Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 - Aul

"Apa yang kau lakukan di sini? Apa yang kau lakukan di lautan?"

Mata Aul menatap lurus ke dalam mata Giza. Jantungnya masih berdetak cepat. Dia tidak bisa menurunkan kewaspadaannya terhadap Giza. Aul masih mencoba mencari cara untuk menyelamatkan diri tanpa menunjukkan betapa dia sangat rapuh di hadapan Giza. Sayangnya, Giza tahu bahwa tubuh Aul gemetar di hadapannya.

Lautan terus bergejolak di sekeliling mereka. Giza masih diam menatap fitur wajah Aul dengan seksama.

"Menurutmu apa, Buih Laut?" ucap Giza dengan menfokuskan tatapan pada bibir Aul.

"Kalau aku tahu, aku tidak akan bertanya."

"Hm, aku sudah bilang sebelumnya, bukan? Aku melihat apa yang sedang disembunyikan lautan dan aku menemukanmu."

"Pembohong!"

Mata Giza menjadi lebih gelap atas tuduhan tersebut. Dia mencengkram leher Aul dengan kuat.

"Perhatikan nada bicaramu, Buih Laut. Aku bukan pembohong dan aku tidak suka berbohong."

Ibu jari Giza menekan kuat salah satu pembuluh darah di leher Aul. Membuatnya perlahan kesakitan dan sulit bernapas. Aul ingin mengangkat tangannya untuk menepis. Tetapi, itu percuma saja. Saraf ototnya masih menolak bekerja sama.

Dia panik, benar-benar kehilangan kendali atas tubuhnya. Aul tidak bisa menganggap Giza sebelah mata. Aul menyadari, betapa rapuhnya dia di depan Giza. Air matanya perlahan mengalir keluar dari sudut kelopak matanya. Dia merasa sesak, Aul ingin
meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh Aul. Dia tidak pernah kedinginan, tidak dengan cara seperti ini. Setiap detik terasa sangat lambat bagi Aul. Dia butuh oksigen, dia ingin bernapas.

Jantung Aul bekerja lebih cepat mengirim darah ke otak dan seluruh pembuluh darah. Ia mulai merasa putus asa. 

Mata Aul terkunci di mata Giza dan Giza tidak pernah berkedip, membuat Aul merasa seperti sedang diukur dan dihakimi sekaligus. Perlahan-lahan, Giza mengendurkan cengkramannya di leher Aul. Memberi kesempatan bagi Aul untuk bernapas.

"Apa ... apa yang kau inginkan dariku?" tanya Aul setelah mengatur napas beberapa detik.

"Aku ingin dirimu. Dirimu untuk kumiliki."

"Mengapa kau menginginkanku?"

"Kau ingin tahu?" Giza menguatkan cengkraman di leher Aul, namun tidak sekuat sebelumnya. Aul hanya bisa mengganguk.

"Aku tidak terbiasa berbagi informasi tanpa umpan balik. Tapi, jika kau tertarik. Kita bisa membuat kesepakatan."

Aul diam sejenak. Dadanya masih naik turun dengan cepat. Tindakan itu menarik senyum tipis di sudut bibir Giza.

"Bisakah kau melepaskanku?"

"Situasi ini jelas menjawab pertanyaanmu."

Aul menelan ludah dengan susah payah. Dia merindukan ombak, dia merindukan pelukan lautan.

"Tolong lepaskan aku, aku hanya buih laut." Nada suara Aul gemetar. "Kau bisa mendapatkan makhluk laut lain yang lebih sempurna."

"Aku menunggumu di sini, bukan mereka. Aku tidak menginginkan mereka, aku ingin dirimu. Hanya dirimu. Apa kau mengerti?"

"Tapi kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa kau melakukan ini padaku?"

"Tidak ada jawaban gratis, Buih Laut. Semua hal di dunia ini ada bayarannya. Aku membayar mahal untuk mendapatkanmu."

"Siapa kau? Mengapa kau bisa merebut kendali laut? Kau bukan Debata Laut."

"Kau sungguh keras kepala, kau tahu tidak?" Tangan Giza bergerak membelai pipi Aul dengan penuh perhitungan. "Jawaban dari mulutku tidak gratis, Buih Laut."

Aul tidak bisa melawan Giza. Dia
hanya bisa bergantung pada belas kasihnya. Saraf tubuhnya masih belum bisa dikendalikan.

Aul tidak ingin menyerah. Dia bertumpu pada tatapan matanya dan melirik ke arah laut. Satu-satunya hal yang luput dari campur tangan Giza. Ombak bereaksi, ombak
menghantam batu karang, tidak menyentuh Giza, melainkan terbelah di bawah kekuasaannya.

Giza menatap dingin tindakan Aul. "Kau tidak bisa menyentuhku, Buih Laut. Kau ingin aku mengucapkannya berapa kali? Kau bukan penguasa lautan. Lautmu telah diubah darimu. Rasakan bagaimana menjadi tamu di tempat yang kau kuasai."

Hati Aul terasa sesak. Pertahanannya hancur, air matanya mengalir dan Giza menjilat pipi Aul yang basah.

Giza menarik wajahnya dari pipi Aul dan tersenyum dingin. Ada percikan ketertarikan di mata Giza. Suaranya berubah menjadi lebih lembut, hampir menggoda, tapi tetap berisi ancaman pada Aul.

"Ikutlah denganku. Tidak tahukah kau berapa lama aku menanti momen ini? Aku tidak perlu menghancurkanmu, Buih Laut. Aku hanya perlu menunjukkan bahwa takdirmu adalah bersamaku. Akulah yang kau butuhkan. Lihat, bagaimana mereka meninggalkanmu saat kau membutuhkan mereka. Tapi aku tetap di sini. Aku selalu di sini untuk bertemu denganmu, bukan?”

Mata Aul terbelalak mendengar pernyataan Giza. Badai di sekitar mereka semakin ganas. Aul tidak memberitahu Giza nama dan latar belakangnya. Tetapi, melihat cara pria tersebut mengetahuinya. Memancing sedikit ketertarikan di mata Aul.

"Ikutlah denganku," bisik Giza kembali. "Aku memahami yang kau butuhkan tetapi tidak bisa kau capai, Buih Laut."

"Jika aku menolak bantuanmu?"

Giza mendengus pelan mendengar komentar tersebut. Dia menatap Aul tepat ke matanya, tatapannya terasa hampir seperti sedang melihat ke dalam jiwa Aul.

"Maka lautan ini akan melupakanmu selamanya. Pilihan ada padamu. Ikut padaku atau tetap di sini sebagai orang asing dan fakta laut menolak keberadaanmu."

"Kau yang membuat mereka menolak padaku!"

Amarah Aul terpancing. Jelas, dia tidak menyukai situasi tersebut.

"Aku suka kau berteriak. Tapi tidak dengan yang satu ini. Percayalah, aku melakukannya untuk kebaikanmu."

"Kebaikanku? Apa yang kau inginkan dariku ?Mengapa aku? Kenapa kau ingin membantuku? Kau bisa memilih dewa lain untuk tunduk, tapi kenapa kau datang padaku?"

Giza kehilangan kesabarannya.
Dia mencengkeram dagu Aul dengan kuat dan menggunakan tangannya yang lain untuk mencengkeram bahu Aul.

Pada dasarnya, Giza memaksa wanita itu untuk tetap menatap matanya. Tatapan mata Giza dingin dan tajam yang menunjukkan kemarahan dan kekesalan yang jelas saat dia berbicara.

"Apakah kamu benar-benar tidak mengerti? Aku datang menyelamatkanmu! Aku menginginkan dirimu! Kaulah satu-satunya untukku. Aku Dewa Kehancuran, tapi aku tidak akan menghancurkanmu. Aku hanya ingin kau ikut padaku. Tidak bisakah kau patuh?"

Mata biru Aul berbinar dengan cara yang tidak biasa dan Giza menikmati ketertarikan tersebut. Dengan suara rendah, dia melanjutkan, "Kau tahu aku bisa menghancurkanmu, bukan? Tapi aku memilih untuk tidak melakukannya. Itu bukan kelemahan, itu kesempatan. Kau hanya perlu tahu cara memanfaatkannya."

"Bagaimana kau tahu tentang diriku?"

"Aku akan menjawab semua pertanyaanmu, melindungimu dan memenuhi kebutuhanmu dengan satu syarat. Kau hanya perlu patuh padaku."


"Patuh?"

"Ya, patuh pada apa pun yang aku katakan dan perintah tanpa ada bantahan."

"Seberapa lama aku harus patuh?"

"Oh, Manisku, Cintaku, Lautku. Selama aku hidup, kau harus patuh padaku. Kau hanya perlu patuh dan aku akan melindungimu, memenuhi semua kebutuhanmu dan mengembalikan apa yang hilang dari darimu. Percayalah, hanya aku yang bisa mewujudkannya."

Giza tiba-tiba menggerakkan tangannya dari rambut Aul ke tenggorokannya, melingkarkan tangannya di leher Aul dan mencengkeramnya dengan posesif.

Aul tergoda, benar-benar tergoda. Dia tertarik. Mata Aul menelusuri mata dan bibir Giza berulang kali. Mencari-cari kepercayaan yang bisa dia pegang. Aul sedikit merasa istimewa, merasa dipedulikan dan dibutuhkan. Hatinya tergerak mengikuti perintah Giza.

"Jika aku patuh padamu. Kau akan memenuhi yang kuinginkan?" tanya Aul memastikan.

"Tentu. Kau akan mendapatkannya, Buih Laut. Apa pun yang kau inginkan."

"Jika aku, jika aku ... aku ingin kembali menjadi Penjaga Gelombang. Apa kau bisa membantuku?"

"Akan kulakukan untukmu."

"Kau yakin?" Mata Aul menatap Giza penuh harap. "Itu melawan sesuatu yang lebih kuno dari lautan itu sendiri."

"Sangat yakin, Lautku. Kau akan menjadi Penjaga Gelombang kembali, mereka akan kembali memandangmu hormat. Aku akan memastikan itu padamu. Patuhlah padaku."

"Aku akan patuh padamu."

Perlahan, Giza melepaskan cengkeramannya pada leher Aul. Wajahnya masih dingin.

"Bagus," kata Giza dengan suara rendah. Dia menatap Aul sejenak sebelum tiba-tiba bergerak mencengkeram dagunya lagi, memaksa Aul untuk mendongak menatapnya lagi.

"Mulai sekarang, kau tidak boleh pergi tanpa izinku, atau tanpa memberitahuku terlebih dahulu," kata Giza dingin, tatapannya tajam dan memerintah. "Kau tidak akan merahasiakan apa pun dariku. Kau akan dihukum, jika melakukan itu. Apa kau mengerti, Lautku?"

Aul mengganguk patuh. Mata Giza menyipit saat melihat Aul menuruti perintahnya dengan mudah tanpa perlawanan seperti sebelumnya. Giza
terus mencengkeram dagu Aul, nada suaranya semakin dingin dan semakin menuntut.

"Kau akan menuruti perintahku, kau akan melakukan apa pun yang kukatakan tanpa bertanya, kau akan bersikap baik padaku, bukan?"

Suara Giza pelan, berwibawa dan dominan, cengkeramannya di dagu Aul mulai posesif dan tegas.

"Aku akan patuh."

"Kau akan menyerahkan dirimu sepenuhnya padaku, bukan? Kau akan tunduk padaku, kau akan melakukan apa yang kukatakan, Lautku?"

Jantung Aul berdebar, suara parau Giza menggelitik sesuatu dalam diri Aul, itu rasa ketertarikan yang tidak biasa dan berbahaya. Nada suara Giza posesif dan dominan, kata-katanya penuh dengan hasrat yang membara terhadap diri Aul.

Giza perlahan membungkuk pada tubuh Aul. Dia mulai menggigit serta mengisap leher Aul, meninggalkan bekas posesif di kulit Aul, sedangkan tangan Giza menjelajahi tubuh Aul, sentuhannya posesif dan mengklaim.

"Kau milikku, sepenuhnya milikku, Laut. Tidak seorang pun akan memilikimu. Hanya aku yang dapat menyentuhmu. Kau milikku. Aku tidak akan membagimu dengan siapa pun. Aku tidak akan berbagi milikku dengan orang lain, tidak akan pernah.
Kau mengerti itu, kan?" tanya Giza dengan kata-kata dominan yang galak dan posesif. Tubuh Giza menekan tubuh Aul di batu karang.

Giza menyukai ini. Dia memenjarakan Aul dengan lengannya, tubuhnya yang besar menjebak Aul di dinding batu karang. Wajahnya  mendekat ke telinga Aul dan Aul bisa merasakan napas Giza yang panas di kulitnya.

"Kau milikku, Buih Laut. Pikiran, tubuh, jiwa dan hatimu adalah milikku sekarang. Kau milikku, sepenuhnya milikku. Kau tidak akan melawan atau berkeberatan dengan keinginanku, Buih Laut. Kau milikku dan akan melakukan apa pun yang aku katakan. Kau mengerti?"

Aul hanya bisa mengganguk pada mata gelap Giza karena kepemilikan yang dominan. Giza menyeringai puas. Dia menggigit di leher Aul, tidak cukup keras untuk meninggalkan bekas tapi cukup untuk membuat Aul terkesiap.

Tangan Giza kembali
meraih rahang Aul, bibirnya menyentuhnya dengan lembut, meninggalkan jejak ciuman. Lalu, Giza menarik kepala Aul lebih jauh ke belakang, memperlihatkan lebih banyak lehernya saat ia perlahan bergerak menandai Aul menjadi miliknya.

Giza pun mengeluarkan geraman halus dan parau, tangannya terus bergerak di belakang leher Aul.
Mulut Giza terus menandai Aul sebagai miliknya. Tangannya yang lain bergerak ke pinggang Aul, mencengkeram erat sambil terus mencium dan mengisap kulit Aul dengan rasa lapar, meninggalkan bekas gigitan samar namun kentara.

Giza terkekeh, jelas menikmati perasaan saat Aul tunduk pada tuntutannya. Dia menjauh dari leher Aul, matanya mengamati bekas samar yang ditinggalkannya di kulit Aul.

"Bagus, sangat cantik. Gadis baik, Lautku, Buih Lautku yang mempesona."

Giza bersenandung dengan menyeringai puas, matanya terpaku pada bekas yang ditinggalkannya pada Aul. Dia mengusap-usap bekas tersebut dengan jari-jarinya dengan lembut, hampir penuh hormat.

Mata Giza pun bergerak ke bibir Aul. Dia mengusap lembut bibir Aul dengan kebutuhan untuk mencicipi rasa bibir Aul di lidahnya. Tanpa ragu, Giza mencondongkan tubuh, mencium bibir Aul dalam ciuman posesif, hampir lapar dan putus asa.

Dia melahap mulut Aul, lidahnya menggali dengan penuh nafsu saat Giza mencium Aul dengan intensitas yang membuat Aul tidak bisa bernapas. Tubuhnya menekan tubuh Aul, tangannya di pinggul Aul mengencang, mendekap Aul sepenuhnya dengan rasa posesif yang putus asa.

Ciuman tersebut mulai bergairah. Tangan Giza di pipi Aul bergerak turun untuk meluncur lembut di bawah dagu Aul. Kemudian dengan lembut memiringkan kepala Aul ke belakang, memberi diri Giza lebih banyak akses ke mulut Aul. Lidahnya dengan lembut melesat keluar, menelusuri bibir bawah Aul, mencari jalan masuk ke dalam mulutnya.

Giza  terus mencium, tangannya masih dengan lembut mengangkat dagu Aul, memberinya kendali penuh atas ciuman itu. Dia dengan lembut memasukkan lidahnya ke dalam mulut Aul, menjelajahi mulut Aul dengan posesif saat dia terus menarik Aul lebih dekat ke tubuhnya.

Ciuman itu kian intens. Tangan Giza dengan berani bergerak,
meluncur lebih jauh ke bawah hingga tangannya berada di paha Aul.

Giza terus mencium Aul dengan penuh gairah dan nafsu, tampak enggan melepaskan mulut Aul.
Namun, perlahan Giza mulai melepaskan mulut Aul. Napasnya sedikit tidak teratur, dia sedikit terengah-engah saat dia menarik diri, menatap Aul dengan tatapan penuh hasrat saat dia dengan lembut mengambil langkah mundur, tangannya di paha Aul dengan enggan di lepaskan.

Tatapan mata Giza yang gelap menyapu leher Aul, memperhatikan banyaknya bintik merah dan gelap yang tertinggal di kulit tersebut.

"Kau sudah sangat patuh, menjadi gadis baik untukku, membiarkanku menyentuhmu pada kendaliku. Ya, kau pantas mendapatkan hadiah."

Ada sensasi panas yang terlepas dari tubuh Aul. Saraf-saraf tubuh Aul mulai bekerja seperti sedia kala. Mereka bisa mendengar perintah di otak Aul.

"Apa kau akan seperti ini? Maksudku menjepitku di dinding dan menciumku."

Giza hanya menyeringai. Tidak butuh menjelaskan bahwa dari tatapan matanya dia akan melakukan itu lagi. Dia mengulurkan tangannya pada Aul.

"Mulai sekarang, kau bisa bergantung padaku. Sekarang ikut aku ke rumahku. Aku ingin memberitahumu sesuatu."

"Aku tidak bisa jauh dari laut," balas Aul sambil meraih tangan Giza.

"Aku tahu."

Dan dengan begitu tiba-tiba. Giza menggendong Aul dengan menaruhnya di pundak dengan begitu mudah. Aul terkesiap, namun tidak berontak. Puas melihatnya, Giza menepuk pantat Aul beberapa kali dengan kasih sayang. Pria itu membawa Aul seolah tubuhnya sangat ringan. Cengkraman Giza aman dan menenangkan.

"Gadis baik. Ayo pulang." Dan setelah berkata seperti itu. Angin hitam perlahan membungkus tubuh Giza dan Aul. Menyisakan ombak yang menerjang batu karang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro