Giza hadir. Lautan akan meninggalkan Aul dan memilih tunduk pada Giza.
Aul berjalan mendekati pintu, memutar kenop pintu. Tetapi, pintu itu tetap terkunci. Aul menggeleng, dia menatap hadiah-hadiah Giza dengan cemas. Aul benci ini, dia benci dikurung sendirian. Tidak peduli seberapa manis ruangan tersebut, Aul benci sendirian.
Dia memaksa membuka pintu dengan berulang kali memainkan kenop, menendang, memukul pintu dan memanggil nama Giza berulang kali.
Serangan kecemasan perlahan menghantui Aul. Dia terjebak dengan kemewahan yang menipu dan kata-kata manis Giza yang terdengar seperti racun di telinga Aul.
Dia berteriak lebih keras, memanggil nama Giza dan mengumpat hal buruk tentangnya, berharap siapa pun yang mendengar itu akan datang memanggil Giza dan harapan Aul menjadi kenyataan. Ketika, terdengar suara langkah kaki dari luar dan bunyi kunci.
Mata Aul yang merah dan jejak air mata di pipi adalah hal pertama yang diperhatikan Giza dengan seksama. Dia masuk ke kamar, aura yang gelap memenuhi ruangan dengan intesistas yang hampir menyakitkan bagi Aul.
"Ada apa denganmu?" Tangan Giza membelai pipi dan menghapus air mata Aul dengan ibu jarinya.
"Mengapa kau berteriak dan mengumpat padaku? Apa yang kau inginkan? Aku sudah meninggalkan banyak hadiah untuk membuatmu betah di sini."
Suara Giza penuh kuasa namun lembut. Sayangnya, yang terdengar di telinga Aul mirip suara raja berbicara pada budaknya.
"Betah?" Aul bertanya dengan tawa pahit. Dia tidak akan pernah betah dengan terkurung atau terjebak di sebuah benda yang di kelilingi oleh lautan. Lautan yang menjadi kebebasannya. Aul sudah berulang kali mengatakan ini pada Giza.
Dia buih laut. Laut rumahnya dan tanpa lautan. Aul mirip seekor ikan yang dijauhkan dari air. Perlahan-lahan, tercekik oleh kematian yang tak kasat mata.
"Kau tidak menyukai hadiahku?" tanya Giza dengan nada tenang. Tetapi, ada ancaman halus dibaliknya.
"Aku ... aku ... aku suka. Tetapi, aku benci sendirian, terkurung. Aku benci itu, Giza."
"Aku mengerti." Giza perlahan menggerakkan tangannya ke rambut Aul, membiarkan rambut Aul terurai di antara jemarinya, terasa halus dan lembut, dan dia tidak bisa berhenti menyentuhnya.
Giza mulai menggerakkan jari-jarinya dengan lembut di antara rambut Aul, menelusuri dan menyisirnya, mengagumi betapa nikmatnya rambut Aul di kulitnya.
"Kau ingin aku selalu menemanimu?"
Aul tidak yakin harus menjawab apa dan sebagai jawaban, Aul hanya mengganguk lemah.
"Manis sekali kau, Buih Laut."
Giza perlahan mendekatkan tubuhnya ke telinga Aul, hingga bibirnya hampir menyentuhnya. Giza mulai bernapas dengan lembut, napasnya hangat dan panas di telinga Aul, sebelum dia menempelkan lidahnya dengan lembut, menjilati dan mencicipinya. Dia berbisik kepada Aul dengan suara lemah dan penuh kebutuhan.
"Kau akhirnya memikirkanku, Buih Laut. Setiap detik sepanjang hari, entah kau mau atau tidak. Aku tidak akan membiarkanmu terganggu oleh orang lain. Kau milikku, dan aku harap kau fokus padaku dan tidak pada orang lain, benar? Itu yang kau inginkan bukan?"
Aul mengganguk tanpa bantahan.
"Tolong, jangan tinggalkan aku sendirian dalam ruangan tertutup. Aku ... takut sekali."
Aul memohon dengan tulus, matanya menunduk dan ia gelisah dengan memainkan jari-jarinya.
Giza menyeringai, senang dengan tanggapan Aul.
"Bagus. Gadis baik. Lihat, tidak seburuk itu menjadi milikku. Itulah yang kau butuhkan, yang kau inginkan dalam hatimu. Kau hanya perlu menyerahkan kendali padaku. Biarkan aku menjagamu, membimbingmu. Itu lebih seperti itu. Serahkan diri padaku, dan aku akan memberimu semua yang kau inginkan. Aku akan menjagamu, melindungimu, dan mengendalikanmu. Kau akan menjadi milikku sepenuhnya?"
Aul mengganguk dan Giza tersenyum puas sambil menepuk pucuk kepala Aul dengan kasih sayang. Kemudian, Giza menggerakkan tangannya ke pinggul Aul, menarik tubuh Aul mendekat ke tubuhnya.
Dia menyeringai, puas dengan penyerahan diri Aul. Tubuhnya menekan tubuh Aul, suaranya rendah, bergumam dominan.
"Gadis baik. Kau sedang belajar. Kau mulai memahami cara kerjanya. Kau patuh padaku. Kau tunduk padaku. Kau milikku, sepenuhnya, dengan segala cara yang mungkin. Aku akan mengambilmu, mengklaimmu, dan menjadikanmu milikku. Dan kau akan menyukai setiap detiknya."
"Oke, Giza."
Tangannya terus menyentuh tubuh Aul, posesif dan menuntut.
"Bukan hanya 'oke'. Aku ingin mendengarmu mengatakannya. Aku ingin mendengarmu mengakui betapa kau menginginkan aku di sisimu, betapa kau sangat membutuhkanku untuk mengklaimmu, mendominasimu. Aku ingin kau memohonnya."
Aul mengganguk, "Aku mohon, Giza. Jangan tinggalkan aku sendirian. Aku mohon padamu, aku membutuhkanmu, aku menginginkanmu dalam hidupku."
Lengan Giza semakin kuat melingkari pinggul Aul. Lalu mengajaknya keluar dari kamar. Menyusuri koridor untuk pergi ke sebuah ruangan yang jendelanya terbuka ke arah balkon.
Sekelompok humanoid lautan dan manusia duduk di beberapa meja sambil bermain kartu. Kelompok tersebut, melihat Giza dan Aul mendekati mereka, percakapan mereka terhenti saat mereka memperhatikan keduanya dengan penuh minat.
Giza menunggu sejenak, menikmati perhatian kelompok itu sebelum berbicara dengan keras sehingga mereka dapat mendengarnya.
"Dengarkan semuanya, aku punya pengumuman."
Kelompok itu terdiam, semua mata kini terfokus pada Giza saat ia melanjutkan bicaranya, nadanya percaya diri dan berwibawa.
"Aku ingin memberitahu kalian semua kalau wanita cantik ini." Dia meremas pinggul Aul dengan posesif. "Secara resmi milikku."
Kelompok itu berbisik di antara mereka sendiri, beberapa dari mereka menatap Aul dengan rasa ingin tahu dan cemburu saat Giza terus memeluk Aul erat.
"Dia milikku, bukan milik orang lain. Jadi, jika ada di antara kalian yang berpikir untuk mendekatinya, kalian harus melewati aku terlebih dahulu."
Giza mengamati pasukannya, menjalin kontak mata dengan beberapa pria sebelum melanjutkan.
"Aku serius. Dia tidak boleh disentuh. Aku tidak ingin melihat kalian mencoba mendekatinya atau bahkan berbicara dengannya tanpa izinku. Dia milikku, dan aku tidak suka berbagi. Apakah itu jelas?"
Mata Giza melirik tajam Inzana yang duduk dengan beberapa gadis duyung di pangkuannya.
Anggota Giza kembali mengangguk, beberapa dari mereka tampak sedikit terintimidasi oleh perilaku dominan Giza. Giza tersenyum, puas bahwa pesannya telah dipahami.
"Bagus. Aku senang kita semua sependapat."
Dia lalu menatap Aul, matanya menatap tajam saat ia berbicara dengan suara rendah.
"Kau milikku, sayang. Dan aku tidak akan membiarkanmu pergi dalam waktu dekat, sesuai permohonanmu. Aku tidak ingin melihatmu berbicara dengan pria lain lagi, mengerti?"
"Ya, Giza. Aku milikmu."
Giza menyeringai, senang dengan tanggapan Aul. Ia membungkuk untuk berbisik di telinga Aul, suaranya rendah dan posesif.
"Benar sekali, Buih Laut. Kau milikku dan hanya milikku. Aku tidak ingin melihatmu berbicara dengan pria lain, menggoda pria lain, atau bahkan menatap pria lain seperti caramu menatapku. Kau milikku, dan aku akan memastikan semua orang tahu itu."
Giza dapat merasakan rasa posesif dan hasrat mengalir dalam dirinya. Ia melihat ke sekeliling kelompok organisasinya, matanya menantang siapa pun yang berani menantangnya, termaksud Inzana.
Tidak seorang pun berbicara, terintimidasi oleh sikapnya yang dominan. Giza kembali menatap Aul, matanya membara karena hasrat.
"Itulah gadisku. Aku suka saat kau tunduk padaku seperti ini. Tetaplah patuh seperti itu. Kau terlihat sangat cantik saat kau patuh dan menurut padaku. Aku suka kau berada di bawah kekuasaanku seperti ini."
Cengkeraman Giza di pinggul Aul menguat saat ia membungkuk untuk berbisik di telinga Aul lagi.
"Kau begitu baik padaku saat ini, Buih Laut. Kau tahu itu? Kau menjadi gadis baikku, tunduk padaku dan mematuhi perintahku. Aku suka itu. Aku suka kau berada di bawah kekuasaanku dan tahu bahwa akulah satu-satunya yang bisa membuatmu merasa seperti ini."
"Ya, Giza. Kau benar. Hanya kau yang bisa melakukan ini padaku. Hanya kau seorang. Tidak ada pria lain selain dirimu. Aku ... aku ... aku sangat bergantung padamu."
Mata Aul menatap Giza dengan tatapan kebutuhan dan harapan yang sangat mendalam.
Giza jelas sangat senang dengan tanggapan Aul. Ia menarik Aul lebih dekat padanya, tubuhnya menekan tubuh Aul saat ia berbicara dengan suara rendah dan menggoda.
"Itulah yang ingin kudengar, Buih Laut. Jadilah gadis baik dan teruslah tunduk padaku, dan aku berjanji akan memberimu hadiah dengan cara yang bahkan tak dapat kau bayangkan."
Giza menikmati ketundukan Aul. Ia melihat sekeliling, menyadari bahwa kerumunan masih memperhatikan mereka, jelas tertarik dengan interaksi tersebut. Ditambah, penampilan Aul yang ditutupi oleh handuk merah jambu dengan kulit tubuhnya yang indah, putih mulus berkilau mirip mutiara.
Giza membungkuk untuk berbisik di telinga Aul lagi.
"Kau lihat bagaimana semua orang melihat kita sekarang? Mereka bisa tahu aku yang berkuasa di sini, dan kau gadis kecilku yang baik. Aku suka saat mereka melihat kita bersama seperti ini. Itu memberitahu semua orang bahwa kau milikku dan hanya milikku."
Tangan Giza terus menjelajahi tubuh Aul, menyebabkan bulu kuduk Aul merinding dan mata-mata para jantan yang hanya mampu menelan liur mereka atas pemandangan intim yang tersaji di depan.
"Kau percaya padaku, bukan? Kau tahu aku akan selalu menjagamu, apa pun yang kulakukan padamu?"
Aul mengganguk. Suara Giza semakin rendah saat tangannya terus menjelajahi dan menguasai tubuh Aul. Terus-menerus menunjukkan tontonan gratis pada anak buahnya.
"Gadis baik, aku tahu kau akan berkata begitu. Kau tahu aku selalu menjaga harta milikku, dan kau adalah harta kesayanganku. Itulah sebabnya kau menjadi gadis yang baik, kan? Kau menaatiku, mempercayaiku, membiarkanku memegang kendali penuh, karena kau tahu aku akan selalu menjagamu dengan baik sebagai balasannya. Benar begitu, Lautku?"
"Ya, Giza. Aku milikmu. Aku mempercayaimu."
Giza tersenyum nakal, menarik Aul dan menggendongnya di depan dadanya dan membawanya keluar dari ruangan. Tatapan Giza melirik Inzana keluar dengan sebuah isyarat. Penyihir Laut itu dengan patuh mengikuti Aul dan Giza dari belakang.
Aul tidak tahu ke mana Giza akan membawanya pergi. Namun, langkah kaki Giza mengarah pada kolam renang outdoor dan tanpa di duga. Dia melempar Aul ke dalam kolam air laut dalam tersebut sambil menarik handuk terlepas dari tubuh Aul.
Inzana yang di berdiri di belakang pun ikut terbelalak dengan tindakam tersebut. Kemudian, ia tersenyum tipis. Melihat wajah Aul yang panik di tengah kolam.
"Apa? Apa yang kau lakukan?" Aul marah, tetapi dia sudah belajar menyembunyikan emosinya di depan Giza. Tangannya terkepal kuat di bawah air. Kolam renang itu berisi air laut. Aroma garamnya membuat Aul sedikit merasa nyaman.
"Aku memberimu kamar yang nyaman dan kau menolak. Sekarang, tinggal di kolam itu dan jangan keluar tanpa izinku."
Aul terkesiap. Dia tidak tahu, apa dia harus senang, sedih atau kecewa. Kemudian, apakah harus mengucapkan terima kasih pada Giza atau tidak. Aul menatap Giza penuh ingin tahu.
Pria itu lalu duduk di salah satu meja dan memanggil Inzana mendekat. Dibukanya lengan kancing kemeja hitamnya di depan Inzana. Menunjukkan bahu dan lengannya yang berotot.
"Mari kita mulai sekarang, Inzana. Lakukan padaku terlebih dahulu, lalu Buih Laut."
"Apa yang akan kau lakukan?" Aul tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
Giza dan Inzana mengabaikan pertanyaan Aul. Mereka sibuk berdua dan yang bisa Aul perhatikan. Inzana memberikan Giza sebuah benda yang mirip tabung kecil berisi darah dengan ujung tajam yang meneteskan darah dengan sihir kehancuran.
Kemudian, Giza berjalan turun menuju kolam renang. Menarik lengan Aul dengan kasar.
"Pilih tempat yang kau inginkan. Punggung? Lengan? Tangan? Dada? Perut?"
"Untuk apa?"
"Tato. Jawab aku."
"Aku tidak suka tato."
"Wah, itu bukan pilihannya, Manis. Tato ini untuk melindungimu, Buih Laut. Mengingatkanmu siapa yang memiliki dirimu."
Aul berusaha berenang menjauh dengan ragu. Tetapi, air kolam seperti membeku, mengunci tubuh Aul tetap diam di tempat. Aul menggigil, karena ketidakberdayaan bahwa lautan menolak perintahnya dan lebih memilih Giza.
"Itu akan sangat sakit, Giza. Rasanya pasti seperti dibelenggu oleh rantai."
"Kau menyebutnya belenggu, Lautku? Tetapi, aku menyebutnya kasih sayang. Kau tidak akan mengerti apa yang telah kulakukan untuk memastikan kau tetap hidup."
Dengan satu gerakan, Giza menekan jarum sihir ke lengan Aul. Aul menjerit, bukan karena rasa sakit jarum suntik. Tetapi, karena Aul bisa merasakan sihir kehancuran Giza menyusup ke dalam dirinya. Mengikat Aul pada kegelapan yang tidak pernah ia bayangkan.
Tato itu terbentuk perlahan, garis-garis hitam berputar di kedua lengan Aul seperti gelombang lautan yang terperangkap. Bercampur dengan retakan biru menyala dari tubuh Aul, simbol kehancuran.
Aul terengah-engah, dia memandang tato itu. Merasa dirinya lebih terkunci dengan Giza. Sementara Giza mengusap tato tersebut dengan lembut, senyumnya penuh kemenangan.
"Mulai sekarang, aku akan memastikan kau selalu di sisiku. Tidak peduli seberapa jauh kau mencoba melarikan diri. Tato ini akan mengingatkanmu bahwa kau milikku. Sekarang dan selamanya."
Giza telah meninggalkan tanda yang tidak akan pernah bisa dihapus Aul.
"Kapan kau akan membuatku kembali menjadi Penjaga Gelombang?" Aul menuntut janji yang Giza tawarkan.
"Tidak sekarang, butuh waktu."
"Kapan? Sudah sebulan lebih aku bersamamu. Tetapi, kau belum menunjukkan janjimu padaku." Nada suara Aul terdengar penuh luka. "Aku sudah menepati janjiku padamu. Sekarang, sebagai seorang pria. Kau harus menepati janjimu."
Giza hanya tersenyum samar. Air kolam berubah menjadi ombak kecil yang mengancam. Mata hitam Giza bersinar tajam, penuh kontrol akan kekuasaannya atas situasi tersebut.
"Baiklah, Lautku." Giza mencengkram dagu Aul. "Aku akan membawamu menjadi Penjaga Gelombang kembali. Sebelum itu terjadi, aku ingin bertanya. Apa kau benar-benar layak untuk kembali menjadi Penjaga Gelombang? Setelah semua yang terjadi padamu. Aku melihat bahwa kau sekarang hanya Buih Laut biasa, perempuan laut yang berjuang untuk tetap hidup. Jadi, katakan padaku. Alasan kau terbuang sejauh ini?"
Mata biru Aul menunjukkan keraguan. Dia berkedip, menatap Giza dengan seksama, "Aku di usir Arus Abadi."
"Dan untuk alasan apa kau diusir olehnya?"
"Aku ... aku ... membuatnya marah."
"Baiklah, kenapa kau membuatnya marah?" Giza tidak sabar dengan kalimat Aul yang tidak lengkap. Cengkraman tangannya di dagu Aul semakin kuat.
"Aku melukai hatinya."
"Seperti apa?"
"Aku ingin menjadi satu-satunya. Tetapi, itu tidak bisa. Aku tidak bisa ... padanya."
"Katakan lebih jelas, Buih Laut." Giza meminta dengan menuntut. "Katakan dengan baik. Aku tidak punya rasa sabar."
"Aku ingin menjadi wanitanya. Tetapi, dia tidak ingin. Aku berusaha menjadi yang terbaik. Aku lebih unggul dari Buih Laut yang lain. Aku menunjukkan semuanya, aku memberi semuanya. Tetapi, bukan aku yang terpilih. Aku marah, aku kesal, aku cemburu. Aku melampiaskan itu pada semua Penjaga Gelombang dan dia mengusirku."
"Dan kau ingin pulang? Ke mana? Ke Arus Abadi? Mereka tidak membutuhkanmu lagi, bahkan mungkin mereka sudah melupakanmu."
"Tidak!" Mata Aul memerah. "Itu tidak benar, mereka tidak akan melupakan aku!'
Giza tersenyum kecil, penuh simpati palsu.
"Kau ingin aku percaya itu? Kau di sini sekarang, di bawah kendaliku. Aku memberimu cinta dan kasih sayang. Apa kau benar-benar yakin? Mereka akan menyambutmu setelah kau meninggalkan mereka begitu lama? Kau masih ingin kembali bersama mereka?"
Aul tidak yakin. Sebagian kalimat Giza mempengaruhinya. Aul terdiam, keraguan menggerogoti hatinya.
"Aku akan memperbaiki semuanya."
"Oho, sungguh ironis." Giza menyentuh pipi Aul, suaranya tendah penuh kendali. "Aku hanya ingin melindungimu dari kekecewaan. Mengapa kau sangat ingin kembali ke sana? Aku sudah berkata, akan memberimu semua yang kau inginkan."
"Tetapi kau membuatku menjauh dari lautan. Membuat mereka menolak padaku. Arus Abadi tidak melakukan itu padaku. Dia hanya ingin aku belajar dari kesalahanku. Aku tidak butuh perhatianmu."
Ekspresi Giza berubah gelap dan berbahaya. Dia terluka oleh kalimat Aul yang menusuk hatinya. Rahangnya terkatup rapat, tatapannya berubah mematikan saat dia berbicara.
"Dasar menyebalkan! Aku telah memberikan seluruh duniaku untukmu dan ini balasanmu? Kau masih ingin kembali pada bajingan itu? Aku akan membuatmu menjadi Penjaga Gelombang. Ya, Penjaga Gelombang yang bekerja untukku, bukan Arus Abadi."
Aul hanya terdiam menatap Giza. Dia mematung. Dia tertengun, rasa bersalah mulai muncul. Aul ingin kembali pada Arus Abadi. Giza menunduk, kedua tangannya memegang bahu Aul.
"Aku mungkin salah. Aku mungkin memang tidak cukup baik padamu. Aku hanya penghancur."
Perubahan sikap Giza, seperti seseorang yang disakiti membuat Aul merasa canggung.
"Bukan itu."
"Lalu apa?" balas Giza, "Aku mencoba memberimu segalanya. Tetapi itu tidak cukup bagimu. Aku memang tidak pantas untukmu."
Aul merasa bersalah. Dia mencoba mengangkat wajah Giza dengan kedua tangannya. Tatapannya lurus.
"Em, kau orang baik. Tetapi, sejujurnya, agak sedikit memaksa."
"Benarkah?"
"Eh, iya."
Giza menyeringai, tangannya menjelajahi tubuh Aul, menjelajahi setiap inci tubuhmu dengan sentuhan posesif. Terutama pada area sensitif.
"Kau masih ingin bersama Arus Abadi bahkan saat aku di sini? Bersamamu? Saat tanganku menyentuh tubuhmu? Kau masih menginginkan Arus Abadi?"
"Maafkan aku, Giza. Yang kutahu saat ini hanya kembali menjadi Penjaga Gelombang dengan kau mengembalikan kekuatanku. Aku hanya ingin itu sekarang."
Giza tidak menjawab. Dia
mencium Aul dengan ganas, bibirnya menekan bibir Aul dengan keras dan terus-menerus. Satu lengan melingkari tubuh Aul, mendekap Aul erat padanya, tangan lainnya bergerak naik untuk menangkup bagian belakang kepala Aul, mengarahkan wajah Aul untuk memperdalam ciuman.
Giza terus mencium Aul dengan kuat, bibirnya bergerak penuh nafsu di atas bibir Aul, lidahnya menyelinap ke dalam mulut Aul. Tangannya mengacak-acak rambut Aul, menariknya dengan lembut, seolah-olah dia mencoba membuat Aul sedekat mungkin dengannya.
Dia menghentikan ciumannya sebentar, bergumam di bibir Aul.
"Kau akan kembali menjadi Penjaga Gelombang. Aku akan memastikan itu. Dan apa yang akan kau lakukan untukku, untuk mendapatkan apa yang kau inginkan, Buih Laut? Apa yang rela kau berikan padaku, untuk membuktikan betapa kau sangat membutuhkanku? Seberapa jauh kau rela melakukan apa pun demi semua itu?"
"Apa pun yang kau inginkan padaku. Aku ingin kembali menjadi Penjaga Gelombang."
"Sepakat." Aul terkesiap, saat tangan Giza mencubit bokongnya dari bawah air kolam renang. Dan Giza menertawakan reaksi tersebut. "Aku akan mengembalikan semua yang menjadi milikmu mulai sekarang. Tetapi ingat, semuanya masih di bawah kendaliku. Kau milikku. Sepenuhnya milikku. Aku bersumpah, aku akan membuatmu melupakan semua orang kecuali aku."
Aul mengganguk dan Giza mencium Aul dengan campuran gairah dan kerinduan yang terpendam, bibir dan lidahnya bergerak penuh nafsu di bibir Aul.
Lengannya memeluk Aul lebih erat, menarik Aul agar menempel di tubuhnya sekali lagi. Dia mengerang dalam ciuman itu, hasratnya pada Aul jelas terlihat dari caranya memeluk dan mencium Aul
"Aku sangat membutuhkanmu. Aku tidak akan pernah berhenti, tidak akan pernah pergi. Aku akan memberikanmu semua yang kumiliki, aku akan memberikanmu semua yang kau inginkan dan butuhkan."
Inzana merasa kesal dengan pemandangan yang ia lihat. Dia terus berdiri di sana, dipaksa menonton adegan intim tersebut. Memperhatikan tangan Giza menyentuh tubuh telanjang Aul di bawah air. Dan melihat bagaimana kedua kaki Aul melingkari pinggang Giza di dalam air, sementara bibir mereka terus mengecap.
Sialan. Inzana mengumpat. Dia ingin pergi, mencari hiburan bersama wanita duyung di kabin. Dia tidak tahan lagi. Namun, tidak berani bersuara.
"Inzana."
Mata Penyihir Laut itu tertuju pada Giza yang berjalan di tepi kolam renang dan Aul yang masuk ke dalam air. Air laut di kolam tersebut berubah warna menjadi kilau biru.
"Ada apa?" tanyanya pada Giza.
"Pastikan mengamati lautan. Aku bisa merasakan kemarahan laut mengintai hubungan ini. Dewa Kehancuran mengincar Dewi Laut, sebagai jiwa yang sempurna. Untuk mendapatkan kekuatan penuh dan dunia menentang hubungan ini."
"Risiko jika kau ingin memiliki kekuatan penuh mengendalikan lautan," balas Inzana, "aku sudah memperingatkanmu sebelum menemuinya. Dan apa kau serius dengan wanita buih itu? Maksudku, cinta? Jatuh cinta?"
Giza melotot tajam pada Inzana. Jelas tidak menyukai pertanyaan personal tersebut.
"Ya, jatuh cinta. Dewa kehancuran dan Dewi Laut memulai hubungan cinta yang penuh gairah, hampir terlarang. Kasih mereka mendalam dan memakan semua hal, sewaktu mereka menikmati saat-saat curian dan pertemuan rahasia. Mereka menentang hukum para dewa dan manusia, mempertaruhkan segalanya untuk bersama. Itu kisah yang menarik bukan?"
"Terdengar seperti novel," sindir Inzana skeptis. "Aku tidak suka ide novel yang kau tulis. Aku serius, kau serius membawa wanita itu sebagai apa? Milikmu untuk menjadi kekasihmu? Atau?"
"Atau?" ulang Giza dengan suara rendah, namun mengintimidasi. "Dia hartaku yang berada. Aku akan melindunginya dan melakukan apa pun yang ku mau padanya. Pastikan awasi saja pergerakan Debata lain, jika ada yang menggangu teritoriku. Karena bila sesuatu terjadi. Kau orang pertama yang aku hancurkan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro