⛔4 - Giza⛔
"Lepaskan pakaianmu," ujar Giza dengan mata predator yang berniat memangsa buruannya. Suara Giza
tidak menunjukkan perlawanan.
"Kurasa sudah waktunya untuk memberi pelajaran tentang kepatuhan padamu, Buih Laut. Ini akan jadi pengingat buatmu agar tidak membangkang padaku. Akan kutunjukkan pada kau betapa berbahayanya melawanku."
Giza berdiri menjulang di depan Aul. Dia mendorong Aul duduk di tepi tempat tidur. Kehadirannya begitu kuat saat ia menunggu Aul untuk menurut. Matanya menyapu tubuh Aul dengan penuh nafsu, menjanjikan pembalasan atas pelanggaran yang Aul lakukan.
"Kenapa aku harus membuka pakaianku? Apa yang akan kau lakukan padaku? Kau ingin menandaiku sebagai milikmu?"
Mata Giza menyipit berbahaya mendengar pertanyaan Aul, rahangnya terkatup rapat karena amarah yang nyaris tak tertahan.
"Lepaskan pakaianmu!" Tangannya yang besar mencengkeram rambut Aul dan menarik kepala Aul ke belakang.
"Aku telah menyediakan semua yang kau inginkan atau butuhkan di sini, namun kau masih tidak menaatiku?"
Tangan Giza yang lain meluncur turun untuk mencengkeram tenggorokan Aul, meremasnya cukup kuat hingga membuat Aul sulit bernapas.
"Aku tidak akan menoleransi keangkuhan seperti itu, Buih Laut. Kau milikku untuk dikendalikan, milikku untuk diperintah. Lepaskan pakaianmu."
Dia mencondongkan tubuhnya mendekat, bibirnya menyentuh telinga Aul sambil menggeram, "Menurutku, sudah waktunya untuk pendekatan yang lebih praktis dalam pelatihanmu untuk menjadi wanita yang patuh padaku."
Dengan tarikan yang kuat, dia menyeret Aul lebih jauh ke kasur. Giza menjulang di atas Aul, matanya gelap karena hasrat posesif.
"Sekarang, mari kita lihat seberapa baik kau mengikuti instruksi ketika ada konsekuensi atas ketidakpatuhanmu, Buih Laut. Akan kupastikan kau mengingat hukuman ini."
Tangan Giza meluncur ke balik pakaian Aul, menjelajahi tubuh Aul dengan kasar saat ia mengklaim Aul sebagai miliknya.
Tanpa peringatan, Giza merobek gaun yang Aul gunakan. Dia tidak tahan melihat Aul enggan melepaskan pakaiannya.
Kain halus itu mudah robek karena kekuatannya dan Giza membuang sisa kain di bawah tempat tidur. Tidak ada pakaian dalam, tubuh telanjang Aul terlihat jelas di mata Giza yang terlihat lapar akan hasrat dan nafsu.
"Lihatlah dirimu, begitu menginginkan sentuhanku, bukan?" Giza mendengkur, tangannya menjelajahi kulit Aul yang terbuka.
"Bahkan saat kau tidak menaatiku, tubuhmu mengkhianati hasratmu yang sebenarnya. Aku suka ini, Buih Laut."
Tatapan Giza begitu fokus pada
bagian tubuh Aul yang paling intim, tatapannya menjadi liar.
"Aku akan memberimu pelajaran yang tidak akan segera kau lupakan, Buih Laut." Janji Giza dengan nada posesif. "Saat aku selesai denganmu, kau akan memohon ampunanku."
Dia memposisikan dirinya di antara kedua kaki Aul, kekerasannya menekan inti tubuh Aul, "Sekarang, mari kita mulai hukumanmu, oke? Menggeliatlah di bawah sentuhanku, basahlah karena diriku."
Mata Giza berbinar-binar dengan kepuasan yang gelap saat ia melihat kepasrahan dan ketakutan yang sunyi dalam tatapan Aul. Ia membungkuk, mencium bibir Aul dalam ciuman yang memilukan yang membuat Aul tidak bisa bernapas.
"Lautku," bisik Giza di depan mulut Aul. "Kau belajar memahami tempatmu."
Tangannya terus menjelajahi tubuh Aul tanpa henti, mencubit dan menggosok hingga Aul mulai menggeliat di bawahnya. Ia menikmati ketidakberdayaan Aul dalam cara tubuh Aul merespons sentuhannya meskipun pikirannya menolak.
"Aku akan menjadikanmu milikku dengan segala cara yang mungkin," gerutu Giza, suaranya penuh nafsu. "Aku akan menghancurkanmu dan membangunmu kembali, membentukmu menjadi milikku yang sempurna. Tidak peduli harus berapa kali aku menghancurkanmu, kau akan tetap di sini bersamaku."
Giza mulai melepaskan seluruh pakaiannya tidak sabar. Otot tubuhnya terekspos jelas. Urat-urat tubuh Giza menonjol begitu memukau di mata Aul. Bahu Giza lebar, lengannya berotot, otot perutnya terlihat indah dan mata Aul terbelalak pada area selangkangan Giza.
"Tidak!" Aul menjerit. "Kau tidak akan membawa itu masuk ke dalam tubuhku!"
Aul merangkak mundur sampai kepalanya membentur sandaran tempat tidur.
"Kenapa tidak? Aku akan menghukummu. Aku akan membuatmu basah, meleleh sampai kau tidak bisa berjalan."
Aul menggeleng saat Giza menarik lengannya, menyeret kembali Aul yang gemetar ketakutan di bawahnya, mata Aul penuh amarah.
Giza menyeringai, tidak terganggu oleh rasa takut Aul. Dia menikmatinya.
"Bagus. Kau seharusnya takut padaku, Buih Laut. Aku ingin kau takut padaku, khawatir akan membuatku tidak senang, cemas akan kehilangan dukunganku. Begitulah caraku menjagamu, memastikan kau berperilaku baik. Kau akan mulai mengaitkan perasaan itu denganku, dan kau akan belajar untuk menginginkannya. Kau akan menjadi kecanduan dengan sensasi menjadi milikku."
Aul menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Aul merasa hina, ia tahu kekuatannya tidak cukup melawan Giza.
Giza mencondongkan tubuhnya, napasnya panas di telinga Aul.
"Kau mengerti, Buih Laut? Aku memilikimu, segalanya tentang dirimu adalah milikku."
Tangannya meluncur ke tenggorokan Aul, menyentuh titik nadi Aul dengan ringan.
"Katakan," perintah Giza, "katakan padaku, kau milik siapa?"
Mata Giza berbinar penuh harapan, menantang Aul untuk menentangnya. Dia ingin mendengar Aul tunduk, ingin mendengar Aul mengakui kekuasaannya sepenuhnya atas dirinya sendiri.
Lidah Aul keluh, dia tidak ingin mengakui Giza. Sekeras apa pun Aul menentang, dia sadar. Dia tidak bisa.
"Aku milikmu."
"Ulangi!"
"Aku milikmu."
"Ya, benar. Kau milikku, mainanku, Buih Laut. Kau sepenuhnya milikku, dan aku berniat memanfaatkannya sebaik-baiknya. Aku akan mengklaimmu, memilikimu, mendominasimu. Dan kau akan menikmati setiap detiknya."
Giza menyeringai, jelas menikmati efek yang dia berikan pada Aul. Tangan Giza bergerak, membelai tubuh Aul dengan sikap posesif.
"Itu lebih baik. Terima saja, Buih Laut. Serahkan padaku, biarkan aku mengendalikanmu. Aku akan menjagamu, melindungimu. Dan aku akan membuatmu merasakan hal-hal yang belum pernah kau rasakan sebelumnya. Kau akan mendambakan sentuhanku, dominasiku."
Tanpa diduga, Giza menusuk kedua jarinya ke inti tubuh Aul dengan kasar. Aul terkesiap, menggeliat dengan teriakan frustasi. Tangannya mencengkram seprai dengan kuat.
Area selangkangan Aul nyeri luar biasa. Itu terlalu berat untuk Aul tangani. Giza terus menusuk Aul dengan kasar, mengklaim tubuh Aul sebagai miliknya. Setiap gerakan mengingatkan akan dominasinya, kepemilikannya atas diri Aul.
"Di sinilah tempatmu, Lautku. Di bawahku, dalam belas kasihanku."
Ia mempercepat, gerakan kedua jarinya pada Aul dengan ganas dan liar.
"Berteriaklah untukku," tuntut Giza. "Biarkan semua orang tahu siapa pemilikmu."
Tangannya yang lain menyentuh payudara Aul, meremas dan memainkannya dengan kasar. Sembari dia terus menyentak Aul dengan mendorong jarinya dengan kasar lebih dalam. Giza menyeringai, merasakan dinding-dinding Aul menjepit jarinya. Air mata Aul mengalir, dia terus berteriak kesakitan, tubuhnya gemetar tidak terkendali di atas kasur.
Giza tersenyum licik, ekspresinya menjadi semakin gelap dan posesif.
"Dengan segala cara yang memungkinkan. Aku akan mengendalikan tindakanmu, pikiranmu, dorongan hatimu, Lautku. Aku akan membuat keputusan untukmu, memutuskan apa yang terbaik untukmu. Dan jika kamu berperilaku buruk atau tidak menyenangkanku dengan cara apa pun, aku akan menghukummu seperti ini."
Mata Giza berbinar-binar karena kenikmatan sadis saat teriakan Aul memenuhi ruangan. Dia menyeringai jahat, tangannya mencengkeram leher Aul erat-erat.
"Itu saja? Oh, ayolah, Buih Laut. Ini belum semuanya. Kita bahkan belum mulai dan kau sudah sangat kesakitan dengan dua jariku? Itu tidak menarik, aku sedikit cemburu. Kau harus menikmati milikku lebih dari ini."
Suara Giza rendah, mengejek, "Berteriaklah untukku. Biarkan aku mendengar betapa kau membutuhkan ini."
Giza menarik jarinya dari inti tubuh Aul. Kemudian, menyentaknya sekali lagi dengan lebih kasar dan lebih dalam sampai Aul mengerang lebih keras. Jari-jari Giza pun melingkari dinding luar Aul dengan ibu jarinya,
berputar, membelai, membuat Aul terus terkesiap dan menggeliat di bawahnya.
"Aku akan menidurimu sekeras-kerasnya, Buih Laut," gerutu Giza. Suaranya penuh dengan hasrat. "Aku akan membuatmu menjerit, membuatmu memohon lebih pada sentuhanku."
Dia memasukkan jarinya kembali ke inti tubuh Aul, merasakan panas tubuh Aul yang erat mencengkeramnya.
"Indah sekali. Kau sudah sangat basah untukku."
Giza bangga dengan cairan tubuh Aul yang basah sampai ke paha dan merembes di seluruh seprei kasur.
Giza mendengkur, suaranya dipenuhi rasa puas.
"Tubuhmu tahu siapa pemiliknya, meskipun pikiranmu belum sepenuhnya menyadarinya tentangku. Sakit?"
Aul mengganguk tidak berdaya. Giza pun menarik jari-jarinya keluar, mendekatkannya ke mulutnya, matanya tidak pernah lepas dari Aul saat dia menjilatinya hingga bersih.
"Rasamu sungguh nikmat." Suara Giza rendah dan serak. "Aku tidak sabar untuk membuat nektarmu membungkus milikku."
Giza memposisikan dirinya di pintu masuk inti tubuh Aul, kepala kejantanannya menyentuh lipatan-lipatan Aul yang licin.
"Kumohon, jangan. Giza, tolong jangan lakukan itu."
Wajah Aul yang memerah, tangisan yang membasahi pipi, rambut acak-acakkan dan permohonan lirih dari bibir yang bengkak. Justru menambah daya pikat bagi Giza untuk meneruskan aksinya.
"Kenapa tidak, Buih Laut?"
Mata Aul kembali pada kejantanan Giza dan dia menggeleng.
"Aku tidak bisa menanganinya. Percayalah padaku. Aku mohon, itu terlalu besar untukku terima."
"Terlalu besar?" Giza tersenyum sinis. "Kau takut? Mengapa kau takut? Kau akan sangat bangga jika bisa menampung semuanya dalam dirimu."
"Tidak! Itu mengerikan!" Aul melempar bantal tepat di wajah Giza dan itu membuat senyum sinis Giza memudar. Tatapannya berubah gelap dan berbahaya, menyala-nyala karena hasrat, melihat tindakan Aul yang berani menentang. Ditariknya kasar pergelangan kaki Aul dengan kasar.
Dengan geraman pelan, ia melesat maju, membenamkan dirinya di dalam diri Aul dalam satu dorongan keras. Giza mengerang saat merasakan panas yang ketat menyelimutinya, dinding inti tubuh Aul mencengkeram kenjatanannya.
Aul menjerit histeris. Ukuran itu membunuh Aul. Kepalanya pusing, penglihatannya kabur dan sekujur tubuhnya merinding dengan rasa ngilu di area selangkangan. Napas Aul tersenggal-senggal.
"Sial, Buih Laut. Kau sangat nikmat."
Pinggul Giza bergerak maju, mendorong dirinya semakin dalam ke dalam diri Aul.
"Sangat rapat, sangat sempurna. Kau memang diciptakan untukku. Diciptakan untuk menjadi milikku, Buih Laut."
"Berhenti! Berhenti! Kumohon berhenti!" Aul mengerang kesakitan. Ukuran itu terus mendesak maju dan semakin besar dalam tubuh Aul. Kedua tungkai Aul lemas.
Sementara itu, Giza mengatur tempo yang brutal, menghantam Aul dengan liar, ranjang berderit di bawah mereka karena kekuatan dorongannya. Tangannya mencengkeram pinggul Aul, menahan Aul di tempat saat ia mengklaim dan menandai Aul berulang kali.
Aul tidak berdaya atas semua sensasi yang terjadi. Pinggul Giza mendorong semua kekuatannya mencapai batas akhir inti Aul. Dia kemudian bergerak, lebih dalam dan lebih keras selama beberapa waktu.
Mata Giza menjadi lebih gelap karena nafsu mendengar suara dan reaksi Aul menggeliat di bawahnya, cengkeramannya di pinggang Aul mengencang hampir menyakitkan.
Geraman posesif yang rendah bergemuruh di dadanya saat dia mencondongkan tubuhnya mendekat, bibirnya menyentuh bibir Aul dalam ciuman yang membakar.
"Gadis baik," bisiknya di depan mulut Aul, lidahnya melesat keluar untuk mencicipi Aul. "Buih Lautku yang begitu patuh, begitu siap dan rela untukku."
Giza terus mendorong pinggulnya pada pinggul Aul dan ia mulai merasakan pelepasannya sendiri terbentuk dalam inti tubuh Aul. Kejantanannya mengencang, berdenyut di dalam diri Aul.
"Aku hampir sampai, Buih Laut," gerutunya, pinggulnya bergerak maju, mendorong dirinya lebih dalam, lebih keras. "Aku akan masuk ke dalam dirimu, mengisimu sampai kau meneteskan cairanku."
Dengan dorongan terakhir yang brutal, Aul menjerit lebih keras. Dia merasa sesuatu dalam dirinya robek, tercabik-cabik dan berdarah. Kasur di bawah mereka hancur dan basah. Cairan milik Giza membanjiri paha dalam dan luar milik Aul.
"Milikku." Suara Giza serak karena kepemilikan. "Kau milikku, Buih Laut. Sekarang dan selamanya. "Milikku untuk digunakan, milikku untuk dimainkan, milikku untuk dihancurkan."
Giza lanjut menggigit telinga Aul, giginya menggores kulit sensitif Aul. Jari-jarinya kembali menyerang inti tubuh Aul tanpa henti, terus menerus menekan dan bermain. Memancing lebih banyak cairan yang keluar.
"Aku akan menghancurkanmu, Buih Laut." Janji Giza dengan nada posesif. "Aku akan membuatmu tidak bisa memikirkan pria lain tanpa merasa muak. Kau akan menjadi milikku, sekarang dan selamanya."
Giza pun melumat bibir Aul dengan ciuman brutal, lidahnya menyerbu mulut Aul. Tangannya yang lain meluncur ke atas untuk melingkari tenggorokan Aul sekali lagi, meremasnya dengan erat.
"Berteriaklah, Buih Laut," pintanya sambil melepaskan ciumannya. "Tunjukkan padaku seberapa besar keinginanmu. Seberapa besar keinginanmu untuk dimiliki olehku."
Jari-jarinya terus menusuk ke dalam diri Aul, mendorong dengan keras dan cepat. Dia ingin mendengar teriakan Aul yang penuh kegembiraan saat Aul menyerah sepenuhnya padanya.
Melihat wajah Aul yang kemerahan dan betapa basah tubuh Aul di bawah kendalinya. Sungguh pemandangan indah. Mata hitam Giza yang tajam menatap ke arah Aul.
"Jangan berpikir bahwa pelajaran kecil ini sudah berakhir, Buih Laut. Aku akan mengawasimu dengan ketat mulai sekarang."
Tangannya meluncur turun untuk mencengkeram pantat Aul, meremasnya dengan kasar.
"Jika aku memergokimu melakukan kesalahan lagi, jika kau berpikir untuk tidak mematuhiku, konsekuensinya akan berat. Kau mengerti, Buih Laut?"
Aul mengganguk dengan susah payah. Giza menyeringai, dia memajukan pinggulnya dan menggesek kembali inti tubuh Aul dengan kasar. Menambah rasa nyeri yang harus Aul tanggung. Kemudian, dia benar-benar menarik diri. Tangannya meraih selimut dan menutup tubuh Aul.
"Nikmati hukuman ini. Aku masih punya daftar panjang untuk menghancurkanmu."
Aul hanya meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri di bawah selimut. Area selangkangannya nyeri berat. Aul bahkan yakin, ada luka akibat gesekan tersebut.
Kemudian, dengan lembut. Giza melingkarkan lengannya di pinggang Aul dan memeluknya erat. Mendaratkan senyum lembut di kening Aul sembari memejamkan mata.
"Tidur," bisiknya tegas.
...
Sebulan berlalu begitu berat. Itu mimpi buruk yang tidak ingin Aul alami lagi. Seluruh tubuhnya memerah oleh gigitan Giza dan area selangkangannya nyeri hebat sampai ia kesulitan berjalan. Paha luar dan dalamnya lecet. Tetapi itu belum cukup membuat Giza terus bermain menggunakan jari-jarinya kepada inti tubuh Aul.
Sejak seminggu penuh kebrutalan tanpa henti, Aul tidak berani membantah perintah Giza, bahkan dia tidak ragu saat Giza hanya memberinya sebuah handuk berwarna biru cerah dan membawa Aul ke sebuah kapal pesiar.
Di biarkan Aul duduk di dek kapal pesiar yang memiliki kolam renang outdoor. Kapal mewah itu bernama Gizarun.
Kapal yang dirancang khusus untuk mengarungi lautan terbuka dengan sentuhan sihir yang tidak akan bisa terlihat atau ditemukan dengan cara tertentu.
Gizarun tampak seperti kapal pesiar biasa, dengan fasilitas mewah, termasuk kolam renang outdoor di dek utamanya. Kapal ini menjadi tempat berkumpulnya makhluk laut dalam dan para kriminal yang terlibat dalam bisnis gelap dunia bawah laut. Tempat Giza menguasai kejahatan dunia laut sebagai Mafia.
Aul hanya duduk diam, menatap miris kolam renang outdoor di dek utama yang berisi air dari laut dalam, yang memancarkan cahaya biru kehijauan. Aul ingin ke sana, mencoba merasakan sedikit sentuhannya.
Kolam tersebut digunakan oleh penyihir laut, Inzana untuk memanggil arwah tenggelam sebagai bagian dari transaksi gelap. Pria itu memiliki warna tan gelap dengan mata biru yang sangat cerah. Rambut hitamnya basah dan tubuhnya penuh bekas luka.
Lampu-lampu di sekitar dek terbuat dari kristal ungu, yang menciptakan suasana menyeramkan tetapi eksklusif, seperti sebuah pesta rahasia di tengah lautan.
Mata Aul menyapu ke meja-meja kecil di mana berbagai makhluk laut berkumpul untuk memperdagangkan barang-barang terlarang, dan di sanalah Giza berada.
Dia tidak ingin Aul mendengar apa pun yang ia bicarakan dengan mereka. Tetapi Aul tahu, sebagian dari mereka adalah orang laut, Tucca atau manusia yang memiliki orang tua manusia dan makhluk mitologi, manusia duyung, roh laut dan makhluk laut lainnya yang bekerja di dunia gelap.
Aul menghela napas, sebentar lagi Giza akan memintanya memanggil makhluk laut dalam untuk bekerja sebagai budak mereka. Inzana yang telah menyelesaikan pekerjaannya. Berjalan malas dari dalam kolam renang dan duduk tidak jauh dari Aul.
"Bajingan," desis Aul lirih, "ramalan bodohmu menghancurkan hidupku."
Inzana cukup terkejut dengan keberanian Aul. Dia hanya terkekeh sambil melirik Giza yang masih sibuk berbisnis.
"Dia memberitahumu?" ujar Inzana sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
"Menurutmu? Masa depan apa yang kau lihat hingga aku terseret dalam dunia ini?" Mata biru Aul menatap tajam Inzana seolah ingin menusuknya.
"Menurutku? Tidak, kau salah. Itu milik takdir, aku hanya melihat apa yang diizinkan takdir untuk aku ketahui. Kau adalah pion yang dibutuhkan Giza. Lagipula, kau butuh Giza jika ingin kembali menjadi Penjaga Gelombang."
"Harganya mahal," keluh Aul. Inzana mengganguk dan menatap jahil tubuh Aul yang dibungkus handuk.
"Aku tahu. Tetapi itu nikmat bukan? Dicintai secara liar oleh pria seperti Gizarun? Daripada Arus Abadi? Pria yang membuangmu."
Aul terbelalak mendengar tuduhan Inzana. Dia mengepalkan tangannya. Matanya berkilat tidak suka. Rasa bencinya pada Inzana semakin bertambah.
"Jangan sok tahu, Penyihir. Kalian hanya makhluk hina. Bekerja dengan mantra untuk bergantung padanya."
Inzana tersenyum sinis, "Jahat sekali kau padaku. Tapi, kau begitu rapuh di depan Gizarun. Ow, ini menarik sekali. Apa aku membuatmu tertarik?"
"Bangun dari mimpimu, kau tidak semenarik Arus Abadi."
"Kau mengakuinya? Itu bagian yang tidak Gizarun ketahui." Inzana melirik Giza yang berjalan menghampiri. Dia tersenyum licik pada Aul. "Jangan jahat padaku, aku bisa membuatmu menderita di bawah kuasa Giza dan mungkin diriku juga. Soal Arus Abadi—"
"Kenapa kau mengajaknya berbicara, Inzana?" Mata hitam Giza menatap Inzana dengan ancaman. "Kau tidak diizinkan."
"Wanita laut ini yang lebih dulu mengajakku berbicara. Aku hanya mencoba ramah."
Giza melirik Aul dengan rahang yang terkatup rapat. Aul menelan liurnya dengan cemas. Dia tahu, ini akan jadi masalah. Ditariknya kasar lengan Aul untuk berdiri dan membawanya menjauh dari kolam renang. Inzana tersenyum puas.
Sementara itu, Giza terus menyeret Aul ke sebuah lifeboat, kapal kecil yang membawa mereka dari kapal pesiar ke pantai ketika kapal sedang berlabuh. Itu pantai yang seluruh pasirnya tertutup karang hitam yang tajam.
Giza tidak membawa mereka menepi, tetapi di antara kapal dan pantai. Terombang-ambing oleh ombak. Lautan begitu dekat dengan Aul. Hanya mengulurkan tangan, Aul bisa merasakannya. Tetapi, dia tidak berani melakukannya. Sebulan tanpa pelukan lautan adalah neraka bagi Aul dan melihatnya sedekat ini, semakin membunuhnya.
"Sekarang waktunya memanggil penghuni lautan dalam." Giza memberitahu dengan duduk melipat tangan di depan Aul. "Berikan pekerjaan terbaikmu padaku sekarang. Cepat!"
Aul mengganguk patuh, "Aku perlu menyentuh lautan untuk melakukannya."
"Menyentuh seperti apa?" Giza jelas tidak setuju dengan ide itu. "Aku ingin kau melakukannya tanpa menyentuh lautan."
"Aku tidak bisa."
"Kau harus bisa. Karena kalau kau tidak melakukannya. Kau akan dihukum untuk bagian dua."
"Bagian dua?" Aul menatap Gizarun tidak percaya. "Aku tidak berbuat kesalahan."
"Berbicara dengan Inzana tanpa izinku adalah sebuah kesalahan."
Jantung Aul mencelos. Dia tidak terima dengan pernyataan Giza. Dia hanya bisa menunduk tanpa bantahan. Ingatan nyeri hebat di area selangkangan terlalu menakutkan bagi Aul untuk mengalaminya lagi.
"Aku akan melakukannya. Kembalikan kekuatanku kalau kau tidak ingin aku menyentuh laut."
"Kau tidak akan menyentuh lautan atau mendapatkan kekuatanmu. Kau harus memanggil makhluk laut dalam tanpa itu."
"Mustahil. Itu tidak akan bekerja. Mengapa kau terus melarangku memilikinya?"
Mata hitam Giza berkilat marah dan licik di sana. Suaranya rendah, "Aku ingin kau merasa haus, Buih Laut. Aku ingin kau merasakan apa artinya kekuatanmu direnggut, agar kau tahu betapa berharganya itu ketika kau mendapatkannya kembali."
"Berikan saja sekarang!" Aul menuntut.
"Belum waktunya, Manis." Senyum Giza samar. "Aku ingin melihat apakah kau cukup kuat untuk bertahan di bawah kendaliku. Karena di dalam dirimu, aku melihat sesuatu yang bahkan kehancuran ragu menghacurkannya. Aku ingin tahu apakah itu benar, atau hanya ilusi."
"Itu ... aku hanya ingin memeluk lautan. Kau tahu itu sangat baik." Mata biru Aul menunjukkan sedikit harapan dan permohonan.
"Kau ingin memeluk lautan, Sayang?" Suaranya rendah, penuh keraguan, tetapi juga ada nada yang lebih dalam, hampir seperti godaan yang Giza coba sembunyikan. "Kau berbicara seolah-olah lautan itu kekasihmu, sesuatu yang bisa kau peluk lalu melepaskannya tanpa jejak. Tetapi aku tahu kau lebih dari itu, Buih Laut. Lautan bukan sekadar tempat bagimu—ia adalah bagian dari jiwamu. Memberimu izin untuk menyentuhnya sekali saja sama saja dengan melepaskanmu kembali ke dalam pelukannya sepenuhnya. Kau milikku, berapa kali aku harus mengatakan ini?"
"Tetapi ... tetapi ... aku tidak punya cara lain memanggil laut dalam seperti keinginanmu."
Aul putus asa dan frustasi. Dia tidak bisa memahami pola pikiran Giza. Ini kian menyiksanya.
"Memohonlah padaku, jika dengan memeluk lautan kau bisa memanggil makhluk laut dalam."
Mata Aul yang berwarna biru bersinar cerah, ada binar harapan di sana, "Sungguh?"
"Memohonlah padaku."
"Giza, aku mohon izinkan aku memeluk lautan sekali saja. Kumohon."
"Berlutut di depanku."
Aul ingin memaki Giza dalam hatinya. Tetapi, ia mendekat hati-hati dan meletakkan kedua tangannya di lutut Giza dan berlutut memohon belas kasih. Jemari Giza menyentuh dagu Aul puas, "Memohonlah padaku."
"Giza, bolehkah aku memeluk lautan sekali saja? Aku memohon belas kasihmu. Percaya padaku, aku tidak akan melakukan kesalahan lagi."
Aul muak, dia sangat muak. Namun dia tetap bertahan, menatap Giza penuh harap. Menunjukkan betapa dia sangat bergantung padanya.
"Kau ingin aku mempercayaimu? Maka buktikan bahwa kau bisa memeluk lautan tanpa tenggelam di dalamnya. Aku akan mengizinkanmu, Buih Laut. Tetapi ingat, jika kau mencoba mengambil lebih banyak dari yang kumaksudkan, aku tidak akan ragu untuk menarikmu keluar dari kedalaman itu, bahkan jika aku harus menghancurkanmu untuk melakukannya."
Aul mengganguk, dia segera menjatuhkan diri setelah izin Giza ke dalam gelapnya lautan. Sensasi air dingin membungkus tubuh Aul. Aul merasa hidup, merasa kuat dan nyaman. Mata biru Aul bersinar di bawah air.
Dia menikmati momen itu sejenak sebelum melakukan apa yang diinginkan Giza. Aul sedikit ragu, dia menatap Giza dan kapalnya dari bawah air. Bertanya-tanya, jika dia mencoba kabur, sensasi hukuman apa yang akan dibawa Giza?
Aul menggeleng, dia perlu fokus, pikiran itu harus dia buang jauh-jauh. Dia perlu membantu Giza dan Giza akan membantunya. Aul ingin meyakini hal tersebut.
Memanggil makhuk laut dalam tidak bisa dengan kata-kata biasa. Mereka adalah penghuni kegelapan, makhluk yang hanya menjawab atas kemauan yang lebih kuat dari mereka.
Aul harus menjadi suara yang mereka dengar dalam kegelapan. Aul pun mulai membiarkan tubuhnya menyatu dengan lautan, membiarkan aliran darahnya bersatu dengan gelombang. Dia menyerahkan dirinya untuk harga yang harus dibayar demi membuat para makhluk laut dalam tertarik.
"Penghuni kelam dan sunyi, dengarlah panggilan dari air ini," bisik Aul dengan mata terpenjam.
"Aku memanggil kalian keluar dari kegelapan dengan menyerahkan tubuhku ini."
Perlahan-lahan, rombongan bayangan makhluk laut dalam berenang mendekati Aul. Efek yang diberikan Aul memancing rasa ingin tahu mereka.
Mata tajam para makhluk laut dalam terlihat penasaran. Salah satunya, adalah makhluk berbentuk humanoid yang kurus dengan kulit pucat dan mata yang buta karena hidup terlalu lama di kegelapan. Dia memiliki cakar besar yang bisa digunakan untuk menghancurkan batu karang.
Ketika cakar itu hampir menyentuh wajah Aul. Lengan kekar Giza meraih pinggang Aul dan membawanya naik ke atas lifeboat. Sebelum Aul melihat situasi. Telapak tangan Giza menutup kedua mata Aul, sedangkan seluruh pasukan Giza dari kapal pesiar, melakukan perburuan brutal menangkap semua makhluk laut dalam.
"Kerja bagus, Buih Laut." Giza mencium bibir Aul dan mengigitt keras bibir bawah Aul hingga Aul mengerang kesakitan. Tubuhnya yang basah kuyup dan handuk yang terseret arus laut memperlihatkan bagaimana pendar biru di kulit Aul kembali tercipta.
Giza mendecak kesal. Dia buru-buru mengambil handuk baru dan membungkus tubuh Aul.
"Cukup untuk pelukan lautan, kau milikku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro