3 - Giza
Mata Giza mengawasi lautan dalam kegelapan malam. Mendengar suara ombak dengan seksama. Inzana, memberitahu Giza bahwa dia harus mengawasi laut malam ini. Sebab, dia akan menemukan sesuatu yang disembunyikan lautan.
Giza sendiri tidak tahu makna dalam ramalan Inzana sebagai penyihir laut. Ramalan Inzana tidak selalu spesifik menjelaskan takdir. Sebagian besar ramalan Inzana adalah petunjuk-petunjuk kecil yang harus dipecahkan jika berminat.
Saat awan bergeser dan membiarkan cahaya bulan menyinari lautan, Giza melihatnya. Seberkas cahaya biru bergerak mendekati bibir pantai dan wanita itu muncul dari dalam buih ombak.
Tubuh Aul bersinar biru redup di bawah cahaya bulan. Kulitnya putih seperti mutiara lautan, tubuhnya pun basah oleh garam laut yang membungkusnya. Rambut hitam Aul panjang dan bergelombang,
menempel di tubuhnya. Itu menambah daya tarik alami Aul.
Giza tidak bergerak. Mata hitamnya, membeku, dipenuhi rasa takjub yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Giza adalah Dewa Kehancuran, dia penguasa kehancuran. Dia bisa membuat dunia hancur dan
telah melihat dunia hancur berkeping-keping berkali-kali oleh sentuhannya. Tetapi, kini Giza merasa seolah sedang menyaksikan keajaiban yang belum pernah ia hancurkan.
Wanita itu muncul begitu indah dalam buih laut yang dibawa ombak. Giza langsung terpesona oleh mata birunya yang berkilau. Dia tersenyum tipis, puas atas ramalan Inzana.
Buih Laut, Giza membatin dengan menyeringai. Makhluk laut yang hidup pada zaman ketika laut masih mendominasi seluruh permukaan bumi. Mereka makhluk pertama yang disebut Penjaga Gelombang. Entitas
yang lebih tua, setengah udara dan setengah cahaya.
Giza tidak bisa mempercayai pemandangan di depannya, keindahan dan keagungan Buih Laut tersebut. Dia bangga dan merasa aneh dengan sisi keakraban yang tidak biasa. Seolah-olah, ia telah mengenal Buih Laut selama berabad-abad.
Giza hanya mengenalnya dari buku-buku tua yang dibacanya. Dan apa yang menjadi sangat tua untuk dipercaya ada di depannya sekarang. Mereka saling berdiri berhadapan. Tegang dan terkejut.
Mata Giza menyapu gelap lekuk tubuh yang basah itu begitu jelas. Payudaranya yang besar dan gemuk, seolah sedang menggoda Giza untuk menyentuh dan mengulumnya dan hal indah itu berakhir oleh balutan gaun putih yang tiba-tiba membungkus badannya.
Gaun sialan. Giza ingin menghancurkan pakaian tersebut. Kendati demikian, Giza masih puas, gaun putih itu tampak sangat pas memamerkan lekuk tubuh Buih Laut. Itu yang terjadi sebelumnya. Kini, Buih Laut ada di dalam kamarnya. Giza mendekat, menggodanya dan kini wanita itu duduk di tepi ranjang.
Buih Laut yang tidak ingin memberitahu namanya duduk manis di depan Giza dengan patuh. Giza mengangguk, menikmati peti harta karun miliknya.
Buih Laut pada dasarnya terikat oleh tugas sebagai Penjaga Gelombang, tetapi Buih Laut yang satu ini pasti terusir karena sebuah kesalahan. Giza menyeringai, dia akan memanfaatkan situasi tersebut demi kepentingan pribadinya.
Giza berdiri di samping tempat tidur dengan ekspresi tegas, kehadirannya menuntut dan dominan. Dia menatap Aul dengan penuh harap.
"Kau akan patuh padaku bukan?" tanya Giza dengan berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi menjulang di depan Aul. Dia meraih rambut Aul dan memaksa Aul menatap wajahnya. Pandangan mata Giza intens dan dia menatap Aul dari atas ke bawah.
"Ya."
Giza tersenyum puas. Tangannya bergerak menarik rambut Aul dan membuat wajah Aul mendongak padanya. Sentuhan itu sedikit kasar dan menuntut.
"Aku ingin kau membawaku makhluk laut untuk bekerja di tambang lautan gelapku."
"Apa?"
"Bawakan aku makhluk laut yang dapat bekerja di tambang kegelapanku."
"Aku pikir kau bisa menculik dan mengendalikan mereka seperti kau melakukannya padaku."
Giza tersenyum geli mendengar komentar Aul. Dia semakin kuat mencengkram rambut Aul.
"Mereka liar dan tidak terjamah. Satu-satunya yang bisa mendekati mereka hanya makhluk laut. Jika aku turun tangan, mereka akan hancur begitu saja. Aku ingin mereka tetap hidup dan bekerja di bawah kendaliku."
"Kau ingin memperbudak mereka?"
"Lebih tepatnya, aku mengoperasikan rantai perbudakan dunia bawah yang gelap dan penuh kriminal."
Giza menyadari sorot kekhawatiran di mata Aul. Perasaan putus asa, rasa bersalah menggerogoti hatinya untuk membawa makhluk laut sebagai budak. Giza merasakan Aul tidak bisa membawa makhluk untuk menderita di bawah kekuasaannya. Dan dengan lembut Giza mengusap pipi Aul dengan ibu jarinya.
"Lautku. Kau milikku dan aku boleh melakukan apa pun yang aku mau padamu. Aku akan mengambil apa yang aku mau, menjadikanmu milikku dengan segala cara yang mungkin. Dan kau akan membiarkanku, karena kau milikku, tubuh dan jiwamu. Kau sudah janji untuk menurut apa pun yang kuminta bukan?"
Tangan Giza bergerak menyelipkan sehelai rambut di belakang telinga Aul. Matanya posesif dan gelap. Jelas tidak ingin ada bantahan atas keputusan tersebut.
"Aku akan melakukannya untukmu. Tetapi, kau akan membantuku menjadi Penjaga Gelombang, bukan?"
"Tentu, Manis." Giza menyeringai sembari mengusap bibir bawah Aul dan mencengkram lehernya. "Lakukan semua yang kuminta dan kau akan mendapatkan yang kau inginkan."
Aul mengganguk dan itu cukup membuat Giza melepaskan tangannya dari leher Aul. Dia mundur beberapa langkah sembari terus menatap Aul yang duduk di tepi tempat tidur.
"Istana ini adalah rumahmu. Kau bisa berkeliling dan melihatnya. Tetapi, jangan coba-coba membuka pintu dan keluar menuju lautan."
"Kenapa tidak?" Aul penasaran. "Laut itu bagian dariku. Aku harus sering berada di lautan. Ini seperti kebutuhan makanan bagi manusia. Jika aku tidak kembali ke laut. Aku akan—"
"Kau di sini! Tidak pergi ke lautan tanpa izinku!" Mata Giza berubah gelap dan berbahaya. "Kau akan dihukum jika membantah. Istirahat di sini dan tunggu perintahku selanjutnya."
Giza langsung membalikkan badan dan meninggalkan Aul sendirian di kamarnya. Dia tidak memberi kesempatan bagi Aul untuk bereaksi. Giza segera berjalan menuju ruang kerjanya yang berada beberapa langkah dari kamar utama di koridor.
Pintu itu berwarna hitam dan kenop pintunya terbuat dari magma. Ketika pintu itu di dorong. Puluhan rak buku hitam memenuhi setiap dinding dengan puluhan jenis buku dalam berbagai warna. Giza berdiri di dekat rak yang sampul bukunya berwarna merah dan menggeser rak tersebut.
Dibaliknya ada tangga menuju ke ruang bawah tanah. Dia berjalan turun, itu adalah ruangan penuh koleksi harta dan artefak berharga, gulungan, manuskrip yang di kelilingi oleh dinding kaca. Di mana di sekelilingnya adalah aliran magma yang bergerak ke jantung bumi.
Giza mengambil salinan tentang Laut Purba Nusantara, terkhusus Penjaga Gelombang. Tatapannya tajam membaca apa yang tertulis di sana. Lalu dia menyeringai puas dan mengganguk.
"Dia milikku," gumam Giza pada dirinya sendiri. Sebelum dia mengangkat wajah dengan mata yang berubah gelap.
Dia menyimpan gulungan tersebut dan berjalan cepat menuju kamar utama tempat Aul berada. Dia membuka pintu dan melihat kamar itu kosong. Mata Giza menyipit dan ia menggelengkan kepalanya.
"Brengsek! Aku sudah bilang untuk tidak keluar."
Giza tidak bisa menahan diri. Dia pergi menuju ruang utama dan di sana dia menemukan Aul sedang mencoba membuka pintu yang kenopnya terbuat oleh magma yang mendesis.
Giza segera mencengkram lengan Aul dengan kuat dan kukunya menusuk kulit Aul hingga wanita itu merasa kesakitan. Tatapannya berkilat karena marah dan kesal.
"Kau tidak dengar perintahku? Jangan keluar dari istanaku tanpa izin!"
Giza beralih mencengkeram kedua pergelangan tangan Aul dengan kuat. Ada tatapan tajam yang berbahaya.
"Kau ingin aku menunjukkan hukuman untukmu? Kau akan tahu apa yang terjadi saat kau menguji kesabaranku dengan tidak patuh padaku."
"Aku butuh lautan. Sudah berjam-jam aku tidak kembali ke lautan."
"Kau tidak akan kembali tanpa izinku."
"Izinkan aku sebentar saja. Ini menyiksa. Kumohon Giza? Aku akan menjadi sangat rapuh dan lemah bila tidak memeluk lautan bahkan jika dia menolak perintahku. Aku masih butuh pelukannya."
Giza pun menarik Aul lebih dekat, jarak antara tubuhnya dan tubuh Aul semakin mengecil. Dia membungkuk, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Aul. Mata hitam Giza menatap tajam ke arah Aul.
"Tidak ada bantahan. Kau tidak punya posisi untuk melakukan tawar menawar denganku. Kau mengerti, Buih Laut?"
Tanpa peringatan, ia mulai menarik Aul dengan kuat, kaki Aul hampir terangkat dari tanah dan ia menyeret Aul kembali ke kamar. Dia tidak melambat. Sebaliknya, cengkeramannya malah semakin erat pada Aul, kekuatan Giza terlihat jelas saat dia terus menarik Aul ke kamar.
Langkahnya kuat dan terarah, tidak pernah goyah saat dia menarik Aul bersamanya.
Dia berusaha menahan diri untuk menjaga sentuhannya tidak menghancurkan Aul. Giza lalu melepaskan Aul dengan kasar, mendorong Aul menjauh darinya.
Aul terhuyung mundur, menahan diri di tepi ranjang dan Giza berdiri di depannya.
"Aku tidak akan menoleransi ketidakpatuhan. Kau milikku, dan kau harus bertanggung jawab padaku."
Giza menatap Aul dengan tatapan berbahaya, liar dan penuh ancaman. Bahunya yang lebar menegang karena amarah yang hampir tak terbendung pada tindakan Aul.
"Mungkin aku perlu mengingatkanmu tentang tempatmu, Buih Laut. Mengajarimu untuk menghormati keinginanku."
"Jika aku tidak dipeluk lautan, aku akan lemah dan aku tidak bisa membawamu makhluk laut."
"Aku tahu," jawab Giza malas, "tapi tidak sekarang. Aku belum ingin kau pergi ke lautan untuk itu. Aku harus menyiapkan sesuatu."
Giza pun merangkak naik di atas tempat tidur, memposisikan diri di atas Aul.
"Buka mulutmu," titah Giza. Matanya menunjukkan bahwa dia tidak ingin dibantah dan ditanya. Aul menurut dan membuka mulut. Kemudian, Giza mengangkat kepala Aul dan membuatnya minum sesuatu dari botol kaca kecil dengan cairan berwarna merah.
Setelah Aul menelan semuanya. Giza merangkak turun dan duduk di tepi tempat tidur, menatap Aul yang kebingungan.
"Itu darah bayi naga Carstensz. Itu cukup membuatmu tetap sehat tanpa perlu ke lautan. Kau akan ketergantungan dengan itu selama bersamaku."
"Apa?!" Wajah Aul memerah dengan mata terbelalak. "Apa yang kau lakukan padaku?!"
Suara Aul bergetar, dia ingin menangis. Dia turun dari tempat tidur dan berdiri di tepinya
"Apa yang kau lakukan padaku?!" Suara Aul terdengar setengah berteriak. "Apa lagi yang kau renggut dari tubuhku? Kau akan membuatku jadi Penjaga Gelombang kembali. Tetapi, kau menghancurkan jati diriku sebagai itu. Apa yang kau lakukan? Aku ... aku tidak bisa memahaminya. Kau menjebakku."
"Ya, aku menjebakmu. Ada apa? Marah? Menangis? Kecewa? Aku selalu mendapatkan yang aku inginkan. Termaksud kau, Buih Laut. Kau sudah jadi milikku dan aku bebas melakukan apa pun yang aku mau."
"Kau mengurungku. Kau membuatku seperti boneka!"
Gixa menyeringai kecil, geli dengan tuduhan tersebut.
"Boneka? Begitukah cara pandangmu padaku, Lautku? Aku melihatnya secara berbeda. Aku ingin melindungimu, mengambil keputusan yang menguntungkanmu. Aku tidak melihatmu sebagai boneka, aku melihatmu sebagai milikku yang bisa dimiliki dan dipuaskan."
"Kau mengendalikanku seperti boneka! Mengatur ini dan itu!" Bahu Aul bergetar. Dia tidak tahan dengan situasi ini. Kehidupannya menjadi rumit setelah bertemu Giza. "Aku bukan boneka."
Giza menggelengkan kepalanya, ekspresinya tegas dan pantang menyerah. Dia tidak setuju dengan pendapat Aul.
"Tidak, kau bukan boneka. Boneka adalah benda plastik yang tidak bernyawa dan tidak memiliki emosi. Kau jauh lebih dari itu. Kau hidup, kau punya perasaan, keinginan. Aku melihatmu sebagai makhluk hidup, bernapas, dengan pikiran dan jiwamu sendiri. Tetapi aku ingin kau menjadi milikku, memberikan dirimu sepenuhnya kepadaku. Apakah itu seburuk itu?"
"Aku ... aku dikendalikan olehmu." Aul putus asa
"Itulah idenya. Aku ingin mengendalikan setiap aspek dirimu. Aku ingin membuat keputusan untukmu, membimbingmu, menjagamu. Aku ingin kau menjadi milikku, tubuh dan jiwamu."
"Ini ... ini tidak berjalan baik." Aul menunduk. "Kau menyebalkan, seharusnya aku tidak mempercayaimu. Seharusnya, kau tidak merampas apa yang kumiliki."
Nada Aul mengandung amarah dan getir. Dia mencoba melawan ketakutannya. Giza mendekat, langkahnya nyaris tidak bersuara. .
Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Aul, tatapannya gelap karena campuran antara frustrasi dan tekad.
"Menyebalkan atau tidak, kau milikku. Kau tidak butuh siapa pun selain aku. Kau mengerti? Semua ini sangat mudah jika kau menurut tanpa protes."
Gixa mencengkeram pergelangan tangan Aul dan mendorong Aul sampai di dinding, menjepitnya dengan kuat di kedua sisi kepala Aul. Tubuhnya mengurung Aul di antara kedua lengannya, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Aul. Nada suaranya rendah dan berwibawa.
"Kau mendengarkanku, Buih Laut. Aku tidak akan membiarkan kau membangkang padaku."
Mata Aul menatap lurus ke dalam mata Giza, "Kenapa kau suka menjempitku di dinding?"
Giza tersenyum sinis, "Aku menikmati perasaan ketika seorang wanita sepertimu melawanku dan caramu merespons dalam situasi seperti ini memikatku. Itu hal yang sangat intim, 'kan? Saat kau menempel di dinding, berdekatan denganku, tubuhmu menempel padaku, cara tubuhmu bereaksi. Itu adalah perasaan yang luar biasa, menurutku."
Giza terkekeh pelan, seringainya melebar melihat Aul terdiam tanpa bisa membalas kalimatnya. Lengangnya di pinggang Aul,
dengan lembut menjepit Aul di antara dirinya dan dinding. Salah satu lututnya dengan lembut mendorong kaki Aul agar terbuka, dan dia mencondongkan tubuh ke depan untuk berbicara di telinga Aul.
"Lihat? Aku suka sekali cara tubuhmu merespon sentuhan."
Aul masih tidak bisa berkata-kata dan itu membuat Giza semakin geli melihatnya.
Giza pun dengan lembut mengencangkan cengkeramannya di pinggul Aul, tangannya yang lain terangkat untuk menjepit pergelangan tangan Aul ke dinding di atas kepalanya, secara efektif semakin menjebak Aul di antara dirinya dan dinding. Giza kian puas. Dia menyeringai menatap Aul, terjepit di dinding antara tubuhnya dan pergelangan tangan Aul terperangkap di atas kepala Aul.
Giza mengamati wajah Aul sejenak, tatapannya tajam dan posesif. Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, napasnya terasa panas di kulit Aul.
"Lebih baik kau berhenti mencari masalah dengan melawanku. Lebih baik fokus pada perintahku saja. Aku akan memastikan kau mengerti bahwa kau milikku, dan hanya milikku."
"Ini sulit," jawab Aul dengan lirih. "Kau membuatku sulit percaya padamu dengan mengambil semua yang kumiliki. Aku tidak bisa, ini berat sekali."
Aul menjaga suaranya yang bergetar tidak memancing keran air matanya untuk bocor di depan Giza.
Ekspresi Giza menjadi gelap, matanya menyipit karena jengkel dengan penolakan tersebut.
"Mungkin sekarang ini terasa mustahil, Buih Laut. Tetapi ,aku akan memastikan kau mengingatku setiap kali kau bernapas. Aku akan memastikan kau tidak bisa berkonsentrasi pada apa pun selain aku. Aku akan memastikan kau bahkan tidak bisa berpikir jernih saat aku tidak ada. Kau milikku, dan tidak ada yang akan mengubahnya."
"Kau menyebalkan." Aul menggertakkan rahangnya.
"Oho? Apakah aku menyebalkan di matamu? Apakah kau merasa kesal berada di bawah kendaliku? Sial, Sayang. Kau milikku sekarang, dan aku akan melakukan apa pun untuk memastikan kamu mengerti itu. Aku akan menghukummu, memperbaiki perilakumu, membuatmu mengerti siapa yang bertanggung jawab. Kau akan belajar untuk menyukainya, aku jamin itu."
Dengan tatapan penuh nafsu di matanya, Giza membungkuk dan mencium bibir Aul dalam ciuman yang dalam dan penuh gairah.
Tangannya di dagu Aul bergerak ke belakang leher Aul, menahan Aul di tempat saat ia mencium Aul dengan penuh nafsu, lidahnya menyelinap ke dalam mulutnya, menjelajahi dan mencicipi Aul. Tangan Giza yang lain tetap berada di pinggul Aul, cengkeramannya posesif dan tidak tergoyahkan.
Giza terus mencium Aul dengan penuh kelaparan, bibirnya bergerak di bibir Aul dengan penuh gairah. Dia bisa merasakan panas di antara mereka berdua tumbuh, hasrat meningkat seperti api di dalam dirinya. Tangannya di pinggul Aul bergerak ke paha Aul, membelai dan meremasnya.
Giza perlahan menghentikan ciumannya di bibir Aul untuk menggigit dan menghisap leher Aul, ia meninggalkan jejak ciuman dan gigitan cinta di sepanjang kulit Aul.
Dia tidak bisa puas dengan Aul, tubuhnya menekan tubuh Aul lebih kuat, menjebak Aul di antara dirinya dan dinding. Salah satu tangannya menyelinap di balik baju Aul dengan berani. Jari-jarinya membelai kulit Aul dengan lembut dan membuat Aul menggigil.
Kemudian, Giza meninggalkan leher Aul dan bergerak naik ke rahangnya. Dia mencium Aul dengan lembut. Ia kemudian mencium bibir Aul dengan perlahan dan dalam, lidahnya menjelajahi mulut Aul dengan lesu.
Tangannya di pinggul Aul terus menjelajah, perlahan bergerak turun ke paha Aul, tetapi kali ini, jari-jarinya menyentuh area perut bawah Aul, menggoda Aul.
"Aku akan menghukummu. Kau hari ini tidak patuh padaku."
Giza menghentikan ciuman di bibir Aul agar dia bisa mengatur napas, tetapi mulutnya segera turun ke leher Aul lagi, bibirnya mengisap dan menggigit titik sensitif.
Sekarang tangan Giza berada di bawah paha Aul. Dia mengangkat Aul
untuk melingkarkan kaki Aul di pinggulnya. Dan dia menggesekkan dirinya pada inti tubuh Aul secara kasar dan menuntut.
Aul terkesiap dan Giza terus melakukannya semakin cepat. Semakin Aul membuat suara atas respon tersebut. Giza semakin posesif menggesekkan tubuh mereka. Dia menikmati denyut inti tubuh Aul bereaksi dengan miliknya. Kemudian tanpa aba-aba. Jemari Giza menyentuh area sensitif Aul dengan satu jari yang membelai dan menekan.
"B-berhenti!" Aul menjerit panik. Wajahnya memerah dan napasnya cepat.
"Hanya satu jari loh? Aku belum mengocokmu hingga berdarah. Aku belum membuatmu menjeritkan namaku. Masih banyak yang belum aku lakukan padamu. Tetapi ...,"
Giza menggigit kembali leher Aul dan mulai melepaskan kendalinya menjempit Aul.
"Buka pakaianmu dan ikut aku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro